Share

Merutuki Kesendirian

Cinta? Balqis bahkan tak pernah memikirkan itu. Hanya ada rasa benci yang seluas samudera Hindia pada Aldo "Aku tidak akan pernah mencintai orang seperti dia Num. Kamu tahu sendiri dia adalah orang yang membuatku takut berkomitmen sampai sekarang."

"Tapi kamu jangan menyalahkan dia seratus persen. Mungkin masalahnya ada di diri kamu juga Qis. Apa kamu perlu bantuan untuk menemukan pendamping hidup?"

Balqis mengedipkan mata dengan cepat. Ia mengambil sepucuk bunga mawar merah menghirup aromanya sepenuh hati. "Aku pergi dulu…."

Hanum menggelengkan kepala. "Selalu saja seperti itu. Sayang sekali sudahlah cantik, cerdas, karir cemerlang, tapi masih single… Ups." Ia menutup mulut saat Balqis menoleh ke arahnya.

Aku juga tidak ingin sendiri. Kenapa semua orang mencercaku hanya karena aku sendiri? Kalian tahu betapa sulit untuk aku menegakkan senyum, meski setiap kata yang keluar sangat menyakitkan. Gumam Balqis dalam hatinya. 

Saat sampai di ruangannya Balqis mengambil tas. Wajah cemberut maksimal seperti tomat busuk tak bisa dikembalikan ke mode normal lagi.

"Qis mau ke mana?" pekik Shanum yang sedang membuka beberapa paket.

Balqis berhenti dan menoleh. "Aku pulang dulu. Hari ini kita tidak ada meeting lagi kan? Nanti kalau ada apa-apa hubungi saja aku!" 

Shanum paham temannya pasti sedang dalam keadaan suasana hati yang tak bisa diganggu oleh siapapun.

"Eh Sha, bos ke mana?" Omar berbisik.

"Mana aku tahu," jawab Shanum dengan wajah yang malas.

"Jangan-jangan bos… mau bunuh diri karena belum ketemu jodoh." Omar menutup mulutnya.

"Hush. Sembarangan. Jangan seperti itu ngomongnya. Memangnya kamu mau jadi pengangguran?"

Omar menggelengkan kepala. Beberapa rekan kerja mereka yang lainnya juga ikut tertawa.

Balqis masuk ke dalam mini Cooper dan melampiaskan kemarahannya dengan mengemudi ugal-ugalan di jalan. Dia tidak ingin pulang ke rumah karena pertanyaan yang sama akan dilayangkan oleh orang tuanya. 

"Hiks… hiks… hiks… kenapa tidak ada yang mengerti perasaanku?" Balqis membenamkan kepalanya pada setir mobil ketika lampu merah menyala.

Sejak saat itu Balqis lebih banyak diam dan jarang ikut sarapan. Ia juga memutuskan untuk menyewa apartemen di dekat tempat kerjanya. Alasan pekerjaan pula yang diberikan Balqis pada orang tuanya.

Pemandangan kota yang begitu memukau mata saat pagi hari cukup menenangkan pikiran. Mungkin itu adalah solusi terbaik untuk bisa menyelamatkan perasaan dari kesedihan berkepanjangan. Namun, ia masih merutuki kesendirian itu.

Ponsel berbunyi di atas nakas. "Hallo…." Ia duduk di atas sofa dan menatap ruangan serba putih. Tidak memiliki sekat dinding antara tempat tidur, dapur dan ruang tamu. Namun, semuanya tampak elegan dan sesuai dengan kemauan Balqis.

Shanum hanya mengingatkan Balqis kalau nanti mereka akan bertemu dengan Aldo dan mamanya. Tentu Balqis harus bersiap-siap terjerat bayangan masa lalu yang mengorek luka lama.

Aldo bersama ibunya lebih tertarik untuk bertemu di coffee shop dekat kantor Wedding Projects. Tempatnya yang cozy dan mengusung tema rustic memberikan kesan hangat dan romantis.

Balqis bersama Shanum masuk ke dalam coffee shop. Aroma coffee yang baru diseduh menjadi parfum alami, menyebar ke seluruh ruangan. Ia melihat Aldo yang ketampanannya tak pernah luntur oleh umur apalagi dengan kemeja putih dan celana biru navy sungguh memancarkan aura positif.

Ibu Aldo tersenyum saat menatap Balqis. Ia merapikan baju gamis panjang dan sanggulnya yang ditata dengan sangat baik. "Ayo silahkan duduk!”

Mereka saling berhadapan di dekat jendela transparan. Matahari pagi memantul dari luar. Balqis meletakkan beberapa berkas portofolio di atas meja kayu bundar. 

"Cantik." Satu kata yang dikatakan oleh ibu Aldo saat menatap Balqis. Bagaimana tidak gadis itu mematut dirinya dengan make up hampir dua jam sebelum pertemuan itu diadakan.

Aroma vanila yang kuat juga singgah dan menyeruak di ruangan saat Balqis duduk. Berpadu dengan wangi musk dan kopi.

Balqis lalu merapikan rok hitam selutut dan blouse orange. Rambutnya yang diblow dibawa ke belakang telinga. Ia memperbaiki posisi duduk agar menampilkan kesan elegan dan sopan.

"Terimakasih." Shanum melingkarkan rambut bobnya ke belakang telinga. Ia tidak seperti Balqis selalu menampilkan sisi feminim. Shanum lebih suka memakai celana jeans dan blazer hitam simple.

Padahal Ibu Aldo sebenarnya melontarkan kata cantik itu untuk Balqis bukan Shanum. Namun, Shanum tahu Balqis pasti akan menyia-nyiakan pujian itu dengan mengabaikan begitu saja.

"Perkenalkan saya Balqis, Wedding Planner di Wedding Projects. " Balqis memberikan kartu nama pada ibu Aldo.

"Senang bertemu dengan kamu. Saya Ana." 

"Tante Ana, kami ada beberapa pilihan untuk konsep pernikahan ini, silahkan dilihat dulu!" Balqis menyodorkan portofolio berisi beberapa pilihan konsep.

Aldo hanya memasang wajah senyum. Sesekali ia curi pandang pada Balqis. Dia merasa masih tidak asing dengan wajah ayu dan tidak bosan bila dipandang terus menerus.

"Mama juga setuju dengan Nina, ini lebih baik secara konsep."

Aldo masih melamun menatap Balqis.

"Al…." Ana mengerutkan keningnya dan melirik ke samping.

"Iya ma, Aldo akan setuju apapun keputusan mama…" Aldo tidak fokus melihat konsep yang ada di portofolio itu.

"Memang secara konsep ini bisa untuk acara akad dan juga resepsi. Untuk warna dekorasi atau bunga klien juga bisa request. Bisa warna pink atau merah," tegas Balqis.

"Tante lebih suka warna putih, lebih sakral. Tapi, Nina bagimana Al?"

"Nina juga tiga hari yang lalu bilang ingin konsep pernikahan warna putih, ma."

Pesanan dua cangkir kopi panas datang bersama dua buah cheese cake yang menggugah selera. Balqis pun memesan hal yang sama pada pelayanan pria yang menggunakan celemek hitam.

Suasana di dalam coffee shop itu cukup tenang karena masih pagi udaranya cukup segar. Sehingga tidak terlalu banyak orang yang datang. Etalase di samping meja kasir yang menyuguhkan cake berbagai macam kreasi dan rasa juga tetap utuh.

Ana seringkali melirik ke arah etalase cake itu sambil menelan salivanya.

"Jadi bagaimana Tante? Apa sudah sepakat akan menggunakan konsep pesta taman untuk akad dan resepsi dengan nuansa putih?"

"Saya rasa  mawar putih yang segar untuk dekorasi pestanya lebih cocok," tambah Ana.

"Untuk lamarannya bagaimana? Apa nanti akan bernuansa putih juga atau bagaimana?" tegas Balqis sekali lagi.

"Mama sih maunya dari lamaran sampai resepsi nuansa putih, itu lebih sakral Al."

"Nina pasti setuju ma." Aldo masih menatap ponselnya.

Pembicaraan itu memakan waktu hingga dua jam lebih. Mereka mengobrol mulai dari rencana pernikahan Aldo hingga hal pribadi. Balqis juga bisa melupakan sejenak kebencian pada Aldo.

"Sudah lama jadi Wedding Planner, Qis?" tanya Ana penasaran.

"Sekitar lima tahun Tante." Balqis menyeruput kopi panas untuk menghangatkan tenggorokan.

"Hebat sekali, masih muda sudah bisa sesukses ini."

"Semua ini tidak didapatkan dengan instan, Tante. Selama 29 tahun mungkin ini adalah hal yang paling membanggakan dalam hidup, saya bisa menjadi wedding planner yang membantu mensukseskan pernikahan banyak orang."

Balqis mulai menyadari omongannya yang spontan itu bisa menyeretnya pada mara bahaya. Ia melotot ke bawah berharap Ana tidak akan bertanya soal statusnya.

"Wow, kamu sudah bisa sesukses ini dengan usia yang masih muda. Apa kamu sudah menikah?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status