Bab 45
Setelah dari kantor polisi, tempat pertama yang kudatangi adalah kantor suami. Kejadiannya Mas Frans setelah pulang dari tempat ini, tentu sedikit banyaknya ikut berkaitan. Sukur-sukur kalau cuma kebetulan.Menghempaskan rasa penasaran, aku bertemu dengan Pak Agung. Atasan suamiku itu menyambut ramah dan mempersilahkanku untuk duduk. Tidak kuceritakan padanya mengenai pertemuan dengan anak buahnya di depan kantor polisi tadi."Saya cukup terkejut Bu Cahya mau datang ke sini."Pria yang datang saat pemakaman suami itu beramah tamah setelah duduk."Banyak sekali pertanyaan dalam benak saya tentang almarhum. Jadi, saya mohon bantuan Bapak mau untuk menceritakannya tanpa ada yang ditutup-tutupi," ucapku to the point.Sebenarnya sungkan bicara pada pimpinan perusahaan ini, tapi demi Mas Frans dan mengungkap kasusnya, aku akan melakukan apapun. Pak Basuki juga sepertinya sedikit terkejut aku bicara pada intinya."Tentu saja,Bab 46 Aku berjengit kaget menatap pria itu berdiri di depan pintu. Anjas. Dia mengulas senyum dan meminta izin untuk masuk ke rumah."Tenang, Bu Cahya, aku di sini bukan untuk menagih bayaran. Tapi untuk menggantikan Pak Ujang yang tidak bisa meneruskan pekerjaannya. Menurut dokter, lukanya cukup serius dan kata si Putra, pria itu harus istirahat untuk beberapa waktu lamanya.""Jadi, kamu ini siapanya dia?" Terakhir kali ke rumah sakit aku tahu kalau Pak Ujang belum sepenuhnya sehat. Mungkin dia tidak enak hati terlalu lama absen, makanya ngirim Anjas."Percayalah, ini hanya kebetulan. Pak Ujang itu saudara jauh ibuku. Dia memintaku untuk menggantikannya sementara waktu. Itupun kalau kamu mengizinkan," ucapnya sambil kupersilahkan untuk minum."Tetap saja aku harus menyeleksimu lebih dulu. Apalagi anak-anakku harus ada yang menjaga penuh. Aku tidak mau sampai terjadi dua kali kecelakaan yang sama, seperti yang merenggut ayahnya." Hatiku selalu perih saat mengingat kenangan Mas Fran
Bab 47"Eumh, kita bicarakan itu nanti lagi, ya, As. Nggak enak banyak keluarga sekarang," ucapku mengelak dari pembicaraan ini. Astina kini memasang wajah kesal."Aku masih menunggu janji Mbak untuk mendekatkan kami, lho. Aku nggak peduli pada perasaan Kak Anisa. Toh Mbak sendiri yang ngejanjiin untuk mendekatkan kami."Aku menghela nafas sebelum menjawab."Iya, waktu itu Mbak janji. Tapi perlu kamu ingat juga, kalau Abbas menolakmu atau kalian tidak sampai jadian dan menikah, yang jelas Mbak sudah berusaha mendekatkan kalian. Tapi keputusan tetap berada di tangan pria itu.""Ya, udah, yang penting Mbak usaha dulu," ketusnya meletakkan kembali baki di atas meja. Aku menggeleng cepat melihat kelakuan gadis yang masih kekanak-kanakan tersebut.Kusuguhkan minuman dingin itu ke tengah-tengah ruang. Kusuruh mereka untuk mengambilnya masing-masing. Sekilas kulihat tatapan Arfan fokus padaku, sebelum akhirnya aku memilih mengabaikannya dan tersenyum pada yang lain.Astina kembali duduk di s
Bab 48"Cahya, Kakak nggak suka sama kelakuan si Astina. Masa' Kakak lagi nelpon dia langsung nyelonong masuk ke kamar, terus nyambar ponsel kakak lagi. Keterlaluan itu anak," ujar Kak Anisa kesal setelah Astina dan Yanti pulang."Dia itu cemburu, Kakak semalam dekat sama Abbas."Kening Kak Anisa berlipat, "terus apa hubungannya dengan dia? Apa mereka pacaran?" Aku terkekeh melihat perubahan di wajah Kak Anisa. Dia pasti penasaran."Astina doang yang ngebet ke Abas, tapi pria itu nggak mau. Kesannya dia malah menyukai istri orang," sindirku membuat Kak Anisa menarik dan muncubit lenganku."Apaan sih kamu ini, ngaco aja kalau ngomong," sahutnya pura-pura marah."Pipi kakak 'tuh nggak bisa bohong, merah terus kalau deket-deket sama si Abas. Dia juga sama, kayak cacing kepanasan," sungutku menggoda."Masa' sih?""Heem."Tanpa sadar Kak Anisa langsung menyentuh pipinya yang memerah. Aku menggeleng
Bab 49"Baguslah kalau dia mau datang, meski Ayah ragu dengan keberaniannya bertandang ke rumah ini," kata Ayah setelah aku memberitahukan tentang Kak Bisma yang katanya akan benar-benar datang untuk meminta maaf."Iya, Yah. Kami sempat berdebat sedikit tadi, katanya dia malah ingin berdamai saja," balasku sampai mendorong kursi roda Ayah ke ruang makan."Gampang banget dia ngomong damai. Ayah tetap tidak setuju. Setahun ini mana tanggung jawabnya pada kakakmu. Tidak ada. Apalagi mentang-mentang Ayah sakit dia lantas seenaknya menggantung pernikahannya dengan Anisa. Memangnya dia kira Anisa benda mati yang tidak memiliki harga diri apa," kata Ayah. Nada suaranya terdengar kesal di telinga. Kebetulan kak Anisa sendiri tengah mandi di kamarnya setelah membantu membersihkan Ayah tadi. Dan kini giliranku menyiapkan makanan untuknya."Sudahlah, aku dan Kak Anisa sudah sepakat untuk menghadirkan Pak Bas juga. Kalau Kak Bisma macam-macam,
Bab 50"Anisa, tolong beri aku kesempatan sekali lagi. Please," ucapnya lirih."Maaf, Mas. Keputusanku sudah bulat. Ceraikan aku sekarang juga, mumpung masih ada ayah dan para saksi di sini." Ucapan Kak Anisa membuatku dan yang lainnya lega. Ternyata keinginan Kakakku juga kuat untuk mengakhiri biduk rumah tangganya."Nggak, Anisa. Aku nggak mau!""Sudahlah, Mas. Untuk apa kita meneruskan pernikahan yang tidak sehat ini. Aku hanya manusia biasa yang masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari suaminya. Dan semua itu tidak kudapatkan lagi darimu.""Tapi ....!""Jangan membuat janji dan jangan memohon jika kamu tidak bisa menunaikannya dengan baik, Mas. Relakan aku dan 'ku anggap semuanya selesai tanpa ada dendam ataupun sakit hati padamu."Bisma menunduk. Ucapan telak Kak Anisa membuatnya kehilangan kata-kata. Entah pura-pura atau benar-benar takut kehilangan, tapi yang jelas fokus kami tertuju ke arah pin
Bab 51"Yang mana?"Aku terkejut bukan main. Lekas kuletakkan sandwich yang baru kugigit separuh. Tatapanku tertuju ke arah pandang Anjas sekarang."Yang itu, yang pakai kemeja biru langit. Kayaknya aku pernah melihatnya, tapi di mana, ya?!" Anjas tampak mengingat- ingat sambil menekan- nekan dagunya. Sandwich itu baru satu gigitan dimakan olehnya.Aku kembali memundurkan tubuh ke belakang sambil bersandar. Orang yang dimaksud Anjas bukan salah satu pria yang mengikuti ke kantor polisi."Eh, Bu Cahya sendiri kenal nggak sama orang itu?" Aku menggeleng."Sepertinya beda divisi," jawabku.Anjas mengangguk lemah. Satu jam kemudian, semua orang sudah masuk kantor. Aku berjalan ke dalam sendirian untuk bertemu dengan Pak Agung, mengurus tunjangan yang akan diberikan oleh perusahaan. Sengaja aku datang ke tempat ini mengajak Anjas, dan menolak staf kantor yang akan datang ke rumah. Tapi sepertinya aku
Selama ini kehidupanku dan suami berjalan baik-baik saja. Kami hidup bahagia bahkan sudah memiliki sepasang putra-putri yang lucu saat ini. Hingga sesuatu yang mengusik pikiran. membuatku seketika merasa gelisah.Yanti—sahabatku, mengirim beberapa foto ke ponselku."Kau lihat pengantin yang ada di rumah mertuamu? Siapa yang menikah? Apakah salah satu dari kerabat suamimu, atau barangkali adiknya? Bukankah dua adik Frans sudah menikah dan mempunyai anak, ya? Lagian, kenapa kau tidak turut hadir sebagai menantu pertama?"Pertanyaan kepo yang ditulis oleh Yanti melalui pesan singkat, membuatku sejenak tertegun mencerna kata-katanya.Aku tak mau diam saja dan harus membuktikannya sendiri."Mbak, titip anak-anak sebentar, ya," ujarku pada asisten rumah tangga sambil meraih dompet dan kunci mobil."Tapi Ibu 'kan tidak boleh pergi ke mana-mana. Nanti Pak Frans marah sama saya," kata wanita itu dengan pandangan khawatir. Tentu saja demikian. Wanita itu sudah diwanti-wanti oleh suamiku agar a
"Dia sudah sadar, Mama pulang dulu." Suara ibu mertua yang bicara pada anaknya terdengar di telinga."Cahya, kau sudah siuman, syukurlah." Kata- kata tidak penting keluar dari bibir suamiku ketika mataku mengerjap karena silau oleh cahaya lampu di atasku.Aku tak sudi bicara dengannya, dengan pria yang sudah membuat hatiku nyeri.Tapi, dimana aku? Kenapa rasanya nyeri sekali. Berbagai macam pertanyaan memenuhi pikiranku saat ini. Aku mencoba bergerak tapi kesulitan. Lalu menatap pergelangan tangan yang terpasang jarum infus. Pantas saja rasanya sekujur tubuhku terasa kebas. Bagian bawah perut bahkan seperti ditusuk-tusuk. Oh ya Tuhan, bagaimana dengan keadaan anakku?Tanpa sadar aku menyentuh perut bagian bawah diiringi isakan. Perutku sudah tak membulat lagi. Kosong dan hanya menyisakan rasa nyeri.Anakku … apa yang telah kulakukan? Bayangan pernikahan suamiku dan wanita itu menari di kepala. Lalu wanita yang tak sengaja kutabrak di jalan. Bagaimana keadaannya sekarang? Iya, baru