Share

bab 10

Hati Yahya mulai kebas, dia abaikan pesan dari anak perempuannya itu, dengan kembali fokus pada barang yang akan dia bawa. Paling Tari akan marah nanti. Membentak atau mengatai banyak kalimat menyakitkan hatinya. Sudah biasa. Dan bukankah dia akan pergi sekarang seperti keinginan putrinya itu? Jadi tidak perlu ditanggapi. Karena saat Tari pulang kerja nanti, dia tidak akan melihat Yahya lagi di rumah itu. Sesuai keinginannya.

Ting! Satu lagi pesan masuk, namun Yahya tetap abai, dia masih yakin kalau itu dari Tari, yang pasti marah merasa diabaikan pesannya.

"Terserah, Tari. Kamu mau marah atau bagaimana juga. Bapak capek," gumam Yahya tak melihat sama sekali ponselnya.

Namun tak berselang lama, justru suara dering ponselnya yang meminta perhatian kemudian. Yahya menghela napas lelah, dia masih mengira kalau Tari yang kini menghubunginya karena pesannya dia abaikan.

Namun ternyata dia salah, nama Ganjar yang muncul di layar sebagai si penelpon.

Dengan cepat dia pun segera menjawab.

"Iya, Jar?" tanya Yahya.

"Ganjar kirim pesan barusan, tapi akang nggak nanggapin," kata Ganjar sedikit kesal.

"Maaf, akang barusan lagi beresin baju. Kenapa, Jar? Kamu sudah mau berangkat kan?" jelas Yahya jujur, meski dia memang sengaja mengabaikan pesan masuk yang dikira dari Tari tadi.

"Oh, ya udah. Ganjar tadi sudah menghubungi teh Tini, dia nggak keberatan katanya, Fitri juga bahkan menawarkan kalau akang mau tinggal bareng kami juga, ayo saja," jelas Ganjar.

Yahya tersenyum, ternyata langkahnya diberi kelancaran. Orang-orang yang dia sangka akan menunjukan ketidak sukaan, ternyata kini telah berubah sikap padanya. Karena apa? Yahya tidak mau tahu. Dia hanya yakin, kalau Tuhan - lah yang sudah menggerakkan hati mereka. Termasuk menggerakkan hati Tari anaknya, untuk jadi membencinya. Bukankah semua yang terjadi dalam kehidupan ini, semua atas ridho yang Maha Kuasa?

"Alhamdulillah, syukurlah kalau seperti itu, Jar," tanggap Yahya.

"Iya. Sekarang Ganjar berangkat, Kang. Akang siap-siap, ya?" kata Ganjar sambil berjalan keluar rumah diantar oleh Fitri, istrinya.

"Iya. Kamu hati-hati di jalan, nanti akang tunggu di dekat mini market," balas Yahya mengatakan di mana adiknya harus menjemput dirinya.

"Loh, kenapa harus di mini market, Kang? Ganjar jemput ke rumah aja," tanya Ganjar urung menyalakan mesin roda dua kendaraannya.

"Nggak apa-apa, biar nggak ada yang tahu," balas Yahya.

"Akang sengaja mau kabur?" tanya Ganjar membuat Fitri bertanya dengan isyarat.

Namun Ganjar menggeleng menjawab pertanyaan tak terucap istrinya.

"Nggak dibilang kabur juga. Sudahlah, pokoknya akang tungguin kamu di saat saja nanti," tegas Yahya.

"Baiklah kalau begitu." Ganjar pun langsung menyalakan mesin motornya, lalu pergi meninggalkan rumahnya.

Yahya menghitung perjalanan Ganjar dari kampungnya, hingga sampai ke kampung Ratna. Kalau lancar, satu setengah jam kedepan adiknya itu akan sampai. Dia lantas menghembuskan napas panjang, menghitung waktu yang tersisa bisa berada di rumah miliknya sendiri, tapi harus pergi karena diusir anaknya.

Yahya menutup pintu kamarnya setelah mengemas barang miliknya, lalu mengunci pintu kamar itu, dan menyimpan kuncinya dalam tas.

Rumah itu sangat sepi, hanya detak jarum jam yang mengisi keheningan, juga lamat suara ayam jago yang berkokok milik tetangga yang terdengar. Sesekali, suara sepeda motor yang melintasi depan rumahnya, menjadi penyumbang kebisingan lainnya.

Menyeret langkahnya yang tertatih dengan dibantu tongkat, Yahya menuju kamar Zaki. Diambilnya buku tulis milik Zaki, pas bagian belakang yang kosong, dia mencoretkan cacatan hati untuk anak keduanya itu. Kata salam perpisahan, juga jangan sampai Zaki mencemaskan dirinya.

[Zaki, anak solehnya bapak. Bapak pergi dulu ya, Nak?! Jangan khawatir dengan bapak, bapak akan baik-baik saja. Sekolah yang bener, tinggal sebentar lagi. Setelah lulus, nanti bapak akan menghubungi Zaki lagi. Jangan tanya bapak tinggal di mana, yang penting bapak aman sampai nanti Zaki datang menemui bapak. Sehat-sehat ya, Nak? Jangan banyak pikiran. Bapak pergi. Bapak sangat sayang sama Zaki. Nurut sama tetehmu, dia yang membiayai sekolahmu sekarang.]

Tes! Air mata Yahya jatuh ke kertas yang tengah ditulisnya. Tak ingin membuang waktu lama, dia pun bergegas keluar dari kamar Zaki, setelah menyimpan buku itu di atas tempat tidur.

'Selamat tinggal.'

Batin Yahya sambil melihat ke arah pintu kamar Tari. Di dalam sana sang menantu 'kebanggaan' tengah tidur mengganti waktunya yang semalam dipakai bekerja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status