Share

Sulit Move On

"Apa kamu juga akan menikah denganku secepat ini kalau tidak didesak mamaku? Berapa kali aku melamarmu dulu, tapi kamu seringkali menolak. Aku sudah lama bersabar." Aldo melotot dengan suara beratnya yang naik satu oktaf.

Keduanya bertengkar tanpa peduli dengan orang yang ada di sekitar. Balqis sungguh iri dengan keduanya yang akan menikah. Sementara dirinya, satu lelaki pun tidak ada yang mendekati apalagi melamar.

"Ehem. Jadi bagaimana dengan konsep pernikahan yang kalian inginkan?" Balqis mencoba mengembalikan keadaan supaya tidak tegang.

"Sorry, saya…." Aldo meredakan amarahnya dengan tersenyum dengan Balqis.

"Terserah kamu saja. Aku ada meeting. Balqis tolong urus pernikahanku!" Karinina beranjak pergi tanpa berpamitan dengan Aldo.

"Sumpah, ini lebih tegang dari pertengkaran klien kita yang pertama tadi!" bisik asisten Balqis.

Aldo mengepalkan tangan, memejamkan mata, dan menghembuskan nafas. "Atur saja jadwal pertemuan kita  selanjutnya. Nanti saya akan membawa mama untuk membahas konsep pernikahan ini."

"Apa kalian sudah menentukan hari pernikahan?" Balqis mengambil pulpen dan buku catatannya.

"Ya, keluarga saya dan keluarga pacar saya sudah sepakat pernikahan ini akan dipercepat enam bulan dari sekarang. Pada awalnya memang kami berencana satu tahun untuk persiapan pernikahan tapi…." 

Semua orang menunggu lanjutan ceritanya, tapi Aldo sontak sadar tidak sepantasnya dia menceritakan masalah pribadi pada orang lain.

"Tolong atur saja waktu pertemuan ini. Saya juga harus mendengar keinginan mama untuk acara pernikahan kami."

Ternyata Aldo sangat sayang dengan ibunya, tapi kenapa dia bisa begitu jahat dulu. Gumam Balqis sembari melamun lagi menatap Aldo. Pulpen yang dicoret di atas kertas pun sampai patah.

"Qis…" Lirik asistennya. "Balqis memang kadang-kadang seperti ini, tremor. Biasa penyakit orang cantik." Shanum mencoba menciptakan senyum di wajah Aldo.

Balqis melotot ke arah Shanum. "Tidak, saya… baik nanti kami akan atur kembali jadwal pertemuan itu." Balqis ingin cepat-cepat Aldo pergi dari hadapannya.

"Kalau begitu saya pergi dulu. Jam istirahat saya juga sudah selesai." Aldo mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Balqis.

Balqis berlalu dari hadapan Aldo. Dia tidak sudi bersalaman dan berlama-lama bersama pria itu. Ia juga cukup senang menyaksikan pertengkaran yang terjadi antara Aldo dan Karinina. 

"Terimakasih karena mempercayakan kami untuk mengurus pernikahan kalian." Shanum asisten Balqis yang menyalami Aldo. Dia cengar-cengir agar Aldo melupakan apa yang dilakukan oleh Balqis.

Aldo segera melepaskan tangannya dari Shanum. Wanita dengan rambut bob dan memiliki  kulit sawo matang serta tingginya sebahu Aldo itu juga mengedipkan sebelah mata. Bahu Aldo sontak meremang. 

Pintu juga tiba-tiba dibuka oleh Omar, pria gemulai itu melentikkan jemari seraya mengedipkan sebelah mata pada Aldo. Tampang Omar yang santai dan seperti lelaki pada umumnya menyimpan jiwa feminim yang begitu menggelora.

Omar juga memberikan kiss bye dari jauh pada Aldo yang masuk ke dalam BMW hitam di tengah rintik hujan. "Orang-orang yang aneh." Aldo tidak mengerti kenapa Karinina ngotot ingin bekerjasama dengan wedding planner itu.

"MAR!" Shanum memekik Omar untuk menghampiri dirinya.

"Aw, aku baru lihat ada pria yang tampannya maksimal seperti itu. Aw, aku jadi ingin membawanya pulang." Omar memegang kedua wajahnya. "Hidungnya mancung, matanya bulat, tubuhnya wangi, tinggi, putih bersih, bikin candu dipeluk." Omar memegang dagunya.

"Memang dia suami yang Perfect. Terus sayang sama ibunya dan dia adalah dokter." tambah Shanum

"AW…." teriakkan itu cukup mengusik Balqis.

Hujan juga tiba-tiba reda mendengar suara teriakan yang menggelegar di penjuru ruangan. Mereka berdua tidak peduli dengan para pekerja yang sedang beraktivitas di sana.

"Kenapa kalian berdua berteriak seperti itu?" Balqis juga ikut terusik dengan suara ribut dari luar ruangannya.

"Itu loh bos cowok yang tadi, perfect husband ya kan Sha?" Omar menepuk bahu Shanum.

"Perfect husband? Hahaha." Balqis tertawa dan perlahan mengeluarkan air mata.

"Sha, bos kenapa? Kesurupan?" bisik Omar pada Shanum.

"Qis, kenapa kok nangis?" tanya Shanum.

"Kalian tahu siapa dia?"

Shanum dan Omar menggelengkan kepala. 

"Dia pria yang dulu pernah membully aku waktu SMA dan dia penyebab aku pindah sekolah sampai aku takut berkomitmen dengan pria lain."

"Ya ampun jahat banget sih dia bos. Jadi menyesal aku respect sama dia." Omar menyilangkan tangan.

"Pantas saja sikap kamu aneh tadi, oh ternyata ini masalahnya. Memangnya dia separah itu ya dulu? Tapi mungkin saja dia sudah berubah."

"Walaupun dia sudah berubah, tapi dia tidak bisa mengubah masa lalu. Sakit hati itu tidak bisa disembuhkan begitu saja."

"Apa kita cancel saja project ini? Tadi aku lihat dia dengan pacarnya juga tidak terlalu akur."

"Tidak, kita lanjutkan saja, toh dia tidak mengenal siapa aku."

"Memangnya seberapa parah perbuatan yang dia lakukan sampai bos benci dengan pria tampan itu?" Omar penasaran.

"Dia pernah meludahi wajahku di depan satu sekolah."

Omar menutup mulutnya. "Itu lebih dari sadis bos. Nilainya berkurang jadi nol. Aku tidak akan pernah lagi mengidolakan pria itu. Dia sungguh menjijikan." Omar beranjak dari tempat duduk.

"Om eh maksudnya Mar, tutup mulutmu rapat-rapat. Jangan ceritakan ke siapapun!" Balqis memohon.

"Ada uang tutup mulut kan bos?" Omar berputar layaknya model berharap Balqis bermurah hati.

Shanum mengisyaratkan pakai mata untuk menyuruh Omar pergi. Balqis bisa saja menggaungkan suara singanya pada Omar.

"Sha, aku ke sebelah dulu." 

Balqis memang selalu seperti itu. Jika ada masalah pasti dia akan pergi ke tempat Hanum penjual berbagai bunga. Selain ingin curhat, aroma bunga alami cukup bisa merilekskan dirinya dari terpaan masalah yang kian tak tentu arah.

"Qis ada apa?" Hanum berhenti menata bunga di dalam buket.

"Aku tidak mengganggumu bukan?" Balqis hanya ingin memastikan 

"Tidak, ayo duduk." Hanum menyimpulkan rambutnya dengan ikat karet. Ia pun meletakkan celemek bunga-bunga di sofa orange tempat mereka duduk.

Hanum sudah tahu apa yang ingin dikatakan Balqis. Ia merapatkan dress-nya yang berwarna ungu. "Apa kamu masih tidak bisa melupakan dia?" tanya Hanum dengan hati-hati.

Balqis merapatkan baju. Angin selepas hujan cukup membekukan kulit. "Aku bertemu dia tadi, Han." Balqis hampir menitikkan air mata lagi.

"Apa dia pria tampan tadi?"

"Kenapa dia harus datang di saat keadaanku seperti ini? Dia seperti ingin mengejek kesendirianku."

"Kamu memang harus lepas dari trauma itu. Mungkin sudah saatnya kamu lepas dari trauma itu sekarang. Mungkin Tuhan mempertemukan kalian kembali untuk menyelesaikan masalah itu."

"Jadi apa yang harus aku lakukan Han?"

"Temukan seseorang yang lebih baik dari dia. Mungkin sudah saatnya kamu membuka hatimu untuk orang lain."

Balqis diam. Menatap lamat-lamat wajah temannya. "Aku… aku…."

"Kamu pasti sangat tersiksa dengan pertanyaan 'kapan nikah' bukan? Qis kamu punya teman-teman yang siap membantu, kamu tidak sendiri."

Teman-teman dekat Balqis memang sudah menikah semua. Shanum menikah sejak tiga tahun yang lalu. Sementara Hanum juga baru menikah setahun. Begitu pula dengan orang-orang terdekat. Mereka yang seumuran dengannya sudah punya suami dan anak.

"Bagaimana bisa aku membuka hatiku untuk orang lain sementara dia akan selalu ada di pandangan mataku sekarang?" Balqis memegang jidatnya.

"Apa kamu masih menyimpan rasa cinta pada dia?" lontar Hanum.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status