Hari kedua pergi liburan. Tak ada yang spesial, tak ada perubahan yang begitu nyata terlihat pada sikap Aksen. Pria itu masih saja menghindari dan mencoba menjauhi dimanapun Amora berada. Tapi Amora tak habis akal. Ia terus mengikuti langkah kemanapun pria itu pergi. Meskipun terkadang Aksen menyuruhnya pergi, Amora tak pantang menyerah. Bentakan Aksen, celaan Aksen, seakan menjadi makanan Amora setiap hari.Saking seringnya, Amora sampai aneh jika pria itu tak melakukannya. Amora tak menyadari jika perlakuan Aksen itu telah membuatnya lebih kuat juga lebih kebal. Dan Akhirnya, perkataan Aksen tak bisa menembus pertahanan Amora.Menurut runtutan acara yang telah dibuat oleh Pak Muh, seharusnya mereka pergi ke menara pantai tertinggi yang berada tak jauh dari hotel yang mereka tinggali. Namun Aksen menolak, dan hanya ingin pergi sendirian kemanapun ia mau.Tak ingin melewatkan kesempatan, Amora mengikuti langkah Aksen ke tempat yang ingin pria itu
Setelah mengganti pakaian dengan baju tidur, Aksen meraih ponselnya kemudian duduk santai di atas ranjangnya. Bahunya ia sandarkan ke sandaran ranjang. Sedikit kepikiran tentang apa yang Amora katakan tadi sore. Hal yang selalu menjadi permasalahan atau alasan atas kebenciannya kepada wanita itu. Aksen menyadari kalau dirinya memang tidak mempunyai bukti atas apa yang ia tuduhkan kepada Amora.Tapi sepenuhnya Aksen akan percaya semua yang dikatakan Aurelia, kekasihnya. Tanpa ia cari tahu terlebih dahulu bagaimana sebenarnya yang telah terjadi. Boleh dikatakan bahwa ia buta gara-gara cinta, sampai apapun yang dilakukan Aurelia semuanya terlihat benar di matanya.Sebenarnya bukan cinta. Aksen bingung apakah ia memang mencintai Aurelia atau hanya sekedar rasa balas budi atas kebaikan perempuan itu di masa lalu. Pasalnya Aksen kadang tidak merasa kesal kala perempuan itu berinteraksi lebih dengan pria lain. Akan tetapi ia akan sangat marah jika Aurelia kenapa
Samar-samar terdengar suara burung berkicau di pendengaran Amora yang saat ini masih menggulung diri dengan selimutnya. Sepertinya pagi ini sangat cerah, sampai cahaya yang menembus kaca begitu terang menyorot sofa.Amora menggeliat dan perlahan mengerjapkan matanya agar terbuka dengan sempurna. Setelah matanya lumayan bisa melihat dengan baik, Amora mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Aksen yang menghilang dari sisinya. Amora mendudukan tubuhnya seraya menyibakkan selimut yang melilitnya semalaman. Ia baru menyadari kalau ruangannya kini penuh dengan sisa-sisa bekas lilin di mana-mana. Amora memperhatikan satu persatu bekas lilin tersebut yang menurutnya ini sangat berlebihan. Siapakah yang telah mempersiapkan ini? Apakah Aksen yang telah melakukan itu untuknya?Amora menarik bibirnya membentuk bulan sabit yang sempurna. Ia begitu ingat bagaimana perlakuan Aksen padanya tadi malam. Mengingatnya saja membuat Amora salah tingkah.
Bisa diprediksi dari awal, jika kepulangan Aksen akan membuat Amora mendengar kata-kata kasar dan ekspresi marah dari suaminya itu. Jika kepergian lelaki itu untuk menemui Aurelia, sudah pasti kepulangannya membawa kebencian kepada Amora.Beberapa saat lalu setelah dirinya baru saja sampai di rumah Aksen, Amora menerima telepon dari sekretarisnya, Riri. Dia mengabarkan kalau Aurelia telah mengetahui kepergiannya bersama Aksen. Entah darimana wanita itu mengetahui hal yang ia sembunyikan rapat-rapat.Sudah Amora pastikan, pertemuan Aurelia bersama Aksen kali ini topik utamanya adalah liburannya bersama Aksen. Dan sudah Amora duga, bagaimana nanti sikap Aksen yang ditunjukan ketika bertemu dengannya.Saat ini Aksen baru saja membuka pintu utama rumahnya. Pria itu berjalan kemudian duduk di ruang tamu dimana sudah ada Amora disana tengah menunggu kepulangannya.“Sebenarnya apa maumu, Amora? Aku sudah melakukan apa yang kau mau, tapi kau mempersulit semuanya!” tegur Aksen menatap tajam ist
“Kau suka?”Amora menoleh cepat kala seseorang datang seraya melemparkan pertanyaan yang sama sekali tak Amora pahami. “Eh, kau.” Wanita itu menyatukan kedua alis seraya tersenyum tipis kepada orang itu. “Suka apa maksudmu?”“Bingkisan yang berisi lukisan wajah Dewi Fortuna,” ujar Pria itu menatap mata Amora dengan seksama.Amora semakin terlihat bingung. “Dewi Fortuna?”Pria itu mengangguk mengiyakan. “Iya. Bingkisannya kau terima kemarin.”“Ah sepertinya kau salah penerima, kemarin memang aku menerima bingkisan lukisan wajah. Tapi itu lukisan wajahku,” sahut Amora menjelaskan.Pria itu menghela napas kesal. “Ya, kau Dewi Fortuna itu!”Amora semakin mengerutkan dahinya. Setelah beberapa saat kemudian ia membulatkan matanya kaget. Ia menatap tak percaya pria di hadapannya. Seketika pria itu memalingkan wajahnya tak tahan ditatap Amora terlalu lama.“Diego! Kau yang mengirimkan itu padaku?”
Aksen berjalan tertatih-tatih seraya menopangkan tangannya ke dinding sepanjang ia melangkah. Kepalanya terasa pening dengan penglihatan yang sedikit buram. Perlahan lelaki itu memijat pelipisnya dengan kuat. Matanya ia kerjap-kerjap kan untuk memastikan penglihatan samarnya.Sial, Aurelia telah meracuninya dengan obat perangsang hingga ia tak bisa mengendalikan diri. Untung saja Diego segera datang dan menarik Aksen yang hampir kewalahan dengan nafsunya sendiri.Aksen juga sangat heran. Kenapa bisa ada Diego disana, di apartemen Aurelia. Lelaki itu muncul tiba-tiba tanpa Aksen sadari kedatangannya.Diego membuat Aksen tak sadar diri kemudian mengirimkan pria itu ke rumahnya dengan menghubungi bodyguard rumah Aksen. Ketika terbangun, Aksen sudah berada di kamarnya dengan baju yang sudah acak-acakan. Menyadari dirinya yang telah tak sengaja meminum obat perangsang, Aksen segera pergi ke belakang rumah dan menceburkan dirinya ke kolam ren
“Diego!”Lelaki di depannya langsung menoleh.“Hallo, honey! Aku sudah menyingkirkan kekasihmu, bagaimana jika kau melanjutkan permainan denganku saja?” tawar Diego dengan menaikkan sebelah alisnya.Aurelia menatap tajam mata Diego yang tanpa menampilkan wajah bersalahnya. Sudah lama ia tak bertemu dengan Diego, lelaki yang beberapa tahun lalu mengincar nyawanya.Bukan tanpa sebab, Diego masih mempunyai dendam atas kematian Melva, kekasihnya. Aurelia menjadi tersangka satu-satunya yang Diego incar. Bagaimanapun sepupu jauh Aksen itu benar-benar mengetahui dengan jelas bagaimana sikap wanita licik itu sebenarnya.Bahkan niat jahat Aurelia terhadap Aksen saja, Diego mengetahuinya. Hanya saja ia ingin melihat sepupunya hancur juga karena ia selalu iri terhadap kesuksesan Aksen. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Bukankah sebelumnya kita sudah pernah bertemu?”Plak!Tangan mulus Aurelia mendarat di wajah tampan Diego. Lelaki itu sepertinya kaget, tapi ia
“Jika kau tak amnesia, tentu kau tak melupakan malam ini, Nona?”Suara tak asing itu membuat Amora menoleh cepat ke samping kanannya. Diego tersenyum manis dengan tangan kiri menopang ke kursi Amora dan tangan kanan disimpan di meja. Posisinya sangat dekat hingga napasnya mampu meraba helaian anak rambut Amora.Amora tak gugup sama sekali. Untuknya, dadanya hanya akan berdebar kala sangat berdekatan dengan Aksen. Pria lain tak ada pengaruh untuk tubuhnya, apalagi Diego yang hanya ia anggap sebagai orang baru.Seharusnya Aksen bangga memilikinya. Wanita yang jarang ditemui seperti Amora. Tak haus lelaki ataupun harta. Tapi hati Aksen nampaknya masih gelap untuk sahabat lamanya itu.“Ah, padahal aku sudah berusaha sembunyi darimu,” ucap Amora bernada pasrah kemudian pandangannya kembali ke laptop di depannya. Diego tersenyum tipis menampilkan lesung pipitnya yang menjadi khas pria itu. kemudian ia menarik kursi tepat di depan Amora dan dud