Beranda / Romansa / Perishable / 1. BERAWAL DARI SANA

Share

1. BERAWAL DARI SANA

Penulis: Chairunnisamptr
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-08 21:43:15

Dentingan notifikasi yang masuk melalui ponsel yang berada di atas nakas itu membuat gadis yang telah tertidur sekitar satu jam lalu membuka sedikit matanya. Dia meraih benda itu lalu membaca pesan yang masuk.

Mom : Za, Mama sama Papa nggak pulang malam ini, masih banyak kerjaan di kantor. Kamu hati-hati ya di rumah. Pintu jangan lupa di kunci.

Merza mendengus, sudah biasa dia rumah seorang diri. Tetapi tetap saja, lama kelamaan dia merasa jenggah.

Gadis itu meringsut turun dari ranjang, berjalan keluar kamar lalu menuruni anak tangga untuk menuju dapur. Membuka lemari makanan lalu mengeluarkan dua bungkus mi instan dari dalam sana dan langsung memasaknya.

Namun baru saja dia menghidupkan kompor, dia teringat akan sesuatu. Bibirnya lantas tertarik ke atas, dia tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini. Yaitu mengambil ponselnya dan menelpon seseorang.

"Halo Regan! Jalan yuk?" seru Merza semangat kala Regan menjawab teleponnya.

"Gue sibuk. Ngerjain tugas."

"Ck, ntaran aja ngerjain tugasnya. Ayolah, gue laper nih pengen makan di luar."

"Makan di rumah aja."

Binar di wajahnya perlahan memudar. Merza menghela napas panjang, dia tidak mungkin memaksa Regan jika dia sudah menolak.

"Lo sibuk banget ya? Kalo gitu yaudah deh, besok-besok aja."

"Hm."

Merza menurunkan ponselnya dari telinga karena Regan sudah memutuskan panggilan. Ada rasa kecewa, namun di satu sisi dia juga harus mengerti jika dia bukan satu-satunya prioritas Regan. Oh bukan, lebih tepatnya dia bukan siapa-siapa.

Langkah itu perlahan menjauh meninggalkan dapur dan kembali ke kamar untuk mengganti pakaian. Rencananya dia akan keluar untuk membeli makanan, karena di rumahnya tidak ada bahan yang bisa Merza masak kecuali mie instan.

Selang beberapa menit gadis dengan pakaian casualnya itu turun menuruni anak tangga untuk menuju garasi di mana mobil merah kesayangannya berada. Jam masih menunjukkan pukul delapan, jadi tidak terlalu larut untuknya keluar malam.

****

Selama di perjalanan hanya lagu milik Twice berjudul up to more yang terdengar. Untuk sampai ke Moon Coffee membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit, jadi untuk memecah bosan, Merza memilih memutar lagu yang membuatnya sedikit lebih nyaman.

Dia memang memiliki segalanya. Apapun yang Merza inginkan selalu dia dapat. Kedua orangtuanya juga masih ada, dia pun memiliki teman, memiliki pacar. Tetapi mengapa dia tetap sendirian?

Sejak kejadian itu semua perlahan berubah. Papa dan Mamanya mulai sibuk bekerja, bahkan sering tidak pulang ke rumah dan meninggalkan Merza sendirian.

Mama yang dulunya selalu menanyakan tentang sekolah atau pun tentang kegiatan apa saja yang Merza lakukan kini tidak lagi. Beliau pulang sesekali, dan itu pun hanya untuk beristirahat. Namun walau begitu Merza juga sadar jika Mama dan Papa bekerja demi dirinya. Dia tidak mungkin egois, lagipula dia sudah besar, jadi bisa mandiri dan juga jaga diri.

Saat sedang memikirkan itu Merza tiba-tiba menginjak pedal rem kala melihat sesuatu di depan sana. Dia menajamkan penglihatan, seolah tak asing dengan orang itu. Tanpa berpikir panjang dia keluar dari mobil, dan saat itu pula segerombolan geng motor yang memukul orang tadi pergi.

Merza berlari kecil, dia berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan orang itu.

"Arlen? Lo.. Nggak papa?" tanyanya. Ada rasa takut, tetapi Merza tidak mungkin meninggalkan seseorang yang terluka begitu saja.

Cowok berjaket hitam itu meringgis akibat pukulan yang dia terima di pipi kanannya. Ia mengangkat wajah melihat Merza.

"Tumben lo mau deket sama gue? Nggak takut gue apa-apain?"

Merza terdiam sebentar, tidak mungkin Arlen melakukan hal yang bisa menyakitinya jika keadaannya seperti ini. Jadi, Merza tidak takut.

"Nggak. Gue bisa nendang lo trus kabur," Merza menjawab. Membuat Arlen tertawa sinis. Dia mencoba berdiri, tetapi cukup sulit karena tubuhnya terasa nyeri akibat pukulan tadi.

Merza mengulurkan tangan untuk membantu Arlen berdiri. Bagaimana pun sesama manusa harus saling membantu. Walau kejadian buruk itu tak bisa dia lupakan.

"Pergi lo sana. Ntar cowok lo liat, gue lagi males berantem," ucap Arlen mengusir Merza karena gadis itu masih berdiri pada tempatnya.

"Tunggu. Jangan pergi dulu," cegah Merza karena Arlen sudah ingin bergerak untuk pergi menuju motornya. Dia berlari kecil menghampiri mobil, lalu mengambil kotak P3K yang berada di sana dan langsung menuju ke tempat Arlen.

"Nih, luka lo kayaknya parah. Obatin dulu, kalo nunggu lama takutnya infeksi," ucap Merza sembari memberikan kotak obat itu pada Arlen. Namun tak ada pergerakkan dari cowok itu, dia diam menatap Merza sinis.

"Nggak perlu. Gue lagi baik, jadi mending lo pergi sebelum gue--,"

"Sebelum apa? Gue juga baik, mau minjemin kotak obat ini ke elo."

Arlen kembali tersenyum miring, dia melangkah mendekat ke arah Merza hingga membuat gadis itu mundur beberapa langkah.

"Nggak takut lo kalau gue apa-apain? Ini tempat sepi, nggak ada siapa-siapa. Nyali lo kuat?"

Merza menenggak salivanya dengan susah payah, dia mencoba untuk bernapas normal. Menepis pemikiran buruknya karena tidak mungkin Arlen menyakitinya di saat keadaannya seperti ini.

Gadis itu mengangkat wajah, seolah menantang Arlen. "Iya, nyali gue kuat. Gue nggak takut sama lo, buat hari ini."

Cowok itu terkekeh, biasanya Merza tidak berani menatap matanya. Tetapi tampaknya benar, nyalinya cukup kuat untuk hari ini.

"Udah, cepet obatin luka lo," suruh Merza lagi sembari menyondorkan kotak itu. Arlen menatapnya sebentar, lalu menerimanya dan berbalik menuju tempat duduk besi yang berada di dekat sana.

Dia kembali meringis, bukan hanya luka di wajahnya saja, karena sikunya terasa nyeri kala dia menggerakkan tangan.

Merza menghela napas pelan, dia berjalan mendekat ke arah Arlen lalu duduk di samping cowok itu. Mengambil alih kotak obat dan mulai mengobati luka di wajah lelaki yang pernah menjadi pacarnya selama dua tahun.

"Kenapa lo dipukulin? Nyari masalah lagi?" Merza bertanya dengan tangan yang menekan pelan luka di pipi Arlen.

"Bukan urusan lo."

"Ya memang, gue kan cuma nanya doang," balasnya.

Dan tanpa dia ketahui ponsel yang berada di dalam mobil sejak tujuh menit yang lalu tak henti berdering. Ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Regan.

Dia berada di tempat yang sama, namun dengan jarak yang berbeda. Wajah dingin dan tatapan tajam itu sudah cukup menandakan bahwa dia emosi. Bagaimana tidak? Dia berusaha melindungi Merza dari cowok itu. Tetapi lihat apa yang dia lakukan kini?

Sedangkan Arlen, dia diam menatap lekat wajah Merza. Jika boleh jujur, tak ada sedikitpun niat dalam hatinya untuk menyakiti Merza. Kejadian dulu terjadi di luar kendalinya akibat pengaruh alkohol yang membuatnya hampir merusak masa depan gadis itu.

Dia bersikap jahat, semata-mata hanya ingin membuktikan satu hal. Hal yang mungkin akan mengecewakan.

"Putusin Regan."

Pergerakkan Merza terhenti saat mendengar itu, dia menjauhkan sedikit tubuhnya ke belakang.

"Maksud lo apa?" tanyanya dengan nada tak suka.

"Nggak ada maksud apa-apa. Gue cuma nggak suka liat lo deket sama dia."

Respons Merza hanya berdecih pelan, "Itu urusan lo. Gue suka sama dia, jadi nggak ada alasan buat gue mutusin Regan."

Arlen mengalihkan pandangan. Dia terdiam sebentar, mau bagaimana pun menjelaskannya Merza tak mungkin percaya.

"Kadang hal yang lo anggap baik, nggak selamanya bakalan sama. Jangan mudah percaya sama seseorang. Karna bisa aja suatu saat nanti orang itu bakal nyakitin lo."

Merza menatap Arlen heran. Tak mengerti dengan maksud ucapannya barusan. Dan juga, dari mana dia belajar mengatakan kata-kata seperti itu?

"Lo ngomong apa sih? Nggak jelas," balas Merza merasa lucu karena biasanya Arlen tidak pernah mengatakan kalimat seperti itu.

"Jauhi Regan. Dia nggak sebaik yang lo kira."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perishable   49. MALAM SEUSAI HUJAN

    "Happy birthday!" seru Ghea dengan tawa gembira kala seorang lelaki yang ia tunggu datang tergesa-gesa dengan wajah khawatir.Aland menghela napas kasar, dia mengacak asal rambutnya yang basah karena keringatnya sendiri. Sedangkan di depannya Ghea masih saja tersenyum seraya berjalan mendekat bersama kue dengan lilin yang menyala di atasnya."Ghe.., nggak lucu," ucap Aland sedikit kesal. Dia hampir menabrak orang dijalan akibat memacu motor dengan kecepatan tinggi karena Ghea mengatakan jika ada lelaki yang mengikutinya sejak tadi. Alhasil, Aland bergegas datang ke rooftop sekolah Ghea. Tapi ternyata semua hanya skenario yang Ghea buat sendiri karena ini adalah hari ulang tahunnya.Gadis dengan t-shirt putih dan rok cokelat selutut itu lant

  • Perishable   48. MELEWATI BATAS

    Arlen mengusap wajahnya mengingat percakapan itu. Tanpa dia minta pun, Arlen akan tetap menjaga Merza, walau itu dari kejauhan. Tapi percayalah, Arlen ikut bahagia melihat betapa senangnya Merza kala berada di dekat Regan.Namun sayang, dikemudian hari lelaki itu akan menyakitinya."Ini udah malem, bahaya kalau lo pulang sendiri. Lagian jam segini taksi juga jarang lewat," ucap Arlen menjawab perkataan Merza tadi.Merza memalingkan wajah ke samping, menatap lampu jalanan dari dinding kaca disampingnya. Benar juga, bisa-bisa dia akan bertemu om-om genit jika berdiri lama dipinggir jalan."Yaudah, deh. Tapi gue nggak ngerepotin lo, kan?"Arlen menggeleng.

  • Perishable   47. PESAN UNTUK MENJAGA

    Pukul 00.15 WIBEntah apa yang berada di pikirannya hingga memilih untuk membawa gadis yang benar-benar ingin dia hindari itu ke Apartemen. Biasanya Gio tidak peduli dengan siapapun, bahkan harus meninggalkan seorang wanita di tempat seperti itu pun dia tak peduli.Tapi kini mengapa berbanding terbalik?Bahkan kini Gio mengambil makanan kesukaannya untuk dia berikan pada gadis itu, seperti roti, susu strawberry dan juga minuman penghilang pengar yang sering ia konsumsi jika minum terlalu banyak.Setelah meletakan makanan itu di atas sofa, dan menempelkan note kecil di sana, dia pun beralih mendekati Grace yang masih tertidur lalu menarik selimutnya untuk menutupi tubuh gadis itu hingga sebatas dada.

  • Perishable   46. MAAF DAN TERIMA KASIH

    Seusai sarapan pagi, Regan tetap berada di restoran hotel menunggu Davin yang beberapa menit lalu masih terlelap. Dia mendengus pelan, padahal semalam Regan sudah mengatakan jika mereka akan pergi pukul 9. Namun nyatanya perkataannya itu tak diindahkan.Kamar mereka berbeda, karena Regan tidak ingin tidur dengan suara dengkuran Davin yang amat menganggu. Maka dari itu dia tidak tahu jika nyatanya Davin belum bangun juga.Regan kembali mengirim pesan ke nomor Davin, dan tak lama kemudian cowok itu membalas jika dia akan turun menuju restoran. Setelah membaca pesan itu, jari Regan beralih membukaroom chat-nya bersama Merza. Awalnya dia ingin mengirim pesan saja, namun yang terjadi dia malah menelepon gadis itu.Namun sudah beberapa detik berlalu, tak ada tan

  • Perishable   45. MENIT TERAKHIR

    Suara bising yang berasal daridance floor, asap vape dan rokok yang bergumpal menjadi satu diudara, sudah cukup menjelaskan tempat dimana gadis itu berada.Tangannya meraih sebotolwine, lalu menuangkannya ke dalam gelas kecil dan menenggaknya hingga habis. Tidak tahu sudah gelas ke berapa, Grace tidak peduli. Pikirannya berkecamuk memikirkan tentang seorang lelaki bernama Daniel Liodan A, itu.Siapa dia sebenarnya? Mengapa identitasnya tidak bisa ditemukan?Grace sudah berusaha mencari tahu, dia bahkan meminta orang kepercayaan di keluarganya untuk menyelidiki kasus tersebut, tapi tetap saja, hasilnya nihil.Semua informasi mengenai dirinya tidak dapat ditemukan. Seolah dia hidup dengan

  • Perishable   44. DATANG ATAU MATI?

    Ruangan kotor dan cahaya lampu yang redup adalah hal pertama kali yang Viola lihat serta ia membuka mata. Merasa aneh dengan kedua tangannya, gadis itu pun mencoba menggerakkan tangannya yang terikat, ia meronta-ronta dan berteriak minta tolong. Namun tak ada suara yang terdengar kecuali suara serangga dimalam hari.Dia seolah berada dirumah yang terletak ditengah hutan.Viola mulai mengingat kejadian terakhir sebelum dia berakhir ditempat ini. Dalam ingatannya dia pergi ke taman belakang kampus karena Andien memintanya ke sana, namun nyatanya Andien tidak mengatakan itu. Lalu tak lama kemudian seseorang memukul kepalanya dari arah belakang hingga dia terjatuh dan tak sadarkan diri.Viola menghela napas panjang, peluh mulai membasahi dahinya. Tubuhnya terasa lemas tak be

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status