Share

bab 11

Yahya berjalan dengan kesukaran, dia sedikit ragu saat akan melewati rumah Yati, tak ingin aksi 'melarikan dirinya' itu terpergok oleh kakak dari Ratna tersebut. Bisa gagal kepergian dia, kalau Yati sampai tahu.

Beruntung Dewi fortuna sedang berpihak padanya, hingga langkah kakinya yang tertatih berhasil melewati ujung pagar rumah milik Yati, tak terdengar panggilan dari wanita tersebut memergoki dirinya.

Namun baru saja Yahya bisa menghembuskan napas lega, satu panggilan membuat jantungnya seakan akan melompat.

"Loh, Mang Yahya?! Mang Yahya mau kemana?" ujar seseorang lalu mensejajari langkah Yahya, dia heran melihat Yahya membawa tas dengan kesusahan.

Yahya menoleh cepat, lalu sedikit merasa lega saat yang bertanya itu adalah tetangganya.

"Eh, Pak wawan, ini mau ke depan," balas Yahya dengan masih mencoba mempercepat langkahnya, tak ingin suara Wawan yang bertanya padanya, terdengar oleh Yati karena dia masih terlalu dekat dengan rumah iparnya itu.

"Kenapa bawa tas segala? Memang mau kemana?" tanya Wawan sambil membantu membawakan tas Yahya, "sini, biar saya bawakan," ujarnya tak bisa ditolak oleh Yahya yang memang sangat kerepotan membawa benda itu.

"Waduh, jadi merepotkan, Pak," balas Yahya tak enak hati, meski dia membiarkan tas bawaannya berpindah tangan.

Mantan kepala dusun di lingkungan setempat itu, menggeleng. Wawan juga membantu Yahya berjalan.

"Nggak merepotkan sama sekali, Mang Yahya. Mau kemana atuh? Dari tadi saya tanya belum dijawab," kekeh Wawan.

"Hehe, mau ke depan, Pak Wawan, ke dekat mini market," jawab Yahya, dia semakin merasa lega, saat langkah terseoknya berhasil membawa dirinya sampai di dekat mini market yang dia tuju.

"Kok pake bawa tas segala, Mang? Kayak yang mau pergi gitu," lanjut Wawan membantu Yahya duduk di kursi besi, yang ada di pelataran tempat parkir mini market tersebut.

"Oh, iya. Ini titipan orang, jadi mau tidak mau harus dibawa. Janjian ketemuan di sini," jelas Yahya sambil mengisi rongga dada dengan banyak oksigen, yang terasa lelah dengan hanya berjalan dari rumahnya ke depan saja.

Ternyata fisiknya benar-benar belum sembuh total. Tapi dengan tega, buah hati harapan masa tua, malah membuangnya bagai seonggok badan tanpa harga.

Ah, hati Yahya perih kembali mengingat perlakuan anaknya.

"Mani kararagok atuh janjian teh (tanggung amat janjiannya) padahal mah tinggal suruh ke rumah aja. Masuk dikit, udah." Wawan menatap wajah Yahya yang terlihat menahan kesedihan.

"Maunya ketemuan di sini katanya, Pak Wawan. Biar sambil lewat aja, terus dia langsung berangkat lagi," elak Yahya dengan lancar berbohong.

Entahlah, mungkin dosa atau tidak. Yang pasti saat ini Yahya hanya merasakan jarum jam berdetak sangat lambat. Dia sangat berharap Wawan segera pergi sesuai tujuannya, dan Ganjar segera datang untuk membawa dia pergi dari sana.

"Oh, ya sudah atuh kalau begitu, saya mau langsung ke kelurahan. Ada perlu," ujar Wawan melihat penunjuk waktu di pergelangan tangannya.

"Iya, Pak Wawan. Terima kasih udah dibantuin bawa tas," tanggap Yahya senang Wawan akan segera pergi.

"Iya, gampang itu. Hayu, ah! Hati-hati nanti balik ke rumahnya," pamit Wawan sambil menepuk pundak Yahya.

"Iya, Pak," balas Yahya.

Tapi sayangnya aku tidak balik ke rumah, Pak. Setidaknya sampai waktu yang tepat nanti. Batin Yahya pedih.

Wawan pun berlalu, dia lebih senang berjalan kaki kemana saja, "lebih sehat," begitu Wawan selalu bilang tiap ditanya, kenapa tidak memakai roda dua untuk mempercepat waktu sampai.

Yahya mengawasi sekitar dengan waspada, jangan sampai ada lagi tetangga yang lewat mengenali dia duduk sendiri di sana. Setiap ada yang lewat atau akan masuk ke mini market, dia akan menundukkan kepala dengan dalam, tas berisi perlengkapannya, dia simpan di bawah jadi tidak kentara oleh yang melihat.

Detik bergerak terasa lambat, menit berlalu seakan sengaja membuat Yahya menunggu, waktu satu jam yang biasa sangat tidak terasa berlalu, kali ini bahkan membutuhkan kesabaran ekstra untuk bisa melewatinya.

Matahari terus menyorot hangat, bising kendaraan yang berlalu lalang di jalan utama, menemani Yahya yang menunggu dalam harap dan cemas takut ketahuan.

Namun, selambat apa pun waktu berjalan, pasti masa itu akan datang juga. Dari arah jalan utama, Ganjar mulai mencapai tempat yang dijadikan kakaknya tempat pertemuan mereka.

Dari jauh matanya sudah awas mencari, hingga kedua penglihatannya bisa dengan jelas mengenali sosok sang kakak yang duduk menyendiri. Hati Ganjar tercubit, rasa sesak juga sedih langsung menguasai dada. Dia sangat marah pada Tari--sang keponakan, bagaimana bisa Tari bertindak sekejam itu, dan tega mengusir bapaknya sendiri? Ingin rasanya dia menemui Tari dulu menanyakan alasannya.

Motor Ganjar terus mendekat, suara mesinnya menarik perhatian Yahya yang sesekali mengangkat wajah, untuk mengawasi sekitarnya.

Yahya tersenyum saat melihat adiknya sudah datang, namun air mata juga berdesakan ingin keluar menyertai hati yang sakit seakan dirajam. Tak lama lagi, dia akan pergi meninggalkan tempat yang selama puluhan tahun dijadikannya rumah ternyaman.

Kelebat bayangan dia dulu datang untuk menemui orang tua Ratna untuk melamar, kini dia akan pergi membawa semua kenangan dengan sakit yang mendekap hati.

"Kang," panggil Ganjar setelah mematikan mesin motornya.

"Langsung pergi lagi saja, Jar, biar aman!" ujar Yahya langsung berusaha berdiri, Ganjar pun segera turun dari atas tunggangannya untuk membantu Yahya.

"Kenapa buru-buru amat, Kang?" tanya Ganjar seraya meraih tas milik Yahya, lalu menyimpannya di depan.

"Biar tenang. Udah capek juga nunggu dari tadi, panas!" ujar Yahya memberikan alasan yang masuk akal. Karena memang di balik jaket yang melapisi bajunya, keringat sudah membanjiri tubuhnya di dalam sana.

"Beneran mau langsung pergi sekarang? Nggak nunggu si Zaki pulang sekolah dulu?" tanya Ganjar dengan memakaikan pelindung keselamatan ke kepala kakaknya.

"Nggak perlu! Zaki udah tahu akang mau pergi, kok. Kamu istirahat nanti di pasar kabupaten saja, sekalian akang mau jual emas," ujar Yahya melangkah mendekat ke motor Ganjar.

Dia tidak bohong lagi, kan? Zaki memang sudah tahu kalau dia akan pergi, tapi bukan sekarang dan dengan cara sembunyi-sembunyi.

Biarlah, urusan dosanya yang terus berbohong, hanya Tuhannya yang akan menilai. Saat ini dia hanya harus mengamankan diri, dari kemungkinan Yati atau tetangga yang lain kembali memergoki.

"Ya sudah kalau gitu mah. Sok atuh naek!" Ganjar dengan sabar membantu Yahya duduk di boncengan motornya, "udah nyaman?" tanyanya memastikan kalau Yahya duduk dengan benar di belakang tubuhnya.

"Sudah," jawab Yahya pelan, dia sedang menahan sesak agar tak sampai menangis, menyesali langkah yang diambilnya pergi diam-diam. Tongkatnya di simpan Ganjar di depan dengan disandarkan ke tubuhnya.

"Pegangan yang bener, Kang! Kalau perlu peluk biar makin aman, takut jatuh!" titah Ganjar menarik kedua tangan Yahya untuk melingkari perutnya.

"Iya, Akang sudah pegangan. Nggak perlu meluk juga, Jar," balas Yahya terharu dengan perhatian juga kasih sayang yang ditunjukan oleh adiknya.

Setelah yakin Yahya sudah aman di boncengan, Ganjar pun mulai menghidupkan kembali mesin roda duanya. Ucapan basmallah diucapkan, seiring dengan laju motor yang kembali meninggalkan parkiran mini market itu kemudian.

Yahya menoleh ke arah gang yang menuju rumahnya. Beruntung dia menggunakan helm yang kacanya sudah ditutup, karena secara kebetulan dia melihat Yati keluar dari pekarangan rumah miliknya, entah akan pergi kemana.

Yahya pamit dulu, Teh. Maaf harus pergi tanpa bilang. Titip Zaki. Yahya pasti kembali nanti.

Batin Yahya mengucap janji untuk dia penuhi nanti.

Dia pergi bukan menyerah atas perlakuan Tari padanya, hanya memberikan waktu pada dirinya sendiri, hingga sanggup kembali untuk menjadi kebanggaan bagi Zaki. Karena ternyata hanya Zaki yang masih menganggapnya berharga.

Mengingat anak lelakinya, Yahya menangis dalam diam sambil memandang jalanan yang akan dilewati.

Hatinya kini membeku, rasa sakit itu membuat matanya tak henti mencucurkan bukti kesedihan.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Putry Ismayanti
semangat thoorr...bagus ceritanya bikin sedih
goodnovel comment avatar
Putry Ismayanti
semangat thoorr...bagus ceritanya bikin sedih
goodnovel comment avatar
Putry Ismayanti
semangat thoorr...bagus ceritanya bikin sedih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status