"Jemput akang, Jar," kata Yahya dengan hati teriris perih, dia tidak akan mengemis lagi. Anak dan menantunya meminta dia pergi, maka dia akan pergi.
Dia masih punya tempat kembali, meski pasti akan terbongkar kalau rumah tangganya tak baik-baik saja setelah ini. Semua orang akan tahu, bagaimana perangai baru putri tersayangnya kini."Ini beneran si Tari ngusir akang dari rumah?" Ganjar sang adik bertanya dengan penuh ketidak yakinan. Kata masa iya, bagaimana, kenapa, terus berseliweran di otaknya."Nggak semuanya benar juga, Jar, akang cuma pengen titirah (pindah sementara waktu) siapa tahu kalau tinggal di sana, penyakit akang cepat sembuh. Capek rasanya sakit sekian tahun belum sembuh juga," balas Yahya masih mencoba menutupi kebenaran tentang perubahan sifat Tari."Ya sabar, Kang. Itu juga kan sekarang akang sudah lebih baik. Sabar." Ganjar mencoba memberikan kata menenangkan untuk kakaknya."Akang kangen kampung juga. Jemput akang sekarang, ya? Kalau bisa sebelum jam dua belas siang kamu sudah datang," ujar Yahya penuh pengharapan adiknya bisa memenuhi permintaannya.Ganjar terdiam, dia tahu sifat kakaknya, Yahya akan menyembunyikan sesuatu sampai dia sendiri merasa bosan menyimpannya, barulah dia akan berbicara tanpa perlu ditanya."Terus akang nanti mau tinggal di rumah Ganjar?" tanya Ganjar meyakinkan, tak ingin ada kesalah pahaman antara istrinya, dengan kakak lelaki satu-satunya itu nanti. Kalau misal sudah dibicarakan lebih dulu kan enak. Begitu pikir Ganjar."Nggak, akang tahu istri kamu pasti kurang nyaman kalau akang ikut tinggal di sana. Antarkan akang ke rumah si Mbah saja. Akang mau tinggal di sana saja," balas Yahya dengan yakin."Tapi di rumah si Mbah ada teh Tini, Kang. Apa akang tidak masalah tinggal bareng dia?" ragu Ganjar mengingat masa lalu kakaknya dengan wanita yang disebut dia barusan."Nggak apa-apa. Udah pada tua masa masih mikir tentang masa lalu. Jadi bisa ya kamu jemput akang sekarang?" tanya Yahya tidak ingin membuang waktu lagi."Iya, Kang. Ganjar pergi sekarang ke sana. Akang siap-siap saja," jawab Ganjar akhirnya."Baiklah, akang tunggu, Jar. Makasih sebelumnya," pungkas Yahya lalu memutus panggilan.Dia kembali memutar tatap, menyisir setiap sudut ruangan yang ditempatinya, kamar yang selama lima belas tahun menjadi tempatnya beristirahat setelah lelah bekerja seharian. Ada canda tawa bersama Ratna yang tertinggal di sana. Senyum manis, juga lenguh manja wanita yang begitu dicintainya, berkelebat memenuhi ruang memori. Yahya menangis, namun kini tangis itu tidak bisa membuatnya bertahan menjadi penghuni ruangan tiga kali empat meter tersebut.Diraihnya tas ransel milik dia saat masih kerja dulu. Tas yang dulu dia isi dengan berbagai dagangan untuk mencari tambahan pemasukan, agar cita-citanya bisa membangun sebuah hunian nyaman untuk anak istrinya tercapai. Menyekolahkan anak pertama dengan harapan bisa sampai ke jenjang yang lebih tinggi, hingga bisa menjadi kebanggaan yang akan dia tunjukan pada keluarga besarnya, kalau pilihan dia tidak salah menikahi Ratna gadis pilihannya, meski harus menolak perjodohan yang sejak kecil sudah diatur keluarga besarnya.Namun semua kebanggaan Yahya kini telah musnah, anak yang dia sayang, yang dia perjuangkan siang dan malam, hingga tak peduli tubuhnya letih memikul beban kehidupan, justru menginginkan dia pergi dari istana yang dibangunnya dengan penuh perjuangan.Memasukan baju beberapa lembar, juga celana sejumlah yang sama dengan bajunya, Yahya lantas memasukkan benda penting lainnya yang masih tersisa, untuk bekal dia selama tidak bisa bekerja. Cincin kawinnya dengan Ratna yang dia simpan sebagai kenang-kenangan, mungkin sekarang akan berakhir di toko emas untuk diuangkan. Padahal kedua cincin itu selalu dia tahan agar tidak sampai terjual, setelah banyak perhiasan Ratna yang lain, yang terpaksa dilepas untuk menutupi kebutuhan saat istrinya sakit."Maafkan bapak, Ma. Kalau barang terakhir peninggalan pengingat kamu pun akhirnya nanti bapak jual. Setidaknya, kenangan tentang kamu, akan terus lekat dalam ingatan," lirih Yahya sambil mengusap sudut matanya.Ting! Satu pesan masuk ke ponselnya. Yahya sigap meraih benda itu untuk melihat siapa si pengirim pesan.Tari. Kening lelaki berumur di akhir lima puluh tahunan itu mengernyit heran. Apa TarI menginginkan dia pergi sekarang? Padahal kan tadi Tari bilang akan menanyakan kesiapannya untuk pergi, pas waktu makan siang nanti. Apa Tari sangat tidak sabar ingin 'membuang' dirinya?Air mata Yahya semakin mengering, bersamaan dengan semakin jauhnya Ganjar membawa raganya pergi. Satu jam terlewati, hingga mereka kini sudah memasuki kota kabupaten tempat kelahiran Yahya. Menepuk pundak sang adik, Yahya mengingatkan Ganjar untuk mampir dulu ke toko emas, tempatnya membeli cincin kawin berpuluh tahun yang lalu."Jar, ke Toko Emas Bintang dulu," ingatnya sambil awas mengawasi keramaian suasana kota kelahirannya."Yakin mau dijual, Kang?" tanya Ganjar memelankan laju kendaraan roda duanya."Iya, Jar. Akang butuh duit," jawab Yahya tanpa keraguan."Jangan sampai nyesel nanti, kan itu cincin kenangan," ujar Ganjar membelokkan motornya begitu sampai di toko emas yang dimaksud Yahya."Kenangan akan tetap ada di hati, Jar," elak Yahya mencoba menguatkan hati."Terserah Akang, Ganjar hanya mengingatkan, jangan sampai setelah dijual malah Akang menyesal nanti," balas Ganjar lalu menghentikan motornya tepat di depan toko perhiasan yang lumayan ramai pengunjungnya itu."Mau Aka
Yahya berjalan dengan kesukaran, dia sedikit ragu saat akan melewati rumah Yati, tak ingin aksi 'melarikan dirinya' itu terpergok oleh kakak dari Ratna tersebut. Bisa gagal kepergian dia, kalau Yati sampai tahu.Beruntung Dewi fortuna sedang berpihak padanya, hingga langkah kakinya yang tertatih berhasil melewati ujung pagar rumah milik Yati, tak terdengar panggilan dari wanita tersebut memergoki dirinya.Namun baru saja Yahya bisa menghembuskan napas lega, satu panggilan membuat jantungnya seakan akan melompat."Loh, Mang Yahya?! Mang Yahya mau kemana?" ujar seseorang lalu mensejajari langkah Yahya, dia heran melihat Yahya membawa tas dengan kesusahan. Yahya menoleh cepat, lalu sedikit merasa lega saat yang bertanya itu adalah tetangganya. "Eh, Pak wawan, ini mau ke depan," balas Yahya dengan masih mencoba mempercepat langkahnya, tak ingin suara Wawan yang bertanya padanya, terdengar oleh Yati karena dia masih terlalu dekat dengan rumah iparnya itu. "Kenapa bawa tas segala? Memang
Hati Yahya mulai kebas, dia abaikan pesan dari anak perempuannya itu, dengan kembali fokus pada barang yang akan dia bawa. Paling Tari akan marah nanti. Membentak atau mengatai banyak kalimat menyakitkan hatinya. Sudah biasa. Dan bukankah dia akan pergi sekarang seperti keinginan putrinya itu? Jadi tidak perlu ditanggapi. Karena saat Tari pulang kerja nanti, dia tidak akan melihat Yahya lagi di rumah itu. Sesuai keinginannya. Ting! Satu lagi pesan masuk, namun Yahya tetap abai, dia masih yakin kalau itu dari Tari, yang pasti marah merasa diabaikan pesannya. "Terserah, Tari. Kamu mau marah atau bagaimana juga. Bapak capek," gumam Yahya tak melihat sama sekali ponselnya. Namun tak berselang lama, justru suara dering ponselnya yang meminta perhatian kemudian. Yahya menghela napas lelah, dia masih mengira kalau Tari yang kini menghubunginya karena pesannya dia abaikan. Namun ternyata dia salah, nama Ganjar yang muncul di layar sebagai si penelpon. Dengan cepat dia pun segera menjawab
"Jemput akang, Jar," kata Yahya dengan hati teriris perih, dia tidak akan mengemis lagi. Anak dan menantunya meminta dia pergi, maka dia akan pergi.Dia masih punya tempat kembali, meski pasti akan terbongkar kalau rumah tangganya tak baik-baik saja setelah ini. Semua orang akan tahu, bagaimana perangai baru putri tersayangnya kini."Ini beneran si Tari ngusir akang dari rumah?" Ganjar sang adik bertanya dengan penuh ketidak yakinan. Kata masa iya, bagaimana, kenapa, terus berseliweran di otaknya."Nggak semuanya benar juga, Jar, akang cuma pengen titirah (pindah sementara waktu) siapa tahu kalau tinggal di sana, penyakit akang cepat sembuh. Capek rasanya sakit sekian tahun belum sembuh juga," balas Yahya masih mencoba menutupi kebenaran tentang perubahan sifat Tari."Ya sabar, Kang. Itu juga kan sekarang akang sudah lebih baik. Sabar." Ganjar mencoba memberikan kata menenangkan untuk kakaknya. "Akang kangen kampung juga. Jemput akang sekarang, ya? Kalau bisa sebelum jam dua belas si
"Ya Allah, rupanya kecurigaan teh Yati memang benar. Kalau menantu hamba sama dengan anak hamba, menginginkan hamba pergi dari sini," lirih Yahya sambil mengusap air mata di pipinya. Sirna sudah harapan dia akan terus tinggal di rumah miliknya sendiri, karena baik Tari maupun Badar jelas sudah tidak menginginkannya ada di rumah ini.Dengan langkah setengah diseret, Yahya beranjak meninggalkan ruang makan untuk kembali ke kamarnya, tekadnya semakin bulat untuk pergi dari rumah itu. Namun dia juga tidak ingin terlalu ditekan, dia akan pergi setelah mengamankan sertifikat rumahnya. Ada hak Zaki di rumah ini, kalau nanti Tari sampai gelap mata melakukan hal yang lebih gila lagi, setidaknya harta peninggalan dia dan istrinya, tidak sia-sia di tangan Tari yang mulai semena-mena.Sementara di kamarnya, Badar tersenyum lebar mendengar apa yang dikatakan oleh Yati tadi. Berarti Tari memang sudah mengikuti apa yang dia katakan kemarin malam."Kamu memang hebat, Sayang. Nggak nyangka aku, kamu b
"Eh, ada, Uwa," sapa Badar bersikap manis, berbeda dengan sikapnya pada Yahya, wajah akan terlihat menyebalkan menatap mertua lelakinya itu."Ada, makanya mau ada orang lain atau tidak, sikap kamu itu harus dijaga, bukan hanya bersikap manis pas ada orang lain saja," gerutu Yati menatap suami tari dengan sebal."Badar juga selalu bersikap baik pada siapapun, Wa, kok Uwa berkata seperti itu?" balas Badar sambil tersenyum masam."Heh, Badar! Jangan kamu pikir Uwa tidak tahu ya kelakuan kamu sama mang Yahya?! Uwa tahu semuanya. Sekarang malah si Tari ngusir bapaknya pergi. Kamu tahu nggak itu?" tanya Yati tanpa ingin berpura-pura baik pada suami keponakannya itu.Mendengar pengaduan Yati, Badar terlihat kaget, dia tak menyangka kalau ternyata istrinya melakukan itu."Apa, Wa? Tari ngusir bapak untuk pergi dari rumah?" tanya Badar tak percaya."Iya! Beneran kamu tidak tahu?!" selidik Yati menatap tajam pada Badar yang menggeleng."Enggak, Wa," sahut Badar dengan memasang wajah kaget seten