Aku hanyalah gadis kesepian yang haus cinta
Kutunggu sosokmu hai pengendara kuda sakti
Bukalah tabir kegelapan yang selama ini mengurungku
Bawalah gadis ini ke dunia penuh cinta
Yang didalamnya hanya ada suka dan cita
Dan selamanya aku akan bahagia
Sabila telah terperangkap di dalam dilema cinta, sebuah perang batin, pertarungan antara hati, dan pikiran idealismenya.
Lelaki yang dicintainya. Mulnya,
“Eh!“ Mahesa lalu memperbaiki ketikannya. Mulanya tak pernah disadari. Seorang tetangga yang semenjak kecil bermain dan bertengkar dengannya, menghabiskan masa muda bersama.Lalu kini ia merasakan sakit karena dipaksa harus melupakan cinta yang selama ini dirindui. Bukan karena apa-apa, tetapi karena status. Antara Sabila dan Ragil terdapat jurang pemisah yang cukup tinggi, yaitu usia. Sabila adalah seorang pedagang yang sukses pada tahun kelima karirnya, yaitu pada saat ia berumur 29 tahun. Sedangkan Ragil adalah seorang sarjana yang baru saja lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi dan usianya baru 22 tahun.
Pertautan usia yang cukup jauh, tujuh tahun. Mungkin pada zaman modern ini usia bukanlah menjadi kendala lagi dalam suatu hubungan, asalkan saling mencinta, hambatan seperti apa pun dapat teratasi. Tetapi tidak untuk Sabila, seorang wanita yang dibesarkan secara konservatif, yang membedakan antara dosa dan pahala, baik dan buruk, yang boleh dikerjakan atau tidak. Baginya, perbedaan usia adalah benteng yang paling tidak bisa ditembus.
Sabila berpikir, ketika Ragil baru saja memulai hidupnya, ia baru saja mulai sekolah. Ketika Ragil belajar merangkak, ia mulai belajar menulis dan membaca. Dan nanti, ketika Ragil berusia 50 tahun, di usia matang bagi seorang lelaki, dengan karir sukses dan pikiran masih cemerlang, kulitnya sudah mengendur, dan berbaring menunggu ajal.
Mahesa kemudian dengan cepat menggerakkan jarinya, berpindah dari satu tuts ke tuts lainnya. Imajinasinya sedang liar berkelebatan, dia menangkap semua bayang-bayang adegan antara Ragil dan Sabila, hingga ... sebuah telepon masuk. Mahesa melirik ... lalu menimbang, tulisan "Nenek Lampir Ceriwis” tertulis di layar gawainya. Ia menghela napas, lalu kembali mengetik, sambil tertawa terkekeh.
Dua puluh detik kemudian, telepon kembali berdering. Sama, Mahesa tetap mengacuhkan. Sepuluh detik kemudian, tiga puluh detik kemudian, lima belas detik kemudian.
“Tidak pernah jera dia.” Mahesa menyengir kuda, tetap menulis di layar komputernya, yang kemudian terhenyak mendengar suara pintu yang diketuk.
“Ehem … ehem … Eca ….” Suara manis yang dibuat-buat terdengar. Mahesa terhenti, saat itu ia sedang berada di ruangan tamu, yang jendelanya sangat besar, dan kain vitragenya disibak, sehingga terlihat dari luar. Di luar, seorang perempuan dengan badan gempal dan rambut cepak sedikit bergelombang sedang melambaikan tangannya. Mulutnya terbuka lebar, terlihat senyum semringah bercahaya dan memantul dari giginya yang berjejer rapi dan putih.
“Tidak pernah menyerah, pantas, dijuluki editor veteran.” Dengan malas Mahesa bangkit, berjalan menuju pintu dan membuka pintu geser dari kaca itu.
“Sibuk?” tanya Mbak Lam, Mahesa biasa memanjangkannya menjadi lampir—tokoh wanita dalam cerita legenda Brama Kumbara, karena kedatangannya sudah bagaikan horror, menghantui, meminta naskah dalam jumlah berhalaman-halaman dalam waktu dekat, selain itu, ceriwis tiada tara. Jangankan berbicara, bernapas saja sulit bagi Mahesa apabila harus berdiskusi dengannya.
Mahesa menggaruk kepala, lalu menaikkan keningnya.
“Gimana kabarnya Ragil dan Sabila? Sudah sampai mana? Kok aku belum terima bab pertamanya? Jadi enggak mau terbit bulan depan? Ini chief udah nanyain ….” Omongannya terhenti, Mahesa menyumpal sebatang soes kering dari dalam toples yang berada di atas meja.
“Makan dulu, mau minum apa?” ucapannya sopan dengan senyum termanis, mengoreksi perbuatan tidak sopan sebelumnya.
Mahesa lalu berlari kecil memasuki rumah setelah melihat mata besar berwarna cokelat itu melotot. Yang ditingalkan geleng-geleng, lalu duduk di sebuah sofa panjang berwarna pisang susu sambil menghabiskan soes keringnya, lalu habis, ambil lagi, ambil lagi, ambil terus. Tak lama ia melihat mahesa sudah datang dengan membawa sebuah nampan berisi kopi, satu jar air putih, gelas, dan cemilan. Ia tertawa senang.
“Silakan.” Mahesa semringah. Harapnya ada setidaknya tiga puluh menit mulut editor kesayangannya yang sudah menemani selama lima tahun karir menulis sibuk dulu. Setidaknya ia bisa menyelesaikan bab pertama novelnya dulu sebelum akhirnya ditagih paksa.
“Bagus,” ucap mbak Lam, tiga puluh menit kemudian. Pas, akurat benar perkiraan Mahesa. “Lanjut.” Mbak Lam berdiri, kembali duduk di sofa setelah membaca draft bab pertama Mahesa. Si gadis manis berambul ikal itu memandangi editornya yang duduk di hadapan.
“Saya tungguin,” jelasnya, melihat kebingungan penulisnya. Sambil menopang kaki di atas kaki lainnya, ia tertawa, lalu berkata, “Apakah di sini ada yang jual mie ayam.”
Mahesa yang ingin menahan tawa tak tahan, ia tertawa, lalu diikuti Mbak Lam yang ikut tertawa.
Rima membuka kacamata hitamnya, lalu berjongkok di depan sebuah pusara yang telah dikelilingi oleh keramik berwarna biru. Jari-jari lentiknya menyisihkan beberapa helai daun kering yang berada di atas tanah menyumbul itu. Nama Zaenal Ibrahim Bin Ali tertera di nisan.“Kamu apa kabar di sana?” Suaranya tercekat, lalu terisak. "Aku kangen. Hidup tanpamu terasa begitu hampa." Baru dua bulan semenjak kepergian Zaenal, tetapi Rima merasa sudah satu abad berlalu. Malam-malam sepi tanpa ada lelakinya di sisi yang terkadang mendengkur, manja, dan memeluknya. Dua bulan yang teramat menyiksa hingga membuatnya terasa sesak. Ia inginkan lelaki yang sebelumnya terkadang menyusahkan dan sulit diatur itu kembali. Namun, apa yang bisa dibuatnya? Takdir berkata sebaliknya. Lelakinya pergi, dengan satu wasiat yang sangat berat untuk bisa ia jalani. Ingatannya berputar pada hari itu, ketika Zaenal baru saja keluar dari rumah sakit. Ia menyuapi lelakinya, meski hany
Wibi mendengkus keras. Bobby, Bombom, Zasky kemudian memandanginya. Mereka sedang duduk melingkar di atas kursi kuliah yang memiliki meja berwarna putih di sebelah kanannya. “Bi, Loe denger enggak?” tanya Bombom agak keras. “Akhir-akhir ini loe kenapa, sih? Bahkan hitung data penelitian kita aja enggak becus. Jadi aja nilai kita Cuma dapet C! Padahal gue udah kerja keras mikirin konsep, Zasky dan Bobby hilir mudik nyari responden penelitian. Tapi kok, elu malah asal-asalan?!” Wibi menggenggam tangannya keras, kembali mendengkus.
“Echa … Echa ….” Suara halus Zaenal membangunkan Mahesa dari tidurnya,. “Papa ….” Ia bangkit dari ranjangnya, “Papa masih hidup?” Mahesa semringah. “Kamu ngomong apa? Ayo pergi ke sekolah,” bujuknya. Mahesa berdiri, tiba-tiba ia sudah mengenakan seragam putih-abu, dari luar ia mencium aroma udang goreng kesukaannya, berjalanlah ia ke dapur, dilihatnya seorang perempuan sedang memasak, yang tak lama kemudian berbalik. “Echa ….” Ia tersenyum, senyum yang sangat didambakan, sangat ia rindukan, “Mama ....” Ia tersenyum bahagia, sambil menangis. “Kamu kenapa, Sayang?” ibunya mendekati. “Echa kangen Mama … bertahun-tahun Echa menunggu kehadiran Mama, mengantar sekolah, berbagi cerita seperti teman-teman lainnya.” “Sayaang ....” “Echa kangen Mama.” Ia menangis. “Bangunlah, Sayang. Hidupmu masih panjang.” Senyumannya lebar. Lalu kemudian Mahesa membuka matanya. Ia menyadari bahwa barusan hanyalah mimpi. Tubuhnya l
Belum lagi Mahesa mengunci kembali pintu rumahnya ia menyadari kehadiran Wibi di sampingnya. Lelaki itu tersenyum seakan-akan tidak terjadi apa-apa semalam, padahal Mahesa sudah mengadakan acara mengunci semua barang-barang yang dapat mengingat hubungan mereka berdua di dalam sebuah kotak kayu berwarna hitam, dan berdoa kepada Tuhan agar perasaannya dibuat tegar, tetapi kini, bukannya tegar yang ia dapatkan, rasa cinta itu kembali mencuat. “Hai,” Wibi menyapanya masih dengan ekspresi yang sama, “tidur nyenyak?” Mahesa menarik napas panjang, ia kesal tidak bisa menjawab apa adanya, tetapi juga tidak dapat berbohong karena terlihat jelas rona-rona hitam di sekeliling matanya. “Kelihatannya?” Ia melemparkan pertanyaan kembali kepada Wibi, lalu berjalan menjauhi lelaki itu. “Kelihatannya sih tidak bisa tidur, atau tidurnya cuma sedikit, atau selama tidur kamu kemimpi-mimpi aku.” Wibi mengejar Mahesa. “Minggir ….” Tangan Mahesa menggeser tubuh Wibi
Rima menyendok makanannya dengan lesu, ia harus makan setelah sebelumnya pingsan, siang dan malam menunggui Zaenal tanpa tidur dan makan yang cukup. Pikirannya menerawang jauh ke kamar suaminya, prihatin akan keadaannya. Dokter meminta agar Zaenal tidak diberi beban pikiran yang terlalu berat, karena kinerja jantungnya melemah. Lalu pikirannya terbang lagi ke rumah, memikirkan anak-anaknya, Aini masih kecil dan Yasmin sedang membutuhkan banyak bantuan. Lalu ia juga mengingat Mahesa, anak pembuat masalah. Dari ujung matanya, Rima dapat melihat Mahesa memasuki kantin rumah sakit, kemudian duduk di hadapannya. Cukup lama mereka terdiam, pertemuan yang hening. Rima dapat melihat wajah Mahesa yang kebingungan. Berkali-kali menahan napas. “Mama ....” Akhirnya Mahesa mengeluarkan suaranya. “Aku tidak tahu, mengapa dulu sulit sekali menyebutmu Mama.” Rima terdiam, tetap menekuri gelasnya. ”Dulu aku sangat sulit diatur, ya? Selalu melawan, membua
Mahesa kecil kecewa, ayahnya menikah lagi, padahal belum lama ini mereka mengubur ibunya, baru minggu kemarin Mahesa bersama Zaenal pergi ke pemakaman mengganti pusara ibunya dengan keramik. Harumnya masih tercium di rumah, suaranya masih terngiang di telinga. Wujudnya selalu ada di hati. Baru saja Mahesa merasakan kebahagiaan bersama ayahnya, berjalan bersama, menunggu Zaenal memasak nasi goreng dan telur hingga gosong, tertawa hingga perut terasa sakit. Pergi ke Dunia Fantasi dan dibelikan banyak mainan. Namun, Zaenal telah menikah lagi, dan Mahesa tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak juga merasa apa-apa. Tidak menangis. “Hei ....” Suara Rima lembut, lalu menyentuh pipi Mahesa yang tirus. “Selamat pagi, Sayang.” Mahesa menelan ludahnya melihat Rima yang berpakaian tidur serba putih, berjalan menjauhinya. “Kita sarapan, yuk.” Ia menoleh ke belakang. “Pagi, Sayang.” Zaenal datang menghadang sambil menciumi kening Rima. “Sssttt, ada