Malam semakin larut. Langit Paris ditutupi awan tipis, tetapi lampu-lampu jalan tetap menyala terang di Distrik La Défense, tempat mansion keluarga Darriston berdiri kokoh dan mewah.Joana turun dari mobil dengan langkah pelan. Edmund membukakan pintu beranda untuknya, lalu mengangguk cepat. "Saya langsung pergi, Nyonya muda. Ada yang harus saya urus malam ini juga. Permisi," katanya sambil membungkuk sopan. Joana mengangguk pelan. "Terima kasih, Edmund. Hati-hati," ujarnya tanpa curiga. Edmund balas melempar senyum dan berlari kecil untuk kembali ke mobil, lantas segera melaju di tengah gerimis ringan yang mulai turun. Sementara itu, Joana berdiri di bawah atap beranda, memandangi daun pintu kayu besar di hadapannya.Tangannya bergerak pelan, menyentuh bibirnya sendiri. Ciuman itu masih terasa. Masih basah. Berbekas terlalu dalam di hatinya.Bibirnya berakhir gemetar. Ia menggigit pelan bibir bawahnya, lalu menunduk dalam. Rasanya ingin menangis. Akan tetapi, ia tahu, ia tak boleh
Begitu rombongan Joana pulang dari kediaman keluarga Lin, di Distrik ke-16, Kota Paris, lampu-lampu mewah di ruang makan mulai dipadamkan satu per satu. Pelayan merapikan piring-piring kosong, aroma makanan perlahan menguap. Namun, di lantai atas mansion megah itu, badai besar justru baru dimulai.Pintu kamar Alexa baru saja ditutup dengan cara dibanting keras, menggema di seantero lorong panjang. Gadis itu berjalan cepat dengan sepatu hak tinggi yang nyaris dilemparnya ke dinding. Gaun malam elegan berbelahan samping yang tadi membuatnya terlihat seperti putri raja, kini tampak berantakan. Rambutnya kusut separuh, dan riasan matanya mulai luntur oleh air mata amarah.Dengan teriakan tertahan, ia melempar vas bunga dari meja rias hingga pecah berhamburan di lantai. "Lagi-lagi perempuan kampung itu!!" raungnya sambil mencakar cermin besar di hadapannya.Alexa terengah, berdiri di tengah kamar super luasnya yang kedap suara. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, napasnya naik turun, dad
Kediaman keluarga Lin berdiri megah di Distrik ke-16 Kota Paris. Malam itu, lampu gantung kristal menyala terang dari langit-langit tinggi, menyinari seluruh ruang makan yang dipenuhi aura elegan dan formal. Meja makan panjang ditata sempurna dengan alas putih gading, porselen mahal, dan bunga segar yang dirangkai indah. Aroma hidangan khas Prancis menyelimuti ruangan, menandakan betapa seriusnya tuan rumah menjamu tamunya.Kennard hadir mengenakan setelan hitam klasik dengan dasi satin warna abu-abu gelap. Di sisi kirinya, Joana tampil sederhana, tetapi elegan, dalam balutan gaun hitam anggun dengan rambut disanggul setengah. Edmund, setia di belakang mereka, ikut hadir dengan setelan resmi, membawa sebuah map hitam kecil berisi dokumen kontrak kerja sama.Sambutan keluarga Lin terasa hangat. Aaron menyambut Kennard dengan pelukan khas ala Prancis, dan Ivana—dengan aura anggun keibuannya—menyapa Joana dengan hangat. Namun, yang paling menarik perhatian adalah Alexa. Malam itu, ia ta
Waktu sudah menyentuh pukul lima pagi. Cahaya lembut dari lampu tidur di atas nakas menyinari sebagian wajah Kennard yang mulai menggeliat pelan di atas ranjang. Aroma rambut Joana yang menguar halus dan semanis vanila membuat napasnya lebih teratur dari biasanya. Kala membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah kepala gadis itu yang masih bersandar di dadanya, dan kedua tangan Joana yang melingkar erat di tubuhnya.Kennard terdiam. Hatinya seolah-olah diremas oleh perasaan asing yang tidak bisa ia namai. Ia tidak ingin bergerak. Namun, ketika dada bidangnya naik turun perlahan, Joana tampak menggeliat kecil dalam tidurnya. Tangannya malah semakin erat memeluk Kennard.Tanpa sadar, sudut bibir Kennard melengkung naik. Sebuah senyum tipis yang sangat jarang ia berikan pada siapa pun. Ia mengecup kening Joana, lama dan lembut, seakan-akan waktu sedang berhenti untuknya.Namun, begitu Joana menggeliat, Kennard buru-buru memejamkan mata kembali, pura-pura tertidur.Joana menyibak kelop
Kini, kepala Kennard tergeletak berat di atas pangkuan Joana. Gadis itu duduk bersandar pada kaki ranjang, memeluk dan menggenggam tangan suaminya yang dingin dan lunglai. Jantungnya berdetak tak beraturan, matanya sembap oleh air mata yang tak bisa dibendungnya sejak Kennard pingsan."Ken, kenapa kamu jadi begini? Kenapa kamu mabuk berat begini, Ken?" tanyanya parau meski ia tahu tetap tak akan ada jawaban. Joana tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia tak mungkin memanggil Arley atau pelayan yang lain, apalagi kalau Grandpa Lionel atau Daniella sampai tahu Kennard pulang dalam keadaan mabuk berat seperti ini. Yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu Edmund. Sesekali tangan lentiknya membelai rambut kusut dan lembab milik suaminya, lalu kembali mencium tangan dingin lelaki itu sambil menangis tanpa suara.Tak sampai sepuluh menit kemudian, terdengar ketukan panik di pintu kamar."Nyonya muda! Ini saya, Edmund. Boleh saya masuk?"Joana buru-buru menjawab, "Masuk saja, Tuan Edmund! Tidak di
Gedung Darriston Couture mulai lengang ketika jam kantor menunjukkan pukul lima lewat dua puluh tiga menit. Cahaya jingga dari senja Paris membias pelan di antara gedung-gedung tinggi, menyiratkan akhir dari hiruk pikuk pekerjaan hari itu. Di ruangannya, Kennard tengah berdiri membelakangi jendela besar yang menghadap ke jalan utama. Jas navy-nya sudah ia lepas, digantungkan rapi di kursi kebesarannya itu, menyisakan kemeja putih dengan kancing atas terbuka dan dasi yang digulung longgar di leher.Joana mengetuk pintu sebelum masuk. Wajahnya masih segar meski sedikit kelelahan. "Ken, Edmund bilang kamu memanggilku?"Kennard menoleh, tatapannya tampak kusut meski berusaha tetap tenang. "Joana, saya akan pergi sebentar. Pulanglah dengan Edmund. Jangan tunggu saya."Joana menatapnya bingung sekaligus tidak tenang. "Ke mana? Perlu aku temani?""Tidak," potong Kennard. "Saya hanya ada urusan pribadi. Tidak bisa ditunda."Joana ingin bertanya lebih, tetapi sorot mata biru Kennard memintanya