Tubuh Rara Wilis terkapar di atas tanah. Tak ada pergerakan sama sekali. Jaka Geni yang melihat hal itu menjadi geram. Dengan amarah yang meluap dia membalas serangan Resi Jaya Dipa dengan serangan cepat dan mengandung tenaga dalam tinggi. Melihat lawan semakin mengganas, Resi Jaya Dipa tak mau berlaku konyol menahan setiap serangan itu. Dia segera mundur ke belakang dengan gerakan jungkir balik hingga beberapa kali. Saat kakinya menyentuh tanah, tangan kirinya menyambar satu gulung benang perak di pinggangnya. Dengan kecepatan tinggi benang itu telah menyerang ke arah Jaka Geni. Mata Jaka masih sempat melihat kilatan benang Kahyangan tersebut sebelum benang itu menembus bahu kirinya! Jaka meraung setinggi langit. Rasa sakit dan panas luar biasa menjalar dari bahu kirinya. Lengan kirinya seketika mati rasa dan tak bisa digunakan. Tribuana Mahadewi yang mendengar teriakan Jaka ingin keluar untuk melihat. Namun dia takut dengan uc
Tubuh Rara Wilis terlempar ke bawah. Jaka Geni yang melihat wanita itu melayang karena terkena pukulan tenaga dalam, langsung melesat ke arah Rara Wilis dan menangkap tubuh ramping wanita itu. Jaka mendarat dengan aman. Wanita itu terlihat meringis kesakitan. Dari sela bibirnya mengalir darah merah segar. Jaka menatap wajah ayu itu dan melihat ada satu titik hijau di bagian kening nya. Rara Wilis tersenyum kepada Jaka. "Ternyata kamu memang lelaki yang baik hati. Aku jadi merasa bersalah pernah berpikir yang tidak-tidak tentangmu dulu..." ucap Rara Wilis perlahan. "Apa maksudmu Wilis?" tanya Jaka penasaran. "Sudahlah, aku tak akan membicarakan itu lagi. Bantu aku berdiri Jaka..." kata Rara Wilis lalu mencoba berdiri dengan bantuan Jaka Geni. Dua orang di atas atap saling pandang. "Aku akan menyerang pemuda gila itu, kau bunuh wanitanya. Dia sangat merepotkan." bisik salah satu orang yang masih berada di atas atap itu.
Malam semakin larut. Jaka Geni menutup jendela kamarnya. Dia juga mengunci pintunya dengan memalangkan sebuah balok kayu di balik pintu. Dengan pelan dia merebahkan tubuhnya di atas dipan kasar karena tak ada kasur empuk di atasnya. Suara berderit terdengar saat tubuhnya menekan dipan tersebut. "Rasanya nyaman sekali setelah sekian lama tidak tidur di rumah..." ucap Jaka Geni sambil memejamkan matanya. Tiba-tiba dia merasakan hembusan angin dingin menerpa tubuhnya dari arah jendela. Jaka merasakan sekujur tubuhnya merinding. Perlahan satu sosok wanita berpakaian putih muncul di hadapan Jaka. Semakin lama semakin jelas terlihat hingga Jaka pun sadar siapa yang ada di depannya saat ini. "Tribuana Mahadewi..." ucap Jaka menyebut nama itu dengan lirih. Meski lirih, Mahadewi mendengarnya dengan jelas sehingga dia pun tersenyum sangat manis kepada Jaka Geni. Perlahan dia menghampiri dipan dimana Jaka tengah berbaring. Lalu dengan anggun dia mengangkat kakinya ke atas dipan dan perlahan
"Ki Lintang! Keluar kau!" teriak salah satu pendekar yang baru saja datang beramai-ramai bersama Pendekar-pendekar lain dari Perkumpulan Gerhana Bulan. Wajah pendekar itu terlihat garang dengan mata tanpa alis. Seragam mereka sama, pakaian hitam dengan gambar bulan warna merah di bagian punggung. Ki Lintang Samudra keluar dari pondoknya. Dia tersenyum melihat banyaknya pendekar yang datang ke Padepokan nya. Jati Saba berdiri di samping orang tua itu. Para murid padepokan berkumpul dan bersiap jika terjadi serangan. "Ada apa kisanak datang-datang kesini membawa serombongan Pendekar-pendekar hebat?tanya Ki Lintang Samudra sambil tersenyum ramah. "Jangan pura-pura di balik senyuman! Cepat katakan, dimana dua orang yang baru saja datang ke padepokan ini!? Mereka yang harus bertanggung jawab atas terlukanya salah satu ketua kami dan kematian para pendekar di Perkumpulan Gerhana Bulan kami!" ucap lelaki tanpa alis itu. Ki Lintang Samudra sadar dan tak mungkin berbohong mengenai kedatang
Siang hari yang terik ketiga orang tersebut melangkahkan kakinya ke dalam Padepokan Wadaslintang. Gapura besar terpampang di pintu masuk. Dua penjaga menyapa Melati. Setelah menjelaskan siapa dua orang itu, para penjaga itu mempersilahkan masuk. Melati membawa Jaka Geni dan Gondo Sula ke sebuah pondok besar. Pondok itu adalah tempat para guru padepokan Wadaslintang. Di halaman pondok para guru, Jati Saba yang melihat kedatangan Melati dan dua tamu itu langsung menyongsong mereka dengan wajah berbinar-binar. Jati Saba pun heboh sendiri. Para guru yang ada di dalam ruangan pun pada keluar karena penasaran. Melihat siapa yang datang, seorang lelaki tua berjenggot putih dengan rambut putih di sanggul datang menghampiri dengan senyum mengembang. "Silahkan masuk dulu kisanak. Kita bicara di dalam saja." ucap lelaki tua itu. Jaka Geni dan Gondo Sula pun mengikuti langkah lelaki tua itu masuk ke dalam pondok. Tribuana Mahadewi yang dalam bentuk roh pun mengikuti mereka. Namun saat dia m
Jaka Geni bersama dua kawannya kembali melanjutkan perjalanan ke padepokan Wadaslintang yang sudah tidak begitu jauh. Hanya beberapa waktu saja dari tempat mereka sekarang. Melati berjalan di samping Pendekar Tangan Gledek. Gondo Sula berjalan di belakang sendirian. Tanpa mereka sadari, satu sosok tak terlihat berjalan bersama mereka bertiga. Sosok itu tersenyum melihat perjuangan Melati untuk mendapatkan hati sang Pendekar. "Kau pernah menolongnya, sudah pasti siapapun orangnya akan tertarik pada orang yang mau berkorban nyawa demi menyelamatkan nyawa orang lain." batin sosok tak terlihat itu yang tak lain adalah Tribuana Mahadewi. Mata Mahadewi melirik ke arah pepohonan. Dia merasakan aura samar yang cukup membuatnya merasa sedang di amati. "Aku merasakan tatapan itu adalah tatapan mata yang seolah bisa melihatku. Siapa dia dan bagaimana bisa melakukanya?" batin Mahadewi sambil matanya terus menatap sekitar. Seandainya dia bisa, ingin sekali dia katakan tentang penguntit yang t