Share

Saling Menindih Tanpa Busana

Penulis: Falisha Ashia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-20 11:09:23

"Maaf, Yang Mulia. Ini salahku." Kirana menunduk dalam-dalam. Suaranya bergetar, tubuh mungilnya menegang seperti daun kering yang siap diterbangkan angin.

Rajendra meletakkan sendoknya. Bubur gandum itu hambar, kental seperti lumpur, dan menyisakan pahit aneh di ujung lidah. Tapi bukan itu yang membuatnya mengernyit. Melainkan ekspresi Kirana yang seolah menanti dicambuk di depan umum.

Ranjani tidak mau Kirana dihukum. Sebab Kirana sangat lemah. Oleh karena itu dia pun buru-buru membuka mulutnya.

"Yang Mulia, ini salahku. Kirana hanya membantu. Jika harus dihukum, hukum aku saja. Aku yang bertanggung jawab,” ucap Ranjani.

Rajendra memandangi kedua istrinya. Kirana yang ringkih seperti anak kecil kelaparan, dan Ranjani yang duduk tegak penuh keberanian, meski lehernya menegang dan telapak tangannya bergetar halus.

“Jadi apakah rasanya memang seperti ini? Atau kalian lupa menambahkan bumbu?” Rajendra menatap Ranjani, tak menunjukkan amarah, hanya rasa penasaran yang serius.

Ranjani menarik napas. Lalu dia berkata, “Memang seperti itu, Yang Mulia. Karena itu, aku memberikan nasi untukmu. Supaya Yang Mulia bisa makan dengan baik seperti biasanya.”

Rajendra tidak berkata-kata. Tapi dahinya mengernyit. Ia bukan kesal kepada mereka, melainkan kepada kenyataan bahwa istri-istrinya dan para pengikut setianya harus makan makanan yang bahkan anjing pun mungkin akan menolak.

“Aku minta maaf, Yang Mulia,” ulang Ranjani. “tapi mohon, jangan salahkan Kirana. Dia terlalu lemah untuk menerima hukuman.”

Ranjani ingat terakhir kali Kirana dihukum oleh Rajendra, Kirana sakit sampai tidak mampu berdiri selama sepekan.

Tiba-tiba, dari belakang, seseorang maju merangkak. Dia adalah Jati, juru masak yang biasanya pendiam dan patuh, kini menatap Rajendra dengan mata jernih.

“Yang Mulia,” katanya sambil membungkuk. “izinkan saya bicara.”

Rajendra mengangguk.

“Sayalah yang memasak menu makanannya termasuk bubur itu. Tuanku Putri Ranjani dan Tuanku Putri Kirana, hanya membantu. Semua kesalahan ada pada saya. Jika seseorang harus dihukum, sayalah orangnya.”

Seketika, suasana berubah. Semua menunduk. Ranjani terdiam. Kirana memalingkan wajah, menahan air mata.

Sebuah jiwa ksatria yang hebat, ditunjukkan oleh seorang juru masak.

Semua orang sudah mengira akan ada hukuman kejam dari pangeran Rajendra. Namun yang terjadi berikutnya justru di luar dugaan.

“Jati,” ucap Rajendra pelan. “masak nasi lagi. Aku ingin semua orang makan nasi. Hari ini, kita makan seperti manusia.”

Kirana langsung mengangkat kepalanya. Dia ingat betul jika beras yang diberikan oleh warga hanya sedikit. Dan setelah dimasak satu piring, mungkin hanya sisa untuk 2 piring lagi.

“Yang Mulia, beras sudah hampir habis. Jika dimasak semua pun, tetap tidak cukup karena hanya untuk dua piring lagi. Lebih baik untuk makan Yang Mulai saja. Kami sudah biasa makan bubur gandum,” ucap Kirana.

Rajendra terdiam. Pandangannya menelusuri wajah-wajah yang duduk diam dalam kesunyian dengan kepala yang menunduk.

Rajendra menatap wajah kedua istrinya dan kemudian menatap nasi di piring yang masih ada di hadapannya. Tanpa berkata-kata, ia membagi nasi itu menjadi tiga bagian. Satu untuk dirinya, dua bagian lainnya ia dorong ke arah istri-istrinya.

“Makanlah.”

Ranjani membuka mulut, hendak menolak. “Saya tidak—”

“Aku tidak meminta persetujuanmu,” potong Rajendra datar. “aku suamimu. Aku bertanggung jawab atas kehidupanmu termasuk makanan yang kamu makan.”

Ranjani menatapnya tajam. Matanya menyala, tetapi kali ini bukan karena benci. Lebih kepada bingung.

Zaman itu, istri hanyalah menjadi pemuas hasrat bagi suami dan tempat mengandung bagi anak. Derajat mereka tidak pernah sama dan para wanita tidak pernah dianggap penting. Malah mereka dianggap sebagai benalu saja.

Belum selesai keterkejutan mereka, kini Rajendra membuat semuanya kembali terkejut.

Rajendra mengambil ayam bakar, mengambil tiga potong dan dia letakkan di piring Kirana, Ranjani dan dirinya. “Ini juga. Makan. Bukan hanya aku yang butuh tenaga.”

Masih banyak sisa ayam di atas meja. Rajendra menoleh ke Jati. “Bagikan kepada prajurit lainnya. Jangan sisakan.”

Semua orang membeku. Bahkan angin pun seperti berhenti berhembus.

Surapati melangkah maju dengan lututnya. “Yang Mulia, biar saja kami makan sayur bayam dan bubur gandum. Ini sudah lebih dari cukup. Daging ayam ini untuk Yang Mulai saja bersama Tuan Putri. Kami tidak pantas memakannya.”

“Aku bukan binatang yang makan sendirian sementara keluarganya kelaparan. Aku pangeran. Pemimpin kalian,” kata Rajendra dengan tegas. “makanlah!”

Tak ada yang berani bicara lagi.

Dan seperti air yang mengalir deras setelah bendungan jebol, semua orang mulai makan. Senyum merekah. Tawa pelan terdengar di sela-sela kunyahan. Bubur gandum tak lagi terasa pahit ketika ada nasi dan ayam untuk dibagi.

Rajendra melihat ke arah dua istrinya. Kirana tersenyum malu, dan Ranjani tak lagi menatapnya dengan curiga. Meski belum percaya sepenuhnya, setidaknya tatapannya tidak lagi sekeras batu.

“Apakah begini rasanya punya istri?” pikir Rajendra dalam hati. Rasanya aneh. Hangat. Membingungkan.

Setelah berapa saat, mereka pun selesai. Semua kembali ke tempat masing-masing.

Rajendra duduk sendiri di bawah pohon besar. Matanya memandangi langit namun pikirannya berkelana jauh.

Bagaimana caranya agar mereka bisa makan enak setiap hari? Apa yang harus dia lakukan untuk mendapatkan uang agar bisa membangun kerajaan?

Suara langkah mendekat. Tama muncul, membawa busur dan anak panah di punggung.

“Yang Mulia. Aku ingin izin pergi berburu bersama dengan pasukan yang lain. Persediaan makanan kita menipis,” ucap Tama.

Rajendra bangkit dengan penuh semangat. “Aku ikut.”

Tama memandangnya heran. “Tapi Yang Mulia kami akan berburu di hutan. Sangat berbahaya di sana. Banyak hewan buas dan yang palinh berbahaya, kami sendiri pun tidak tahu bagaimana medannya.”

Rajendra tersenyum kecil. “Aku bukan orang yang hidup untuk duduk-duduk saja. Aku ikut.”

Tak ada lagi yang bisa dikatakan Tama selain anggukan patuh.

Rajendra masuk ke kamar untuk memberitahu kedua istrinya jika dia akan ikut berburu. Tapi saat pintu terbuka...

“Ranjani!”

Tubuh gadis itu polos tanpa busana. Dia sedang membuka kain dalamnya, tepat saat Rajendra masuk tanpa mengetuk.

Rajendra menelan saliva saat melihat kulit Ranjani yang putih bersih dengan bulu halus di tubuhnya yang membuatnya terlihat begitu menggairahkan.

Ranjani membeku, matanya melebar tatkala melihat Rajendra masuk dengan posisi dia yang tanpa busana.

“Aa—!”

Rajendra panik. “Jangan teriak! Jangan teriak!” desisnya. Ia berlari menghampiri, menutup mulut istrinya dengan tangan. Dalam panik, kakinya tersandung ujung meja dan tubuhnya terjatuh—tepat ke atas tubuh Ranjani.

Mereka berdua terjatuh di atas kasur. Ranjani di bawah, tanpa benang sehelai pun. Rajendra di atas, keringat dingin membasahi punggungnya.

Matanya tak sengaja menatap kulit mulus itu dari dekat. Hidungnya mencium aroma harum tubuh perempuan. Nafas mereka berpadu. Wajah Ranjani memerah, bukan karena malu saja, tapi karena sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Rajendra hendak menjauh. Tapi tubuhnya tak mau bergerak.

Gawat!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Suara Teriakan

    Surapati mengerutkan keningnya dalam-dalam, mendengar apa yang dikatakan oleh Layung. Sebuah kilasan informasi tiba-tiba muncul di benaknya, sebuah ingatan yang samar namun penting."Serbuk itu dari Kerajaan Lingga," kata Surapati, nadanya serius, matanya menyipit saat otaknya memproses informasi itu.Kerajaan Lingga terkenal dengan keahlian mereka dalam meracik ramuan, termasuk serbuk tidur yang sangat kuat."Tapi bagaimana bisa mereka masuk ke Kerajaan Angkara dan mencuri di wilayah kita?" tanya Surapati tanpa perlu jawaban."Oh iya, saya juga ingat, Paman!" seru Layung, mengangguk cepat, seolah ingatannya baru saja kembali sepenuhnya setelah efek serbuk itu sirna. "hanya mereka yang bisa membuat serbuk tidur seampuh itu. Jadi, ini pasti ulah orang-orang dari Kerajaan Lingga!"Kemarahan Surapati semakin membara. Bukan hanya sapi Rajendra yang hilang, tetapi ini juga merupakan pelanggaran batas wilayah dari kerajaan lain. Ia segera mengalihkan perhatiannya."Tidak ada waktu lagi untu

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Serbuk Tidur[?]

    Guntur, dengan mata terbelalak, segera menunduk dan mulai menghitung ulang dengan tergesa-gesa. "Satu, dua, tiga ... delapan," gumam Guntur, suaranya tercekat. Ia mengangkat wajahnya, menatap Rajendra dengan ekspresi tak percaya yang sama dengan Sarta. "Yang Mulia, benar-benar hanya delapan ekor! Bagaimana ini bisa terjadi?" Guntur panik. Sarta menggaruk kepalanya, kebingungan melukis jelas di wajahnya. "Oh iya, cuma delapan. Apakah sapinya lepas atau dicuri, Yang Mulia?" Rajendra mendengus, kesabarannya menipis. Cahaya rembulan yang samar-samar menerangi area itu memperlihatkan urat-urat menonjol di pelipisnya. "Jangan banyak berpikir! Cepat cari keburu pencurinya jauh!" serunya, suaranya tajam dan penuh perintah, memecah keheningan malam yang mencekam. Sarta dan Guntur tidak membuang waktu sedetik pun. Mereka langsung bergerak, berlari tergesa-gesa ke arah belakang rumah, tempat jalan setapak yang sempit membentang. Jalan itu adalah salah satu jalur yang bisa menghindar

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Menuju Puncak Bersama Ranjani

    Rajendra menoleh ke arah Ranjani, sebuah kerutan tipis di dahinya. "Entahlah, Ranjani. Aku terbangun tiba-tiba. Perasaanku tidak enak."Ranjani, melihat kekhawatiran di mata suaminya, segera bangun juga. Ia berdiri di samping Rajendra, tangannya menggapai dan menggenggam tangan hangat sang pangeran."Itu hanya perasaanmu saja, Yang Mulia," kata Ranjani, mencoba menenangkan. "mungkin bagian dari bunga tidurmu, mimpi buruk yang tak sempat terwujud.""Ya, aku berharap seperti itu," kata Rajendra, tatapannya beralih dari jendela ke wajah Ranjani.Cahaya rembulan yang menembus celah jendela menerangi paras cantik Ranjani, membuatnya tampak bagai bidadari.Mereka saling menatap, mata mereka bertemu dalam keheningan malam yang intim. Tatapan Rajendra begitu dalam, menyiratkan kekaguman dan gairah yang terpendam."Ranjani, kamu cantik sekali malam ini," puji Rajendra, suaranya rendah dan penuh kekaguman, seperti bisikan angin malam yang membelai lembut.Ranjani, yang biasanya pemalu dan cangg

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Terpukau Dengan Tinta Ajaib

    Suara deru kaki kuda dan ringkikan sapi memecah keheningan Desa Gunung Jaran. Rombongan yang membawa sapi akhirnya tiba, diiringi obor-obor yang menari-nari dalam gelap.Rajendra, yang telah menunggu di beranda rumahnya, segera melangkah keluar, wajahnya diterangi cahaya rembulan. Sepuluh ekor sapi terlihat gemuk dan sehat, napas mereka mengepul tipis di udara malam yang dingin.“Akhirnya kalian tiba!” seru Rajendra, suaranya dipenuhi kelegaan. “syukurlah kalian selamat sampai sini. Bagaimana perjalanan kalian? Apakah ada kesulitan di jalan tadi?”Rajendra menatap satu per satu wajah para pengikutnya, memastikan tidak ada tanda-tanda kelelahan atau masalah.Surapati, yang memimpin rombongan, maju selangkah. Senyum lebar terukir di wajahnya yang berkeringat.“Tidak ada kesulitan berarti, Yang Mulia. Jalanan lancar, dan kami bertemu dengan Aji dan Layung di tengah perjalanan. Jadi, kami bisa pulang bersama, membuat perjalanan terasa lebih ringan,” terang Surapati.Rajendra mengangguk-an

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Membuat Kapok

    Anugraha merasa Marwah Amukti Pener bernama Rajendra, seorang pedagang, atas ketidakbecusan Giriprana. Ini adalah noda yang tak termaafkan."Kamu tidak bisa melawannya? Tidak becus sekali! Sebagai Amukti Muda, kau seharusnya bisa mengatasi sampah rendahan seperti itu tanpa berkeringat!" geram sang Amukti Utama, nada suaranya penuh kekecewaan dan kemarahan. Ia merasa Giriprana telah mempermalukannya.Giriprana berusaha membela diri, suaranya bergetar. "Mohon ampun, Yang Mulia Amukti Utama! Bukan hamba tidak becus! Tapi orang itu ... dia benar-benar bukan orang biasa. Saya hanya membawa sedikit pengawal saat itu. Dan yang paling parah, pengawal terbaik saya, Kundala, pun harus kalah telak di tangannya! Kekuatannya tak terduga, Yang Mulia. Saya tidak punya pilihan lain selain kembali ke kerajaan untuk melapor dan menyusun strategi baru."Ia melanjutkan, nadanya kembali penuh semangat, mencoba mendapatkan kembali kepercayaan Prabu Anugraha. "Oleh sebab itu, sekarang saya menghadap Yang Mu

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Amukti Utama

    "Tidak. Aku harus bertanya kepada Asmaran dulu," jawab Rajendra. "Sebab dia memiliki luka hebat di masa lalu yang membuatnya trauma. Aku tidak ingin memaksanya jika dia belum siap. Pertemuan seperti ini bisa jadi pedang bermata dua baginya.""Jadi, apakah Asmaran mau bertemu?" tanya Arwan, penasaran. Ia tahu betapa tertutupnya Asmaran selama ini."Ya, dia mau setelah aku bujuk," kata Rajendra, senyum tipis terukir di bibirnya. "dia memang sangat merindukan Brajadipa. Besok orangku akan memberikan kabar kepada Juragan Brajadipa. Dan mungkin saja, jika tidak ada halangan, mereka akan bertemu di hari yang sama."***Sementara itu, jauh di pusat kerajaan, di istana megah Kerajaan Angkara, suasana malam tidak membawa kedamaian.Di sebuah ruangan pribadi yang megah, remang-remang diterangi oleh obor minyak, Amukti Muda Giriprana menghadap kepada Amukti Utama.Amukti Utama, seorang pria yang sudah paruh baya namun memiliki wibawa yang sangat kuat, duduk di kursi kebesarannya. Nama aslinya ad

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status