Ratu Ambarwati terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi keningnya. Nafasnya terlihat turun naik. Matanya menatap ke arah Jaka Geni dan Putri Maharani yang masih tertidur pulas dibalik selimut. Dengan sedikit gemetar, kakinya melangkah ke meja kecil yang ada di kamar itu. Di atas meja ada kendi bersama tiga gelas bambu. Dia menuangkan air ke dalam gelas hingga penuh, lalu kemudian meminumnya hingga habis.
Ratu duduk dan bersandar di dinding kayu kamar penginapan itu."Mimpi apa aku tadi... Seperti nyata..." batin Ratu merasa gelisah. Di dalam mimpi dia bertemu dengan seekor ular kuning besar dengan mata merah menyala. Pada saat berhadapan dengan ular itu, kekuatan Ratu hilang dan tak bisa berbuat apa-apa kecuali melarikan diri.Ular kuning itu mengejarnya dan mempermainkannya seperti mempermainkan mangsa. Dengan susah payah Ratu berlari, namun tetap saja ular itu bisa mengejarnya. Malahan lidah ular itu beberapa kali menjilat paha putihnya yanSaat pertarungan terjadi di gerbang Selatan dan gerbang Timur, di dua gerbang lainnya yang sepi juga terjadi bentrok antar pendekar. Di sebelah Utara dimana Nyai Laras, Nyai Sari dan Anggita bersama ratusan prajurit jaga, di serang dua pendekar hebat yang dulunya pernah menjadi penjahat kelas atas di dunia persilatan. Di gerbang Barat juga diserang oleh dua pendekar hebat lainnya bersama beberapa pendekar muda. Di gerbang barat ini, Patih Sela Amarta lah yang menjaga pos yang tadinya di jaga oleh Jaka Geni. Kita akan melihat apa yang terjadi di gerbang Utara terlebih dahulu. Dimana Nyai Laras dan Nyai Sari tengah berhadapan dengan dua pendekar tua. Yaitu yang pertama adalah Pendekar bernama Adinata alias Pendekar Rawa Biru. Yang berasal dari Padepokan Rowo Ombo. Pendekar ini dikenal dengan ajian Segara Tiga Arah, Raungan Dari Rawa, Tinju Sakti Banaspati, dan Terjangan Seribu Kaki. Dan satunya lagi adalah Gentala alias Pendekar
Matahari mulai bergulir ke ufuk barat. Dentingan senjata semakin terdengar ramai. Teriakan amarah, teriakan kematian bercampur menjadi satu suara di sore itu. Lawe Segara yang sudah berubah wujud menjadi besar menerjang ke arah pasukan pertahanan. Sekali pukul dua orang terlempar dalam keadaan buntung kepalanya! Kobaran api yang membakar para musuh ini membuat aroma daging terbakar yang sangat sangit. "Lemparkan semua tong yang tersisa. Sebentar lagi Sesepuh Satya Ning Jagat akan datang! Berikan dia kejutan bahwa kita telah membereskan sebagian pemberontak!" perintah Resi Swara. Para pelontar telah siap dengan tong apinya. Segera saja mereka lepaskan tong minyak itu ke udara. Disusul ratusan panah milik para Srikandi. Ledakan terjadi saat tong itu jatuh di atas tanah yang di susul kobaran api yang menjalar membakar apa saja yang di lewatinya. Para prajurit musuh berteriak kepanasan.
Saat perang pecah di gerbang Selatan, dari Gerbang sebelah Timur ribuan pasukan Panglima Karna yang dipimpin Lawe Segara bergerak maju mendekati barisan pertahanan Sigaluh. Barisan pertahanan kerajaan Sigaluh di penuhi persenjataan lengkap. Ribuan prajurit khusus juga di tempat kan di sana. Sesepuh yang memimpin adalah Empu Ragil Swara atau dikenal sebagai Resi Swara. Salah satu resi sahabat dari Resi Sumbing. Resi Swara terkenal dengan kesaktiannya yang bisa membuat lawannya terpental sebelum mendekati tubuhnya. Ajian ini disebut Tameng Dewa. Sebuah ajian sakti yang berguna sebagai pertahanan. Ajian ini bisa digunakan untuk menahan puluhan bahkan ratusan musuh di sekitar Resi Swara. Lawe Segara berhenti dengan jarak seratus tombak dari barisan pertahanan kerajaan yang ada di hadapannya sana. Matanya menatap nanar ke arah ribuan prajurit kerajaan yang telah siap dengan persenjataan lengkap. Tiba-tiba ada seorang prajurit melapor kepada Lawe Segara.
Dengan perasaan heran Ki Sapta mencoba lagi ajian Kipas Neraka Hitam miliknya. Saat satu sinar hitam melesat ke arah Pendekar Sinting, tiba-tiba serangannya seperti menembus tubuh Bantara. Pendekar Sinting tertawa cekikikan. "Hei orang bodoh! Apa kau pikir serangan mu itu bisa mengenai diriku? Dasar bodoh!" ucap Bantara sambil tertawa cekikikan. Ki Sapta menatap sekitarnya. Terlihat semua orang tengah bertempur. Sapta merasakan ada yang aneh dengan dirinya. Saat tadi dia mendengar suara Bantara, meski dia tahu Bantara ada di hadapannya dan berbicara kepadanya, namun Ki Sapta merasakan suara itu tidak keluar dari mulut orang tua itu. Setelah beberapa saat lamanya dia berpikir, akhirnya Ki Sapta menyadari sesuatu, dia telah terjebak ajian Kala Mudeng. Ki Sapta terus berpikir bagaimana caranya keluar dari ajian Kala Mudeng itu sebelum tubuh aslinya terbunuh. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa di dalam ajian sakti milik Pendekar Sinting
Pasukan bantuan datang membuat prajurit Raksa Panjalu kocar kacir tidak karuan. Kehadiran pasukan Antasena dan Lesmana benar-benar memukul pasukan pemberontak itu. Raksa Panjalu sendiri tak menyangka akan ada serangan dari arah lain lagi. Jaka Geni yang berhasil mengalahkan Ki Damar langsung kembali beraksi. Dengan seruling perak dia membuat barisan musuh semakin kacau. Jeritan kematian dan kesakitan terdengar mengerikan. Raksa Panjalu tersenyum pahit. Mungkin inilah akhirnya, pikirnya. Namun saat dia merasa putus asa, matanya menangkap Pendekar Sinting yang bertarung dengan sangat gigih. Sudah banyak prajurit yang mati di tangan nya. Baik kawan maupun lawan dia habisi. Hingga akhirnya Bara Yuda datang untuk menyerangnya. Pertarungan dua orang tua itu pun terjadi. Raksa Panjalu tidak diam saja, dia ikut menyerang Bara Yuda. Melihat Sesepuh kerajaan di keroyok, Antasena pun menyerang Raksa Panjalu. Kali ini pertarungan sangat lah seng
Raksa Panjalu berteriak kaget saat melihat potongan tangan berada di hadapan mukanya. Tadinya dia membuang wajah karena mual melihat bentuk tangan Ki Damar yang hancur seperti terkena seribu sayatan.Sekarang dengan tanpa dosa, Ki Damar malah membuang tangan itu tepat dihadapannya. Dengan wajah aneh Raksa Panjalu menendang potongan tangan itu hingga melesat ke udara dan jatuh di kepala seorang pendekar yang tengah berperang. Pendekar yang terlihat aneh itu terkejut melihat potongan tangan yang hancur mengerikan itu. "Sialan! Siapa yang melemparkan tangan ini kepadaku!? Minta mati dia!" umpat pendekar tanpa alis tersebut sambil matanya celingukan mencari siapa pelaku yang melemparkan tangan tersebut. Namun dia tak melihatnya karena Raksa Panjalu berada cukup jauh darinya, sedangkan mereka di pisahkan oleh lautan manusia yang tengah saling membunuh. Karena kesal tak menemukannya, akhirnya orang yang tak lain adalah Bantara alias Pendeka