Ia mengembalikan ponselku dengan 12 digit nomor ponselnya. Dengan hati yang berbunga-bunga ,aku segera menyimpan nomornya.
Dara Chubby. Begitu namanya kusimpan."Oke, Mas mau. Nanti Mas ajak juga teman-teman Mas," jawabku mantap."Siiip! Aku masuk dulu, ya. Sampai jumpa."Ia memutar tubuhnya membelakangiku, lalu perlahan menjauh memasuki gerbang rumah. Rambut hitam panjangnya yang dikuncir kuda masih terbayang hingga ia menghilang.Ah! Sepertinya aku jatuh cinta pada pandangan pertama.Tiga bulan berkenalan dengan Dara, aku memantapkan hati untuk menikahinya. Tak ada proses pacaran seperti yang aku lakukan beesama Sarah, tapi dari kedekatan itu aku bisa tahu dan merasa kalau dia memiliki rasa yang sama. Sebelum mengutarakan niatku padanya, terlebih dulu aku meminta restu Ibu."Ibu keberatan, Rul. Kenapa tidak dengan Sarah saja? Jelas-jelas kita sudah kenal lama. Katamu Dara itu anak bungsu dan dari keluarga berada, kan"Maafkan aku, Bu. Ada beberapa hal yang tidak bisa aku ceritakan pada Ibu. Ibu tetap bisa dekat dengan Sarah, tapi tak bisa menjadikan dia menantu. Bukan dia yang aku inginkan menjadi teman hidup. Aku mohon, restui Dara menjadi bagian keluarga kita ya, Bu." Aku bergerak meraih tangan Ibu, lalu menciumnya takzim.Ibu mengela napas, tangannya mengelus rambutku pelan."Menikahlah. Menikahlah dengan pilihan hatimu, Rul. Kamu yang akan menjalani, semoga semua hanya kekhawatiran Ibu saja. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk anak-anak Ibu."Aku mengongakkan kepalaku. Ibu tersenyum dengan setetes air di kedua sudut mata keriputnya."Terima kasih, Bu. Terima kasih banyak atas doa Ibu." Sekali lagi kucium tangan yang sudah membesarkanku itu dengan takzim, tangan yang telah berlelah-lelah menjagaku dalam kebaikan."Sama-sama, Rul. Semoga kamu bahagia selalu ya, Nak. Besok suruh Dara ke sini, dia harus tahu aturan yang berlaku di keluarga kit
Satu minggu setelah hasil testpack dengan tanda tambah, kami berangkat memeriksakan diriku ke dokter spesialis kandungan. Jarak yang cukup jauh membuat kami harus berangkat pagi. Ya, aku kekeh tidak mau periksa dengan Sarah ketika Ibu mengusulkan, titik!Kali ini Nada kuajak, tentu saja sepaket dengan Ibu. Pulang nanti rencananya sekalian mau mampir ke rumah Mama, kebetulan Kakakku Dino sedang pulang kampung.Saat kami berangkat tadi, Mbak Nira mengantar hingga mobil dengan wajah cerah. Ada apa, ya? Bukannya saat itu dia terlihat murung mengetahui kehamilanku?"Usianya sudah 10 minggu, Bu Dara. Jaga kesehatan, jangan capek-capek, dan yang terpenting jangan stres," pesan Bu Dokter yang bernama Rini padaku. Senyumnya sangat manis."Baik, Dok," jawabku singkat."Ini saya resepkan vitamin, diminum setiap hari. Bulan depan silahkan datang lagi." Dokter Rini mengulurkan selembar resep padaku."Terima kasih, Dok. Kami permisi."
"Nggak usah, Bu. Nanti aja tunggu Mas Nasrul pulang," tolakku halus.Mas Nasrul tadi pamit ke rumah Pak Joko, orang yang menggarap kebun sawit kami."Ndak apa-apa. Nanti cucu Ibu ileran. Ayo Nada, ikut Uti jajan mie ayam. Tapi nanti ndak minta ciki-ciki, ya?" Ibu mengajak Nada berbicara, Nada hanya membalas dengan kekehannya."Mie ayam aja?" tanya Ibu mengeratkan tali gendongan."Iya, Bu. Kalau boleh sama es, sih," jawabku pelan, tepatnya takut-takut."Ndak! Ndak boleh. Es di sana ndak sehat, pakai sari manis. Nanti Ibu buatkan jus buah aja. Di kulkas masih banyak buah." Dengan cepat Ibu menjawab, kemudian meninggalkanku yang sedang bermalas-malasan."Assalamu'alaikum," ucap Mas Nasrul sambil memasuki rumah."Wa'alaikumsalam, udah pulang, Mas?" tanyaku heran, cepat sekali pulangnya."Iya, Pak Joko lagi pergi ke rumah besannya," jawab Mas Nasrul menghenyakkan pantatnya ke kasur di sampingku."S
"Mau tau jenis kelaminnya, Bu?" tanya Dokter Rini menggerak-gerakkan doppler di atas perutku yang mulai membuncit."Udah keliatan, Dok? Anak pertama saya kemarin usia kandungan segini belum keliatan." Gambar di layar menunjukkan janinku yang sedang bergerak lincah."Udah, cowok, ya." Dokter Rini tersenyum, lalu kembali menggeser doppler ke sisii perut lainnya. " Setiap kehamilan itu berbeda-beda, ada yang sampai mau melahirkan tak pernah tau jenis kelamin janinnya. Biasanya karena posisi sang janin yang mempersulit terdeteksinya jenis kelamin. Nah, ini tugu monasnya." Layar dizoom, mataku mengikuti arah telunjuk Dokter Rini."Bagus. Air ketuban oke, janin aktif, semua oke. Vitaminnya jangan lupa diminum, ya." Pemeriksaan selesai, Dokter Rini kembali ke meja kerjanya.Sekembalinya dari kontrol kami mampir ke pasar kecamatan, belanja aneka kebutuhan untuk yasinan di rumah besok malam.Di sini, setiap malam jum'at diadakan yasinan bergi
"Kalau gitu kopinya buatku aja," ucapku mengambil cangkir kopi di tangannya, kemudian beranjak menuju kasur di depan televisi yang sedang menayangkan kisah pelakor."Mbak! Tapi-""Ssst! Nggak usah ganjen! Mas Nasrul itu suamiku, kalau pun dia mau minum kopi, pasti mintanya ke aku. Jangan sok care! Dari mana kamu tau kalau Mas Nasrul masih minum kopi?" Aku menyeringai kecut menatapnya yang tergagap."Setauku dia suka kopi," jawabnya pelan menatap foto pernikahan kami yang terpasang di sisi dinding kamar bagian luar."Bahkan kamu aja nggak tau kalau Mas Nasrul sebenarnya nggak pernah suka kopi. Dia nggak suka minum manis kalau kamu mau tau, tau kenapa? Karena bersamaku hidupnya sudah manis. Jadi, berhentilah mencari cara untuk kembali dekat dengannya. Jangan menguji kesabaranku. Kau tak kenal siapa Dara sebenarnya." Kutatap kedua netranya yang menatapku tajam, semburat kemarahan berbayang di di dalam sana."Sayang, Mas bawa … Ada apa ini?"
Permintaannya saat awal kehamilan kembali terngiang di telingaku."Gimana, Rul, Dara? Boleh, kan, Mbak mengangkat Nada jadi anak Mbak? Kamu, kan, sudah hamil lagi, bakal punya anak lagi." Mbak Nira tersenyum sumringah saat mengutarakan niatannya itu.Aku dan Mas Nasrul serentak saling memandang. Duh! Gimana bilangnya, ya? Masa iya anakku mau main ambil."Emm … Mbak, bukannya nggak boleh. Mbak, kan, rumahnya nggak deket, jadi kami bakal susah untuk ketemu Nada nantinya. Kecuali kalau Mbak tinggalnya di rumah ini, ya nggak apa-apa."Mas Nasrul angkat suara setelah lama menjadikan hening sebagai pengisi waktu."Lha! Kalau di sini namanya bukan anak angkat Mbak, dong. Berarti Mbak cuma ngasuh. Nada tetap anak kalian." Mbak Nira bersungut-sungut tak terima dengan perkataan Mas Nasrul. "Ya, gimana lagi, Mbak. Kami juga nggak bisa berpisah dari Nada. Apalagi usianya masih kecil." Mas Nasrul kembali memberi pengertian kepada s
"Mas, kayaknya ada yang sengaja mau nyelakain aku, deh," ujarku memberitahu Mas Nasrul.Setelah tragedi terjatuh di depan kamar mandi, Mas Nasrul membawaku ke kamar. Beruntung kandunganku tak bermasalah, maksudku tak sampai terjadi pendarahan atau semacamnya, hanya perut dan punggungku yang masih terasa sedikit sakit. Meski begitu aku memaksa untuk memeriksaka diri ke Dokter Rini esok hari."Masa, sih? Jangan suudzon, ntar malah jadi fitnah," nasihat Mas Nasrul menyerahkan segelas susu padaku."Felling aku nggak mungkin salah, Mas. Yang basah di pantatku kemarin itu minyak sayur, aku belum sempet pipis. Botolnya juga ada di dekat pintu belakang." Aku kekeh dengan pendirianku."Tapi, siapa, Ra, yang tega dan sengaja lakuin itu ke kamu?" pungkas Mas Nasrul."Nggak tau, yang pasti orang itu nggak suka sama aku. Makanya harus kita selidiki sampai ketemu." Aku memukul-mukul bantar lantas mengaturnya supaya nyaman untuk digunakan bersanda
Aku tersentak. Ingatanku tertuju pada botol minyak yang terletak di samping pintu belakang. Semalam pintunya sedikit terbuka, dan lampu belakang yang menyala terang memberikanku sebuah bayangan yang kuyakini seorang wanita. Karena apa? Selain bayangan, juga terlihat sebuah tangan dengan luka baret di punggungnya, meski sekilas tapi aku tahu tangan itu milik seorang wanita.Setelah menggosok gigi dan cuci muka, aku menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Kubangunkan Mas Nasrul untuk menjadi imamku."Nggak kerja, Rul?" tanya Ibu begitu Mas Nasrul ke luar kamar hanya dengan jeans dan kaos."Nggak, Bu. Mau periksakan kandungan Dara, pinggang dan perutnya masih sakit."Lamat suara mereka dapat kudengar dari balik dinding kamar. "Periksa sama Sarah aja kenapa, sih, Rul? Ngabisin duit aja, ke Dokter itu lebih mahal. Jauh pula."Kudengar Mbak Nira ikut bersuara.Ada apa, sih, dengan Mbak Nira? Kenapa dari semalam sikapnya ket