Share

Bab 3

"Axel, mana umpannya? “ Noah berseru padaku.

Aku buru-buru berlari mendekatinya sambil membawa ember kecil berisi cacing yang tadi diserahkan Simon, pelayan Noah, sebelum kami berangkat. Noah menengadahkan tangannya, aku meletakkan cacing di tangannya. Tapi cacing yang masih hidup itu menggeliut di tangan Noah. Panik, kutangkupkan tanganku di tangan Noah mencegah si cacing kabur.

Dengungan yang familiar seketika memenuhi kepalaku. Tapi tidak ada satu patah katapun menyusul setelah dengungan itu. Aku menatap Noah heran.

“Ada apa? “

Menyadari aku yang sedang memperhatikannya Noah menghentikan kesibukannya. Kali ini suaranya terdengar jelas baik di kepala maupun di telingaku. Aku menggeleng. Tapi tidak kulepas tanganku yang sedang memegang tangan Noah. Terdengar dengung lagi kali ini. Tapi tetap tidak ada satu katapun yang berhasil aku tangkap.

“Sampai kapan kamu mau memegang tanganku?” Tanya Noah sambil menatap tajam padaku.

Aku menggeleng seperti orang bodoh.

“Cacingnya? “

“Angkat dulu tanganmu baru kuambil cacingnya. “

Aku mengangguk. Begitu kuangkat tanganku, Noah segera menyambar cacing di tangan kirinya dan memasangnya ke kail dan melempar joran ke danau. Aku mengikuti tindakannya.

Kami memperhatikan danau Emrys yang tampak tenang di musim panas dalam diam. Ini adalah musim panas terakhir kami sebagai siswa SMP. Tahun depan kami sudah menjadi siswa SMA. Meskipun bagi Noah yang mengambil home schooling semuanya terasa sama saja.

Hampir setengah jam berlalu. Tapi belum ada tanda-tanda kalau umpan kami disambar ikan. Jadi kami hanya duduk-duduk menunggu di pinggir danau tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Ada apa denganmu? “ tanya Noah akhirnya memecahkan kesunyian.

“Memangnya ada apa denganku? “ aku balik bertanya. Bingung dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.

“Kenapa kamu begitu tertarik dengan tanganku? “

Aku menatapnya bingung.

“Kamu tidak sadar kalau kamu dari tadi melirik tanganku?”

“Oh, ya? “

Noah menatapku tidak sabaran.

“Aku merasa seperti sedang diikuti penguntit, tahu. “

Aku tertawa kecut. “Maaf. “

“Apa kamu pikir jariku akan bertambah satu setiap kali kamu lirik? “

“Bukan begitu. “

“Lalu apa? “

“Aku hanya penasaran. “

“Apa jariku lengkap? “

“Bukan begitu. “

“Lalu?”

Aku mendesah. Noah bukanlah anak lelaki yang sabaran. Apalagi seperti sekarang, saat dimana dia penasaran. Dia bisa kesal jika aku tidak bisa memberikan penjelasan yang dia inginkan.

“Boleh kupegang tanganmu? “

“Boleh aku menolak? “

Aku medesah sekali lagi. Memang sudah ciri khas Noah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Atau menjawab pertanyaan dengan jawaban yang seperti teka teki.

“Ayolah. Kamu bilang, kamu ingin tahu apa tujuanku dari tadi melihat tanganmu. “

Noah menatapku sesaat lalu mengulurkan tangannya. Begitu kupegang tangan Noah yang terasa agak panas, dengungan mengisi kepalaku. Tapi aku tidak mendengar apapun setelahnya. Noah menarik tangannya dan mengangkat alisnya bertanya.

“Jadi? “

Aku bimbang sesaat. Sudah lama aku ingin bercerita ke Noah tentang kemampuanku. Ayah, Ibu dan Nenek pun tidak keberatan jika aku bercerita pada Noah. Karena mereka tahu Noah satu-satunya teman dekatku. Dia satu-satunya pengecualian dari mereka. Hanya saja aku yang tidak pernah menemukan waktu atau kata-kata yang tepat untuk memberitahunya.

“Mau cerita atau tidak? “

“Ya ya. Aku cerita. “ jawabku buru-buru melihat gelagat buruk Noah yang mulai kehilangan kesabaran.

Aku menarik nafas dalam-dalam lalu mengatakan rahasiaku padanya sambil menatap matanya.

“Aku bisa mendengar pikiran orang.”

Pupil mata Noah bergetar sesaat lalu pandangannya kembali fokus padaku.

“Lalu? “

Aku menatapnya tidak percaya. Pertanyaannya seakan kemampuanku biasa saja dan seharusnya ada yang lebih.

“Ya sudah. Itu saja.”

Kataku setengah kesal setengah lega. Kesal karena tanggapannya yang biasa saja. Lega karena aku sudah mengatakan rahasia terbesarku padanya.

“Bagaimana caranya? “

“Saat aku menyentuh tangan orang lain, aku bisa mendengar apa yang mereka pikirkan. “

“Jadi kalau kamu tidak memegang tangan mereka kamu tidak bisa mendengar? “

Aku mengangguk.

“Wah, tidak praktis sekali ya. “ komentar Noah.

Aku menatapnya tidak percaya. Noah benar-benar sebuah anomali kehidupan. Dia selalu menyikapi suatu hal dengan cara yang berbeda dan menemukan sisi yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain.

“Lalu seperti apa cara kerjanya? “

Meskipun aku agak kesal, tapi mau tidak mau aku memikirkan pertanyaannya. Tidak ada yang pernah bertanya sedetail ini padaku.

“Waktu aku menyentuh atau memegang tangan seseorang, aku akan mendengar dengungan terlebih dahulu seperti radio yang sedang mencari frekwensi yang tepat. Itu hanya sebentar. Kemudian aku baru mendengar suara mereka. Aku mendengarnya di dalam kepalaku. Bukan di telingaku. “

Noah mengangguk-angguk sambil sedikit termenung.

“Kamu mendengar pikiran mereka, ya. Bukan membaca pikiran mereka?”

Aku termenung sebentar.

“Apa ada bedanya?”

“Kamu mendengar apa yang sedang mereka pikirkan saat kamu menyentuh mereka. Dan bukan mengerti bagaimana pikiran mereka. Yang satu bisa jadi hanya sebuah pikiran sesaat. Yang lainnya adalah proses keseluruhan.”

Aku menatap Noah takjub. Kata-kata yang keluar dari mulut Noah kadang memang seperti melampaui umurnya.

“Wah, kamu cerdas sekali. “

“Kamu saja yang kurang berakal. “

Aku mengerucutkan bibirku kesal.

“Jadi saat orang lain tidak sedang memikirkan apapun saat kamu sentuh, kamu tidak akan bisa mendengar pikiran mereka, bukan?”

Kali ini aku mengangguk.

“Aku hanya akan mendengar dengung. Itu mungkin seperti mendengar benak yang bekerja. Aku hanya mendengar dengung karena belum ada pikiran atau ide atau kalimat yang terbentuk. Karena kalau orang itu benar-benar tidak berpikir, contohnya orang yang sedang tidur pulas, aku tidak akan mendengar apapun. “

Noah mengangguk paham.

“Jadi ada apa dengan pikiranku yang membuatmu penasaran? “

Aku menatapnya “Aku hanya mendengar dengungan. Apakah memang tidak ada apapun dalam pikiranmu? “

Noah menatapku balik.

“Apa kamu tidak pernah mendengar perkataan, lakukan sesuatu secara spontan atau tanpa pikir panjang? “

“Jadi itu yang membuatku tidak bisa mendengar pikiranmu? “

Noah mengangkat bahu berlagak tidak tahu.

“Jangan beri tahu siapapun tentang ini. “

“Memangnya kamu pikir siapa yang akan kuberitahu? Simon? “

“Entahlah. Siapa tahu. “

“Aku saja sering sembunyi-sembunyi melakukan sesuatu dibelakangnya. Apa kamu pikir aku akan memberitahukan kemampuanmu yang tidak spesial ini ke dia? “

Aku melotot. Noah menepuk bahuku tanpa menghiraukan protesku.

“Nanti kita cari tahu apakah kemampuanmu ini bisa dikembangkan atau tidak. “

“Kalau bisa? “

“kamu khawatir tidak bisa? “

Noah kembali menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan. Aku mendesah lalu diam. Aku terlalu lelah menanggapinya yang pandai mempermainkan kata-kata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status