Kirana mengikuti langkah Mahira seperti mengikuti arus sungai yang tak sempat dipertanyakan—ia tak berpikir, hanya melangkah.
Mahira tampak begitu percaya diri, seolah klub malam itu bagian dari tubuhnya sendiri. Begitu pintu kaca berbingkai emas terbuka, dentuman bass menyambut mereka seperti riuh napas dari makhluk hidup yang tak sabar ingin menyentuh mereka.
Seorang pegawai dengan jas hitam rapi dan senyum profesional langsung menghampiri, lalu mengantar mereka ke bilik kecil di tepi lantai dansa.
Sofa berbahan beludru merah darah, dinding berpanel kayu gelap, dan aroma alkohol bercampur parfum mewah melingkupi mereka seperti kabut malam yang padat.
Lampu sorot berwarna ungu dan biru menari-nari di atas kerumunan. Pria dan wanita berpakaian mencolok bergerak bebas, seolah gravitasi telah memberi mereka izin untuk melupakan beban.
Kirana menelan udara yang pekat dengan suara, cahaya, dan rasa asing—namun justru di dalam kekacauan itul
Semua kepala berputar nyaris serempak ke arah pintu masuk bar. Sorot lampu neon yang memantul di dinding kaca sejenak menyoroti wajah-wajah penasaran, termasuk Raka, yang kini berdiri setengah membungkuk, pandangannya tertambat pada satu titik.Mata Raka menyipit, nyaris seperti mencoba menembus kegelapan dan kebisingan musik. Di sudut ruangan, di antara kerumunan meja yang ramai dan asap tipis dari rokok elektrik, ia menangkap sosok yang sangat ia kenal.Kirana. Duduk santai, setengah membelakangi lampu, rambutnya tergerai longgar menutupi bahu.Jadi tadi dia hanya tidak terlihat. Mungkin turun ke lantai dansa, atau sekadar menghindar. Entahlah. Tapi sekarang, di bawah cahaya redup dan dentuman musik elektronik, Kirana terlihat begitu berbeda.Tawanya pecah, lepas, mengalir tanpa beban. Ia dikelilingi beberapa pria, dan salah satu dari mereka—berwajah ramah, tubuh tegap, mengenakan jam tangan mahal yang menyembul dari balik lengan kemeja—teng
Denting gelas dan tawa samar terdengar bercampur di udara malam yang hangat, memantul lembut di dinding bar yang remang, di mana lampu gantung berkerlap-kerlip menggantung seperti bintang yang sengaja dipasang lebih rendah.Aroma alkohol, parfum mahal, dan kulit sintetis dari sofa menyatu dalam udara yang terasa penuh, namun tidak menyesakkan.Beberapa langkah dari meja tempat Yuda dan teman-temannya berkumpul, Mahira berdiri dengan angkuh ringan di balik senyumnya yang jenaka.Sepasang mata cokelat tajamnya menyapu satu per satu wajah pria di sana, sebelum akhirnya berhenti pada Yuda.“Wah, kalian cukup oke juga,” ucap Mahira, mengangkat sebelah alis dan menyandarkan tubuh pada kursi tinggi.“Masih single semua, kan?”Nada suaranya ringan tapi menggoda, seperti uap anggur yang menguar perlahan dari gelas kristal.Seorang pria bertubuh ramping dengan rambut sedikit acak menjawab, senyumnya santai. “Kalau
Kirana mengikuti langkah Mahira seperti mengikuti arus sungai yang tak sempat dipertanyakan—ia tak berpikir, hanya melangkah.Mahira tampak begitu percaya diri, seolah klub malam itu bagian dari tubuhnya sendiri. Begitu pintu kaca berbingkai emas terbuka, dentuman bass menyambut mereka seperti riuh napas dari makhluk hidup yang tak sabar ingin menyentuh mereka.Seorang pegawai dengan jas hitam rapi dan senyum profesional langsung menghampiri, lalu mengantar mereka ke bilik kecil di tepi lantai dansa.Sofa berbahan beludru merah darah, dinding berpanel kayu gelap, dan aroma alkohol bercampur parfum mewah melingkupi mereka seperti kabut malam yang padat.Lampu sorot berwarna ungu dan biru menari-nari di atas kerumunan. Pria dan wanita berpakaian mencolok bergerak bebas, seolah gravitasi telah memberi mereka izin untuk melupakan beban.Kirana menelan udara yang pekat dengan suara, cahaya, dan rasa asing—namun justru di dalam kekacauan itul
Kirana termenung sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Matanya menatap Wiratama dengan sorot lembut yang baru muncul setelah sekian lama tenggelam dalam kesibukan.Hatinya mengendur. Mungkin benar, ia terlalu keras—pada dirinya sendiri, juga pada orang lain.“Terima kasih sudah mengingatkan. Kalau begitu, mari kita istirahat lebih awal hari ini,” ucapnya, suaranya tenang tapi hangat, seolah baru sadar bahwa beban tak harus selalu dipikul sendiri.Matahari masih menggantung rendah ketika seluruh tim di institut mulai berkemas. Suasana kantor yang tadinya dipenuhi suara keyboard dan aroma kopi instan kini berubah menjadi derak kursi yang ditarik dan langkah-langkah ringan menuju pintu keluar.Kirana langsung meluncur ke taman kanak-kanak. Mobilnya melaju perlahan di bawah cahaya senja yang keemasan, menggores bayangan panjang di sepanjang trotoar.Namun, ada yang mengganjal. Percakapan tadi pagi dengan Zelina masih membekas sep
“Aku nggak butuh dua foto itu untuk membuktikan betapa Raka mencintaiku. Selama enam tahun terakhir, hanya aku yang dia sayang! Kalau bukan karena kamu, yang menikah dengannya pasti aku!”Nada suara Zelina nyaring, tajam seperti kaca pecah. Ia berdiri di sisi meja dengan tubuh condong ke depan, wajahnya dipenuhi amarah yang ditahan.Sinar matahari sore menyelinap masuk lewat jendela kafe, memantul di cangkir kopi yang belum disentuh.Kirana tidak menjawab. Matanya menatap kosong ke arah taman kecil di luar jendela, tempat beberapa anak bermain tanpa beban.Hatinya berdesir pelan. Ucapan Zelina memang benar, dan memori itu—betapapun ingin ia lupakan—masih membekas kuat.Enam tahun lalu, Raka pernah berkata dengan mantap bahwa satu-satunya perempuan yang ingin ia nikahi adalah Zelina.“Kamu datang di antara aku dan Raka. Karena kamu, kami kehilangan waktu yang seharusnya jadi milik kami.”Suara Zelina
Begitu suara dari seberang telepon berhenti, Sekar hanya bisa terdiam. Napasnya tertahan sejenak, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.Kata-kata Raka tadi masih bergema, dingin dan jelas: ia tak menginginkan pertunangan itu. Sekar meremas jemarinya perlahan, mencoba menenangkan kegelisahan yang menari di hatinya."Zelina, maaf kamu harus mengalami ini," ucapnya dengan nada lembut namun berat, seolah ingin menyelimuti luka dengan kain sutra.Zelina tak langsung menjawab. Ia menegakkan bahunya, lalu mengangkat wajahnya dengan senyum yang nyaris tak menyentuh matanya.“Tidak apa-apa, Bu. Demi Raka, saya rela menjalani semua ini.”Sekar tersenyum, namun senyum itu terasa getir. “Tenang saja. Bagiku, kamu tetap calon menantuku. Berita itu bisa kita abaikan. Lagi pula, orang-orang mengira perempuan di foto itu adalah kamu.”Zelina mengangguk sopan, kembali mengucap terima kasih dengan suara datar. Percakapan pun