Share

Makan Bersama

Penulis: Falisha Ashia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-19 10:15:37

Dalam perjalanan menuju Desa Gunung Jaran, dia melihat ada beberapa tanah lapang yang tidak terurus. Dia berpikir di sana dia bisa melakukan sesuatu. Meski belum terpikirkan akan melakukan apa.

Aroma masakan dari dapur mulai tercium. Beberapa anak buah Rajendra menyebut aromanya harum dan membuat mereka lapar.

Namun bagi Rajendra, aroma masakannya sama sekali tidak menggugah selera.

“Untung saja penduduk desa memberi hadiah. Jadi, kita bisa makan,” ucap Tama, bersemangat.

Surapati mengangguk dengan penuh senyuman. “Setidaknya menyelamatkan kita hari ini.”

Kemudian Surapati menatap ke arah Tama dan beberapa prajuritnya yang lain sambil berkata, “Jadi, setelah makan, kita harus mencari sesuatu untuk dimakan besok. Kita berburu ke hutan. Siapa tahu di sana ada ayam atau kelinci. Jika tidak ada, mungkin ada tikus.”

Semuanya setuju.

Rajendra mengerutkan keningnya. Dia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Surapati.

“Kalian makan tikus?” tanya Rajendra dengan mimik wajah kaget bercampur jijik.

Di kehidupan modern, apalagi di tempat tinggalnya dulu, tikus adalah hewan kotor yang hidup di selokan air, makan di tong sampah dan tempat-tempat kotor lainnya.

Oleh karena itu, dia merasa jijik saat mendengar tikus dimakan.

Tama mengangguk tanpa rasa berdosa. “Ya, tentu saja. Rasa daging tikus cukup enak. Rasanya mirip seperti daging kelinci.”

Rajendra menjelaskan saliva karena merasa jijik. Asam lambungnya pun menjadi naik saat ini.

Tidak lama kemudian Kirana keluar dapur dan menemui sang suami.

“Yang Mulia, makanan sudah siap. Mari makan,” ucap Kirana dengan lembut.

“Baik.” Rajendra berdiri dan dia pun berjalan masuk ke dalam rumah.

Rajendra mengira jika Surapati dan yang lainnya akan mengikutinya ke dalam rumah. Namun ternyata tidak.

Selama ini, mereka belum pernah sekali pun makan bersama dengan keluarga kerajaan. Mereka makan terpisah meskipun sedang mengadakan makan besar dalam sebuah perayaan.

Jadi mereka akan makan setelah Rajendra selesai.

Namun Rajendra tidak menyukai itu. Dia lebih suka makan bersama karena akan menambah nikmat.

“Kenapa kalian masih diam di sana? Ayo makan!” seru Rajendra.

Surapati mengulurkan tangannya dengan senyuman di wajah. “Silakan, Yang Mulia makanan terlebih dahulu. Kami akan makan setelah Yang Mulia selesai.”

Rajendra mengerutkan keningnya. “Bukankah kalian lapar? Bahkan mencium aromanya saja membuat kalian bersemangat. Kenapa menunda?”

“Tidak apa-apa, Yang Mulia. Silakan makan terlebih dahulu bersama dengan tuan Putri Kirana dan tuan Putri Ranjani,” ucap Surapati.

Kirana memegang jubah Rajendra dengan sangat hati-hati. “Yang Mulia makan dulu. Mereka tidak akan makan bersama dengan Pangeran karena dianggap tidak sopan.”

Rajendra melangkah menghampiri Surapati. Dia menarik tangan pria tua itu agar berdiri.

“Selama bersama denganku, kalian semua harus makan bersama,” ucap Rajendra dengan tegas. “apa yang aku makan, kalian juga makan. Menunya sama. Aku tidak mau membedakan.”

Surapati tidak mampu untuk menolak lagi. Ketegasan yang dimunculkan oleh Rajendra membuat siapapun takut untuk membantah.

Mereka kini berkumpul di ruang tengah rumah. Duduk di lantai tanpa alas.

Hanya ada satu meja kecil di tengah-tengah ruangan, sebagai meja makan bagi Rajendra.

Para prajurit menjaga jarak. Mereka duduk di pojok-pojok ruangan. Dan begitupun kedua istrinya Rajendra.

“Kalian, kenapa jauh sekali? Apa kalian merasa jijik makan bersamaku di satu meja?” tanya Rajendra kepada kedua istrinya.

“Bukan begitu, Yang Mulia. Hanya saja mejanya kecil. Tidak muat jika kamu makan di meja juga,” ucap Kirana.

“Di sini masih muat,” kata Rajendra seraya menunjuk bagian depan meja.

Kirana dan Ranjani saling pandang. Mereka bingung kenapa Rajendra begitu baik saat ini. Bukan hanya kepada mereka tetapi juga kepada anak buahnya.

Jika Rajendra yang dulu, dia bahkan tidak mau makan bersama meskipun mejanya besar.

Di zaman itu, wanita hanya dianggap sebagai pelayan saja. Entah pelayan untuk mengurus rumah atau pelayan ranjang. Mereka tidak pernah berada di kedudukan yang sama.

“Bukankah kalian adalah istriku? Kalau begitu, sini, makan di meja bersamaku,” kata Rajendra.

“Tidak perlu Yang Mulia. Kami tidak mau membuat masalah,” ucap Ranjani.

“Tidak ada masalah dengan makan bersama. Ayolah, jangan membuang waktu. Aku sudah lapar!” ucap Rajendra yang kini mulai tegas.

Kirana menoleh ke arah Ranjani. Dan Ranjani hanya mengangguk saja.

Keduanya pun maju secara perlahan, membawa piring kecil berisi bubur gandum dan daun umbi-umbian.

Di atas meja, terdapat

“Kalian hanya makan itu?” tanya Rajendra.

“Iya, kami makan ini. Bubur gandum dan sayur umbi,” terang Rajendra.

Rajendra melihat ke atas mejanya. Di sana terdapat sepiring nasi, satu ekor ayam bakar, dan semangkuk sayur bayam.

“Apakah masih ada bubur gandum? Aku ingin makan bubur gandum,” tanya Rajendra.

Sontak saja semua orang terkejut. Pangeran makan bubur gandum? Apa tidak salah?

“Yang Mulia, lebih baik makan nasi. Lebih enak dan mengenyangkan. Biarkan bubur gandum ini untuk kami,” ucap Kirana dengan lembut.

Di zaman modern, Rajendra makan nasi tiap hari. Jadi dia merasa bosan. Kali ini dia ingin makan bubur gandum. Bayangannya, rasa bubur gandum sama dengan sereal gandum di zaman modern.

“Tapi aku bosan makan nasi. Aku ingin makan bubur gandum kali ini. Jika masih ada, berikan padaku,” ucap Rajendra.

“Baik, silakan tunggu sebentar Yang Mulia. Aku akan mengambilkannya untukmu,” ucap Kirana.

Tidak perlu waktu lama, Kirana telah kembali dengan membawa satu mangkuk berisi bubur gandum.

“Silakan Yang Mulia!” ucap Kirana seraya meletakkan mangkuk ke atas meja.

Rajendra tersenyum. Dia sudah membayangkan makan siang yang enak siang ini.

Namun ketika Rajendra menyuap sesendok bubur gandum, matanya melotot. Spontan dia melepehkan kembali bubur gandum itu

“Apa-apaan ini? Kenapa rasanya pahit?” tanya Rajendea setengah berteriak.

Semuanya menjadi tegang sekarang.

Pangeran Rajendra telah marah. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Kemesraan Rajendra dan Ranjani

    Suasana di luar gerbang istana mendidih. Nama Rajendra yang dibisikkan Suryakusuma bagaikan bensin yang disiramkan ke kobaran api amarah Amukti Muda Giriprana.Wajah Giriprana berubah merah padam, urat-urat di lehernya menonjol, dan tinjunya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih."Sialan!" geram Giriprana, suaranya rendah namun penuh ancaman. "berani sekali dia bicara seperti itu padaku! Meremehkan Amukti Pener? Memfitnah namaku di hadapan rakyat? Dia pikir siapa dia?! Sampah dari desa terpencil!”Suryakusuma melihat reaksi yang persis dengan apa yang dia harapkan. Senyum licik tersungging di bibirnya. Ia mengambil kesempatan ini untuk semakin memprovokasi."Benar sekali, Yang Mulia! Rajendra itu memang anak kemarin sore yang tak tahu diri! Dia pikir karena memiliki sedikit harta dan dukungan orang rendahan, dia bisa seenaknya merendahkan martabat seorang Amukti Muda sepertimu!” geram Suryakusuma.“Dia harus dihukum secepatnya, Yang Mulia! Dihukum dengan berat! Agar dia tidak

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Fitnah Dijalankan

    Asmaran berdiri, napasnya masih terasa sesak mengingat masa lalu yang menyakitkan. Ia mendongak ke langit senja yang mulai dihiasi semburat jingga dan ungu, seolah mencari kekuatan di sana."Saya sangat ingin sekali kembali bertemu dengan orang-orang yang saya kenal di Desa Tanara, Yang Mulia," ucap Asmaran, suaranya bergetar menahan emosi.“Melihat mereka, mengingat masa-masa indah itu. Tapi ketika saya mengingat kejadian memilukan di mana saya dibuang, diusir seperti binatang, dan dianggap sebagai iblis oleh mereka … itu sangat menyakitkan. Luka itu masih terlalu dalam,” kata Rajendra.Rajendra menatapnya dengan pengertian. Ia tahu, meskipun Asmaran telah menemukan kedamaian, trauma masa lalu tidak bisa begitu saja hilang.“Jadi, kamu menolak bertemu dengan Brajadipa?" tanya Rajendra, mencoba mengonfirmasi.Asmaran terdiam, pandangannya kosong menatap langit. Dalam benaknya, pertarungan batin antara kerinduan dan kepahitan berkecamuk.Rajendra melangkah maju, ia kini berada di sampi

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Kenangan Masa Lalu Yang Melekat

    "Permainan serulingmu tadi sungguh indah. Melodinya mengalir seperti sungai di pegunungan, penuh dengan emosi, namun juga menenangkan." Rajendra memuji dengan tulus, ia memang terkesima dengan bakat Asmaran yang satu ini.Asmaran tersipu malu mendengar pujian itu. Ia sudah lama tidak menerima sanjungan."Yang Mulia bisa saja," kata Rajendra sambil mendudukkan diri kembali. "ini hanyalah permainan seruling biasa saja, untuk menenangkan pikiran yang terkadang masih kacau."Rajendra hanya tersenyum tipis. Ia menatap ke arah rimbunnya hutan bambu di depan mereka sejenak, membiarkan keheningan mengisi ruang, seolah menunggu Asmaran meresapi pujiannya. Kemudian, ia menoleh kembali kepada Asmaran, tatapannya kini lebih dalam dan serius."Bagaimana dengan perasaan hatimu, Asmaran?" tanya Rajendra, sebuah pertanyaan yang tiba-tiba dan menusuk langsung ke inti. "apakah sudah ada perubahan yang berarti?"Asmaran terkejut mendengar pertanyaan itu. Ini bukan pertanyaan yang biasa dilontarkan oleh

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Tak Bisa Berkedip

    "Oh, begitu..." kata Brajadipa, meskipun ia tampak tenang, namun tidak bisa dipungkiri jika ia tersinggung dan merasa kompetensinya sebagai pemilik peternakan sapi dipertanyakan secara tidak langsung. Ia merasa seperti sedang diuji oleh pemuda ini.Brajadipa berdiri. Ia menatap Danu, lalu mengajak. "Danu, ayo ikut aku ke peternakan. Kita akan tunjukkan kepada Juragan Rajendra sapi-sapi terbaik kita!"Ada nada kompetitif dalam suaranya. Seperti ingin membuktikan jika dia memimpin peternakan dengan sangat baik.Brajadipa ingin memastikan sapi yang akan dibeli oleh Rajendra adalah sapi terbaik di peternakannya. Dengan begitu, dia tidak akan malu, dan nama baik peternakannya pun akan terjaga.Saat mereka tiba di kandang, Brajadipa langsung menunjuk sapi-sapi dengan kualitas paling tinggi, yang biasanya ia simpan untuk pembeli istimewa dengan harga selangit."Pilih yang itu saja, Danu. Yang itu juga. Dan itu..." kata Brajadipa sambil menunjuk ke arah sapi-sapi terbaiknya, yang memiliki bul

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Strategi Brilian Rajendra

    Rajendra mengangguk pelan, menatap Brajadipa yang masih bersimpuh di hadapannya. Ia merasakan gelombang emosi kuat yang terpancar dari saudagar itu. Ini bukan lagi sekadar transaksi bisnis, melainkan pertemuan takdir yang melibatkan hati."Saya tahu perasaan Anda, Juragan," kata Rajendra, suaranya lembut namun penuh ketegasan, "tapi, saat ini, Sundra sedang berusaha untuk pulih. Jiwanya baru saja menemukan ketenangan setelah sekian lama bersembunyi. Saya tidak bisa memutuskan sendiri pertemuan kalian. Itu harus menjadi keinginan Sundra sendiri."Brajadipa mengangkat kepalanya, matanya dipenuhi harapan. "Lalu, apa yang harus saya lakukan, Yang Mulia? Saya bersedia melakukan apa saja!”"Begini saja. Sepulang dari sini, saya akan sampaikan semua yang Anda katakan kepada Sundra. Saya akan menjelaskan kerinduan Anda, dan bagaimana Anda sangat ingin bertemu dengannya. Jika dia mau, nanti Danu akan datang kembali ke sini untuk menyampaikan kabar baik itu kepada Anda. Jika tidak, saya mohon A

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Tolong Bantu Saya Bertemu

    Rajendra tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh rahasia."Saya mengenal Sundra. Sekarang dia bernama Asmaran, putra dari Patih Wigraha,” ucap Rajendra.Brajadipa semakin syok mendengarnya. Ia menggelengkan kepalanya."Tidak mungkin! Kamu pasti bohong, 'kan?" katanya, suaranya naik beberapa oktaf. "Sundra... d-dia sudah lama... mati di hutan bambu! Kami semua melihatnya dibakar oleh para prajurit!"Rajendra tidak membantah. Ia menarik badannya dan bersandar di sandaran kursi, membiarkan kebohongan yang ia ciptakan menyebar di ruangan itu. "Saya tidak berbohong. Juragan. Selama ini, Sundra telah hidup kesepian. Kebahagiaannya direnggut oleh orang-orang yang tidak memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai manusia dan perbedaannya. Jiwanya mati saat saya bertemu dengannya, tapi hatinya masih terang. Dia hidup dalam bayang-bayang masa lalu, diburu dan dicap sebagai iblis hanya karena dia berbeda."Mendengar kata-kata itu, Brajadipa langsung merasa sedih. Ia menutup

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status