“Aku tidak mau!”
Ini masih pagi, bahkan langit belum terang sama sekali. Jam masih menunjukkan pukul 04, dimana para ayam pun masih tertidur pulas sebelum sinar matahari menerpa bumi dan memberi isyarat pada mereka untuk berkokok.Aliya dipaksa untuk bangun dan merias diri untuk bersiap di hari ini sebagai pengantin dadakan.Sialan! Ini bukan yang dia harapkan. Bukan Aliya yang ingin menikah. Kenapa justru ia yang jadi pengantin?!“Aliya, tenanglah sedikit. Ibu berjanji akan memberimu hadiah besar jika kamu menurut untuk melakukan permintaan ini,” ucap Kirana, Ibunya.Aliya duduk dengan wajah cemberut. Dia tidak tega menolak, tapi Aliya juga tidak bisa benar-benar ikhlas melakukan ini semua.Aliya tidak pernah memiliki pikiran untuk menikah di usianya saat ini. Dia masih senang bermain bersama teman-temannya. Jika ia sudah memiliki suami, Aliya pasti tidak akan sebebas dulu lagi.“Kenapa harus aku, Bu?” tanya Aliya memprotes. Padahal mereka masih bisa berusaha mencari Alison, dengan mengundur hari pernikahan ini hingga kembarannya itu ditemukan. Kenapa harus mengambil jalan seperti ini?“Ini demi kebaikan semuanya,” ucap Kirana menenangkan. Dia mengusap pundak putrinya itu, berusaha meredakan perasaan kesalnya.Kirana juga sadar apa yang ia lakukan cukup egois. Tapi, ia benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Saat Alison pergi, ia meninggalkan begitu banyak masalah untuk mereka. Orang tua Argan bahkan tidak mau mendengar penjelasan mereka. Mereka tetap menuntut tanggung jawab, hingga akhirnya Aliya lah yang harus mengorbankan diri demi menyelamatkan keluarga mereka.“Ibu, jangan memasang ekspresi seperti itu,” tegur Aliya. Meski dia tidak ikhlas melakukan ini, ia juga tidak suka melihat Ibunya bersedih karena sikap Aliya yang pemberontak.Aliya menghela napas berat. Mau bagaimana lagi? Sifatnya memang seperti ini. Ia tidak suka diatur dan lebih suka hidup dengan caranya sendiri. Meski begitu, ia tidak banyak membuat masalah untuk kedua orang tuanya seperti apa yang sering Alison lakukan.Hingga sekarang, karena sifat mereka yang bertolak belakang, Aliya dan Alison tidak pernah akur satu sama lain.Mereka bak orang asing meski dulu mereka pernah berbagi rahim yang sama. Alison yang terlalu dimanja, dan Aliya yang terlalu pemberontak, mereka seolah berada di kehidupan yang berbeda.“Jika bukan karena Ibu, aku tidak akan mau membantu menyelesaikan masalah Alison,” dengus Aliya. Ia terpaksa melakukan ini semua demi orang tuanya. Karena jika tidak, maka keluarga Argan akan melakukan sesuatu yang merugikan keluarganya. Aliya harus mencegah semua ini terjadi. Dia tidak mungkin tutup mata atas apa yang terjadi pada keluarganya.“Terima kasih, sayang.” Kirana memeluk Aliya, dan mengecup puncak kepalanya. Dia bersyukur putrinya mau mengerti dirinya. Meski ia sadar, ia tidak terlalu banyak memberi perhatian pada putrinya itu.****Selesai menemani Aliya merias wajahnya, Kirana memutuskan untuk keluar, dan membiarkan putrinya bersama perias yang bertugas menyelesaikan riasan putrinya itu.Kirana bersandar di pintu setelah menutup pintu itu. Dia membekap mulutnya dan menangis. Ia merasa berdosa telah mendorong putrinya untuk melangsungkan pernikahan yang tidak dia inginkan. Tapi, Kirana tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak bisa mencegah semua ini.Addy melihat istrinya menangis. Ia pun menghela napas.Pria itu mendekati Kirana, dan memeluknya.Tangis Kirana semakin deras saat suaminya memeluknya. Kirana merasa sakit saat melihat Aliya mengenakan gaun pengantin, padahal putrinya belum siap untuk menikah.“Aku merasa berdosa,” ucap Kirana lirih. Dia meremas pakaian yang Addy kenakan. Kirana tidak sanggup untuk terus berpura-pura baik-baik saja di hadapan putrinya. Padahal sebagai Ibu, ia juga ingin putrinya bahagia. “Kenapa Alison harus pergi? Kenapa dia harus membuat Aliya menanggung akibat dari perbuatannya?”“Anak itu memang selalu membuat masalah,” ucap Addy. Dia juga lelah menghadapi Alison yang selalu berbuat semaunya. Dia tidak memikirkan dampak yang terjadi setelah perbuatannya. Jika anak itu ada di depannya saat ini, Addy sangat ingin menamparnya sesekali. “Mungkin ini karena kita yang terlalu memanjakannya.”“Padahal Aliya tidak salah, tapi dia yang harus dikorbankan. Ini semua salah Alison. Jika dia memang belum siap menikah, kenapa dia menerima lamaran kekasihnya?” ucap Kirana mengeluarkan segala keluh kesahnya.Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran putrinya itu. Dia terlihat sangat bahagia saat Argan melamarnya, dan terlihat begitu bersemangat setiap kali mereka merencanakan pernikahan. Lantas, kenapa saat mereka sudah hampir mendekati hari H, Alison justru menghilang dengan meninggalkan sepucuk surat yang mengatakan jika ia belum siap untuk menikah? Ini terasa sangat lucu, hingga rasanya Kirana ingin menampar putrinya itu dan memakinya.“Bersabarlah. Suatu saat dia akan pulang.” Alison tidak mungkin terus berada di luar. Akan ada saatnya dia kembali ke rumah. Hanya saja, dia pasti menunggu situasi di rumah ini membaik.Jika saat itu tiba, Addy tidak akan pernah melupakan semua masalah yang Alison tinggalkan untuk keluarganya.Addy tetap akan memberi teguran dan hukuman pada putrinya itu.Sudah cukup selama bertahun-tahun ia memanjakan putrinya itu. Kini dia tumbuh menjadi anak yang pembangkang dan tidak tahu terima kasih. Addy tidak akan lagi bersikap lunak. Ia akan memberi penegasan supaya Alison tidak lagi semena-mena pada mereka.Sebagai orang tua, Addy pun merasa gagal, karena kini putrinya bahkan tumbuh menjadi seperti itu. Meski banyak orang yang mengagumi Alison, mereka tidak tahu jika di balik itu semua, Alison hanya seorang gadis yang manja dan banyak menuntut ini itu pada orang tuanya.Dia sangat jauh berbeda dengan Aliya.Meski Aliya tidak pernah mau dekat dengan keluarga dan lebih memilih menjaga jarak, terutama dengan Alison, Aliya tidak pernah meninggalkan masalah apapun. Dia bahkan tidak banyak menghabiskan uang seperti Alison.“Aku berjanji akan lebih memberikan perhatian dan kasih sayangku pada Aliya, mulai saat ini,” janji Addy. Dia rasa, ia terlalu mengabaikan putrinya yang satu itu. Bukan karena ia lupa, tapi karena Aliya yang jarang memunculkan diri di hadapannya.Aliya hanya pulang untuk tidur, dan pergi saat kuliah. Ia juga jarang ikut makan bersama, sehingga keberadaannya sering terlupakan.“Bodohnya aku tidak berusaha mendekatinya sejak lama,” Addy tersenyum pahit. Waktunya ia tuangkan sepenuhnya untuk putrinya yang mengecewakannya. Sedangkan putri yang selama ini ia abaikan justru menjadi penyelamatnya keluarga. “Kita masih memiliki waktu untuk menebus semuanya,” uap Kirana. Dia hanya menyemangati suaminya dan dirinya sendiri. Meyakinkan diri jika mereka belum terlalu terlambat untuk memperbaiki kesalahan. “Aliya anak yang baik. Dia akan mudah memaafkan kita.”“Ya, kamu benar,.” Addy mengangguk setuju. Senyum getir terukir di bibirnya. “Tapi rasanya sulit memaafkan diri sendiri.”Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan