Share

Pengantin Baru di Rumah Mertua
Pengantin Baru di Rumah Mertua
Penulis: Bun say

Bab 1

Selama ini kehidupanku dan suami berjalan baik-baik saja. Kami hidup bahagia bahkan sudah memiliki sepasang putra-putri yang lucu saat ini. Hingga sesuatu yang mengusik pikiran. membuatku seketika merasa gelisah.

Yanti—sahabatku, mengirim beberapa foto ke ponselku.

"Kau lihat pengantin yang ada di rumah mertuamu? Siapa yang menikah? Apakah salah satu dari kerabat suamimu, atau barangkali adiknya? Bukankah dua adik Frans sudah menikah dan mempunyai anak, ya? Lagian, kenapa kau tidak turut hadir sebagai menantu pertama?"

Pertanyaan kepo yang ditulis oleh Yanti melalui pesan singkat, membuatku sejenak tertegun mencerna kata-katanya.

Aku tak mau diam saja dan harus membuktikannya sendiri.

"Mbak, titip anak-anak sebentar, ya," ujarku pada asisten rumah tangga sambil meraih dompet dan kunci mobil.

"Tapi Ibu 'kan tidak boleh pergi ke mana-mana. Nanti Pak Frans marah sama saya," kata wanita itu dengan pandangan khawatir. 

Tentu saja demikian. Wanita itu sudah diwanti-wanti oleh suamiku agar aku tidak pergi kemana-mana, mengingat perutku yang membulat dengan usia kandungan hampir menginjak 7 bulan.

Selama ini aku bedrest dan hanya menghabiskan waktuku di atas tempat tidur, itupun setelah dokter menyarankan demi menjaga kandunganku yang rawan.

Tapi, bagaimana mungkin aku bisa diam saja setelah Yanti mengirimkan foto-foto pengantin di rumah ibu mertua.

Tak pedulikan ucapan wanita itu, gegas keluar dari rumah kemudian masuk ke dalam mobil dan memanaskannya sebentar.

Kendaraan mewah hadiah ulang tahun suamiku bulan lalu kini membelah jalanan ramai, dan kulajukan dengan tidak sabar menuju tempat yang dituju.

Jarak rumahku dengan rumah ibu mertua hanya membutuhkan waktu 20 menit perjalanan.

Setelah sampai, lekas kuparkir mobil dipinggir jalan. Aku turun tergesa dengan emosi luar biasa.

Dan benar saja beberapa mobil tampak terparkir rapi di halaman rumah ibu mertua. Di sana juga ada mobil milik suamiku sendiri.

Perasaan marah, emosi dan was-was membuatku semakin tidak sabar untuk melangkah ke sana demi mengetahui apa yang terjadi.

Kebetulan sekali pintunya terbuka. Tanpa aba-aba aku langsung masuk ke dalam dengan dada yang naik turun juga memegangi perutku yang terasa nyeri.

Sekumpulan keluarga ibu mertua tampak tenang menikmati perjamuan makan siang. Bahkan suamiku tengah duduk bersama dengan seseorang yang memakai baju pengantin.

Wanita itu yang ada dalam foto-foto yang dikirim oleh Yanti.

"Ada acara apa ini? Dan atas ijin siapa kau menikah lagi, Mas?!"

Maaf Frans langsung berdiri dan meletakkan piring makannya dengan asal. Matanya kini membulat menatapku dengan raut wajah terkejut. Mungkin dia tak menyangka akan ketahuan secepat ini olehku.

"Ca-Cahya, kenapa kamu ada di sini?"

Wajah Mas Frans pias ketika tatapanku yang penuh amarah ini tertuju pada matanya.

"Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apa yang kau lakukan di sini, dan siapa perempuan itu?!" tanyaku lantang sambil menatap tajam pada wanita yang ikut berdiri, namun memasang senyum pongah.

 Dagunya sengaja diangkat menunjukkan bahwa benar dia telah dinikahi suamiku.

"Hai, Kakak Madu!" ujar wanita itu.

Aku melotot. Mas Frans buru-buru mendekat padaku.

"Dengarkan aku dulu, Cahya. Kita bicara di rumah. Ayo." Mas Frans mengajakku keluar namun aku menepis tangannya dengan kasar.

"Aku mau kamu menjelaskannya sekarang, Mas? Siapa dia dan kenapa kamu menikahinya?"

Sejak kemarin pria itu izin menjenguk ibunya yang katanya sakit. Tak kuduga ternyata ini hanyalah alasan saja. Bisa-bisanya dia menikah lagi tanpa seijinku.

 Ibu Mertua keluar dari kamar masih mengenakan konde dan kebaya. Wanita itu tampak terkejut melihatku berdiri di tengah- tengah.

"Cahya, ngapain kamu di sini? Siapa yang menyuruhmu datang?" 

 Wanita yang sejak awal aku menikah dengan putranya tak pernah setuju itu, menatapku dengan raut wajah tak suka.

"Kenapa Ibu menikahkan suamiku dengan wanita lain?! Apa Ibu lupa kalau dia sudah punya anak dan istri?!" tanyaku balik, tapi peduli dengan ucapannya yang tak penting itu.

"Eh itu, kenapa nggak kamu tanyakan sendiri kepada suamimu," jawabnya cepat membuat Mas Frans salah tingkah. 

Dua adiknya tampak tidak terganggu dan asyik menikmati makanannya. Kutatap satu persatu anggota keluarga Mas Frans yang seperti mendukung pernikahan kedua suamiku ini.

"Dengar Cahya, aku janji akan menjelaskannya padamu. Tapi tidak sekarang. Tolong pulanglah, aku akan menyusulmu nanti," usirnya tak berperasaan.

"Apa katamu? Kau lupa siapa aku, hah? Kau lupa aku sedang mengandung anakmu? Bisa-bisanya kau mengusirku!!"

"Cahya, kumohon mengertilah!"

"Nggak!!" jeritku.

Kupukul dan kudorong-dorong dada pria itu meskipun kesulitan, karena dua tanganku langsung dicekal oleh suamiku sendiri.

"Cukup Cahya! Hentikan, dan pulanglah sekarang!!"

"Aku tidak akan pulang sebelum kau menjelaskan semuanya padaku!!"  

Tangisku pecah. Air mataku bergulir melewati pipiku. Tak kuperdulikan lagi orang-orang itu yang sebagian iba dan sebagian lagi malah menatap puas melihat kesakitanku saat ini.

"Baik, aku akan jelaskan, tapi tidak sekarang. Tolong hargai Sintia. Kami baru menikah!" ujar pria itu yang langsung mendapat tamparan di wajahnya.

Plak!! Plakk!! 

Tak tahan, tangan ini terasa kebas setelah mendarat di pipi mulus suamiku.

 Mas Frans tidak membalas, namun pria itu terus-terusan membawaku dalam pelukannya.

Aku tidak bisa menerima semuanya. Terlebih diduakan seperti ini. Hatiku sakit. Aku terluka, bahkan seperti ada sembilu yang tiba-tiba saja menusuk ke dalam relung hati.

 

"Lepaskan aku, lepaskan!! Kau tidak bisa memperlakukan aku seperti ini, Mas!!" jeritku tak peduli meskipun jadi tontonan. Mas Frans terus berusaha membawaku ke luar dari rumah ibunya.

"Jangan seperti ini, Cahya! Hentikan!!" 

Mas Frans berteriak ketika aku luluh di lantai dengan lunglai. Perasaanku hancur, perutku nyeri, tubuhku bahkan bergetar karena amarah dan luka disaat bersamaan. Bahkan kini aku kehilangan tenaga. Otot-otot di kakiku tidak mampu membuatku kembali berdiri.

Ya Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini. Tiba-tiba saja kebahagiaanku terenggut begitu saja dengan pernikahan kedua suamiku, yang tidak kutahu asal-usul dan alasannya kenapa.

"Pulanglah Cahya, jangan mempermalukan dirimu seperti ini," ujar priaku lagi.

Dia berusaha membantuku berdiri, namun segera kudorong kasar. Tak sudi rasanya disentuh oleh pria pengkhianat seperti dia.

Aku berusaha mengumpulkan sekuat tenaga agar bisa berdiri sambil memegangi pinggiran sofa.

"Kau juga pulang sekarang, kalau tidak aku akan bunuh diri!!" ancamku tidak main-main, sambil susah payah keluar dari rumah ibu mertua.

 Tak seorangpun yang berdiri di sana mencoba membantu atau sekedar mengejarku.

 Ketika sampai di dalam mobil, tangisku kembali pecah. Segera kunyalakan mesin mobil dan menginjak rem kemudian meninggalkan tempat itu, tak peduli meskipun Mas Frans berteriak- teriak memanggil.

"Cahya!!"

"Cahya!!"

Mobil yang kubawa menyalip beberapa mobil lainnya, bahkan sesekali menabrak mobil yang kecepatannya lebih rendah. Rasanya aku tidak peduli meskipun aku harus mati sekarang. 

Daripada dikhianati dan diduakan, lebih baik aku hengkang dari dunia ini.

Ciiittt!!!

Aku menginjak rem dengan kasar saat seseorang lewat di depanku. Dengan cepat tubuh wanita itu terpental lebih dari tiga meter. Aku kalap, terkejut, dan syok disaat bersamaan, sebelum akhirnya pandanganku ikut menggelap dengan darah yang mengalir dari pelipis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status