Tatapan mata Rajendra menusuk. Ranjani yang awalnya hendak melompat turun dari tempat tidur, kini membeku di bawah tubuh suaminya sendiri. Napasnya tercekat, dadanya naik-turun dengan cepat. Tubuhnya yang polos menempel langsung pada dada Rajendra yang kencang dan hangat.
“Yang Mulia…” bisik Ranjani dengan suara gemetar. Wajahnya memerah, bukan karena malu semata, tapi karena tubuhnya menghangat, didorong rasa yang selama ini dia sembunyikan. Rajendra sendiri menelan ludah. Tubuhnya menegang. Otaknya tahu ini salah waktu, tapi tubuhnya menolak bergerak. Hangat tubuh Ranjani, aroma kulitnya, dan kedekatan yang membutakan, semua bercampur menjadi gelombang aneh di dalam dada Rajendra. Sejak pernikahan, Rajendra dulu memang telah menyentuh Ranjani. Tapi hanya sekali. Dan itu pun dalam kondisi marah. Sisanya, ia lebih sering tidur bersama para istrinya yang lain yang lebih nurut. Saat tangan Rajendra hendak bergerak turun untuk menyentuh tubuh Ranjani, pintu kamar tiba-tiba terbuka. “Ranjani, aku—” Kirana membeku di ambang pintu. Wajahnya pucat. Matanya membelalak saat melihat Ranjani terbaring di ranjang tanpa sehelai kain, sementara Rajendra berada tepat di atasnya. “Maaf! Aku tidak bermaksud mengganggu,” kata Kirana. Kemudian wanita itu buru-buru menutup pintu dan lari menjauh. Ranjani langsung mendorong tubuh Rajendra. “Menyingkir dariku!” desisnya dengan wajah merah padam. Rajendra bangkit panik. “Aku … maaf.” Ranjani terdiam. Batinnya bertanya-tanya. Minta maaf? Sejak kapan dia mudah untuk meminta maaf? Dia mengambil jubahnya dan berbalik tanpa menatap istrinya lagi. “Aku akan berburu bersama Tama dan yang lain.” Suaranya terdengar datar namun jelas panik. Dia keluar kamar secepatnya. Saat keluar, dia langsung bertemu dengan Kirana yang menunduk dalam-dalam. Bahunya gemetar. “Aku minta maaf, Yang Mulia. Seharusnya aku mengetuk pintu terlebih dahulu. Aku tidak tahu…” Rajendra menghela napas. “Tak perlu minta maaf. Aku yang salah karena tidak mengunci pintu.” Kirana tetap menunduk. “Tapi—” “Aku akan pergi berburu,” potong Rajendra cepat. Kirana mengangkat wajahnya. “Berburu? Tapi itu berbahaya, Yang Mulia. Biarkan Tama dan prajurit yang lain saja yang berburu. Yang Mulia di rumah saja.” Ranjani keluar dari kamar, kini telah mengenakan pakaian lengkap. Wajahnya masih memerah namun ekspresinya sudah kembali galak. “Kalau ada yang berburu, biar aku saja. Dulu aku sering ikut ayah berburu. Aku lebih tahu bagaimana menghadapi medan liar dibandingkan dengan Yang Mulia,” ucap Ranjani. Rajendra menoleh. “Tidak.” “Kenapa tidak?” tanya Ranjani. Rajendra berjalan menuju pintu utama sambil berkata, “Karena aku adalah kepala keluarga. Tugas mencari makanan adalah tugasku. Kalian para wanita, tinggal di rumah saja.” Ranjani dan Kirana terkejut. Biasanya Rajendra malas. Tidak pernah tanggung jawab. Tapi kini, dia berdiri sebagai suami sekaligus pemimpin rumah tangga. Rajendra membuka pintu. Di luar, Surapati sudah berdiri lengkap dengan pedang panjang di punggungnya. “Yang Mulia, aku akan pergi berburu bersama prajurit yang lain,” ucap Surapati. Rajendra menggeleng. “Tidak. Paman tinggal di rumah saja menjaga istriku. Biar aku yang pergi berburu.” Surapati tersenyum kecil. “Yang Mulia, di hutan sangat bergaya sekali. Yang Mulia tidak pernah memegang busur. Bahkan latihan pun tidak pernah ikut. Biar aku yang pergi, Yang Mulia tetap di rumah saja, menunggu dengan tenang.” Rajendra menatap Surapati tajam. “Aku akan pergi. Paman jaga rumah. Ini adalah perintah.” Surapati tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya menunduk dalam-dalam dan mundur dua langkah. Rajendra melangkah pergi. Tama dan enam prajurit lainnya telah menunggu. Di sepanjang jalan desa, banyak wanita menoleh. Mereka semua belum pernah melihat seorang pria yang memiliki paras setampan Rajendra. Dan hal itu membuat para wanita berdegup jantungnya. Rajendra menebarkan senyumnya yang santun. Namun tatapannya tegas. Rajendra yang dulu suka menggoda wanita di jalan, namun kali ini dia bahkan tak melirik sedikit pun. Para wanita—bahkan yang telah bersuami—terpaku menatap punggungnya. Rajendra tetap diam. Fokus pada tujuannya. Di perjalanan, dia melihat ladang gandum luas, namun sebagian besar terlihat terbengkalai. Beberapa anak kecil bermain-main di sana, melempar gandum satu sama lain seperti itu adalah mainan. “Kenapa ladang ini terbengkalai?” tanya Rajendra. Tama yang berjalan di sampingnya menjawab, “Itu ladang gandum liar, Yang Mulia. Tidak ada yang punya. Biasanya warga ambil sebulan sekali. Sisanya dibiarkan saja.” Rajendra mengangguk. “Gandum ini bisa dimanfaatkan lebih baik.” “Tapi tidak ada yang mau. Rasanya hambar. Pahit. Tak bisa diolah jadi apa-apa selain bubur,” jawab Tama. “Kalian tidak membuat roti dengan gandum?” Tama menoleh heran. “Roti? Apa itu roti?” Rajendra tidak menjelaskan lebih lanjut. “Nanti saja. Sekarang kita lanjutkan perjalanan sebelum matahari terbenam.” Mereka berjalan lagi. Namun dalam kepala Rajendra, ide roti itu berputar. Jika bisa diolah dengan baik, gandum bisa dijadikan tepung. Tepung bisa jadi roti. Roti bisa dijual. Pikiran itu menumbuhkan semangat baru dalam dadanya. Hingga akhirnya, mereka sampai di hutan. Seorang prajurit berlari ke depan. “Yang Mulia! Di sana ada kelinci!” Mereka segera menyusun formasi. Dua kelinci berhasil ditangkap dengan cepat menggunakan jaring. Namun jumlah itu tidak cukup. Mereka butuh lebih banyak hewan buruan. Beberapa ayam hutan terlihat di semak. Prajurit mencoba menjerat, tapi ayam terlalu lincah. Panah-panah meleset. Rajendra mengambil busurnya. Napasnya dalam. Tangannya sedikit gemetar. Tapi dia fokus. Satu anak panah melesat. Ajaib! Panah itu menancap di tubuh ayam hutan dengan tepat. Semua orang berseru, “Hore! Yang Mulia sangat lihai menggunakan panah.” Rajendra sendiri bahkan terkejut. Tapi ia segera berlari, mengambil ayam itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Sudah kukatakan, aku bisa berburu!” ucap Rajendra penuh rasa bangga. Tawa kecil dan tepuk tangan menyambutnya. Namun tiba-tiba… Krak! Suara ranting patah terdengar dari arah belakang semak-semak. Semuanya terdiam. Para prajurit saling berpandangan. “Ada seseorang,” bisik Tama seraya mencabut pedangnya. “Siluman?” tanya salah satu prajurit dengan suara gemetar. Pada zaman itu, mitos siluman masih kuat. Siluman harimau. Siluman serigala. Mereka diyakini hidup di hutan dan memburu manusia. Tak ada yang selamat jika bertemu mereka. Rajendra menahan tawa. “Kalian percaya hal itu?” Namun belum sempat dia menyelesaikan kata-katanya… Whoosh! Sebuah anak panah melesat cepat dari balik semak. Langsung mengarah ke dada Rajendra. Tama melihatnya. “Yang Mulia!” teriaknya sambil berlari mencoba menghalangi. Tapi jaraknya terlalu jauh. Panah itu tinggal beberapa jengkal dari jantung sang pangeran. Dan semua orang hanya bisa menatap, tak bisa berbuat apa-apa.Raja Wicaksana tersentak di kursinya, tatapannya terpaku pada pintu kayu yang baru saja menelan dua pengawal terakhirnya. Pikirannya dipenuhi gambaran efisiensi iblis Rajendra.“Bodoh!” geram Raja Wicaksana, suaranya parau, dipenuhi rasa frustrasi dan teror yang mematikan. “Mereka mencari ke mana?! Rajendra ada di sini! Di Istana! Dia ada di luar pintu ini! Aku dikepung!”Baru saja kalimat itu keluar dari mulutnya, Rajendra mengirimkan pesan yang jauh lebih mengerikan dari sekadar teriakan.BRRUUUUK!Sebuah benda tumpul dan berat dilempar keras ke lantai menara. Benda itu menggelinding ke depan Raja Wicaksana yang sedang duduk.Raja Wicaksana menatap benda itu dengan mata melebar. Itu adalah kepala manusia. Wajahnya sangat ia kenal—itu adalah kepala pengawal yang baru keluar tadi untuk memeriksa! Wajahnya kaku dengan ekspresi ketakutan yang abadi, matanya terbuka lebar seolah melihat neraka sebelum mati.Raja Wicaksana menjerit. Teriakan itu bukan teriakan Raja, tetapi jeritan ngeri s
Tama tersenyum lebar. Keputusan Rajendra untuk berbalik dan menggunakan pasukan pengejar sebagai perisai adalah strategi yang brilian, menghidupkan kembali harapan dan optimisme di tengah tim kecil itu.“Itu benar, Yang Mulia,” kata Tama, suaranya dipenuhi semangat yang membara. “Kita akan menjadi pemburu Raja. Bukankah ini jauh lebih menyenangkan daripada melarikan diri seperti tikus?”Ekspresi optimis terpancar di wajah Tama. Ia sangat percaya diri bahwa momen balas dendam terhadap Raja Wicaksana akan segera tiba. Bahkan, di dalam hatinya yang paling dalam, Tama telah bersumpah:Jika Yang Mulia Rajendra ragu untuk mengambil nyawa tiran itu, aku sendiri yang akan melakukannya. Kehormatan Putri Ayana adalah kehormatan seluruh pasukan Rajendra!Surapati mendekat, pandangannya dingin dan fokus. “Kita bergerak sekarang, Yang Mulia?” tanyanya. “Kita lewat jalur belakang. Jika masih ada kelompok kecil yang tertinggal di belakang, kita habisi saja satu per satu. Kita harus membuat jalan yan
Kemarahan Rajendra menular. Bukan hanya urat di lehernya yang menegang, tetapi juga suasana di sekitar mereka. Kata-kata Ayana tentang pemukulan itu adalah minyak yang disiramkan ke api kebencian yang sudah membara.Bukan hanya Rajendra dan Ranjani yang tersulut. Tama yang mendengarkan di belakang ikut mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Surapati, meskipun wajahnya kaku, matanya berkilat mematikan.Bahkan Sarno, bocah jalanan yang baru beberapa jam mengenal mereka, ikut merasakan amarah yang sama. Ia melihat bagaimana seorang wanita bangsawan diperlakukan seperti pengemis, sama hinanya dengan ibunya yang sakit di rumah.“Aku tidak terima!” geram Tama, maju selangkah. “Kalau mau kembali lagi, masih keburu, Yang Mulia! Raja Wicaksana pasti masih lumpuh dan terikat di Menara! Kalau mau, kita bergerak sekarang dan habisi dia!”“Ya, saya akan mengantarnya agar bisa lebih cepat sampai!” seru Sarno, matanya dipenuhi tekad balas dendam. “Saya tahu jalan yang lebih cepat dari Jalan Naga Bu
Suara alarm Istana yang menggelegar kini terdengar jauh, tertelan oleh labirin permukiman padat di pinggiran Kerajaan Widyaloka. Udara subuh terasa dingin di kulit, namun adrenalin dalam darah mereka membuatnya terasa seperti api.Rajendra merangkul Ayana, tubuhnya yang lemah bersandar erat padanya. Sarno memimpin jalan dengan kecepatan dan keahlian yang mengagumkan, sementara Surapati dan Ranjani menjaga bagian belakang, mata mereka tajam mengawasi setiap gang yang mereka lewati.Setelah berlari beberapa ratus meter dari area kumuh, Sarno berbelok tajam ke sebuah jalan setapak yang dikelilingi kebun kecil. Jalanan ini mulai ramai dengan warga yang bersiap pergi ke pasar.“Berhenti!” seru Rajendra tiba-tiba.Semuanya langsung berhenti, menatap Rajendra dengan bingung. Sarno bahkan tersentak, mengira ada pengejar.“Ada apa, Yang Mulia?” tanya Ranjani, tangannya memegang gagang pedang.Rajendra melepaskan pelukannya pada Ayana sejenak, mengambil napas dalam-dalam.“Kita sudah berada di
Mereka bersembunyi di sudut gelap lantai dua menara yang kosong, tepat di seberang Pintu Besi yang mengunci Ayana. Lantai di bawah mereka menyimpan Kapten Wasesa dan beberapa pengawal elit yang terikat dan dibungkam, umpan yang siap dimakan.“Dia datang,” bisik Ranjani, matanya yang tajam melihat pantulan cahaya obor yang bergerak cepat di halaman luar.Detik-detik berikutnya terasa seperti berjam-jam. Mereka mendengar langkah kaki yang berirama, semakin mendekat, bersamaan dengan suara denting logam yang familier.“Siapkan diri,” Rajendra mengeluarkan perintahnya, suaranya serak namun tegas.Ia menggenggam erat pedangnya, sementara tangan kirinya sudah merogoh saku, memastikan Kunci Besi pertama aman. “Ingat rencana: fokus utama adalah kunci... kunci kedua yang ada di tangan Raja Wicaksana.”Suara derit pintu kayu lantai dasar memecah keheningan. Raja Wicaksana telah masuk.Langkah kaki yang mantap, berwibawa, namun juga menunjukkan urgensi, terdengar menaiki tangga kayu yang tua. Ta
Rajendra tidak memberikan waktu bagi Kapten Wasesa untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan. Teriakan Kapten Wasesa yang keras itu adalah peringatan yang bisa menarik perhatian, dan Rajendra tidak akan membiarkan itu terjadi.“Sekarang!” teriak Rajendra.Kapten Wasesa melompat maju, pedangnya memancarkan kilatan perak. Dia kuat, didukung oleh pelatihan keras Naga Merah khas Widyaloka, tetapi gerakannya lambat dan terprediksi di mata Rajendra.Di mata Rajendra—atau lebih tepatnya, Raka—mantan perwira polisi dari dunia modern, gerakan Kapten Wasesa hanyalah pola yang sudah usang. Rajendra bergerak menggunakan insting bela diri modern yang dilatih untuk melumpuhkan target secepat mungkin.BUUK!Rajendra tidak menggunakan pedang. Ia menggunakan tangan kosong. Ia merunduk di bawah ayunan pedang Kapten Wasesa, menangkis bilah itu dengan sarung lengan, dan melancarkan pukulan siku cepat ke ulu hati Kapten Wasesa.Kapten Wasesa terhuyung. Sebelum ia bisa bernapas, Rajendra sudah ada di belaka