Share

Putri Impian

Penulis: dibatezal
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-17 08:25:03

Wibi memarkir motornya di pelataran parkir sebuah toko kelontong, lalu termenung.

Perempuan itu … kenapa akhir-akhir ini sering banget bolak-balik mampir di mimpiku.

Kemudian memegangi perut yang sedari tadi berbunyi­ minta diisi. Ia merogoh saku celana pendek berwarna krem, menemukan uang sepuluh ribuan yang kering kerontang karena ikut tercuci bersama celana itu. Jadilah ia masuk ke dalam toko demi membeli sepotong roti dan sekotak susu.

Apabila orang melihat cara Wibi memakan roti isi cokelat beserta susu cokelatnya, pasti akan menganggap anak lelaki itu tidak makan selama berhari-hari. Wibi makan dengan lahap di atas motor berwarna hitam kusam yang mesinnya bisa terlihat dari sisi mana pun karena body-nya sudah terbuka. Meski Roeslan menjaga sedemikian rupa, namun rangka besi tetap memiliki masa kedaluarsa. Bila bukan manusia yang merusak, alamlah yang mengikis.

Tiba-tiba Wibi merasa ada yang aneh, sepertinya ada yang duduk di jok belakang. 

“Ada penumpang?” tanya perempuan itu ragu. 

“T-t-t-tidak …” jawab Wibi. Sialan! Cakep-cakep gini disangka tukang ojek!

Ia mengucek matanya, lalu memperhatikan perempuan itu lebih saksama. Wajahnya ...

“Ke jalan Stasiun, ya?”

Perempuan itu!

Wibi tidak tahu mengapa. Wajahnya perempuan itu tak asing, selalu datang di mimpi-mimpinya. Beberapa bulan ke belakang lebih sering lagi. Begitu pun pagi ini. Dia juga hadir dalam mimpinya, menggunakan pakaian penari dari Timur Tengah, bibir sensual yang menawan menggunakan lipstick berwarna merah menyala, seperti saat ini. Pipinya yang tinggi membuatnya terlihat tersenyum, matanya yang sayu namun tajam seakan bergerak, menyayat-nyayat hatinya.

Aaaaahhhhh. 

Ia pun menyetarter Arjuna yang bertingkah. 

Hayu Neng, Aa ajak jalan-jalan ke stasiun. Wibi tersenyum ketika motornya kemudian mulai berjalan.

Mahesa yang sebelumnya kepanasan karena memakai kebaya dan berjalan dalam jangka waktu yang lama, merasakan sejuk setelah motor berjalan. Ia tersenyum sambil memandangi pohon-pohon besar yang kemudian ia lewati. Seketika ia mengingat sesuatu, lalu merogoh tasnya. Diambilnya sebotol toner dan kapas, lalu berkaca di spion motor, membersihkan mukanya. Wajah manisnya yang alamiah kembali, dan Wibi mendapatkan hiburan gratis. 

Di benak Wibi ada banyak tanya yang ingin dikeluarkan. Namanya siapa? rumahnya di mana? Kenapa mengenakan kebaya putih dan kainnya? Mau pergi ke mana? dan yang terakhir, nomor teleponnya di mana?

Lidahnya terlalu kelu untuk berkata, apalagi pemandangan dari kaca spion begitu memukau, biarlah ia memanjakan mata saja, daripada membela-bela keinginan hati yang nanti akan berimbas pada hilangnya momen bahagia yang tak setiap hari bisa dinikmati. 

Apakah aku salah? Mahesa membatin. Berkata jujur kepada kak Rafi, apakah salah? Kenapa aku tidak berbohong saja, agar pernikahan ini benar terjadi sehingga tak perlulah repot-repot melarikan diri seperti ini? Tidak, bukan ini yang membuatku merasa tidak enak, justru menyakiti hatinya yang membuat hidupku tak tenang. Tapi bukankah berbohong pun membuatnya lebih sakit? Mahesa memandangi dirinya yang terlihat sendu di kaca spion. 

"Aaaaaaaah!!" teriaknya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala. 

Tentunya teriakan itu membuat supir ojek gadungan tersentak, mengerem mendadak, dan secara otomatis membuat mereka hampir terjatuh. Wibi membanting setir ke kiri sambil mengerem, dalam waktu sepersekian detik, secara refleks satu kakinya ia menahan beban agar perempuan yang diboncengnya tidak terjatuh. 

"Aaaa." Wibi merintih.

Mahesa segera turun, melihat Wibi yang kakinya kesakitan, lalu membawanya ke pinggir jalan, dan duduk di trotoar. 

"Maaf," Mahesa memohon. Sambil merasa canggung untuk menyentuh kaki Wibi. 

"Enggak apa-apa." Wibi nyengir kuda. "Tadi urat-uratku hanya kaget."

Terlihat Mahesa tersenyum lega. Ganteng juga tukang ojeknya, pujinya kemudian.

"Ma-maaf, ya." Kembali ia berkata dengan lirih.

Wibi tersenyum, "Tidak apa-apa," ucapnya dengan lembut. Muka Mahesa yang sebelumnya tunduk terdongak, mata mereka saling menatap, lama, seakan-akan waktu saat itu berhenti. Suara penjaja makanan jalanan kemudian membuat mereka tersadar. Wibi bangkit, Mahesa melompat dari tempatnya berusaha membantu pemuda itu. 

"Tidak apa-apa." Wibi tersenyum.  

Tak lama mereka kembali berjalan, Wibi mengantarkan Mahesa sampai gerbang depan Stasiun Bandung meski inginnya mengantarnya hingga pelaminan. 

"Maaf, ya. Jadi celaka tadi." Mahesa mengulum senyum, lalu mengeluarkan uang dari dompet dan sebuah kartu. "Ini ongkosnya, dan ini kartu nama saya, hubungi saya kalau-kalau nanti ada efek lain dari kakinya, ya. Saya akan bantu pengobatannya." 

Batin Wibi berteriak. Yess!!

Wibi memandangi sang putri impian yang semakin menjauh, berjalan dengan mengangkat kainnya, sehingga hanya celana training dan sepatu kets berwarna putihnya yang terlihat. 

Cewek unik, suatu saat kita akan bertemu lagi, aku yakin. Ia kembali menyetarter Arjuna yang memang tidak mudah, lalu berjalan dengan diiringi polusi udara yang dihasilkan Arjuna. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penguasa hati   Hukuman

    Rima membuka kacamata hitamnya, lalu berjongkok di depan sebuah pusara yang telah dikelilingi oleh keramik berwarna biru. Jari-jari lentiknya menyisihkan beberapa helai daun kering yang berada di atas tanah menyumbul itu. Nama Zaenal Ibrahim Bin Ali tertera di nisan.“Kamu apa kabar di sana?” Suaranya tercekat, lalu terisak. "Aku kangen. Hidup tanpamu terasa begitu hampa." Baru dua bulan semenjak kepergian Zaenal, tetapi Rima merasa sudah satu abad berlalu. Malam-malam sepi tanpa ada lelakinya di sisi yang terkadang mendengkur, manja, dan memeluknya. Dua bulan yang teramat menyiksa hingga membuatnya terasa sesak. Ia inginkan lelaki yang sebelumnya terkadang menyusahkan dan sulit diatur itu kembali. Namun, apa yang bisa dibuatnya? Takdir berkata sebaliknya. Lelakinya pergi, dengan satu wasiat yang sangat berat untuk bisa ia jalani. Ingatannya berputar pada hari itu, ketika Zaenal baru saja keluar dari rumah sakit. Ia menyuapi lelakinya, meski hany

  • Penguasa hati   Mas Kawin

    Wibi mendengkus keras. Bobby, Bombom, Zasky kemudian memandanginya. Mereka sedang duduk melingkar di atas kursi kuliah yang memiliki meja berwarna putih di sebelah kanannya. “Bi, Loe denger enggak?” tanya Bombom agak keras. “Akhir-akhir ini loe kenapa, sih? Bahkan hitung data penelitian kita aja enggak becus. Jadi aja nilai kita Cuma dapet C! Padahal gue udah kerja keras mikirin konsep, Zasky dan Bobby hilir mudik nyari responden penelitian. Tapi kok, elu malah asal-asalan?!” Wibi menggenggam tangannya keras, kembali mendengkus.

  • Penguasa hati   Rusak

    “Echa … Echa ….” Suara halus Zaenal membangunkan Mahesa dari tidurnya,. “Papa ….” Ia bangkit dari ranjangnya, “Papa masih hidup?” Mahesa semringah. “Kamu ngomong apa? Ayo pergi ke sekolah,” bujuknya. Mahesa berdiri, tiba-tiba ia sudah mengenakan seragam putih-abu, dari luar ia mencium aroma udang goreng kesukaannya, berjalanlah ia ke dapur, dilihatnya seorang perempuan sedang memasak, yang tak lama kemudian berbalik. “Echa ….” Ia tersenyum, senyum yang sangat didambakan, sangat ia rindukan, “Mama ....” Ia tersenyum bahagia, sambil menangis. “Kamu kenapa, Sayang?” ibunya mendekati. “Echa kangen Mama … bertahun-tahun Echa menunggu kehadiran Mama, mengantar sekolah, berbagi cerita seperti teman-teman lainnya.” “Sayaang ....” “Echa kangen Mama.” Ia menangis. “Bangunlah, Sayang. Hidupmu masih panjang.” Senyumannya lebar. Lalu kemudian Mahesa membuka matanya. Ia menyadari bahwa barusan hanyalah mimpi. Tubuhnya l

  • Penguasa hati   Sebuah Akhir

    Belum lagi Mahesa mengunci kembali pintu rumahnya ia menyadari kehadiran Wibi di sampingnya. Lelaki itu tersenyum seakan-akan tidak terjadi apa-apa semalam, padahal Mahesa sudah mengadakan acara mengunci semua barang-barang yang dapat mengingat hubungan mereka berdua di dalam sebuah kotak kayu berwarna hitam, dan berdoa kepada Tuhan agar perasaannya dibuat tegar, tetapi kini, bukannya tegar yang ia dapatkan, rasa cinta itu kembali mencuat. “Hai,” Wibi menyapanya masih dengan ekspresi yang sama, “tidur nyenyak?” Mahesa menarik napas panjang, ia kesal tidak bisa menjawab apa adanya, tetapi juga tidak dapat berbohong karena terlihat jelas rona-rona hitam di sekeliling matanya. “Kelihatannya?” Ia melemparkan pertanyaan kembali kepada Wibi, lalu berjalan menjauhi lelaki itu. “Kelihatannya sih tidak bisa tidur, atau tidurnya cuma sedikit, atau selama tidur kamu kemimpi-mimpi aku.” Wibi mengejar Mahesa. “Minggir ….” Tangan Mahesa menggeser tubuh Wibi

  • Penguasa hati   Sebuah Keputusan

    Rima menyendok makanannya dengan lesu, ia harus makan setelah sebelumnya pingsan, siang dan malam menunggui Zaenal tanpa tidur dan makan yang cukup. Pikirannya menerawang jauh ke kamar suaminya, prihatin akan keadaannya. Dokter meminta agar Zaenal tidak diberi beban pikiran yang terlalu berat, karena kinerja jantungnya melemah. Lalu pikirannya terbang lagi ke rumah, memikirkan anak-anaknya, Aini masih kecil dan Yasmin sedang membutuhkan banyak bantuan. Lalu ia juga mengingat Mahesa, anak pembuat masalah. Dari ujung matanya, Rima dapat melihat Mahesa memasuki kantin rumah sakit, kemudian duduk di hadapannya. Cukup lama mereka terdiam, pertemuan yang hening. Rima dapat melihat wajah Mahesa yang kebingungan. Berkali-kali menahan napas. “Mama ....” Akhirnya Mahesa mengeluarkan suaranya. “Aku tidak tahu, mengapa dulu sulit sekali menyebutmu Mama.” Rima terdiam, tetap menekuri gelasnya. ”Dulu aku sangat sulit diatur, ya? Selalu melawan, membua

  • Penguasa hati   Kenangan Buruk

    Mahesa kecil kecewa, ayahnya menikah lagi, padahal belum lama ini mereka mengubur ibunya, baru minggu kemarin Mahesa bersama Zaenal pergi ke pemakaman mengganti pusara ibunya dengan keramik. Harumnya masih tercium di rumah, suaranya masih terngiang di telinga. Wujudnya selalu ada di hati. Baru saja Mahesa merasakan kebahagiaan bersama ayahnya, berjalan bersama, menunggu Zaenal memasak nasi goreng dan telur hingga gosong, tertawa hingga perut terasa sakit. Pergi ke Dunia Fantasi dan dibelikan banyak mainan. Namun, Zaenal telah menikah lagi, dan Mahesa tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak juga merasa apa-apa. Tidak menangis. “Hei ....” Suara Rima lembut, lalu menyentuh pipi Mahesa yang tirus. “Selamat pagi, Sayang.” Mahesa menelan ludahnya melihat Rima yang berpakaian tidur serba putih, berjalan menjauhinya. “Kita sarapan, yuk.” Ia menoleh ke belakang. “Pagi, Sayang.” Zaenal datang menghadang sambil menciumi kening Rima. “Sssttt, ada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status