Share

bab 8

"Ya Allah, rupanya kecurigaan teh Yati memang benar. Kalau menantu hamba sama dengan anak hamba, menginginkan hamba pergi dari sini," lirih Yahya sambil mengusap air mata di pipinya. Sirna sudah harapan dia akan terus tinggal di rumah miliknya sendiri, karena baik Tari maupun Badar jelas sudah tidak menginginkannya ada di rumah ini.

Dengan langkah setengah diseret, Yahya beranjak meninggalkan ruang makan untuk kembali ke kamarnya, tekadnya semakin bulat untuk pergi dari rumah itu. Namun dia juga tidak ingin terlalu ditekan, dia akan pergi setelah mengamankan sertifikat rumahnya. Ada hak Zaki di rumah ini, kalau nanti Tari sampai gelap mata melakukan hal yang lebih gila lagi, setidaknya harta peninggalan dia dan istrinya, tidak sia-sia di tangan Tari yang mulai semena-mena.

Sementara di kamarnya, Badar tersenyum lebar mendengar apa yang dikatakan oleh Yati tadi. Berarti Tari memang sudah mengikuti apa yang dia katakan kemarin malam.

"Kamu memang hebat, Sayang. Nggak nyangka aku, kamu berani juga melakukan perintah aku. Memang benar-benar istri solehah," gumam Badar sambil menatap photo pernikahannya dengan Tari, empat bulan yang lalu.

"Nggak salah memang aku pilih kamu jadi istri aku. Nurut banget apa kata suami. Ah, senangnya," kekeh Badar.

"Kalau aku nelpon dia, apa tidak menggangu kerjanya, ya? Buat bilang kalau tadi uwanya yang cerewet itu malah marahin aku. Biar dilawan saja sama keponakannya sendiri. Malas aku tadi harus berdebat sama wa Yati, bukan level!"

Badar mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur, lalu segera mengambil ponselnya untuk menghubungi Tari.

Panggilan pertama tidak ada tanggapan, dengan sabar dia pun menghubungi ulang, dan masi tetap sama Tari mengabaikan panggilannya.

"Nggak diangkat lagi?! Apa sedang sibuk? Biasanya yang juga bisa dia angkat telepon meskipun sebentar saja," gerutu Badar.

Namun saat ponselnya akan dia simpan, karena berpikir Tari sangat sibuk bekerja hingga tak bisa diganggu, satu pesan masuk dari Tari membuatnya batal menyimpan ponsel.

Tari : [Jangan nelpon dulu, aku lagi sibuk. Nanti aku hubungi kalau sudah agak senggang. Tenang saja, bapak sudah aku minta untuk segera pergi dari rumah, jam makan siang nanti aku telpon bapak untuk mengingatkan bapak lagi.]

Tulis pesan Tari yang membuat senyum Badar semakin lebar.

Dengan penuh semangat, Badar mengetikan balasan untuk istrinya.

Badar : [Iya, Sayang, kamu memang istri yang solehah, nurut sama perkataan suami. Makin cinta saja sama kamu, Sayang. Memang nggak salah aku pilih kamu dari pada si Lina. I love you, Baby.]

Tulis Badar atas jawaban pesan dari Tari. Emot cium dia berikan bertubi di pesan itu. Membuat si pembaca pesan tersenyum dengan hati berbunga.

Tari : [I love you too, Sayaaaang!]

Balas Tari yang sama sekali tidak merasa bersalah dengan apa yang sudah dilakukannya. Rasa cinta yang begitu besar, juga perkataan Badar yang mengatakan kalau sudah menikah anak perempuan harus lebih menurut pada suami, membuatnya melupakan tentang bakti pada orang tua. Lagi pula dia pikir Yahya pasti akan pulang ke rumah neneknya, jadi meski diminta pergi dari rumah itu, bapaknya tidak akan hidup terlunta-lunta.

Bukannya tanggung jawab mengenai Zaki masih dia ambil alih olehnya? Jadi tidak ada yang salah sama sekali.

Sedang di kamarnya, Yahya mengambil sertifikat rumah, lalu memasukkan ke dalam tas, dia sudah menghubungi Ganjar dan meminta untuk dijemput saat ini juga. Biarlah Zaki untuk sementara tetap bersama Tari, setidaknya sampai Zaki lulus sekolahnya beberapa bulan lagi. Setelah Zaki lulus, baru dia akan meminta Zaki untuk menyusulnya ke tempat yang saat ini akan menjadi tujuannya melanjutkan hidup.

"Ma, aku pergi dulu, nanti pasti aku akan kembali lagi," gumam Yahya menatap photo Ratna yang tersenyum menatap kamera.

Hatinya patah. Semakin patah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status