"Kenapa Tar? Katanya mau masuk ke kelas?" tanya Syila membawa Tara kembali dari lamunannya.
"Engg -- enggak apa-apa kok, kayaknya Aku nunggu teman-teman yang lain dulu deh," jawab Tara sedikit gugup sambil membalikkan punggungnya hendak beranjak menjauh dari pintu kelas.
"Tumben Tar? Biasanya Kamu paling semangat tuh nunggu Dosen di kelas, sekalian istirahat kata Kamu dulu ... jangan-jangan ...." Sesil menatap Tara dengan pandangan menyeidik.
"Apa sih Sil? Kalian mau kemana abis ini? Udah nggak ada kelas kan?" tanya Tara sekaligus mengalihkan perhatian mereka. Tara hanya tak ingin teman-temannya melihat apa yang ada di dalam.
"Kok kayak ada yang dirahasiain ya? Jiwa kepoku meronta-ronta nih ...." Dengan senyum simpul Sesil semakin menggoda Tara yang semakin gugup. Walau baru berteman beberapa bulan sejak mereka sekelas di tiga mata kuliah, namun boleh dibilang Sesil yang terkesan manja dan sangat mendamba pada ketua tingkatnya telah memahami seorang Tara dengan cukup baik.
"Sudah ... Kalian berdua senang sekali menggoda Tara, Ayo kita pulang saja. Biarkan Tara kuliah dengan tenang. Jangan lupa kumpulin bahan tugas sebanyak-banyaknya." Reinhard melihat posisi Tara yang tampak terpojok dan mengalihkan Sesil dan Syila. Tanpa sadar triknya bak senjata makan tuan bagi dirinya sendiri, karena sekarang Sesil telah teralihkan sepenuhnya.
"Bener Rei, Kamu ngajak Aku pulang bersama? Kebetulan jemputanku belum sampai." Sambil menatap manja pada Tara dan memberikan senyum termanisnya, Sesil mengucapkan salam perpisahannya. "Ya sudah, Taraku sayang, belajar yang giat ya, kalo ada rahasia apa pun Aku siap menampungnya." ucap Sesil sambil berbisik dengan kerlingan sebelah mata pada Tara. "Sil, kita Pulangnya bertiga ya ... bareng Syila!" sela Reinhard atas ucapan Sesil sebelum ia berbisik pada Tara tadi.
"Ogah! Aku nggak mau jadi anti nyamuk!" jawab Syila dengan ketus yang disambut dengan senyum cerah Sesil. "Siapa yang jadi anti nyamuk?" tanya Reinhard pada Syila yang langsung berbalik dan melambaikan tangannya pada mereka bertiga. Tara hanya bisa tertawa geli dengan tingkah teman kelompoknya.
"Ayo berangkat Rei, kasian Taranya jadi keganggu sama Kita berdua. Benar kan Tar?" sambil mengedipkan sebelah matanya sebagai kode agar Tara mengiyakan ucapannya. "Iya, pulang sana kalian berdua. Aku mau masuk sekarang!" ucap Tara dengan rajukan yang tampak jelas dibuat-buat. "
Reinhard bukan tak sadar dengan permainan mereka, apa daya ia tak bisa mengelak dari moment canggung ini, akhirnya ia pun hanya bisa menjawab dengan anggukan ucapan Tara barusan.
Setelah memeluk Tara, Sesil langsung menggandeng lengan Reinhard tanpa ragu sedikitpun. Sebaliknya Reinhard berjalan kikuk di sampingnya karena rasa canggung yang semakin besar.
Tara membalas lambaian yang penuh energi dan senyum sumringah Sesil dengan tertawa lepas, karena merasa tingkah sahabatnya itu terlalu lucu untuk didiamkan, gadis itu terus tertawa tanpa menyadari ada seorang pria yang berdiri di belakangnya.
"Senang sekali ya?" Sebuah tanya dari suara yang tak asing di telinga Tara Nadira. Gadis itu enggan berbalik, tapi ia tahu harus menghadapi pria yang sudah membuat debaran jantungnya karena tingkah absurdnya di kelas beberapa menit yang lalu.
"Maaf, tapi sepertinya sekarang bukan waktunya untuk membahas tentang perasaanku. Aku permisi dulu masuk ke kelas," Tara memasang senyum dengan terpaksa, hendak melewati Azlan yang masih berdiri di depan pintu. Entah keberanian dari mana yang merasuki dirinya, pria berbadan tegap dan lebih tinggi dari Tara itu jelas bukan seseorang yang mudah untuk dilalui. Tari hanya berharap tak berurusan dengan Azlan sampai nanti, ia tak ingin kehidupannya yang tenang di kampus akan terusik.
"Jangan salah sangka, Aku sedang tidak ingin membahas perasaan siapa-siapa di sini. Aku hanya merasa terganggu dengan suara ribut di luar kelas!" jawab Azlan tegas, tanpa senyuman. Usai mengucapkan kalimat yang membuat Tara diam di tempat, pria berparas tampan namun dingin itu segera melangkahkan kakinya ke arah yang berlawanan dengan Tara. Gadis itu tak ingin tahu ia ke mana, Tara hanya berharap tak akan bertemu dengannya lagi. Walau ia sendiri tahu itu adalah harapan yang tak masuk akal, mengingat mereka ada di kelas yang sama. "Dia sangat menakutkan!" monolog Tara dalam hati sembari bergidik ngeri mengingat suara dan tatapannya serta tingkahnya di kelas bersama Anis beberapa menit yang lalu.
Tara segera masuk ke kelas dengan perasaannya yang berkecamuk tentang sosok Azlan yang baru beberapa jam bertemu, namun sudah cukup menyita perhatiannya. Sedikit bersyukur karena perasaan itu bukan mengagumi, melainkan perasaan yang tak suka dengan keberadaannya. "Iya, tak salah lagi. Aku memang sangat tak suka dengan pria yang terkesan angkuh itu." Sekali lagi ia berucap dalam hati sambil menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang terlihat jelas di mata teman-teman sekelasnya yang sudah mulai duduk di kursi mereka masing-masing.
Saat ia akan melewati kursi para gadis yang sedang berkumpul, Tara yang biasanya tak digubris keberadaannya kini merasa semua mata tengah menatap padanya. Sayangnya bukan tatapan bersahabat, tapi tatapan sinis yang menohok.
Tara tak mempedulikan tatapan mereka, walau dalam hatinya tetap merasa sedikti gentar namun ia tetap melangkahkan kakinya ke tempatnya duduk. Tepat di samping kursi para gadis berkumpul, ia mendengar celetukan tajam, "Wah ... si gadis yang suka ikut campur baru sampai nih, nggak rela ya, Anis dekat dengan Azlan?" Tara terus berjalan tak menggubris celetukan itu, ia sedang tak ingin terlibat masalah apa pun sekarang. Ujian semester sebentar lagi, jelas bukan tindakan yang tepat jika ia terpancing dan mengorbankan nilainya yang sudah ia perjuangkan.
"Lihatlah, apa sekarang pendengarannya terganggu? Kasian Anis, jelas dia bukan lawan yang pantas bagi Anis!" Suara sumbang lain yang tak kalah pedas bergema di kelas yang di iringi dengan tawa para gadis.
Tara tetap melangkahkan kakinya sampai ke belakang. Ia tak mempedulikan semua ucapan pedas barusan. Sehina apa pun ucapan mereka, tak akan membuatnya bergeming selama ia merasa benar. Entah cerita apa yang sudah mereka dengar atau tengah mereka bangun sekarang, Tara tak peduli selama itu tak mempengaruhi nilainya nanti.
"Sudahlah teman-teman, Tara tak salah apa-apa. Jangan pojokkan dia seperti ini. Lagi pula AKu dan Azlan belum sedekat itu. Aku pun tak merasa terusik dengan kehadirannya tadi." Suara lembut Anis membuat tawa para gadis terhenti. "Maaf ya Tara, mereka salah paham," ucap Anis langsung berbalik pada Tara yang duduk di kursinya dengan pandangan heran atas ucapan Anis barusan. Anis bahkan memegang tangan Tara yang ada di atas meja dan berucap lembut, "Kamu nggak marah kan sama AKu?"
Pagi ini kelas Bisnis semester empat mendapatkan kejutan yang membuat semua terhenyak. Secara mengejutkan, Elsa memproklamirkan pengakuan dirinya yang telah menggunakan nama Tara Nadira pada akun palsu yang ia buat untuk menyebarkan gosip tentang Anis dan Azlan.Sebagian besar teman gadisnya langsung menghina perbuatan Elsa yang selama ini sangat ceria dan polos bisa dengan keji memfitnah teman yang sering membantunya."Pantas saja, kemarin dia diam saja. Ternyata ....""Iya tuh, mungkin ia sedang menikmati melihat Tara dibenci ...""Bukan hanya Tara yang jadi korban di sini, tapi Anis dan Azlan juga. Harusnya Kamu minta maafnya jangan hanya ke Tara dong ...."Masih banyak lagi komentar miring yang mereka tujukan padanya. Tara yang melihat semua teman yang selama ini terlihat akrab dengan Elsa tampak jadi penyerangnya, gadis itu pun merasa kasihan pada Elsa yang hanya bisa menunduk sambil sesekali membasuk air mata yang mulai membasahi pipinya.
[AKUI KESALAHANMU JIKA TAK INGIN RAHASIAMU TERUNGKAP!!!]sebuah pesan misterius dengan kalimat yang sama terus meneror Elsa sepulangnya ia dari Kampus. Awalnya ia mengira itu adalah pesan iseng, tapi lama kelamaan ia merasa takut juga. Belum lagi pesannya datang dari nomor pribadi. Bukan hanya lewat pesan teks, tapi juga lewat media sosialnya. Ia benar-benar di teror.Elsa tak tahu harus bagaimana lagi, satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah melakukan apa yang diperintahkan. Akhirnya dengan keberanian yang tersisa, ia menghubungi Tara Nadira."Halo Elsa ... ini -- Elsa kan?" Suara Tara terdengar waspada di ujung telpon. "I -- iya Tar, ini Aku, Elsa ...." jawab Elsa tak kalah gugupnya."Ada hal mendesak apa El, sampai harus nelpon AKu selarut ini?""Maafin Aku Tar ...." lirih suara Elsa berucap, hampir seperti sebuah bisikan. "Gimana EL? Maaf -- untuk?" Tara masih bingung dengan permohonan maaf Elsa yang tiba-tib
Tara seperti mendapatkan kekuatan baru usai melakukan panggilan video singkat dengan sang Adik yang ternyata sudah semakin dewasa. "Aku pasti bisa melewati semuanya, semangat Tara!" ucap Tara pada dirinya sendiri. Ia bahkan tertawa mendengar suaranya yang cukup lantang. "Semoga tidak ada yang mendengarnya ...." ucap Tara sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.Setiap mengingat keluarganya, Tara selalu mendapatkan energi baru layaknya ponsel yang baru selesai di charge. Ia akan kembali pada kenangan masa kecilnya bersama Bapak dan Ibu yang menghabiskan waktu di kebun mereka dengan Tara kecil yang selalu turut serta di bawa orang tuanya. Ia selalu menikmati masa-masa itu, bahkan tak ada penyesalan sedikitpun di hati Tara telah terlahir dari kedua orang tuanya. Jika memang ada kehidupan kedua, ia akan tetap memilih sebagai putri dua 'malaikat tak bersayapnya' itu.Tara yang mungil dan berambut hitam lebat dengan lesung pipit menghiasi kedua pip
Tara Nadira baru saja selesai mandi dan merasa segar kembali. Ia segera membuat makan malam yang sederhana untuk dirinya sendiri, dan makan dengan lahap. Biasanya nafsu makannya akan meningkat ketika ia merasa lelah. Hari ini adalah salah satu hari yang paling melelahkan bagi Tara. Bukan hanya lelah secara fisik, tapi juga hati dan fikirannya.Selama ia kuliah di Sharim Universitas, tak pernah sekalipun ia mendapatkan perlakuan buruk dari teman-teman sekelasnya. Karena memang ia selalu menghindar dari mereka, dan semua hal yang sekiranya bisa mendatangkan masalah pada teman-temannya.Sejauh ini semua itu berhasil untuknya, Tara bahkan selalu membantu mereka sebisanya. Tapi, hari ini semua berubah. Hanya karena orang itu, seseorang yang baru datang di kelasnya. Seluruh perhatian para gadis telah beralih pada sosoknya yang misterius.Tara mengambil salah satu majalah bisnis yang tadi ia pinjam dari Nadia, sang pemilik mini market yang cantik dan baik h
"Apa maksudmu Anis?" tanya Tara bingung atas pernyataan dan pertanyaan Anis barusan."Kamu tak perlu mengelak lagi Tara, Kamu kan yang menyebarkan gosip tentang Aku dan Azlan tadi? Karena hanya kamu yang masuk ke kelas saat ... Kau tahu sendiri kan apa maksudku? Tapi tenang saja Tara, jika memang begitu tak sukanya kau pada kedekatanku dengan Azlan, AKu akan __ ""Sudahlah Anis, mengapa sekarang Kau yang mengalah padanya?" Shela yang memang sejak kedatangan Tara ke kelas tadi sudah menampakkan ekspresi tak suka, langsung menyela perkataan Anis dengan lantang dan berbalik menatap Tara dengan pandangan sinis dan bertanya, "Hanya karena Azlan memilih duduk di sampingmu, Kau merasa lebih baik dari AnisR? Lihatlah dirimu Tara, apa perlu Aku pinjamkan cermin untuk kau berkaca?""Benar sekali Anis, Aku tadinya juga tertarik pada Azlan, tapi melihatmu bersamanya Aku langsung mundur, karena Aku merasa Kau lebih pantas untuknya! Sedangkan Kau Tara, Kau bahkan tak bi
"Kenapa Tar? Katanya mau masuk ke kelas?" tanya Syila membawa Tara kembali dari lamunannya. "Engg -- enggak apa-apa kok, kayaknya Aku nunggu teman-teman yang lain dulu deh," jawab Tara sedikit gugup sambil membalikkan punggungnya hendak beranjak menjauh dari pintu kelas. "Tumben Tar? Biasanya Kamu paling semangat tuh nunggu Dosen di kelas, sekalian istirahat kata Kamu dulu ... jangan-jangan ...." Sesil menatap Tara dengan pandangan menyeidik. "Apa sih Sil? Kalian mau kemana abis ini? Udah nggak ada kelas kan?" tanya Tara sekaligus mengalihkan perhatian mereka. Tara hanya tak ingin teman-temannya melihat apa yang ada di dalam. "Kok kayak ada yang dirahasiain ya? Jiwa kepoku meronta-ronta nih ...." Dengan senyum simpul Sesil semakin menggoda Tara yang semakin gugup. Walau baru berteman beberapa bulan sejak mereka sekelas di tiga mata kuliah, namun boleh dibilang Sesil yang terkesan manja dan sangat mendamba pada ketua tingkatnya telah memahami seorang T