Edmund menelan ludah ketika tangan Kennard terulur menunggu. Jemarinya bergetar di sekitar gagang tas hitam itu. Pikirannya berpacu cepat—mengingat jelas hasil tes DNA yang ia baca tadi, yaitu cocok. Joana adalah putri kandung dari Aaron dan Ivana. Akan tetapi, sekarangbia malah merasa bimbang sebab belum sempat menyerahkan hasil itu langsung ke Joana, seperti rencananya.“Tuan muda, saya pikir ini sebaiknya—.”“Edmund.” Suara Kennard kali ini terdengar lebih rendah, tetapi mengandung tekanan tajam yang membuat atmosfer di sekitar koridor apartemen terasa menegang. “Berikan pada saya.”Edmund ragu sejenak, tetapi kala sorot mata ocean blue Kennard menatapnya tajam dan penuh tuntutan, ia tahu tidak punya banyak pilihan. Namun, belum sempat ia menyerahkan, tangan kekar Kennard lebih dahulu meraih dan menarik tas dari genggamannya dengan cepat.“Tu-Tuan muda … tunggu—.”Terlambat.Kennard sudah membuka ritsleting tas hitam itu dan menarik satu map putih tebal dari dalam. Ia membuka segel
Langkah kaki Edmund begitu tergesa-gesa di koridor Rumah Sakit Saint-Louis, tas kulit hitam di tangan kanannya dijinjing erat, seperti menggenggam nyawa seseorang. Wajahnya tegang, napasnya memburu, pikirannya dipenuhi tentang bagaimana ia harus menyampaikan hasil tes DNA ini pada Joana secepatnya sebelum diketahui sang Tuan muda.Namun, di tengah keramaian koridor pagi itu—dipenuhi pasien, perawat, dan pengunjung yang saling bersilang jalan—Edmund tak sengaja menubruk seorang pria berjas putih panjang. Benturan itu membuat tas keduanya terjatuh ke lantai secara bersamaan."Maaf, saya tidak melihat Anda, Dok. Saya sedang terburu-buru," ucap Edmund panik sambil membungkuk sopan.Lelaki yang ditabraknya—seorang dokter muda—itu hanya mengangguk singkat. Wajahnya tertutup masker medis putih, hanya mata tajamnya yang terlihat. Ia menjinjing tas kulit yang persis seperti milik Edmund.Edmund segera menyambar salah satu tas, membuka ritsletingnya cepat, dan memeriksa isinya."Ah, syukurlah m
Atmosfer Kota Paris belum sepenuhnya hangat, meski mentari sudah mulai merayap naik. Pada dua titik berbeda dalam kota yang sama, dua pria beda usia dan berdarah dingin tengah duduk dengan dada berdebar. Masing-masing berada di ruang tunggu rumah sakit, menanti satu amplop putih yang berpotensi mengubah seluruh hidup seseorang—terutama seorang gadis bernama Joana Leshia Valery.Di Rumah Sakit Saint-Germain, Distrik ke-12, Aaron Lin duduk tegang di ruang konsultasi khusus. Di sampingnya, Jacob—asisten pribadi setianya—berdiri tanpa suara. Ruangan itu sunyi, hanya denting jarum jam dinding yang menemani detik-detik penantian."Jam sembilan, katanya," desis Aaron, lebih kepada dirinya sendiri. "Sudah pukul sembilan lebih sepuluh belum juga keluar hasilnya."Jacob merapikan dasi navy-nya dengan gugup. "Mungkin petugas laboratoriumnya sedikit terlambat, Tuan."Aaron menatap kosong ke arah meja dokter. Semalam ia tak bisa tidur. Bayangan wajah Joana terus menari-nari di benaknya. Terlalu b
Suara perdebatan yang terlontar dari dua sosok keras kepala itu tak juga kunjung mereda. Membuat Joana tercengang hingga menjatuhkan rahang tirusnya. Sesekali terdengar suara tepukan geram pada lengan kekar Ryuzaki hingga lelaki itu semakin mencebik kesal. "Astaga, Ryu! Lihat, dari dulu kamu memang selalu keras kepala!" seru Leah, menyodorkan termometer ke arah Ryuzaki."Kamu yang terlalu cerewet! Saya sudah tahu cara merawat orang sakit, Leah. Diamlah." Lelaki itu menggerutu untuk kesekian kalinya. "Diam? Hei! Jelas itu keliru. Kamu bahkan menaruh madu di teh yang terlalu panas, semua enzimnya rusak tahu? Apa kamu pikir tubuh Joana bisa cepat pulih hanya dengan perhatian setengah-setengah? Ya Tuhan …." Leah menggelengkan kepalanya. "Tapi kamu juga berlebihan. Ini bukan ICU, Leah. Stop memerintah seolah-olah saya asistenmu," balas Ryuzaki kemudian. "Dan kamu bukan dokter spesialis, Ryu! Stop juga membantah saya. Oke?" Leah sukses mendengkus. Joana yang duduk bersandar lemah di ra
Suara bel apartemen di lantai tujuh belas itu berbunyi cukup nyaring, ditekan oleh jari yang tak sabaran. Dari balik pintu, Ryuzaki bergegas menghampiri, masih mengenakan kaus tipis dan celana jogger. Ia membuka pintu dan mendapati sosok jangkung Kennard berdiri dengan ekspresi tak terbaca, di belakangnya berdiri Edmund yang tampak tegang. “Ken?” sapanya, terkejut. “Kamu cepat sekali sampai.” Kennard tak langsung menjawab. Matanya menatap tajam ke dalam apartemen, seakan-akan mencari sesuatu. “Apartemen Edmund cuma dua blok dari sini,” balasnya singkat. “Mana dia?” Ryuzaki memicingkan mata, masih mencerna nada terburu-buru dan tatapan gelap dari sahabatnya itu. “Joana ada di kamar. Dia demam tinggi.” Tanpa menunggu izin, Kennard menyelonong masuk melewati Ryuzaki, langkahnya lebar dan penuh bara. Ia menatap sekeliling apartemen minimalis itu sekilas, lalu menoleh pada Ryuzaki yang mengikutinya dari belakang. “Dia baik-baik saja?” tanya Kennard, nadanya datar dan bergetar halu
Ryuzaki berdiri dalam diam, memayungi sosok Joana yang terkulai di bangku halte tua di tengah hujan malam Distrik La Défense. Ia menatapnya dengan hati bergetar. Tubuh Joana gemetar, bibirnya pucat, dan wajahnya menunduk, menyembunyikan luka yang bahkan tak perlu dijelaskan.“Joana?” panggil Ryuzaki sekali lagi, kini dengan nada yang lebih lembut penuh urgensi. Sang dosen muda itu langsung berjongkok di hadapannya, cemas. “Ya Tuhan ... kamu kenapa? Kenapa basah kuyup begini? Siapa yang menyakitimu?”Joana mendongak perlahan. Matanya sembab, rambut pirangnya lepek menempel di pipi. Ia hanya menatap Ryuzaki tanpa suara, seolah-olah tak punya tenaga untuk menjelaskan apa pun.Ryuzaki kembali bertanya dengan nada khawatir yang kentara, “Apa yang terjadi? Mengapa kamu ada di sini sendirian?” Suara bariton itu sedikit gemetar, tetapi tetap ditahan agar tidak memaksa.Joana menggeleng pelan, lalu memejamkan mata. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah isakan pelan, nyaris tenggelam oleh