Share

bab 9

"Jemput akang, Jar," kata Yahya dengan hati teriris perih, dia tidak akan mengemis lagi. Anak dan menantunya meminta dia pergi, maka dia akan pergi.

Dia masih punya tempat kembali, meski pasti akan terbongkar kalau rumah tangganya tak baik-baik saja setelah ini. Semua orang akan tahu, bagaimana perangai baru putri tersayangnya kini.

"Ini beneran si Tari ngusir akang dari rumah?" Ganjar sang adik bertanya dengan penuh ketidak yakinan. Kata masa iya, bagaimana, kenapa, terus berseliweran di otaknya.

"Nggak semuanya benar juga, Jar, akang cuma pengen titirah (pindah sementara waktu) siapa tahu kalau tinggal di sana, penyakit akang cepat sembuh. Capek rasanya sakit sekian tahun belum sembuh juga," balas Yahya masih mencoba menutupi kebenaran tentang perubahan sifat Tari.

"Ya sabar, Kang. Itu juga kan sekarang akang sudah lebih baik. Sabar." Ganjar mencoba memberikan kata menenangkan untuk kakaknya.

"Akang kangen kampung juga. Jemput akang sekarang, ya? Kalau bisa sebelum jam dua belas siang kamu sudah datang," ujar Yahya penuh pengharapan adiknya bisa memenuhi permintaannya.

Ganjar terdiam, dia tahu sifat kakaknya, Yahya akan menyembunyikan sesuatu sampai dia sendiri merasa bosan menyimpannya, barulah dia akan berbicara tanpa perlu ditanya.

"Terus akang nanti mau tinggal di rumah Ganjar?" tanya Ganjar meyakinkan, tak ingin ada kesalah pahaman antara istrinya, dengan kakak lelaki satu-satunya itu nanti. Kalau misal sudah dibicarakan lebih dulu kan enak. Begitu pikir Ganjar.

"Nggak, akang tahu istri kamu pasti kurang nyaman kalau akang ikut tinggal di sana. Antarkan akang ke rumah si Mbah saja. Akang mau tinggal di sana saja," balas Yahya dengan yakin.

"Tapi di rumah si Mbah ada teh Tini, Kang. Apa akang tidak masalah tinggal bareng dia?" ragu Ganjar mengingat masa lalu kakaknya dengan wanita yang disebut dia barusan.

"Nggak apa-apa. Udah pada tua masa masih mikir tentang masa lalu. Jadi bisa ya kamu jemput akang sekarang?" tanya Yahya tidak ingin membuang waktu lagi.

"Iya, Kang. Ganjar pergi sekarang ke sana. Akang siap-siap saja," jawab Ganjar akhirnya.

"Baiklah, akang tunggu, Jar. Makasih sebelumnya," pungkas Yahya lalu memutus panggilan.

Dia kembali memutar tatap, menyisir setiap sudut ruangan yang ditempatinya, kamar yang selama lima belas tahun menjadi tempatnya beristirahat setelah lelah bekerja seharian. Ada canda tawa bersama Ratna yang tertinggal di sana. Senyum manis, juga lenguh manja wanita yang begitu dicintainya, berkelebat memenuhi ruang memori. Yahya menangis, namun kini tangis itu tidak bisa membuatnya bertahan menjadi penghuni ruangan tiga kali empat meter tersebut.

Diraihnya tas ransel milik dia saat masih kerja dulu. Tas yang dulu dia isi dengan berbagai dagangan untuk mencari tambahan pemasukan, agar cita-citanya bisa membangun sebuah hunian nyaman untuk anak istrinya tercapai. Menyekolahkan anak pertama dengan harapan bisa sampai ke jenjang yang lebih tinggi, hingga bisa menjadi kebanggaan yang akan dia tunjukan pada keluarga besarnya, kalau pilihan dia tidak salah menikahi Ratna gadis pilihannya, meski harus menolak perjodohan yang sejak kecil sudah diatur keluarga besarnya.

Namun semua kebanggaan Yahya kini telah musnah, anak yang dia sayang, yang dia perjuangkan siang dan malam, hingga tak peduli tubuhnya letih memikul beban kehidupan, justru menginginkan dia pergi dari istana yang dibangunnya dengan penuh perjuangan.

Memasukan baju beberapa lembar, juga celana sejumlah yang sama dengan bajunya, Yahya lantas memasukkan benda penting lainnya yang masih tersisa, untuk bekal dia selama tidak bisa bekerja. Cincin kawinnya dengan Ratna yang dia simpan sebagai kenang-kenangan, mungkin sekarang akan berakhir di toko emas untuk diuangkan. Padahal kedua cincin itu selalu dia tahan agar tidak sampai terjual, setelah banyak perhiasan Ratna yang lain, yang terpaksa dilepas untuk menutupi kebutuhan saat istrinya sakit.

"Maafkan bapak, Ma. Kalau barang terakhir peninggalan pengingat kamu pun akhirnya nanti bapak jual. Setidaknya, kenangan tentang kamu, akan terus lekat dalam ingatan," lirih Yahya sambil mengusap sudut matanya.

Ting! Satu pesan masuk ke ponselnya. Yahya sigap meraih benda itu untuk melihat siapa si pengirim pesan.

Tari. Kening lelaki berumur di akhir lima puluh tahunan itu mengernyit heran. Apa TarI menginginkan dia pergi sekarang? Padahal kan tadi Tari bilang akan menanyakan kesiapannya untuk pergi, pas waktu makan siang nanti. Apa Tari sangat tidak sabar ingin 'membuang' dirinya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status