Share

Bab 6

Penulis: Merry
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-29 22:41:42

-Azlan Sharim PoV-

Flashback : Tiga Tahun yang Lalu

Langit malam berputar di atas kepalaku, atau mungkin kepalaku yang berputar di bawah langit. Aku tidak yakin. Yang aku tahu hanyalah ada bau bensin yang pekat, menusuk hidung hingga ke belakang tenggorokan, bercampur dengan aroma anyir yang membuatku mual. Logam. Darah. Milikku.

Kesadaranku datang dan pergi seperti siaran radio yang rusak. Satu detik hening, detik berikutnya riuh.

“Dia masih bernapas?”

Suara seorang pria, berat dan panik.

“Jangan digerakkan! Tulangnya bisa patah semua!”

Suara lain, lebih melengking.

“Panggil ambulans, cepat! Apa yang kalian lihat saja!”

Aku mencoba membuka mata. Rasanya seperti mengangkat dua keping beton yang dilem ke wajahku. Cahaya oranye berkedip-kedip di kejauhan, menari-nari di antara serpihan kaca yang menempel di bulu mataku. Dingin. Aspal yang basah menempel di pipiku, terasa kasar dan tajam.

“Aku tidak bisa melihat dengan jelas … apa dia sendirian?”

“Sepertinya begitu.”

“Ya Tuhan, mobilnya hancur.”

Aku ingin bicara. Ingin berteriak bahwa aku tidak sendirian. Ada seseorang bersamaku tadi. Di mana ia? Tapi yang keluar dari bibirku hanyalah erangan pelan, suara serak yang tenggelam dalam kebisingan.

Lalu, di tengah kericuhan suara-suara asing, sebuah suara baru menerobos masuk.

“Minggir! Beri jalan!”

Jernih, panik, tapi penuh perintah. Suara seorang gadis.

“Jangan mendekat, Nona! Bahaya!”

“Mobilnya bisa meledak!”

Aku merasakan getaran langkah kakinya di aspal sebelum aku melihatnya. Sebuah siluet gelap berlatar cahaya lampu jalan yang pecah.

“Kita tidak bisa hanya diam saja! Dia harus dikeluarkan!”

“Sudah ada yang menelepon bantuan.”

“Bantuan bisa terlambat!”

Aku merasakan tarikan di lenganku. Sebuah tarikan yang lemah pada awalnya, kemudian menjadi lebih kuat, lebih putus asa. Rasa sakit menjalari bahuku, tajam dan menyengat, tapi tarikan itu tidak berhenti.

“Kumohon, bantu aku! Kita harus menariknya menjauh!”

Tidak ada yang menjawabnya. Mungkin mereka terlalu takut. Mungkin mereka hanya penonton. Tapi ia tidak. Ia bukan penonton.

Aku mengerahkan sisa tenagaku untuk memutar kepala. Pandanganku kabur, dunia menjadi sapuan warna yang tidak fokus. Tapi aku bisa melihatnya. Seragam SMA … putih abu-abu yang kini ternoda gelap. Rambutnya diikat ekor kuda, beberapa helai lepas membingkai wajahnya yang panik.

“Tolong … bertahanlah .…”

Suaranya bergetar, tepat di sebelah telingaku. Ia pasti berlutut di sisiku sekarang. Aku bisa mencium aroma sampo yang samar dari rambutnya, wangi bunga yang anehnya menenangkan di tengah bau kematian.

“Aku …,” aku mencoba berbisik, tapi tenggorokanku kering dan penuh darah.

“Ssst, jangan bicara. Jangan habiskan tenagamu.”

Tangannya yang kecil dan gemetar menyentuh pipiku, mencoba menyingkirkan pecahan kaca. Sentuhannya lembut, kontras dengan kekacauan di sekeliling kami.

“Ambulans sedang dalam perjalanan. Kau akan baik-baik saja.”

Aku tidak tahu apakah ia sedang meyakinkan diriku atau dirinya sendiri.

“Kau dengar aku? Kau harus tetap sadar!”

Aku mengedipkan mata, sebuah usaha yang terasa heroik. Bayangannya menjadi sedikit lebih jelas. Aku tidak bisa melihat detail wajahnya, hanya sepasang mata lebar yang memantulkan ketakutan murni.

“Siapa …,” gumamku.

“Tidak penting! Kau hanya perlu bertahan!”

Ia kembali menarik lenganku. Kali ini, aku mencoba membantunya, mendorong tubuhku dengan kaki yang rasanya bukan lagi milikku. Setiap gerakan adalah siksaan. Logam yang robek menggores punggungku. Aku bisa merasakan sesuatu yang hangat mengalir deras.

“Sedikit lagi … ayo .…”

Napasnya terengah-engah, terdengar seperti isak tangis yang tertahan.

Dari kejauhan, aku akhirnya mendengar suara yang kuharapkan. Sirene. Meraung-raung, semakin dekat, membelah malam.

“Mereka datang! Kau lihat? Mereka datang!” serunya, ada nada lega yang begitu besar dalam suaranya hingga aku bisa merasakannya.

Orang-orang mulai bergerak, suara-suara menjadi lebih teratur. Para profesional telah tiba.

“Biar kami yang ambil alih, Nona.”

“Tolong selamatkan dia!”

“Mundur, beri kami ruang.”

Beberapa pasang tangan yang kuat mengangkat ku, memindahkan ku ke atas tandu. Dunia berguncang lagi. Rasa sakit yang tadinya tumpul kini meledak di sekujur tubuhku. Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan teriakan.

Saat mereka mengangkat ku, mataku tidak pernah lepas dari sosoknya. Ia berdiri di sana, terengah-engah, dengan tangan dan seragam yang berlumuran darahku. Lampu ambulans yang berputar menyinari wajahnya sesaat. Dan untuk pertama kalinya, aku melihatnya dengan jelas.

Mata yang terbelalak ngeri. Pipi yang basah oleh air mata atau keringat, aku tak tahu. Bibir yang pucat dan gemetar. Dan sebuah lencana OSIS yang familier tersemat di dadanya. Lencana sekolah tetangga.

“Siapa namamu?”

Suara seorang petugas medis memecah fokusku.

“Periksa tekanan darahnya!”

“Pupilnya melebar!”

Aku tidak peduli. Aku mencoba mengangkat tanganku, menunjuk ke arahnya.

“Dia .…”

“Tenang, Nak. Kami akan mengurus mu.”

Mereka mendorongku ke dalam ambulans. Pintu belakang mulai tertutup, memotong pandanganku. Tapi aku terus berjuang, menolehkan kepalaku, mencoba menangkap bayangannya untuk terakhir kali.

Ia masih berdiri di sana, di pinggir jalan, sebuah pulau kecil yang sunyi di tengah lautan kekacauan. Ia menatap ke arah ambulans dengan ekspresi yang tidak akan pernah bisa aku lupakan. Bukan hanya ngeri. Ada rasa bersalah, seolah semua yang terjadi adalah kesalahannya.

Pintu tertutup sepenuhnya. Kegelapan mulai menelanku. Suara-suara di sekitarku meredup menjadi dengungan panjang. Tapi bayangan wajahnya tetap terpatri di balik kelopak mataku. Wajah penyelamatku malam kelam tersebut. Satu-satunya hal yang nyata pada saat mengerikan tersebut.

Wajah malaikatku. Wajah yang akan menghantuiku selama tiga tahun ke depan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penguasa Hati   Bab 33

    Ada semacam keajaiban dalam keheningan yang kami bagi di bangku taman sore itu. Udara terasa sejuk, membawa aroma tanah basah sisa gerimis sore yang baru saja reda—aroma yang selalu kusebut sebagai petrichor, dan Azlan selalu tersenyum setiap kali aku mengucapkannya. Lampu-lampu taman baru saja menyala, memantulkan cahaya keemasan di atas dedaunan yang basah, menciptakan permadani berkelip di sekeliling kami. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, merasakan tekstur kain kemejanya yang lembut di pipiku. Napasnya teratur, dalam, sebuah melodi damai yang beberapa tahun lalu hanyalah sebuah angan-angan baginya. “Kamu tahu,” suaraku memecah keheningan, lebih pelan dari bisikan. “Aku masih ingat betul bagaimana canggungnya momen pertama kita di bawah payung, tidak jauh dari tempat kita duduk sekarang.” Azlan terkekeh pelan, getaran di dadanya menjalar ke seluruh tubuhku. “Canggung? Menurutku kamu lebih terlihat seperti kucing liar yang siap mencakar siapa pun yang mendekat.” Aku mencubi

  • Penguasa Hati   Bab 32

    Hari itu, semuanya terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang dulu kupikir terlalu muluk untuk digapai, kini terbentang nyata di depan mata. Jubah toga hitam itu terasa berat namun memancarkan kebanggaan, lencana cum laude di dadaku berkilau di bawah lampu aula. Aku berdiri di panggung, menatap lautan wajah bangga di depanku, mencari-cari mereka. "Lihat, Tara! Orang tua kita!" Rina berbisik di sampingku, suaranya tercekat. Ia meraih lenganku, menguatkan ku. Aku mengangguk, mataku berkaca-kaca. Tangan Ibu melambai, senyumnya begitu lebar hingga matanya menyipit. Ayah tersenyum kecil, namun di matanya terpancar keharuan yang tak terhingga. Orang tua Rina juga ada di sana. Di samping mereka, Azlan berdiri tegak, tatapannya lekat padaku. Senyum tipisnya adalah sebuah janji, sebuah dukungan yang tak pernah goyah. Setelah upacara, keramaian memenuhi lobi. Aku nyaris tenggelam dalam pelukan Ibu yang erat. "Anak Ibu pintar sekali," bisiknya, suaranya bergetar. "Terima kasih, Nak. Terima k

  • Penguasa Hati   Bab 31

    Aku ingat dengan jelas bagaimana deru mesin sedan mewah yang Azlan kendarai perlahan meredup, digantikan oleh orkestra alam yang selama bertahun-tahun menjadi lagu pengantarku. Suara jangkrik, gemericik air dari selokan kecil, dan desau angin yang menyapu pucuk-pucuk padi. Perjalanan berjam-jam dari gemerlap kota berakhir di sebuah jalan setapak yang hanya muat untuk satu mobil. Di sinilah duniaku dimulai, dan aku gemetar memikirkan bagaimana dunia Azlan akan bertabrakan dengannya. “Kita sudah sampai,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. Azlan mematikan mesin. Hening sejenak. Aku melihatnya menatap lurus ke depan, ke hamparan sawah hijau yang membentang seperti permadani raksasa di bawah langit sore. Aroma tanah basah sehabis hujan kemarin sore merembes masuk ke dalam mobil, aroma yang bagiku adalah rumah. Aku bertanya-tanya, aroma apa yang tercium olehnya? Asing? Atau menenangkan? “Jadi … tempat magis-mu ada di sini?” suaranya memecah keheningan, lembut dan penuh kekaguman. A

  • Penguasa Hati   Bab 30

    Aku ingat hari itu sejelas kristal. Udara di perpustakaan terasa pekat dengan aroma kertas tua dan janji masa depan, sebuah kontras yang ironis dengan awan gelap yang selama berbulan-bulan menggantung di atasku. Kami duduk di sudut terpencil, hanya diterangi oleh lampu baca berwarna kuning hangat yang membuat wajah Azlan terlihat lembut. "Sudah selesai." Suaranya memecah keheningan yang nyaman di antara kami. Aku mendongak dari buku yang bahkan tidak ku baca. "Selesai? Apanya yang selesai?" "Clara. Dan semua masalahnya." Aku meletakkan buku. Seluruh tubuhku menegang. "Apa maksudmu?" "Aku sudah melaporkannya ke komite disiplin. Dengan semua bukti yang ku kumpulkan. Insiden laboratorium, kesaksian beberapa mahasiswa yang melihatnya, rekaman cctv yang menangkap apa yang terjadi di gudang, semuanya." Napas yang tak kusadari ku tahan, akhirnya terlepas dalam satu embusan panjang. Rasanya seperti beban berat yang selama ini menekan pundakku akhirnya terangkat. Tapi ada rasa lain yang

  • Penguasa Hati   Bab 29

    Ponselku bergetar di atas tumpukan buku catatan, memecah keheningan kamar kos yang selama berbulan-bulan menjadi salah satu tempat ternyaman ku. Sebuah notifikasi singkat dari nomor yang kini kusimpan dengan nama aslinya, bukan lagi ‘Pria Misterius’ atau ‘Pengganggu’. [Azlan: Kencan?] Satu kata. Hanya satu kata tanpa basa-basi, namun cukup untuk membuat jantungku melakukan maraton di dalam rongga dada. Aku menatap layar, membaca ulang kata sederhana tersebut seolah mengandung sandi rahasia. Setelah semua kebenaran yang terungkap, setelah permintaan maaf dan pengampunan yang hening di taman kampus hari sebelumnya, kami berdiri di titik nol. Dan kata tersebut adalah langkah pertama. [Aku: Kencan seperti apa?] Balasanku terasa kaku, pragmatis. Bagian diriku yang lama masih berusaha mengambil alih, menuntut kejelasan dan rencana yang logis. [Azlan: Seperti yang kamu mau. Aturannya, kamu yang tentukan tempatnya. Aku hanya akan mengikuti.] Aku tersenyum tipis. Dia menyerahkan kendal

  • Penguasa Hati   Bab 28

    Dengan napas tersengal, aku berlari. Bukan lagi lari dari Azlan, tapi lari menuju dirinya. Koridor kampus yang ramai terasa sunyi, suara tawa mahasiswa lain terdengar seperti dengungan jauh. Hanya ada derap langkahku dan detak jantungku yang memukul-mukul tulang rusuk, menuntut sebuah pertanggungjawaban. Aku tidak tahu di mana harus mencarinya, tapi kakiku seolah punya pikiran sendiri. Mereka membawaku melewati gedung fakultas, melintasi pelataran, menuju satu-satunya tempat di kampus yang menawarkan sedikit kedamaian: taman di tepi danau. Dan di sanalah ia. Duduk sendirian di bangku kayu yang menghadap ke air yang tenang. Dari belakang, punggungnya terlihat tegap namun sarat akan kesepian. Bahunya yang lebar tampak menanggung beban yang tak seharusnya. Beban pencarian selama tiga tahun. Beban penolakan demi penolakan dariku. Aku berhenti beberapa meter di belakangnya, mencoba mengatur napas yang tak mau diatur. Suara apa yang harus ku keluarkan? Kata apa yang pantas untuk memulai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status