Saat istirahat Akram menagih janji Ihsan yang akan memberikan sebuah tips. Dia sudah menunggu di kantin, duduk menanti sahabatnya di pojok ruangan yang terlihat lebih sepi."Ckk ... lama banget kamu, San. Di toilet ngapain saja, seperti cewek aja yang mesti mengoles ulang lipstiknya," ucapku saat mendapati Ihsan mendudukkan bokongnya di kursi tepat di depanku. "Suka-suka aku lah, yang penting tidak merugikan orang lain," ucap Ihsan cuek. "Banyak yang di rugikan, pertama orang yang mengantri di belakangmu, kedua aku yang menunggumu, ketiga pemilik perusahaan," ucapku kesal sudah menanti jawaban sejak sebelum dia ke toilet selalu saja ditunda. "Serius banget kamu, Akram. Makan dulu, baru nanti aku ngomong," kilahnya. Aku jadi curiga dengan sahabatku ini. "Ihsan, buruan. Waktu istirahat sudah mau selesai, kelamaan,""Akram, giliran urusan selangkangan ngebet banget,""Memang kamu ya? Kita itu laki-laki jadi mau tidak mau menerima kalau yang ada di pikiran kita hal mesum. Kalau saja ka
Aku sengaja membiarkan dia menggerayangiku, memagutku. Andai yang melakukannya Fitri, aku pasti sudah terbakar gairah. Sudah lebih dari sepuluh menit Indah berusaha membakar gairahku. "Mas, puaskan aku. Pleace ... ," ucap Indah dengan tatapan memohon. "Mas, obat kuatnya beli yang ampuh. Tolong ... aku ingin sekali, Aghhh ... sentuh aku, Mas," ucap Indah dengan frustasi. "Maaf, ... aku sudah meminumnya. Dan sudah aku oles dengan gel perangsang juga, Indah," ucapku dengan tegas. "Kamu, tidak berusaha, Mas! Besok kamu tidak boleh ke kantor sebelum bisa memuaskan aku, Mas!" ucap Indah sewot. Indah memakai kembali bajunya dengan kesal, dan tertidur memunggungiku. Akupun mengancingkan kembali baju dan mengenakan celana yang tadi sudah dilepaskan Indah. "Indah, aku minta maaf. Sini aku puaskan pakai tangan, yang penting besok kamu mengijinkan aku pergi kerja," "Tidak! Tidak boleh, aku sudah kesal sekarang!" "Indah, sejak menikah sama kamu bonus tidak pernah cair. Ekonomi semakin kesus
"Ibu!" ucapku dan Indah bersamaan."Kalian itu, apa tidak malu? Ribut terus kalau kumpul. Mana janjimu mau membahagiakan anakku, Akram?" ucap Ibu dengan tenang."Bu, boleh Akram bicara. Aku mau bicara sama Bapak dan Ibu," ucapku lembut."Kemarilah, kita bicara di ruang tengah," Aku dan Indah mengekor di belakang Ibu. "Duduklah, Ibu panggilkan bapak," ucap Ibu meninggalkan kami berdua. Tidak menunggu lama Ibu sudah kembali bersama Bapak. Bapak duduk berdampingan dengan Ibu, sementara aku duduk di hadapannya, Indah di sampingku dengan berjarak. Mengingat sekarang dia bukan istriku lagi. "Pak, Bu. Akram mau minta maaf, selama saya disini kalian tidak pernah mendapat ketenangan. Rumah tangga kami terasa tidak sehat," ucapku memberanikan diri. "Astaghfirullah, ... ," ucap Bapak menunduk sambil mengusap wajahnya dengan kasar."Pak, Bu. Empat bulan yang lalu Akram kemari, meminang Indah menjadi istri dengan baik. Terimakasih atas kemurahan hati Bapak dan Ibu. Sejujurnya saya malu dengan
"Iya, bagaimana?" tanyaku penasaran." ... ""Sekarang bukan pelajaran Bahasa Indonesia, tidak perlu mengarang membuat cerita bebas. Sebentar lagi masuk, aku harus kerja kembali," sahutku.Aku menutup sepihak telpon dari mantan istriku, empat bulan bersama sudah sedikit paham siapa Indah."Pffff ... rupanya kamu pandai melawak. Siapa yang telpon, sepertinya kamu sangat terganggu?" Ihsan menyelidik."Tanya terus, kapan makannya!" "Ampun, kiler banget sekarang kamu, Akram! Seperti guru matematikaku sewaktu SMA," selorohnya.Setelah istirahat, siap berkutat dengan pekerjaan kembali. Ihsan masih aku biarkan dalam mode penasaran. "Akram, kamu main tinggalin saja. Kenapa buru-buru sekali? Biasanya kamu tidak bersemangat jika pulang ke Depok," tegur Ihsan saat melihatku menenteng ransel. Bukan karena tidak mau menjelaskan, tapi posisi kami di kantor, tidak etis jika menceritakan hal seperti ini. Dia masih terus mengikuti, berusaha mensejajarkan posisiku."Ups ... pantas saja terburu-buru,
Indah mondar mandir di depan pintu. Terlihat panik, aku melirik ke arah istriku yang sedang menenangkan Hilda. Hilda kaget dengan suara kakaknya yang bersahutan memanggil."Bang, kalau Abang pulang hanya untuk menyakiti hati anak-anak seperti ini, mending tidak usah pulang!" "Sayang, bukan seperti itu. Aku pulang kare- ... ,""Mas, buka pintunya. Mas! Mba Fitri!"Kalimat terpotong oleh suara Indah yang menggelegar beserta gedoran pintu. Aku termangu melihat Syifa yang sudah menarik Daffa menjauh dan berjalan gontai ke kamar Syifa. Tatapan Fitri mengintimidasi, dan membawa Hilda naik ke kamarnya. "Arrggg ... !" Pasti anak dan istriku salah paham. Kenapa tadi tidak langsung menjelaskan? Lagi-lagi aku menyalahkan kecerobohan diri sendiri. Harusnya begitu sampai tinggal bicara kalau aku dan Indah sudah bercerai. Aku melupakan siapa Indah, tentu dia akan mengejar ke rumah. Sekarang pasti di otak mereka aku dan Indah hanya ingin menoreh luka di hati mereka. "Mas! Buka pintunya! Tolong .
Saat sampai di rumah sakit, Lulu sudah bisa tersenyum. Setelah memastikan Lulu hanya demam biasa, aku pamit pulang. Ternyata hanya drama Indah yang membesarkannya kondisi Lulu. Memanfaatkan kondisi Lulu untuk menahan dan menjeratku. Bapak Indah terus meminta maaf, Lulu tidak menanyakan ku sama sekali. Dia sudah terbiasa dengan Kakek dan Neneknya. Sampai di rumah pukul 21.00 pertama di tuju adalah kamar utama. Pintunya sudah bisa di buka, aku lihat sekeliling. Hilda sudah tertidur pulas, sementara Fitri juga sudah terlelap. "Sayang, air matamu masih tersisa dan masih basah. Maafkan Abang, yang terus menerus menyakitimu. Abang bersungguh-sungguh kepulangan kali ini. Abang sudah bercerai dengan Indah. Maaf, kalau tadi abang tidak langsung cerita," ucapku lirih. Setelah puas memandangi Fitri, aku putuskan untuk ke kamar anak-anakku. Kedua kamar masing-masing kondisi terkunci, mungkin sudah tidur. Padahal tidak biasanya kamar mereka di kunci. Aku berjalan gontai menuju kamar kami, memb
"Lihat tulisan yang di tinggalkan Syifa!" Kami membaca bergantian, tertulis dengan jelas dan rapi. 'Awalnya Syifa sudah bahagia mendapat kejutan ayah bisa pulang cepat dirumah, tapi ternyata rasa senang hanya sementara. Syifa sadar, hati ayah bukan lagi milik bunda dan kami, jadi biarlah Syifa pergi. Meskipun Syifa di dekat ayah tapi, keberadaan Syifa dan adik-adik tidak ada arti apa-apa di banding wanita itu. Wanita itu terus menghantuiku, biarlah Syifa yang mengalah. Rencana mau pergi sendiri, eh ... adikku Daffa yang bandel berniat melindungiku. Memaksa ikut, bukankah dia justru merepotkan ... maaf Bunda. Tidak perlu khawatir, kakak akan mengabari secepatnya ketika kami sudah sampai. Aku sayang sama Bunda, sama Ayah sebenarnya juga sayang tapi jangan bilang ya, Bun. Love Bunda dari Syifa dan Daffa'"Maaf, maaf ... ," aku tak kuasa menopang tubuhku sendiri. Pikiranku kacau, kemana anakku pergi."Kak, coba telpon Mama, aku tak bisa bicara sama mama sementara suaraku seperti ini," uca
"Kamu kirim nomornya sama kakak!" titah Farid. Aku segera menyalin dan mengirimkan nomor itu kepada Kak Farid. Kak Farid membidangi IT jadi tidak heran dengan mudah melacak keberadaan si pemilik nomor. "Posisi ada di dekat rumah kamu, Akram," Farid berkata dengan serius setelah mengutak atik ponsel miliknya beberapa saat. "Nggak usah panik, orang Papa mengawasi Fitri. Tidak perlu khawatir," ucapnya lagi melihat raut kekhawatiran tergambar jelas di wajahku. "Pulanglah dulu, Akram! Urusan Syifa biar Papa dan Farid yang mecari tau keberadaannya," "Pah, maaf ... ," "Papa tidak mau mendengar kata maafmu, yang papa mau bahagiakan Fitri dan anak-anakmu! Papa sudah sangat tidak tega melihat anak perempuanku menderita. Andai bukan permintaan Fitri, aku sudah menjauhkan kamu dari kehidupan Fitri dan cucu-cucuku. Papa tidak mau kamu mengecewakan mereka, Akram. Pulanglah, selesaikan masalahmu dengan Indah!" titah Papa. Aku meninggalkan Kak Farid dan Papa menuju rumah. Tiga puluh menit perja