"Maaf, Yang Mulia. Ini salahku." Kirana menunduk dalam-dalam. Suaranya bergetar, tubuh mungilnya menegang seperti daun kering yang siap diterbangkan angin.
Rajendra meletakkan sendoknya. Bubur gandum itu hambar, kental seperti lumpur, dan menyisakan pahit aneh di ujung lidah. Tapi bukan itu yang membuatnya mengernyit. Melainkan ekspresi Kirana yang seolah menanti dicambuk di depan umum. Ranjani tidak mau Kirana dihukum. Sebab Kirana sangat lemah. Oleh karena itu dia pun buru-buru membuka mulutnya. "Yang Mulia, ini salahku. Kirana hanya membantu. Jika harus dihukum, hukum aku saja. Aku yang bertanggung jawab,” ucap Ranjani. Rajendra memandangi kedua istrinya. Kirana yang ringkih seperti anak kecil kelaparan, dan Ranjani yang duduk tegak penuh keberanian, meski lehernya menegang dan telapak tangannya bergetar halus. “Jadi apakah rasanya memang seperti ini? Atau kalian lupa menambahkan bumbu?” Rajendra menatap Ranjani, tak menunjukkan amarah, hanya rasa penasaran yang serius. Ranjani menarik napas. Lalu dia berkata, “Memang seperti itu, Yang Mulia. Karena itu, aku memberikan nasi untukmu. Supaya Yang Mulia bisa makan dengan baik seperti biasanya.” Rajendra tidak berkata-kata. Tapi dahinya mengernyit. Ia bukan kesal kepada mereka, melainkan kepada kenyataan bahwa istri-istrinya dan para pengikut setianya harus makan makanan yang bahkan anjing pun mungkin akan menolak. “Aku minta maaf, Yang Mulia,” ulang Ranjani. “tapi mohon, jangan salahkan Kirana. Dia terlalu lemah untuk menerima hukuman.” Ranjani ingat terakhir kali Kirana dihukum oleh Rajendra, Kirana sakit sampai tidak mampu berdiri selama sepekan. Tiba-tiba, dari belakang, seseorang maju merangkak. Dia adalah Jati, juru masak yang biasanya pendiam dan patuh, kini menatap Rajendra dengan mata jernih. “Yang Mulia,” katanya sambil membungkuk. “izinkan saya bicara.” Rajendra mengangguk. “Sayalah yang memasak menu makanannya termasuk bubur itu. Tuanku Putri Ranjani dan Tuanku Putri Kirana, hanya membantu. Semua kesalahan ada pada saya. Jika seseorang harus dihukum, sayalah orangnya.” Seketika, suasana berubah. Semua menunduk. Ranjani terdiam. Kirana memalingkan wajah, menahan air mata. Sebuah jiwa ksatria yang hebat, ditunjukkan oleh seorang juru masak. Semua orang sudah mengira akan ada hukuman kejam dari pangeran Rajendra. Namun yang terjadi berikutnya justru di luar dugaan. “Jati,” ucap Rajendra pelan. “masak nasi lagi. Aku ingin semua orang makan nasi. Hari ini, kita makan seperti manusia.” Kirana langsung mengangkat kepalanya. Dia ingat betul jika beras yang diberikan oleh warga hanya sedikit. Dan setelah dimasak satu piring, mungkin hanya sisa untuk 2 piring lagi. “Yang Mulia, beras sudah hampir habis. Jika dimasak semua pun, tetap tidak cukup karena hanya untuk dua piring lagi. Lebih baik untuk makan Yang Mulai saja. Kami sudah biasa makan bubur gandum,” ucap Kirana. Rajendra terdiam. Pandangannya menelusuri wajah-wajah yang duduk diam dalam kesunyian dengan kepala yang menunduk. Rajendra menatap wajah kedua istrinya dan kemudian menatap nasi di piring yang masih ada di hadapannya. Tanpa berkata-kata, ia membagi nasi itu menjadi tiga bagian. Satu untuk dirinya, dua bagian lainnya ia dorong ke arah istri-istrinya. “Makanlah.” Ranjani membuka mulut, hendak menolak. “Saya tidak—” “Aku tidak meminta persetujuanmu,” potong Rajendra datar. “aku suamimu. Aku bertanggung jawab atas kehidupanmu termasuk makanan yang kamu makan.” Ranjani menatapnya tajam. Matanya menyala, tetapi kali ini bukan karena benci. Lebih kepada bingung. Zaman itu, istri hanyalah menjadi pemuas hasrat bagi suami dan tempat mengandung bagi anak. Derajat mereka tidak pernah sama dan para wanita tidak pernah dianggap penting. Malah mereka dianggap sebagai benalu saja. Belum selesai keterkejutan mereka, kini Rajendra membuat semuanya kembali terkejut. Rajendra mengambil ayam bakar, mengambil tiga potong dan dia letakkan di piring Kirana, Ranjani dan dirinya. “Ini juga. Makan. Bukan hanya aku yang butuh tenaga.” Masih banyak sisa ayam di atas meja. Rajendra menoleh ke Jati. “Bagikan kepada prajurit lainnya. Jangan sisakan.” Semua orang membeku. Bahkan angin pun seperti berhenti berhembus. Surapati melangkah maju dengan lututnya. “Yang Mulia, biar saja kami makan sayur bayam dan bubur gandum. Ini sudah lebih dari cukup. Daging ayam ini untuk Yang Mulai saja bersama Tuan Putri. Kami tidak pantas memakannya.” “Aku bukan binatang yang makan sendirian sementara keluarganya kelaparan. Aku pangeran. Pemimpin kalian,” kata Rajendra dengan tegas. “makanlah!” Tak ada yang berani bicara lagi. Dan seperti air yang mengalir deras setelah bendungan jebol, semua orang mulai makan. Senyum merekah. Tawa pelan terdengar di sela-sela kunyahan. Bubur gandum tak lagi terasa pahit ketika ada nasi dan ayam untuk dibagi. Rajendra melihat ke arah dua istrinya. Kirana tersenyum malu, dan Ranjani tak lagi menatapnya dengan curiga. Meski belum percaya sepenuhnya, setidaknya tatapannya tidak lagi sekeras batu. “Apakah begini rasanya punya istri?” pikir Rajendra dalam hati. Rasanya aneh. Hangat. Membingungkan. Setelah berapa saat, mereka pun selesai. Semua kembali ke tempat masing-masing. Rajendra duduk sendiri di bawah pohon besar. Matanya memandangi langit namun pikirannya berkelana jauh. Bagaimana caranya agar mereka bisa makan enak setiap hari? Apa yang harus dia lakukan untuk mendapatkan uang agar bisa membangun kerajaan? Suara langkah mendekat. Tama muncul, membawa busur dan anak panah di punggung. “Yang Mulia. Aku ingin izin pergi berburu bersama dengan pasukan yang lain. Persediaan makanan kita menipis,” ucap Tama. Rajendra bangkit dengan penuh semangat. “Aku ikut.” Tama memandangnya heran. “Tapi Yang Mulia kami akan berburu di hutan. Sangat berbahaya di sana. Banyak hewan buas dan yang palinh berbahaya, kami sendiri pun tidak tahu bagaimana medannya.” Rajendra tersenyum kecil. “Aku bukan orang yang hidup untuk duduk-duduk saja. Aku ikut.” Tak ada lagi yang bisa dikatakan Tama selain anggukan patuh. Rajendra masuk ke kamar untuk memberitahu kedua istrinya jika dia akan ikut berburu. Tapi saat pintu terbuka... “Ranjani!” Tubuh gadis itu polos tanpa busana. Dia sedang membuka kain dalamnya, tepat saat Rajendra masuk tanpa mengetuk. Rajendra menelan saliva saat melihat kulit Ranjani yang putih bersih dengan bulu halus di tubuhnya yang membuatnya terlihat begitu menggairahkan. Ranjani membeku, matanya melebar tatkala melihat Rajendra masuk dengan posisi dia yang tanpa busana. “Aa—!” Rajendra panik. “Jangan teriak! Jangan teriak!” desisnya. Ia berlari menghampiri, menutup mulut istrinya dengan tangan. Dalam panik, kakinya tersandung ujung meja dan tubuhnya terjatuh—tepat ke atas tubuh Ranjani. Mereka berdua terjatuh di atas kasur. Ranjani di bawah, tanpa benang sehelai pun. Rajendra di atas, keringat dingin membasahi punggungnya. Matanya tak sengaja menatap kulit mulus itu dari dekat. Hidungnya mencium aroma harum tubuh perempuan. Nafas mereka berpadu. Wajah Ranjani memerah, bukan karena malu saja, tapi karena sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Rajendra hendak menjauh. Tapi tubuhnya tak mau bergerak. Gawat!Raja Wicaksana tersentak di kursinya, tatapannya terpaku pada pintu kayu yang baru saja menelan dua pengawal terakhirnya. Pikirannya dipenuhi gambaran efisiensi iblis Rajendra.“Bodoh!” geram Raja Wicaksana, suaranya parau, dipenuhi rasa frustrasi dan teror yang mematikan. “Mereka mencari ke mana?! Rajendra ada di sini! Di Istana! Dia ada di luar pintu ini! Aku dikepung!”Baru saja kalimat itu keluar dari mulutnya, Rajendra mengirimkan pesan yang jauh lebih mengerikan dari sekadar teriakan.BRRUUUUK!Sebuah benda tumpul dan berat dilempar keras ke lantai menara. Benda itu menggelinding ke depan Raja Wicaksana yang sedang duduk.Raja Wicaksana menatap benda itu dengan mata melebar. Itu adalah kepala manusia. Wajahnya sangat ia kenal—itu adalah kepala pengawal yang baru keluar tadi untuk memeriksa! Wajahnya kaku dengan ekspresi ketakutan yang abadi, matanya terbuka lebar seolah melihat neraka sebelum mati.Raja Wicaksana menjerit. Teriakan itu bukan teriakan Raja, tetapi jeritan ngeri s
Tama tersenyum lebar. Keputusan Rajendra untuk berbalik dan menggunakan pasukan pengejar sebagai perisai adalah strategi yang brilian, menghidupkan kembali harapan dan optimisme di tengah tim kecil itu.“Itu benar, Yang Mulia,” kata Tama, suaranya dipenuhi semangat yang membara. “Kita akan menjadi pemburu Raja. Bukankah ini jauh lebih menyenangkan daripada melarikan diri seperti tikus?”Ekspresi optimis terpancar di wajah Tama. Ia sangat percaya diri bahwa momen balas dendam terhadap Raja Wicaksana akan segera tiba. Bahkan, di dalam hatinya yang paling dalam, Tama telah bersumpah:Jika Yang Mulia Rajendra ragu untuk mengambil nyawa tiran itu, aku sendiri yang akan melakukannya. Kehormatan Putri Ayana adalah kehormatan seluruh pasukan Rajendra!Surapati mendekat, pandangannya dingin dan fokus. “Kita bergerak sekarang, Yang Mulia?” tanyanya. “Kita lewat jalur belakang. Jika masih ada kelompok kecil yang tertinggal di belakang, kita habisi saja satu per satu. Kita harus membuat jalan yan
Kemarahan Rajendra menular. Bukan hanya urat di lehernya yang menegang, tetapi juga suasana di sekitar mereka. Kata-kata Ayana tentang pemukulan itu adalah minyak yang disiramkan ke api kebencian yang sudah membara.Bukan hanya Rajendra dan Ranjani yang tersulut. Tama yang mendengarkan di belakang ikut mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Surapati, meskipun wajahnya kaku, matanya berkilat mematikan.Bahkan Sarno, bocah jalanan yang baru beberapa jam mengenal mereka, ikut merasakan amarah yang sama. Ia melihat bagaimana seorang wanita bangsawan diperlakukan seperti pengemis, sama hinanya dengan ibunya yang sakit di rumah.“Aku tidak terima!” geram Tama, maju selangkah. “Kalau mau kembali lagi, masih keburu, Yang Mulia! Raja Wicaksana pasti masih lumpuh dan terikat di Menara! Kalau mau, kita bergerak sekarang dan habisi dia!”“Ya, saya akan mengantarnya agar bisa lebih cepat sampai!” seru Sarno, matanya dipenuhi tekad balas dendam. “Saya tahu jalan yang lebih cepat dari Jalan Naga Bu
Suara alarm Istana yang menggelegar kini terdengar jauh, tertelan oleh labirin permukiman padat di pinggiran Kerajaan Widyaloka. Udara subuh terasa dingin di kulit, namun adrenalin dalam darah mereka membuatnya terasa seperti api.Rajendra merangkul Ayana, tubuhnya yang lemah bersandar erat padanya. Sarno memimpin jalan dengan kecepatan dan keahlian yang mengagumkan, sementara Surapati dan Ranjani menjaga bagian belakang, mata mereka tajam mengawasi setiap gang yang mereka lewati.Setelah berlari beberapa ratus meter dari area kumuh, Sarno berbelok tajam ke sebuah jalan setapak yang dikelilingi kebun kecil. Jalanan ini mulai ramai dengan warga yang bersiap pergi ke pasar.“Berhenti!” seru Rajendra tiba-tiba.Semuanya langsung berhenti, menatap Rajendra dengan bingung. Sarno bahkan tersentak, mengira ada pengejar.“Ada apa, Yang Mulia?” tanya Ranjani, tangannya memegang gagang pedang.Rajendra melepaskan pelukannya pada Ayana sejenak, mengambil napas dalam-dalam.“Kita sudah berada di
Mereka bersembunyi di sudut gelap lantai dua menara yang kosong, tepat di seberang Pintu Besi yang mengunci Ayana. Lantai di bawah mereka menyimpan Kapten Wasesa dan beberapa pengawal elit yang terikat dan dibungkam, umpan yang siap dimakan.“Dia datang,” bisik Ranjani, matanya yang tajam melihat pantulan cahaya obor yang bergerak cepat di halaman luar.Detik-detik berikutnya terasa seperti berjam-jam. Mereka mendengar langkah kaki yang berirama, semakin mendekat, bersamaan dengan suara denting logam yang familier.“Siapkan diri,” Rajendra mengeluarkan perintahnya, suaranya serak namun tegas.Ia menggenggam erat pedangnya, sementara tangan kirinya sudah merogoh saku, memastikan Kunci Besi pertama aman. “Ingat rencana: fokus utama adalah kunci... kunci kedua yang ada di tangan Raja Wicaksana.”Suara derit pintu kayu lantai dasar memecah keheningan. Raja Wicaksana telah masuk.Langkah kaki yang mantap, berwibawa, namun juga menunjukkan urgensi, terdengar menaiki tangga kayu yang tua. Ta
Rajendra tidak memberikan waktu bagi Kapten Wasesa untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan. Teriakan Kapten Wasesa yang keras itu adalah peringatan yang bisa menarik perhatian, dan Rajendra tidak akan membiarkan itu terjadi.“Sekarang!” teriak Rajendra.Kapten Wasesa melompat maju, pedangnya memancarkan kilatan perak. Dia kuat, didukung oleh pelatihan keras Naga Merah khas Widyaloka, tetapi gerakannya lambat dan terprediksi di mata Rajendra.Di mata Rajendra—atau lebih tepatnya, Raka—mantan perwira polisi dari dunia modern, gerakan Kapten Wasesa hanyalah pola yang sudah usang. Rajendra bergerak menggunakan insting bela diri modern yang dilatih untuk melumpuhkan target secepat mungkin.BUUK!Rajendra tidak menggunakan pedang. Ia menggunakan tangan kosong. Ia merunduk di bawah ayunan pedang Kapten Wasesa, menangkis bilah itu dengan sarung lengan, dan melancarkan pukulan siku cepat ke ulu hati Kapten Wasesa.Kapten Wasesa terhuyung. Sebelum ia bisa bernapas, Rajendra sudah ada di belaka