"Maaf ya, belum di persilahkan masuk Mama sudah masuk," ucap Mama. "Akram, kamu sudah siap. Ingat ya, Mama ingin lontong sayur yang itu, kamu paham kan tempatnya? Sama kue di tempat biasa, untuk lontong sayurnya kalau tidak berangkat jam segini nanti nggak dapat. Ingat, jangan sampai kamu nggak dapat!" ucap Mama serius, aku sampai bingung mencerna kalimatnya. Lontong sayur, kue? Dimana belinya? Kapan aku tau tempat itu? "Mah, Abang belum sholat subuh," "Fitri, suami kamu sekalian subuh di Masjid dulu. Benar kan, Akram?" "Iya, Mah. Sayang, Abang berangkat dulu. Mah, Akram pamit," "Hati-hati, Akram," jawab Mama. "Sebentar, Bang. Biar Fitri antar kedepan," "Eits, nggak perlu di antar. Mama tau kamu habis capek, keringkan saja dulu rambutnya biar tidak masuk angin," ucap Mama membuat wajah istriku memerah. Aku bergegas keluar menemui Indah yang duduk di teras. "Mas, kamu tega!" ucap Indah sambil menubruk tubuhku. "Indah, aku ambil motor dulu. Bicaranya di luar," aku urai pelukan
Indah berbalik tidak jadi melangkah. "Mas, aku mau tunai satu juta," "Ini sudah aku siapkan, aku pegang ucapan kamu Indah. Jangan menghubungiku selama dua hari ini! Pastika berhemat, itu harus cukup untuk sebulan!" ucapku sambil memberikan dia amplop coklat berisi nafkah untuk satu bulan. Indah berhambur memeluku, " Terimakasih, Mas," Kemana kemarahan yang tadi? Sudah luluh bersamaan dengan diterimanya amplop coklat? Aku melihat benda yang melingkar dipergelangan tangan kananku, menunjukkan pukul 07.05 masih ada waktu. "Indah, aku mau pulang sekarang Aku antar ke jalan,"Sambil bersungut-sungut dia mengekor di belakangku. Kini aku kepikiran beli lontong sayur dan kue, tak tau harus kemana yang penting dapat. "Mas, aku minta tambah pertengahan bulan ya. Aku sudah pesan gamis sama temanku,"Aku menarik nafas panjang, "Indah sudah empat bulan ini bonus tidak pernah cair, sejak sering kamu paksa pulang gasik, sering kamu tahan saat berangkat sehingga telat, bahkan sering membolos ga
"Baiklah, Papa serahkan semua keputusan sama kamu. Tapi kalau kamu butuh bantuan, Papa siap membantu," ucap Papa sambil mengusap kepala putrinya dengan penuh cinta. "Ijinkan Papa bicara sama Akram, Sayang. Papa tidak akan ikut campur urusan kalian. Tenang saja," ucap Papa. Aku melihat dengan jelas, kekhawatiran tergambar jelas di wajah Papa. Maafkan aku Pah. Sudah menyia-nyiakannya anak perempuanmu. Aku akan berbuat adil, Pah. "Akram, aku titip putri dan cucu-cucuku. Saat dulu kamu mengucap ijab qobul maka saat itu pula tanggungjawab berpindah ke pundakmu, jika kamu sudah tidak mencintainya lagi jangan kamu katakan sama Fitri, katakan langsung sama Papa. Biarkan Papa yang menyampaikan sama dia, Papa tidak sanggup melihat kesedihannya. Sekarang Papa sudah cukup melihat kesedihan dia dan anaknya kemarin," ucap Papa dengan penekanan. Nyaliku menciut, artinya saat ini Papa sudah mengetahui semuanya. "Iya, Pah. Akram janji, dan itu tidak akan terjadi. Doakan Akram agar tidak semakin ba
Bismillah semoga berjalan sesuai rencana. Bisa memenuhi undangan sekolah untuk menghadiri acara anak-anak. Hari ini cuti telah usai, rutinitas kantor kembali menunggu. Paginya sudah disiapkan semua keperluan oleh istri, aku tinggal pakai semua sudah beres. Di meja makan aku bercengkerama sebentar dengan buah hatiku."Kalian sudah siap ke sekolah? Mau ikut ayah, atau mau diantar Bunda?" Sesuai kesepakatan tadi malam yang kami buat jika aku sedang di rumah Indah, anak-anak berangkat dengan sopir yang disiapkan Fitri. Aku malu sebenarnya, Fitri masih punya uang simpanan selama kami menikah. Dia mampu memanage uang baik. Nafkah yang aku kasih selalu lebih, entah bagaimana mengaturnya. Aku pernah melihat catatatnya begitu rapi. Berbeda dengan Indah, seberapapun yang aku kasih akan habis bahkan sering minta lagi. Sehingga aku akan memakai uang jatah makan dan bensinku. Lagi-lagi aku membandingkan, mereka tidak sepadan."Tentu, Ayah. Kami ikut ayah. Sudah lama nggak naik motor. Apalagi kit
Saat istirahat Akram menagih janji Ihsan yang akan memberikan sebuah tips. Dia sudah menunggu di kantin, duduk menanti sahabatnya di pojok ruangan yang terlihat lebih sepi."Ckk ... lama banget kamu, San. Di toilet ngapain saja, seperti cewek aja yang mesti mengoles ulang lipstiknya," ucapku saat mendapati Ihsan mendudukkan bokongnya di kursi tepat di depanku. "Suka-suka aku lah, yang penting tidak merugikan orang lain," ucap Ihsan cuek. "Banyak yang di rugikan, pertama orang yang mengantri di belakangmu, kedua aku yang menunggumu, ketiga pemilik perusahaan," ucapku kesal sudah menanti jawaban sejak sebelum dia ke toilet selalu saja ditunda. "Serius banget kamu, Akram. Makan dulu, baru nanti aku ngomong," kilahnya. Aku jadi curiga dengan sahabatku ini. "Ihsan, buruan. Waktu istirahat sudah mau selesai, kelamaan,""Akram, giliran urusan selangkangan ngebet banget,""Memang kamu ya? Kita itu laki-laki jadi mau tidak mau menerima kalau yang ada di pikiran kita hal mesum. Kalau saja ka
Aku sengaja membiarkan dia menggerayangiku, memagutku. Andai yang melakukannya Fitri, aku pasti sudah terbakar gairah. Sudah lebih dari sepuluh menit Indah berusaha membakar gairahku. "Mas, puaskan aku. Pleace ... ," ucap Indah dengan tatapan memohon. "Mas, obat kuatnya beli yang ampuh. Tolong ... aku ingin sekali, Aghhh ... sentuh aku, Mas," ucap Indah dengan frustasi. "Maaf, ... aku sudah meminumnya. Dan sudah aku oles dengan gel perangsang juga, Indah," ucapku dengan tegas. "Kamu, tidak berusaha, Mas! Besok kamu tidak boleh ke kantor sebelum bisa memuaskan aku, Mas!" ucap Indah sewot. Indah memakai kembali bajunya dengan kesal, dan tertidur memunggungiku. Akupun mengancingkan kembali baju dan mengenakan celana yang tadi sudah dilepaskan Indah. "Indah, aku minta maaf. Sini aku puaskan pakai tangan, yang penting besok kamu mengijinkan aku pergi kerja," "Tidak! Tidak boleh, aku sudah kesal sekarang!" "Indah, sejak menikah sama kamu bonus tidak pernah cair. Ekonomi semakin kesus
"Ibu!" ucapku dan Indah bersamaan."Kalian itu, apa tidak malu? Ribut terus kalau kumpul. Mana janjimu mau membahagiakan anakku, Akram?" ucap Ibu dengan tenang."Bu, boleh Akram bicara. Aku mau bicara sama Bapak dan Ibu," ucapku lembut."Kemarilah, kita bicara di ruang tengah," Aku dan Indah mengekor di belakang Ibu. "Duduklah, Ibu panggilkan bapak," ucap Ibu meninggalkan kami berdua. Tidak menunggu lama Ibu sudah kembali bersama Bapak. Bapak duduk berdampingan dengan Ibu, sementara aku duduk di hadapannya, Indah di sampingku dengan berjarak. Mengingat sekarang dia bukan istriku lagi. "Pak, Bu. Akram mau minta maaf, selama saya disini kalian tidak pernah mendapat ketenangan. Rumah tangga kami terasa tidak sehat," ucapku memberanikan diri. "Astaghfirullah, ... ," ucap Bapak menunduk sambil mengusap wajahnya dengan kasar."Pak, Bu. Empat bulan yang lalu Akram kemari, meminang Indah menjadi istri dengan baik. Terimakasih atas kemurahan hati Bapak dan Ibu. Sejujurnya saya malu dengan
"Iya, bagaimana?" tanyaku penasaran." ... ""Sekarang bukan pelajaran Bahasa Indonesia, tidak perlu mengarang membuat cerita bebas. Sebentar lagi masuk, aku harus kerja kembali," sahutku.Aku menutup sepihak telpon dari mantan istriku, empat bulan bersama sudah sedikit paham siapa Indah."Pffff ... rupanya kamu pandai melawak. Siapa yang telpon, sepertinya kamu sangat terganggu?" Ihsan menyelidik."Tanya terus, kapan makannya!" "Ampun, kiler banget sekarang kamu, Akram! Seperti guru matematikaku sewaktu SMA," selorohnya.Setelah istirahat, siap berkutat dengan pekerjaan kembali. Ihsan masih aku biarkan dalam mode penasaran. "Akram, kamu main tinggalin saja. Kenapa buru-buru sekali? Biasanya kamu tidak bersemangat jika pulang ke Depok," tegur Ihsan saat melihatku menenteng ransel. Bukan karena tidak mau menjelaskan, tapi posisi kami di kantor, tidak etis jika menceritakan hal seperti ini. Dia masih terus mengikuti, berusaha mensejajarkan posisiku."Ups ... pantas saja terburu-buru,