Share

6| Jebakan di Rumah Kakek

Eryk terbangun sambil menjerit. Keringat mulai mengering di dahinya dan lengannya merinding. Dia bisa melihat napasnya di bawah lapisan kain tenda yang membentang di antara dahan-dahan di atasnya. Selagi duduk, pohon itu berderit dan sarang tempatnya berbaring goyang sedikit. Burung hantu putih bergegas menjauh dari tangan Eryk.

“Kebetulan,” gumam Eryk. “Ini pasti hanya kebetulan.”

“Ada apa?” tanya White. Dia mendarat dari dahan di atas kepala Eryk dan menghampirinya di samping pemuda itu.

Eryk memejamkan mata dan membayangkan cincin emas dengan simbol yang sangat khas pada jari pria pucat yang menyerangnya.

“Katakan padaku, White. Bagaimana aku bisa kembali ke sini? Bukankah terakhir aku diserang di trotoar di tengah Kota Rockwool?”

“Yeah, kau pingsan setelah segerombolan pria melemparkanmu dari ketinggian. Aku dan kawan-kawan berusaha menangkapmu dan mendaratkanmu di trotoar. Tapi setelah itu, kau menjerit-jerit ketakutan seperti orang gila dan setelah itu lagi kau kembali pingsan tak sadarkan diri.”

“Tidak!” Eryk menggeleng. “Tidak seperti itu yang terjadi. Pria itu... dia datang menghampiriku dengan sosok roh summon di dalam kabut.”

“Pria itu?” White memiringkan kepalanya. “Pria yang mana, Eryk?”

Eryk termenung. “Saat itu kupikir aku tak mengenalnya. Tapi sekarang aku yakin pernah melihat orang itu di suatu tempat. Aku hanya perlu memastikannya,” ujar Eryk yang tiba-tiba berdiri hingga kepalanya membentur salah satu dahan pohon.

“Aw!” teriak Eryk sambil mengusap-ngusap kepalanya yang terasa berdenyut. “Dahan pohon sialan!” umpatnya.

White hanya melirik pada Eryk. “Ini salahmu sendiri. Sudah kukatakan untuk tinggal di bawah, tapi kau berkeras ingin membuat sarang di atas sini. Kau manusia, Eryk, bukan burung seperti kami.”

Saat Eryk mengintip ke luar celah sarang yang dia buat di atas pohon, dia menyadari bahwa hari masih gelap. Dia kembali berbaring tapi tak bisa tidur, tidak dengan bayangan pria itu yang melemparkan gema samar ke dalam benak Eryk.

Eryk menyibakkan selimut dan membiarkan matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan. Sarang itu berupa rumah panggung di atas pohon melintang sepanjang tiga meter. Terbuat dari patahan balok kayu dan jalinan ranting. Dengan tingkap di lantai yang dia buat menggunakan selembar plastik bergelombang. Lebih banyak lagi ranting yang dijalin mengelilingi tepian sarang dengan bagian-bagian berpapan yang dia pulung dari tempat pembangunan. Dari atap sampai pintu dia lapisi dengan plastik dan kain tenda bekas.

Tidak banyak harta benda yang Eryk simpan di dalam sarang itu. Hanya ada ransel yang sempat dibuang bersama tubuhnya oleh dua pria yang menculiknya ketika meninggalkan bandara.

Di dalam sarang dingin, terutama saat musim salju, tapi kering. Ketika White pertama kali membawa Eryk ke taman tua ini enam bulan yang lalu, mereka bermukim di rumah pohon terbengkalai di cabang lebih rendah. Tapi, begitu Eryk menyadari bahwa tempat itu terlalu rendah dan mudah dijangkau oleh orang yang mungkin lewat di bawah, Eryk memanjat lebih tinggi dan membangun sarangnya sendiri di atas—jauh di atas dunia.

Eryk melepas kait di sisi terpal dan menariknya ke samping. Setetes hujan memercik tengkuknya dan dia bergidik. Bulan di atas taman berupa irisan tipis di langit tak berawan. White bertengger di dahan di luar, tak bergerak. Bulu putihnya keperakan di bawah cahaya bulan. Kepalanya berputar dan mata pucatnya yang tajam tampak tertuju ke arah Eryk.

Eryk menghirup aroma kota; asap mobil, jamur, dan sesuatu yang mati di got. Tadi hujan, tapi hujan sederas apa pun tak akan bisa membuat Rockwool tercium bersih.

Perut Eryk bergemuruh, tapi dia lega dengan rasa laparnya. Lapar membuat indranya menajam, mendorong kengerian ke belakang kepalanya, ke bagian yang berbayang-bayang. Dia membutuhkan udara segar. Dia harus menjernihkan kepala.

“Kamu pergi cari makan?” White mulai berbicara.

“Ada yang lebih penting dari sekedar makan. Malam ini aku akan kembali ke rumah kakekku di Black Lake.”

Burung hantu putih itu tampak terkejut. “Kau yakin? Setelah enam bulan berlalu? Apa kau mulai berubah pikiran dengan datang ke sana dan merebut kembali tempatmu dari pamanmu yang menyebalkan itu?”

“Tidak, White. Belum waktunya aku merebut kembali apa yang mereka ambil dariku. Aku harus mengumpulkan kekuatan dan mencari strategi untuk mendapatkannya kembali tanpa membahayakan nyawaku.”

White tampak kesal. “Aku sudah menawarkan cara termudah padamu. Lakukan perjanjian denganku. Tukar jiwamu dengan kekuatan yang akan aku berikan kepadamu. Tapi, kau terus menolaknya.”

“Tidak, White. Tawaran yang kau berikan terlalu tidak masuk akal. Meskipun di sini, di Rockwool, aku sering melihat para summoner, tapi yang aku saksikan hanya kengerian dalam kehidupan mereka. Hidupku sudah cukup ngeri. Aku tak ingin berakhir seperti mereka. Kau lihat, jika saja kemarin mereka tahu bahwa aku adalah seorang summoner, mungkin sekarang aku sudah tak ada di sini bersamamu.”

“Kau terlalu penakut, Eryk,” sindir White. “Dan yang lebih menyebalkan, kau meremehkan kekuatanku sebagai roh summon. Mencobanya pun kau bahkan belum pernah.”

“Yeah, mungkin. Aku terlalu penakut. Bahkan untuk menghadapi pamanku pun aku terlalu takut hingga harus melarikan diri seperti ini. Tapi, mimpi buruk itu mengusikku. Aku perlu memastikan sesuatu. Aku akan kembali ke rumah kakekku atau mungkin datang ke makamnya, entahlah yang manapun itu selama bisa menjawab rasa penasaranku.”

“Apakah tentang sosok berambut hitam yang muncul di dalam mimpimu?”

“Bagaimana kau tahu? Kau mengatakan bahwa sosok itu tidak nyata dan tidak hadir saat aku terjatuh di trotoar?”

“Oh, ayolah, Eryk. Kau mengucapkannya berulang-ulang dalam tidurmu. Sepanjang kau mengigau, kau terus-menerus menyebut ciri-cirinya, terutama matanya yang berlubang seperti malam.”

Eryk tertegun di dahan pohon tertinggi di luar sarangnya. Dia sudah siap melompat ke bawah tapi ragu-ragu. Dari ketinggian pohon tua di taman terbengkalai yang sudah lama gerbangnya tak pernah dibuka itu, Eryk bisa menatap ke kejauhan. Dia bisa melihat batas-batas yang memenjarakan Kota Rockwool.

Dahulu, Eryk tidak pernah berpikir bahwa Kota Rockwool benar-benar ada. Selama masa Eryk kanak-kanak, dia tinggal di Kota Black Lake yang mewah dengan segala modernitasnya. Orang-orang beberapa kali menyebut nama Rockwool, tapi tak benar-benar pernah datang ke sana. Mereka hanya mengatakan Rockwool adalah tempat pembuangan limbah terbesar. Rockwool adalah tempat pembuangan segala bentuk kotoran dari kota-kota yang ada di sekitarnya.

Oleh karena itu, para pembesar kota membuat dinding batu yang sangat tinggi untuk mengelilingi Rockwool. Dinding batu itu dibuat untuk menutupi segala bentuk kotoran dan sampah yang ada di dalam Rockwool agar tak merusak pemandangan.

Eryk tidak pernah tahu jika ternyata Rockwool adalah sebuah kota dan banyak dihuni oleh manusia. Lebih mengejutkan lagi, Eryk tidak mengira jika manusia-manusia yang tinggal di Rockwool adalah orang-orang dengan kekuatan khusus seperti para summoner.

Tepat di samping taman bermain tua terbengkalai yang kini menjadi tempat tinggal Eryk, ada sebuah penjara terbesar dan terkuat yang sengaja dibangun di Rockwool. Penjara itu dibuat khusus untuk menahan para manusia dengan kekuatan super. Penjara itu juga dijaga oleh para summoner dengan kemampuan khusus. Tidak sembarang orang bisa masuk dan keluar ke sana dan tentunya hanya para penjahat yang sangat mengerikan yang dikirim ke sana.

“Bagaimana caramu kembali ke Black Lake?” tanya White. “Jelas tidak sembarang orang bisa keluar meninggalkan Rockwool dengan penjagaan super ketat. Para penjaganya adalah summoner dengan kekuatan superior.”

“Itulah yang telah kita pelajari selama enam bulan terakhir, bukan? Dan tanpa kau tahu, aku memikirkan satu cara yang paling mudah, yakni melalui tempat pembuangan akhir.”

“Kau gila? Kau mau berjalan merangkak melalui saluran pembuangan dan melintasi Kota Rockwool menuju ke Black Lake? Kau pikir di bawah gorong-gorong sana tidak ada pelindung?”

“Tidak, White. Aku tidak harus pergi melalui tempat menjijikkan itu. Aku hanya perlu naik ke truk pengangkut sampah yang akan pergi ke Black Lake. Kau akan ikut denganku?”

“Tidak, Eryk Wayland!” ujar sang burung hantu dengan ketus. “Aku tak pernah meninggalkan Rockwool sepanjang hidupku. Tempatku di sini. Aku hanya akan ikut denganmu jika kau mau mengikat perjanjian denganku. Serahkan jiwamu padaku, maka aku akan terus mendampingimu ke mana pun kau pergi.”

“Jadi, siapa yang penakut di sini?” sindir Eryk.

Eryk melirik sekilas pada White sebelum melompat dengan suara kecipak saat dia menginjak genangan air hujan.

Eryk berteriak pada white yang masih bertengger di atas pohon. “Tidak sekarang, White. Tidak ada kontrak! Aku bisa pulang dan menghadapi semuanya sendiri. Tunggulah di sini. Dalam beberapa hari aku pasti akan kembali.”

***

Tengah malam itu, Eryk kembali ke tempat pembuangan akhir. Dia menyelinap diam-diam menuju ke tempat parkiran truk pengangkut sampah. Ketika para petugas pengangkut sampah dengan wajah kantuk mulai berdatangan dan mengemudikan truknya, Eryk tiba-tiba menyelinap masuk ke dalam bak belakang.

Eryk bisa mendengar dan merasakan truk mulai melintasi gerbang pertama. Gerbang itu yang menjadi pemisah antara Kota Rockwool dengan kota lain di luarnya.

Eryk mengintip melalui bak truk yang sedikit berlubang karena karatan. Seorang summoner penjaga gerbang dengan anjing summon di tangannya memeriksa truk yang akan pergi meninggalkan tempat pembuangan akhir.

Anjing summon itu terlihat seperti anjing neraka. Bulu-bulunya dipenuhi dengan api yang menyala-nyala. Matanya sangat bengis dengan taring-taring tajam serta terus menyalak.

Eryk mundur karena saking terkejutnya dengan salakan anjing itu. Dia segera meraupi wajah dan tubuhnya dengan kotoran untuk menyamarkan bau. Eryk tak ingin tertangkap oleh anjing neraka itu atau dia akan berakhir sebelum bisa keluar dari sana.

Sang petugas memutari truk tempat Eryk bersembunyi sebanyak dua kali untuk memastikan tak ada sesuatu yang janggal. Ketika petugas itu memberi perintah pada sang sopir untuk melaju, Eryk segera merebahkan diri dengan terus menahan napas. Aroma busuk dan lindi basah yang masih menempel di truk dan tubuhnya membuat Eryk mual dan ingin muntah. Tapi, dia berusaha menahannya.

Satu jam kemudian truk pengangkut sampah tiba di Kota Black Lake dan mulai bekerja mengangkuti sampah-sampah di kota. Truk berbelok ke sebuah taman bermain. Saat petugas pengangkut sampah berhenti untuk memunguti sampah-sampah, Eryk diam-diam menyelinap keluar.

Petugas pengangkut sampah merasakan sesuatu yang aneh dengan suara berisik di truknya. Dia berusaha memeriksa tepat ketika Eryk menggelinding ke kolong truk.

“Paling itu hanya tikus!” ujar rekannya yang duduk di bangku kemudi.

Ketika truk sampah melaju menuju ke tempat perhentian berikutnya, Eryk sudah berlari menuju ke toilet terdekat. Dia benar-benar membersihkan tubuhnya dari kotoran. Eryk membuang pakaiannya dan menggantinya dengan pakaian petugas kebersihan yang dia curi dari tempat penyimpanan.

Eryk melihat tubuhnya. Dia mengenakan pakaian yang sedikit kebesaran dan apek, tapi dia tak mengeluh soal itu.

“Ini lebih baik daripada aku mengenakan pakaian berbau sampah.”

Meski dia sudah mencuci rambut dan tubuhnya berulang kali, tapi seakan-akan aroma lindi masih melekat di penciumannya.

Wajah Eryk sangat pucat. Dia jarang sekali keluar pada siang hari. Sejak enam bulan yang lalu, dia berusaha hidup sebagai makhluk nokturnal. Dia takut menghadapi matahari, takut jika orang lain bisa mengenalinya. Karena itu, Eryk lebih nyaman keluar di malam hari. Tapi hari ini, dia dipaksa untuk menjalani kehidupan normal seperti manusia pada umumnya.

Di depan Eryk, kini terbentang Kota Black Lake yang sangat megah. Gedung-gedung pencakar langit, jalan-jalan yang halus, apartemen mewah, serta taman-taman yang indah semuanya ada di sana. Sangat bertolak belakang dengan Rockwool. Orang-orang berlalu-lalang dengan pakaian bermerek dan mahal. Tak ada orang miskin, gelandangan, dan pengemis di sana. Semuanya terdiri dari orang-orang dengan ekonomi menengah sampai ke atas.

Eryk menyelinap dan naik ke atas trem yang melintas di tengah kota. Orang-orang melihatnya dengan tetapan sinis karena dia memakai pakaian terburuk di antara penumpang lainnya. Eryk tak peduli. Dia menunduk dan menyembunyikan wajahnya di bawah topi.

Beberapa menit kemudian dia berhenti di depan sebuah mansion yang sangat mewah. Pada gerbang mansion ada tulisan huruf W besar sebagai akronim dari nama keluarga Wayland.

Mansion itu terlihat sudah lama tak dihuni dan tak dikunjungi. Gerbangnya tampak tak pernah dibuka selama berminggu-minggu. Di sekitar halaman juga kosong tanpa penjaga.

“Ini tak biasa,” gumam Eryk.

Terakhir kali dia berkunjung ke mansion sang kakek, ada banyak sekali petugas keamanan bersenjata yang menjaga rumah itu. Tapi hari ini semuanya terlihat kosong. Seolah-olah mansion itu tanpa penghuni dan ditinggalkan.

Eryk sudah hampir menyeberangi jalan saat sebuah mobil melintas dan berhenti tepat di depan gerbang mansion. Eryk segera mencari tempat persembunyian.

Sejumlah pria berpakaian serba hitam keluar terburu-buru dari mobil SUV itu. Mereka berlari menuju ke mansion.

Eryk memperhatikan semuanya dari seberang jalan. Beberapa menit kemudian, dia mendengar suara tembakan. Eryk tersentak kaget. Sekelompok pria yang sebelumnya masuk, kini berlari keluar menuju van dan bergegas meninggalkan mansion.

Eryk penasaran. Setelah memastikan situasi aman, dia pun akhirnya memanjat pagar samping dan masuk mengendap-ngendap ke dalam mansion. Tempat itu benar-benar gelap dan terlihat sudah lama tak dihuni.

Eryk tiba di lantai dua. Dia melihat pintu ruang kerja kakeknya sedikit terbuka. Eryk berjalan ke sana dan menguak pintu dengan perlahan. Langkah kaki Eryk terhenti karena ujung sepatunya menginjak genangan darah merah yang sangat kental.

“Tidak!” pekik Eryk.

Sang paman meringkuk di lantai di balik meja kerja. Eryk pikir, pria itu sudah mati dengan peluru menembus dada. Tapi, ketika Eryk memeriksa tiba-tiba tangan sang paman bergerak dan meraih pergelangan Eryk.

“To-long aku....”

Eryk kesal karena tangannya dipegang. Dalam hati dia senang melihat pamannya sekarat. Dia menarik lepas tangannya.

“Eryk... pergilah!” ujar sang paman terbata-bata. “Pergilah sejauh mungkin. Mereka akan mencarimu. Selamatkan dirimu—“

Langkah Eryk terhenti. Dia tak mengerti dengan ucapan sang paman.

Alarm darurat berbunyi tiba-tiba. Seluruh mansion menjadi hidup seketika. Eryk melihat ke sekitar. Kamera pengawas yang sebelumnya mati, sekarang tiba-tiba menyala.

“Sial! Siapa yang melakukan ini semua?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status