Share

Bab 4

Auteur: Giselle
Di dalam ruang privat, cahaya terang benderang menyinari wajah Damar. Wajahnya setenang patung. Rokok di antara ujung jarinya menyala dan membakar jarinya, tetapi Damar seolah tak merasakannya.

Damar samar-samar mencium bau daging terbakar.

Itu miliknya sendiri.

Namun, sarafnya tampak lumpuh. Tiba-tiba, dia bangkit berdiri dan membungkuk untuk memunguti jas yang terjatuh ke tanah.

Ekspresinya tetap acuh tak acuh, tetapi sorot tatapannya tampak kelam.

"Ada sesuatu yang mendesak terjadi di rumah sakit, jadi aku pergi sekarang."

Setelah itu, Damar buru-buru berjalan pergi.

Langkahnya sampai meninggalkan embusan angin.

Tampaknya dia tidak ingin tinggal di sini lebih lama lagi.

Aldi mengejarnya, tetapi sosok Damar sudah menghilang dengan cepat.

Aldi pun kembali ke ruang privat.

Tiba-tiba, ada seorang siswi yang sedari tadi hanya diam pun angkat bicara dengan ragu-ragu. Suaranya sangat lembut, tetapi langsung membuat ruang privat itu hening. "Apa kalian nggak mendengar gosipnya?"

"Gosip apa?"

"Almira dan Damar sama-sama kuliah Universitas Solana. Mereka diam-diam menjalin hubungan selama tiga tahun waktu kuliah."

Semua orang sontak terkejut.

Suara Isabel pun meninggi. "Mona, kamu bercanda? Almira? Si gendut jelek itu? Mana mungkin Damar sebuta itu? Kamu lagi mengigau, ya?"

"Iya, Mona, apa ingatanmu kacau? Kalau seorang Almira bisa mendapatkan Damar, aku pasti sudah jadi istri dari putra Keluarga Abimanyu sekarang."

Salah seorang siswa pun menyahut, "Hei, nggak boleh bilang begitu. Almira memang gemuk, tapi dia nggak jelek. Kulitnya putih dan suaranya lembut."

Mona mengangguk. Dia juga terkejut saat pertama kali mengetahuinya. "Aku serius. Kakak perempuanku itu lulusan Universitas Solana. Gosip ini sudah tersebar luas di seluruh Universitas Solana. Seorang gadis gemuk menjalin hubungan rahasia dengan pria tertampan di kampus selama tiga tahun. Kalau nggak percaya, tanya saja pada Damar."

Namun, siapa di antara mereka yang berani bertanya pada Damar?

Mereka merasa gosip ini terlalu keterlaluan, tetapi melihat Mona begitu yakin tentang hal ini, mereka jadi percaya.

"Tapi, apa Almira benar-benar sudah tiada?"

"harusnya," sahut Isabel dengan kesal. "Tadi 'kan Rini baru saja mengatakan bahwa dia melihat dengan mata kepalanya sendiri ada tumor tumbuh di perut Almira?"

"Dia pasti sudah meninggal. Kalau nggak, masa iya nggak ada seorang pun yang bisa menghubunginya selama bertahun-tahun ini?"

Semua orang merasa ini benar. Di era dengan kemajuan internet seperti sekarang, Almira pasti sudah tiada.

Damar berjalan ke sudut jalan dan bertabrakan dengan seseorang saat berbelok.

Itu karena Damar berjalan dengan terburu-buru.

Pihak lain yang ditubruk pun mengaduh.

Tubuhnya terhuyung beberapa langkah.

Puspa refleks meraih sesuatu secara acak. Ketika dia berhasil menenangkan diri dan berdiri tegap, ternyata dia sedang mencengkeram kerah kemeja Damar.

"Ma … maaf."

Puspa refleks meminta maaf. Saat dia mendongak menatap orang yang menubruknya dan melihat wajah tampan yang familier itu, bibirnya langsung memucat.

Puspa tidak menyangka akan bertemu Damar lagi.

Apa dunia ini sekecil itu?

Damar juga mengatakan maaf tanpa memedulikan Puspa, lalu melangkah pergi. Pikiran Damar terasa kacau, dia perlu mencari tempat untuk menenangkan diri.

Aroma yang samar-samar tercium dan terkesan dingin itu pun menghilang.

Puspa masih berdiri termangu.

Dia baru saja keluar untuk menggunakan kamar kecil, tetapi malah tiba-tiba bertemu dengan orang yang paling dikenalnya.

Puspa pun menunduk menatap tanah.

Ada kancing manset pria yang dibuat dengan sangat indah dan tergeletak di atas sana.

Puspa mengambilnya dan refleks berbalik untuk mengejar ke arah Damar pergi. Setelah berjalan beberapa langkah, Puspa tiba-tiba berhenti.

Mereka 'kan tidak memiliki hubungan apa pun sekarang.

Hubungan terbaik adalah bertemu satu sama lain tanpa saling mengenal.

Puspa pulang ke rumah dan mandi. Dia berbaring di tempat tidur dan memandangi kancing yang ia letakkan di meja samping tempat tidur.

Puspa mengusap kancing itu dengan lembut dan hanyut dalam lamunan.

Kebiasaan dan kesukaan Damar tampaknya tidak berubah.

Dulu, Damar juga sangat menyukai merek ini.

Kecil, sederhana dan berkualitas tinggi.

Dering ponsel pun membuyarkan nostalgia Puspa.

Saat melihat siapa yang menelepon, Puspa langsung mengangkatnya.

"Halo, Nenek."

"Almira, kenapa kamu mengirimi Nenek uang lagi? Nenek nggak pakai. Nenek hanya diam di rumah, jadi nggak banyak belanja."

Mendengar suara neneknya yang menyalahkan sekaligus khawatir, Puspa pun tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, tolong Nenek bantu aku simpan saja."

Mereka mengobrol selama beberapa menit.

Akhir-akhir, Puspa ini sibuk dengan pekerjaannya. Sebenarnya, dia awalnya berencana untuk mengajak Sisy pulang ke kampung halamannya sebelum sekolah dimulai, tetapi dia tidak sempat saking sibuknya bekerja. Jadi, Puspa berniat untuk menunggu sampai pekerjaannya lebih stabil, lalu mengajak neneknya datang untuk menginap selama beberapa hari.

Puspa hanya memiliki satu kerabat.

Tepat saat Puspa hendak menutup telepon, suara neneknya pun terdengar. "Almira, pamanmu mungkin .... Biarpun begitu, dia tetap pamanmu. Dia pulang beberapa waktu lalu dan bertanya tentangmu."

Suara neneknya Puspa terdengar ragu.

Sebenarnya, Puspa tidak ingin neneknya mengkhawatirkan hal-hal ini.

Orang tuanya bercerai ketika dia masih sangat kecil. Ibunya pergi dan tidak pernah kembali. Bahkan ketika kakeknya meninggal, ibunya juga tidak pernah kembali.

Puspa baru berusia dua tahun saat itu, jadi dia tidak begitu ingat tentang ibunya.

Satu-satunya kenangan tentang ayahnya adalah bahwa ayahnya itu seorang penjudi. Ketika kalah, ayahnya akan bersembunyi. Ketika menang, ayahnya akan membelikannya makanan lezat. Ketika bersembunyi, ayahnya pasti akan meninggalkannya di rumah kakek-neneknya.

Jadi, Puspa dibesarkan oleh kakek-neneknya.

"Iya, Nenek," jawab Puspa dengan lembut.

Namun, ini hanyalah kata-kata Puspa untuk menghibur neneknya. Puspa tidak ingin menyebut-nyebut paman dan bibinya, dia juga tidak berencana untuk menghubungi mereka.

Sekalipun mereka tinggal di kota yang sama.

Telepon pun ditutup.

Puspa meletakkan kancing manset tersebut dalam kantong kemasan yang tertutup rapat dan menyimpannya dengan baik.

Minggu ini, dia membawa putrinya ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin sambil menghindari janji temu dengan Damar. Damar memeriksa pasien setiap Selasa, jadi Puspa datang pada hari Senin atau Rabu.

Namun, Puspa bukannya tidak pernah bertemu Damar lagi.

Rumah sakit adalah tempat yang dihuni banyak orang.

Ekspresi semua orang tampak sedih dan lelah karena terburu-buru dan sakit. Puspa yang mengenakan masker pun menggandeng tangan putrinya dan berjalan masuk ke dalam lift yang penuh sesak.

Ada yang masuk, ada pula yang keluar.

Tiba-tiba, ada seorang perawat yang memanggil, "Dokter Damar."

Sebuah suara berat terdengar dari belakang.

Puspa menggenggam tangan putrinya erat-erat dan merasakan Damar berdiri di belakangnya. Dia bahkan hampir bisa merasakan napas Damar.

Kemudian, mereka sampai di lantai tiga dan kerumunan itu keluar. Mereka menuju area yang sama. Puspa berbaris di luar ruang nomor 6 dan menyaksikan Damar berjalan masuk ke ruang nomor 8.

"Bu, telapak tangan Ibu berkeringat."

Sisy tiba-tiba menengadah dan menggenggam tangan Puspa.

Puspa sedikit menundukkan pandangannya dan mengendurkan tangannya. Dia juga melihat telapak tangannya dipenuhi keringat.

Setiap kali bertemu Damar lagi, Puspa pasti merasa gugup.

Padahal, Puspa tahu betul.

Damar tidak mengenalinya.

Bertemu lagi dengan Damar adalah sebuah insiden yang berada di luar kendalinya.

Namun, tetap saja jantung Puspa berdebar dengan kencang.

Puspa akhirnya meletakkan kancing manset yang tertinggal diterpa angin sore itu di atas meja resepsionis.

Malam harinya, Puspa pergi ke kamar tidur sampingnya untuk menengok putrinya. Sisy sedang tidur nyenyak sambil memeluk boneka kelinci.

Sisy terlihat sangat mirip dengan Damar.

Alis, mata dan batang hidungnya.

Puspa pergi ke kamar mandi, lalu memandang pantulan dirinya di cermin.

Puspa bertubuh kurus, berkulit cerah, berambut panjang yang tergerai sebahu, pupil matanya tampak berbinar dan bibirnya berwarna merah muda. Sama sekali tidak ada yang bisa mengaitkannya dengan gadis gemuk tujuh tahun lalu.

Di Kota Solana yang merupakan kota besar dan memiliki populasi lebih dari 10 juta jiwa, perjumpaan sekilas berarti hanya sekadar orang yang lewat sebentar.

Malam itu, Damar pulang ke rumah Keluarga Abimanyu.

Sambil makan, Dipta Abimanyu mendengkus dingin dan meletakkan sendoknya. Bu Elvira memelototi suaminya, lalu menatap putra bungsunya.

Pada tahun pertama setelah dia menikah dengan Dipta, sahabatnya meninggal dalam kecelakaan pesawat.

Sahabatnya itu meninggalkan seorang putra berusia 12 tahun, Ario Rahaja.

Keluarga Abimanyu pun mengadopsi Ario, lalu mengubah nama keluarganya menjadi Abimanyu.

Bu Elvira baru hamil saat sudah berusia 33 tahun dan melahirkan putrinya, Naira Abimanyu.

Grup Abimanyu juga diserahkan kepada Ario dan Naira untuk dikelola.

Saat berusia 45 tahun, Bu Elvira akhirnya melahirkan putra kembar, Aditya dan Damar Abimanyu. Sayangnya, terjadilah sebuah kasus penculikan yang menggemparkan Kota Solana 20 tahun lalu ....

Aditya dan Damar diculik, tetapi salah satu dari mereka terbunuh.

Damar yang merupakan putra bungsu berhasil selamat.

Saat teringat akan mendiang putranya, mata Bu Elvira menjadi berkaca-kaca.

Namun, saat melihat suasana makan malam hari ini, di mana semua orang tampak bersemangat, Bu Elvira pun diam-diam menyeka air matanya dan memfokuskan perhatiannya kepada putra bungsunya.

Putra bungsunya juga sangat cakap. Damar tidak pernah membuat orang tuanya khawatir sejak kecil. Satu-satunya kekurangan Damar adalah karena anak itu begitu tidak berperasaan.

Bu Elvira telah beberapa kali curiga dan khawatir, jangan-jangan putra bungsunya menderita penyakit tersembunyi.

Bu Elvira sudah berusia 70 tahun lebih tahun ini. Biasanya dia selalu ceria, tetapi ekspresinya saat ini terlihat galak. "Damar, kamu seharusnya bertemu putri dari Keluarga Lingga Rabu ini. Kenapa kamu nggak pergi?"

"Hmm," sahut Damar.

"Apa maksud 'hmm'-mu itu?" Bu Elvira mengusap alisnya. "Ibu sudah pernah bertemu dengan Nona Natasha dari Keluarga Lingga. Dia sangat cantik dan sering datang ke rumah sini saat masih kecil. Kakek kalian berdua adalah rekan seperjuangan. Kamu harus bertemu dengannya dan mengenalnya. Sekalipun kamu nggak menyukainya, kamu tetap harus mengenalnya dulu .... Usiamu hampir 30 tahun."

Damar mengernyit. "Kalau begitu, Ibu atur saja."
Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 100

    Namun, di balkon itu, seolah ada batas antara terang dan gelap.Sosok pria yang tegap dan ramping berdiri di antara cahaya redup dan bayangan.Tak seorang pun tahu.Dia menjawab pertanyaan itu dengan sungguh-sungguh.…Hari ini, Puspa datang ke kantor agak terlambat. Meskipun di Studio Desain L&M jam kerjanya fleksibel, tetapi seiring berjalannya waktu, tahun ini hampir berakhir. Menjelang akhir tahun dan penilaian kinerja, semua orang mulai bekerja lebih giat.Baru saja Puspa duduk di mejanya, karena beberapa hari lalu komputernya bermasalah dan teknisi belum memperbaikinya, Puspa pun terpaksa mengeluarkan tabletnya dari tasnya.Belum sempat duduk dua menit dan melepas jaket, rapat rutin sudah dimulai. Seperti biasa, prosesnya tidak pernah berubah. Setelah rapat bubar, Natasha memanggilnya.Natasha meminta Puspa mengerjakan sebuah pesanan pribadi, merancang sebuah gaun pesta, dengan tenggat setengah bulan.Natasha menawarkan harga yang pantas dan Puspa mengangguk setuju."Baik, akan k

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 99

    "Mana ada orang berkata begitu tentang adiknya sendiri? Kamu ini kok nggak mendoakan yang baik-baik."Belum sempat Naira menjawab ….Elvira sudah menambahkan, "Aku tahu, sepupunya Rama itu kan Argo. Kakeknya Argo profesor senior di Universitas Solana. Sepertinya, dia pasti sulit menerima keadaan seperti ini."Naira tak berhasil mendapatkan jawaban. Hatinya juga ikut merasa tak tenang.Naira menopang lengan Elvira, berjalan menuju taman kecil di luar rumah. Keduanya berjalan santai sambil mengobrol.Elvira terlihat seperti seorang nenek-nenek ramah yang sedikit usil. Namun, di masa mudanya dia pernah mendampingi Dipta berkiprah di dunia bisnis. Pengalamannya dan wawasannya tentu luar biasa.Naira akhirnya masih mencoba membela diri. "Aku cuma bilang andaikan saja .…""Andaikan sekalipun tetap nggak boleh. Kalimat ini cuma boleh kamu ucapkan di depanku saja. Kalau ayahmu sampai dengar, bisa-bisa dia marah besar dan tekanan darahnya langsung melonjak."…Damar pulang ke rumah.Nemo hanya

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 98

    Alis Damar sedikit bergetar.Dia menunduk, menggigit sebuah apel.Di luar jendela, malam begitu pekat. Hanya lampu jalan, pejalan kaki dan bayangan kendaraan yang samar berbaur.Cahaya itu jatuh di wajahnya.Dalam dan dingin.Lalu menerangi apel di tangannya, merah menyala, indah sekali.Sisy memberinya apel itu, yang terbesar dan paling merah di antara semuanya.Namun, makin dimakannya, rasa asamnya makin menusuk."Bilang pada ibu, minggu depan aku sibuk. Minggu depannya lagi juga sibuk. Suruh dia nggak usah repot soal itu. Beberapa putri keluarga terpandang yang dia kenalkan padaku, aku nggak akan datang ke pertemuan itu."Naira merasa, saat ini hal yang paling mendesak bukan soal datang atau tidak datang ke pertemuan.Namun ….Adiknya.Pewaris bungsu Keluarga Abimanyu. Keluarga konglomerat papan atas di Kota Solanaakan ikut campur dalam pernikahan orang lain."Damar, kamu tahu nggak, kalau orang tua kita sampai tahu, ini bisa jadi masalah besar?""Kan sekarang mereka belum tahu? La

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 97

    "Hmm." Sisy mengerjap-ngerjapkan matanya."Kalau begitu, Sisy juga suka Paman Rudy?""Suka, dong."Ibu Rudy sangat akrab dengan Nenek Aryani. Mereka tinggal di kompleks yang sama. Nenek Aryani tinggal sendirian di rumah. Jika pancuran bocor atau lampu rusak, Rudy biasanya datang membantu memperbaiki saat dia sedang luang.Sisy sudah sering melihatnya.Puspa semula mengira gadis kecil itu akan menjawab dengan tegas.Berhubung anak-anak seusia ini biasanya berpikir lebih sederhana daripada orang dewasa.Namun, yang tidak disangka Puspa ….Sisy justru melihat tanda-tanda keraguan dan berpikir di wajah Sisy."Suka Paman Eudy itu bagus, tapi Paman Damar lebih … lebih bagus."Melihat Puspa terdiam ….Sisy melanjutkan kata-katanya, "Ibu, waktu ulang tahunku nanti, boleh nggak ajak Leo dan Paman Damar datang bersama?"Ulang tahun Sisy jatuh satu minggu lagi.Puspa mengusap rambut gadis kecil itu. "Sisy, hari itu kan hari Sabtu. Kita harus pulang menemui buyut.""Oh." Gadis itu sedikit kecewa.

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 96

    Damar duduk di sofa.Sofanya kecil, tetapi sangat empuk.Di atasnya terhampar bantalan sofa berwarna krem.Ruang tamunya tidak besar, tetapi di setiap sudut terasa kehangatan.Di atas meja, ada bunga dalam vas kaca bening.Di ambang jendela, beberapa pot tanaman sukulen tersusun rapi.Televisinya kecil dan model lama. Di meja televisi menempel beberapa stiker bergambar yang disukai anak perempuan.Udara di ruangan membawa aroma segar dan nyaman.Permukaan meja agak berantakan, ada buku milik seorang gadis, selembar buletin tulis tangan dan berbagai spidol cat air. Begitu pulang, Sisy langsung duduk di sana, menggambar dengan penuh keseriusan.Damar memandangnya.Sisy mengangkat kepalanya. "Paman Damar, mau makan buah?"Damar ingin berkata, aku nggak mau.Namun, dia malah menganggukkan kepalanya.Sisy segera berdiri, berlari kecil ke arah kulkas. Saat dia berlari, ekor kuda rambutnya bergoyang ke sana kemari, sungguh menggemaskan.Sisy membuka kulkas, berjinjit, lalu memanggil ibunya. S

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 95

    Di dalam kompleks, tidak banyak orang yang tahu jika dia pernah menikah dan bercerai dengan Albert. Pernikahan yang mereka sepakati itu pun bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan atau layak diumbar. Terutama bagi orang-orang yang lebih tua, mereka tidak akan memahaminya.Daripada membuang-buang waktu menjelaskan kepada orang yang memang tidak mau mendengar, percuma saja. Jika kamu menjelaskannya kepada nenek-nenek berusia enam puluh atau delapan puluh tahun, mereka juga tidak akan percaya.Lama-kelamaan, Puspa hanya ingin menjalani hidupnya dengan baik. Dia memilih untuk tidak mendengar ucapan-ucapan yang menyakitkan itu.Tiba di depan rumah.Sisy tiba-tiba tersenyum pada Puspa.Sepertinya Sisy merasa permainan barusan sangat menyenangkan.Di dunia gadis kecil yang polos dan murni itu,Mama mendorong Paman Damar maju, seperti sedang bermain.Puspa pun tersenyum, mengulurkan jari dan mencolek ujung hidung gadis itu. "Ayo turun."Di depan putrinya, Puspa selalu merasa memiliki kekuatan t

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status