"Axel, mana umpannya? “ Noah berseru padaku.
Aku buru-buru berlari mendekatinya sambil membawa ember kecil berisi cacing yang tadi diserahkan Simon, pelayan Noah, sebelum kami berangkat. Noah menengadahkan tangannya, aku meletakkan cacing di tangannya. Tapi cacing yang masih hidup itu menggeliut di tangan Noah. Panik, kutangkupkan tanganku di tangan Noah mencegah si cacing kabur.
Dengungan yang familiar seketika memenuhi kepalaku. Tapi tidak ada satu patah katapun menyusul setelah dengungan itu. Aku menatap Noah heran.
“Ada apa? “
Menyadari aku yang sedang memperhatikannya Noah menghentikan kesibukannya. Kali ini suaranya terdengar jelas baik di kepala maupun di telingaku. Aku menggeleng. Tapi tidak kulepas tanganku yang sedang memegang tangan Noah. Terdengar dengung lagi kali ini. Tapi tetap tidak ada satu katapun yang berhasil aku tangkap.
“Sampai kapan kamu mau memegang tanganku?” Tanya Noah sambil menatap tajam padaku.
Aku menggeleng seperti orang bodoh.
“Cacingnya? “
“Angkat dulu tanganmu baru kuambil cacingnya. “
Aku mengangguk. Begitu kuangkat tanganku, Noah segera menyambar cacing di tangan kirinya dan memasangnya ke kail dan melempar joran ke danau. Aku mengikuti tindakannya.
Kami memperhatikan danau Emrys yang tampak tenang di musim panas dalam diam. Ini adalah musim panas terakhir kami sebagai siswa SMP. Tahun depan kami sudah menjadi siswa SMA. Meskipun bagi Noah yang mengambil home schooling semuanya terasa sama saja.
Hampir setengah jam berlalu. Tapi belum ada tanda-tanda kalau umpan kami disambar ikan. Jadi kami hanya duduk-duduk menunggu di pinggir danau tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Ada apa denganmu? “ tanya Noah akhirnya memecahkan kesunyian.
“Memangnya ada apa denganku? “ aku balik bertanya. Bingung dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.
“Kenapa kamu begitu tertarik dengan tanganku? “
Aku menatapnya bingung.
“Kamu tidak sadar kalau kamu dari tadi melirik tanganku?”
“Oh, ya? “
Noah menatapku tidak sabaran.
“Aku merasa seperti sedang diikuti penguntit, tahu. “
Aku tertawa kecut. “Maaf. “
“Apa kamu pikir jariku akan bertambah satu setiap kali kamu lirik? “
“Bukan begitu. “
“Lalu apa? “
“Aku hanya penasaran. “
“Apa jariku lengkap? “
“Bukan begitu. “
“Lalu?”
Aku mendesah. Noah bukanlah anak lelaki yang sabaran. Apalagi seperti sekarang, saat dimana dia penasaran. Dia bisa kesal jika aku tidak bisa memberikan penjelasan yang dia inginkan.
“Boleh kupegang tanganmu? “
“Boleh aku menolak? “
Aku medesah sekali lagi. Memang sudah ciri khas Noah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Atau menjawab pertanyaan dengan jawaban yang seperti teka teki.
“Ayolah. Kamu bilang, kamu ingin tahu apa tujuanku dari tadi melihat tanganmu. “
Noah menatapku sesaat lalu mengulurkan tangannya. Begitu kupegang tangan Noah yang terasa agak panas, dengungan mengisi kepalaku. Tapi aku tidak mendengar apapun setelahnya. Noah menarik tangannya dan mengangkat alisnya bertanya.
“Jadi? “
Aku bimbang sesaat. Sudah lama aku ingin bercerita ke Noah tentang kemampuanku. Ayah, Ibu dan Nenek pun tidak keberatan jika aku bercerita pada Noah. Karena mereka tahu Noah satu-satunya teman dekatku. Dia satu-satunya pengecualian dari mereka. Hanya saja aku yang tidak pernah menemukan waktu atau kata-kata yang tepat untuk memberitahunya.
“Mau cerita atau tidak? “
“Ya ya. Aku cerita. “ jawabku buru-buru melihat gelagat buruk Noah yang mulai kehilangan kesabaran.
Aku menarik nafas dalam-dalam lalu mengatakan rahasiaku padanya sambil menatap matanya.
“Aku bisa mendengar pikiran orang.”
Pupil mata Noah bergetar sesaat lalu pandangannya kembali fokus padaku.
“Lalu? “
Aku menatapnya tidak percaya. Pertanyaannya seakan kemampuanku biasa saja dan seharusnya ada yang lebih.
“Ya sudah. Itu saja.”
Kataku setengah kesal setengah lega. Kesal karena tanggapannya yang biasa saja. Lega karena aku sudah mengatakan rahasia terbesarku padanya.
“Bagaimana caranya? “
“Saat aku menyentuh tangan orang lain, aku bisa mendengar apa yang mereka pikirkan. “
“Jadi kalau kamu tidak memegang tangan mereka kamu tidak bisa mendengar? “
Aku mengangguk.
“Wah, tidak praktis sekali ya. “ komentar Noah.
Aku menatapnya tidak percaya. Noah benar-benar sebuah anomali kehidupan. Dia selalu menyikapi suatu hal dengan cara yang berbeda dan menemukan sisi yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain.
“Lalu seperti apa cara kerjanya? “
Meskipun aku agak kesal, tapi mau tidak mau aku memikirkan pertanyaannya. Tidak ada yang pernah bertanya sedetail ini padaku.
“Waktu aku menyentuh atau memegang tangan seseorang, aku akan mendengar dengungan terlebih dahulu seperti radio yang sedang mencari frekwensi yang tepat. Itu hanya sebentar. Kemudian aku baru mendengar suara mereka. Aku mendengarnya di dalam kepalaku. Bukan di telingaku. “
Noah mengangguk-angguk sambil sedikit termenung.
“Kamu mendengar pikiran mereka, ya. Bukan membaca pikiran mereka?”
Aku termenung sebentar.
“Apa ada bedanya?”
“Kamu mendengar apa yang sedang mereka pikirkan saat kamu menyentuh mereka. Dan bukan mengerti bagaimana pikiran mereka. Yang satu bisa jadi hanya sebuah pikiran sesaat. Yang lainnya adalah proses keseluruhan.”
Aku menatap Noah takjub. Kata-kata yang keluar dari mulut Noah kadang memang seperti melampaui umurnya.
“Wah, kamu cerdas sekali. “
“Kamu saja yang kurang berakal. “
Aku mengerucutkan bibirku kesal.
“Jadi saat orang lain tidak sedang memikirkan apapun saat kamu sentuh, kamu tidak akan bisa mendengar pikiran mereka, bukan?”
Kali ini aku mengangguk.
“Aku hanya akan mendengar dengung. Itu mungkin seperti mendengar benak yang bekerja. Aku hanya mendengar dengung karena belum ada pikiran atau ide atau kalimat yang terbentuk. Karena kalau orang itu benar-benar tidak berpikir, contohnya orang yang sedang tidur pulas, aku tidak akan mendengar apapun. “
Noah mengangguk paham.
“Jadi ada apa dengan pikiranku yang membuatmu penasaran? “
Aku menatapnya “Aku hanya mendengar dengungan. Apakah memang tidak ada apapun dalam pikiranmu? “
Noah menatapku balik.
“Apa kamu tidak pernah mendengar perkataan, lakukan sesuatu secara spontan atau tanpa pikir panjang? “
“Jadi itu yang membuatku tidak bisa mendengar pikiranmu? “
Noah mengangkat bahu berlagak tidak tahu.
“Jangan beri tahu siapapun tentang ini. “
“Memangnya kamu pikir siapa yang akan kuberitahu? Simon? “
“Entahlah. Siapa tahu. “
“Aku saja sering sembunyi-sembunyi melakukan sesuatu dibelakangnya. Apa kamu pikir aku akan memberitahukan kemampuanmu yang tidak spesial ini ke dia? “
Aku melotot. Noah menepuk bahuku tanpa menghiraukan protesku.
“Nanti kita cari tahu apakah kemampuanmu ini bisa dikembangkan atau tidak. “
“Kalau bisa? “
“kamu khawatir tidak bisa? “
Noah kembali menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan. Aku mendesah lalu diam. Aku terlalu lelah menanggapinya yang pandai mempermainkan kata-kata.
“Apakah Lord Enki sudah kembali?”Hari ini kami ditemui penjaga yang sama seperti di hari pertama kami tiba.“Ya. Tapi hari ini ia tidak bersedia menemui siapapun karena masih ada urusan yang belum terselesaikan dari perjalanan kemarin. Jadi kalian kembalilah besok.”Aku mendesah tak senang.“Tapi beliau tahu bahwa kami datang kan?”“Ya. Karena itu kalian besok akan kami beri kabar saat Lord Enki siap menerima kalian.”“Tapi benar-benar besok kan?” Aku mulai kehilangan kesabaranku. Selalu begini setiap kali kami ingin bertamu di Dharana. Padahal kali ini bukan kami yang ingin datang. Tapi masih saja kami dipersulit.Penjaga itu mengangguk.Mau tak mau kami pun beranjak pergi. Bagaimanapun kami tidak punya pilihan lain.Dan panggilan ke istana itu benar-benar datang keesokan harinya. Tepat disaat hidangan makan siang Pratvi baru saja disajikan di meja. Pikiran dan perutku berseteru. Kedongkolanku semakin memuncak jadinya.Tapi mau tak mau kami harus segera berangkat ke istana. Takut ji
“Kapan sebaiknya kita ke istana?” Tanya Ashlyn setelah kami selesai makan.“Jika dilihat dari mendesaknya pesan yang diterima Raja Narawana harusnya kita sewaktu-waktu bisa langsung ke istana bukan?” Jawabku. “Bagaimana kalau nanti sore setelah kita isirahat?”“Apa kau pikir pesan itu masih bisa kita jadikan acuan jika kita datang hampir tujuh hari terlambat dari waktu yang seharusnya?” Kata-kata Lynx membuat kami semua langsung menyadari posisi tidak menguntungkan yang kami hadapi.“Lalu?”“Lebih baik kita kesana besok. Malam ini beristirahatlah sebaik mungkin. Hemat tenaga kalian. Kita tidak tahu apa yang menunggu kita di istana.”“Kita menginap disini saja kalau begitu.”“Ya. Itu pilihan terbaik yang kita punya.”Keesokan harinya kami berangkat ke istana setelah menghabiskan semua masakan Pratvi. Matahari bersinar hangat saat kami berhenti di pos penjagaan. Melaporkan maksud kedatangan kami.“Kami ingin bertemu Lord Enki.” Kataku. Penjaga di hadapanku melihatku dari atas ke bawah l
Kami sedang bersiap saat Flaresh datang. Hanya beberapa menit setelah gerimis benar-benar berhenti. Hujan turun semalaman membuat kami tidur sangat nyenyak dan bangun lebih siang.“Ayo.”Aku memandangnya dengan kesal. Kemana saja dia. Kenapa datang-datang main perintah seenaknya.Tapi tak urung kami mempercepat pekerjaan kami dan dalam sesaat sudah berada di atas kuda, siap memulai kembali perjalanan. Dengan kecepatan penuh kami memacu kuda dan lewat tengah hari kami sudah memasuki Dharana.Pemandangan serba putih yang familiar menyambut kami.“Bagaimana kalau kita makan siang di tempat Pratvi? Kita bisa sekalian istirahat sebelum ke istana.” usul Ashlyn.“Ayo, ayo. Aku ingin menikmati kue berlapis madunya yang lezat.” Kata Firroke.“Hmmm.. Sepertinya menarik. Memang sudah waktunya kita makan siang.” Kata Esen. “Bagaimana, Lynx?”Lynx mengangguk.“Tentu saja.”“Tunjukkan jalannya Ash.”Ashlyn mengangguk lalu memacu Tashi sedikit lebih cepat, memimpin rombongan.“Kalian pasti akan suka
Kami memasuki hamparan perbukitan berwarna coklat muda dan krem. Angin dari atas bukit berhembus sejuk menyambut kami.Disini sangat berbeda dengan Deruta yang sebelumnya kami singgahi meskipun masih ada beberapa kontur alam yang mirip. Di beberapa tempat terlihat gerombolan pohon seperti di Deruta namun berwarna lebih muda bahkan memutih. Tepat di tengah-tengah, memotong perbukitan, sebuah sungai mengalir tenang hampir tanpa arus seperti sebuah danau. Airnya yang kecoklatan mengingatkanku pada susu coklat.“Sepertinya di atas hujan.” Kata Flaresh. Aku menangkap nada tidak senang dalam perkataannya.“Ya. Semalam.” Kata Lynx setelah memperhatikan dengan seksama aliran air sungai.“Ini Eresfodir?” Tanya Esen yang melihat perbedaan kontur wilayah ini dengan Deruta yang sebelumnya kami singgahi.“Ya.”“Sangat berbeda dengan Deruta tapi sekaligus mirip ya.”Lynx terdiam sebentar lalu mengangguk.“Kau bisa bilang begitu."“Aku pikir tidak akan jauh berbeda dengan Dharana. Ternyata pikirank
“Lynx!” Seru Era. Lynx berbalik dan langsung disergap Era yang memeluknya erat-erat.“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Lynx sambil memegang bahu Era dengan kedua tangannya dan memandangnya dari atas ke bawah, memeriksanya dengan seksama.“Aku baik-baik saja.”Lynx menganggguk dengan mata berbinar.“Aku bisa mellihatnya.” Ia mengalihkan pandangannya ke Gaja. “Terima kasih sudah membantu dan menjaga mereka.”Gaja mengangguk.“Sudah tugasku.”Lynx mengangguk pada penjaga teman Gaja yang pernah kami temui saat pertama kali sampai di sini dan berjalan pergi.“Kalau begitu kami pamit. Kami akan meneruskan perjalanan. Terima kasih untuk semuanya, Gaja.” Kata Esen. kami melakukan hal yang sama.“Hati-hati.”“Terima kasih.” Kata Esen pada penjaga satunya untuk terakhir kalinya lalu kami segera menusu Lynx yang telah mendahului kami.Kami sampai di Deruta disambut matahari yang bersinar hangat.Dan seraut wajah tanpa ekspresi berwarna perunggu.“Flaresh.” Seru Era. Flaresh mengangguk. Tidak ada kali
“Bagaimana keadaan Era?” Esen bertanya kepada Bibbat yang baru saja memeriksa Era.“Semuanya normal. Ia sangat sehat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Syukurlah.” Esen menghembuskan nafas lega.“Berarti kami sudah boleh pulang bukan?” Tanya Era.“Kau sudah ingin pulang?”“Ya. Kami sudah terlalu lama disini. Kami harus segera menyelesaikan tugas kami yang tertunda.”Ashlyn menatapnya.“Kau yakin?”Era mengangguk.“Kita harus segera pergi.”Bibbat memandang Era sebentar lalu memandang kami yang berdiri di sekeliliing tempat tidur.“Bagaimana dengan kalian”“Kami mengikuti keinginan Era. Jika ia bilang berangkat, kami akan berangkat. Tapi kami akan mendengarkan pertimbanganmu.”“Baiklah jika itu keputusan kalian. Dengan keadaan Putri Era saat ini kalian bisa memulai kembali perjalanan kalian kapanpun yang kalian mau.”“Baiklah, kalau begitu kami akan berangkat besok.”“Jika itu mau kalian.”“Terima kasih atas pengertian dan bantuanmu.”“Aku akan memberi pesan Gaja agar ia bisa mem