Dalam perjalanan menuju Desa Gunung Jaran, dia melihat ada beberapa tanah lapang yang tidak terurus. Dia berpikir di sana dia bisa melakukan sesuatu. Meski belum terpikirkan akan melakukan apa.
Aroma masakan dari dapur mulai tercium. Beberapa anak buah Rajendra menyebut aromanya harum dan membuat mereka lapar. Namun bagi Rajendra, aroma masakannya sama sekali tidak menggugah selera. “Untung saja penduduk desa memberi hadiah. Jadi, kita bisa makan,” ucap Tama, bersemangat. Surapati mengangguk dengan penuh senyuman. “Setidaknya menyelamatkan kita hari ini.” Kemudian Surapati menatap ke arah Tama dan beberapa prajuritnya yang lain sambil berkata, “Jadi, setelah makan, kita harus mencari sesuatu untuk dimakan besok. Kita berburu ke hutan. Siapa tahu di sana ada ayam atau kelinci. Jika tidak ada, mungkin ada tikus.” Semuanya setuju. Rajendra mengerutkan keningnya. Dia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Surapati. “Kalian makan tikus?” tanya Rajendra dengan mimik wajah kaget bercampur jijik. Di kehidupan modern, apalagi di tempat tinggalnya dulu, tikus adalah hewan kotor yang hidup di selokan air, makan di tong sampah dan tempat-tempat kotor lainnya. Oleh karena itu, dia merasa jijik saat mendengar tikus dimakan. Tama mengangguk tanpa rasa berdosa. “Ya, tentu saja. Rasa daging tikus cukup enak. Rasanya mirip seperti daging kelinci.” Rajendra menjelaskan saliva karena merasa jijik. Asam lambungnya pun menjadi naik saat ini. Tidak lama kemudian Kirana keluar dapur dan menemui sang suami. “Yang Mulia, makanan sudah siap. Mari makan,” ucap Kirana dengan lembut. “Baik.” Rajendra berdiri dan dia pun berjalan masuk ke dalam rumah. Rajendra mengira jika Surapati dan yang lainnya akan mengikutinya ke dalam rumah. Namun ternyata tidak. Selama ini, mereka belum pernah sekali pun makan bersama dengan keluarga kerajaan. Mereka makan terpisah meskipun sedang mengadakan makan besar dalam sebuah perayaan. Jadi mereka akan makan setelah Rajendra selesai. Namun Rajendra tidak menyukai itu. Dia lebih suka makan bersama karena akan menambah nikmat. “Kenapa kalian masih diam di sana? Ayo makan!” seru Rajendra. Surapati mengulurkan tangannya dengan senyuman di wajah. “Silakan, Yang Mulia makanan terlebih dahulu. Kami akan makan setelah Yang Mulia selesai.” Rajendra mengerutkan keningnya. “Bukankah kalian lapar? Bahkan mencium aromanya saja membuat kalian bersemangat. Kenapa menunda?” “Tidak apa-apa, Yang Mulia. Silakan makan terlebih dahulu bersama dengan tuan Putri Kirana dan tuan Putri Ranjani,” ucap Surapati. Kirana memegang jubah Rajendra dengan sangat hati-hati. “Yang Mulia makan dulu. Mereka tidak akan makan bersama dengan Pangeran karena dianggap tidak sopan.” Rajendra melangkah menghampiri Surapati. Dia menarik tangan pria tua itu agar berdiri. “Selama bersama denganku, kalian semua harus makan bersama,” ucap Rajendra dengan tegas. “apa yang aku makan, kalian juga makan. Menunya sama. Aku tidak mau membedakan.” Surapati tidak mampu untuk menolak lagi. Ketegasan yang dimunculkan oleh Rajendra membuat siapapun takut untuk membantah. Mereka kini berkumpul di ruang tengah rumah. Duduk di lantai tanpa alas. Hanya ada satu meja kecil di tengah-tengah ruangan, sebagai meja makan bagi Rajendra. Para prajurit menjaga jarak. Mereka duduk di pojok-pojok ruangan. Dan begitupun kedua istrinya Rajendra. “Kalian, kenapa jauh sekali? Apa kalian merasa jijik makan bersamaku di satu meja?” tanya Rajendra kepada kedua istrinya. “Bukan begitu, Yang Mulia. Hanya saja mejanya kecil. Tidak muat jika kamu makan di meja juga,” ucap Kirana. “Di sini masih muat,” kata Rajendra seraya menunjuk bagian depan meja. Kirana dan Ranjani saling pandang. Mereka bingung kenapa Rajendra begitu baik saat ini. Bukan hanya kepada mereka tetapi juga kepada anak buahnya. Jika Rajendra yang dulu, dia bahkan tidak mau makan bersama meskipun mejanya besar. Di zaman itu, wanita hanya dianggap sebagai pelayan saja. Entah pelayan untuk mengurus rumah atau pelayan ranjang. Mereka tidak pernah berada di kedudukan yang sama. “Bukankah kalian adalah istriku? Kalau begitu, sini, makan di meja bersamaku,” kata Rajendra. “Tidak perlu Yang Mulia. Kami tidak mau membuat masalah,” ucap Ranjani. “Tidak ada masalah dengan makan bersama. Ayolah, jangan membuang waktu. Aku sudah lapar!” ucap Rajendra yang kini mulai tegas. Kirana menoleh ke arah Ranjani. Dan Ranjani hanya mengangguk saja. Keduanya pun maju secara perlahan, membawa piring kecil berisi bubur gandum dan daun umbi-umbian. Di atas meja, terdapat “Kalian hanya makan itu?” tanya Rajendra. “Iya, kami makan ini. Bubur gandum dan sayur umbi,” terang Rajendra. Rajendra melihat ke atas mejanya. Di sana terdapat sepiring nasi, satu ekor ayam bakar, dan semangkuk sayur bayam. “Apakah masih ada bubur gandum? Aku ingin makan bubur gandum,” tanya Rajendra. Sontak saja semua orang terkejut. Pangeran makan bubur gandum? Apa tidak salah? “Yang Mulia, lebih baik makan nasi. Lebih enak dan mengenyangkan. Biarkan bubur gandum ini untuk kami,” ucap Kirana dengan lembut. Di zaman modern, Rajendra makan nasi tiap hari. Jadi dia merasa bosan. Kali ini dia ingin makan bubur gandum. Bayangannya, rasa bubur gandum sama dengan sereal gandum di zaman modern. “Tapi aku bosan makan nasi. Aku ingin makan bubur gandum kali ini. Jika masih ada, berikan padaku,” ucap Rajendra. “Baik, silakan tunggu sebentar Yang Mulia. Aku akan mengambilkannya untukmu,” ucap Kirana. Tidak perlu waktu lama, Kirana telah kembali dengan membawa satu mangkuk berisi bubur gandum. “Silakan Yang Mulia!” ucap Kirana seraya meletakkan mangkuk ke atas meja. Rajendra tersenyum. Dia sudah membayangkan makan siang yang enak siang ini. Namun ketika Rajendra menyuap sesendok bubur gandum, matanya melotot. Spontan dia melepehkan kembali bubur gandum itu “Apa-apaan ini? Kenapa rasanya pahit?” tanya Rajendea setengah berteriak. Semuanya menjadi tegang sekarang. Pangeran Rajendra telah marah. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi.Wira berdiri tegak, dadanya membusung, seolah ia adalah pahlawan yang baru saja menggagalkan sebuah kejahatan besar. Matanya menyapu para wanita pencari kerja satu per satu, sorotnya tajam, penuh kemenangan, dan sedikit mencemooh. "Dengar, kalian semua! Kalian harusnya berterima kasih padaku," katanya, menunjuk ke arah mereka dengan jari telunjuknya yang kurus. "Aku ini hanya ingin menyelamatkan kalian dari penipuan. Lihat saja anak muda ini, dia itu tidak punya apa-apa! Datang ke desa ini hanya dengan pakaian di badan, tanpa uang sepeser pun.”“Dan ingat! Rumah yang dia tempati itu pun hanya hasil dari belas kasihan Kepala Desa, hanya dipinjami, bukan miliknya sendiri! Mana mungkin dia bisa membayar kalian dengan benar?" lanjutnya.Beberapa orang yang tadinya menunjukkan antusiasme kini mulai terlihat goyah. Bisikan-bisikan keraguan mulai terdengar. Mereka saling berpandangan, mengingat-ingat bagaimana Rajendra pertama kali datang ke desa ini.Namun, di tengah keraguan itu, seorang
Ketika Kirana akan bertanya kepada Ranjani, sebuah sentuhan lembut menghentikannya. Rajendra memegang tangan Kirana, menggenggamnya erat, dan menggelengkan kepalanya, memberikan kode agar Kirana tidak menanyakannya sekarang karena ada Jati dan Tama di sana."Kenapa?" bisik Kirana, matanya dipenuhi rasa ingin tahu, namun ia menghormati isyarat suaminya."Nanti saja saat kalian berdua," jawab Rajendra pelan, bibirnya hampir tidak bergerak.Kirana menganggukkan kepalanya, memahami. Ia membiarkan rasa ingin tahu itu mengendap, mengalihkan fokusnya kembali ke adonan roti yang harus segera disiapkan.Kemudian, Rajendra pun menuju ke kamar mandi. Gemericik air terdengar dari dalam, membersihkan sisa-sisa malam yang panjang dan penuh gairah. Dia ingin membersihkan diri dari keringat kenikmatan semalam, dan menyiapkan dirinya untuk hari baru.Ketika Rajendra selesai mandi, kesegaran membasuh tubuh dan pikirannya. Ia mengenakan pakaian seadanya, masih di dalam kamar. Tiba-tiba, terdengar suara
Rajendra merasa seperti dibawa ke sebuah dimensi baru, dimensi kenikmatan yang belum pernah ia jelajahi sebelumnya. Setiap sentuhan Kirana, setiap gerakan, setiap desahan, seolah memicu serangkaian ledakan sensasi yang luar biasa. Ia merasa seperti boneka yang digerakkan oleh benang, namun boneka yang merasakan kenikmatan tiada tara.Namun, di tengah-tengah "permainan" itu, sesuatu yang ajaib terjadi. Secara tak terduga, diri Rajendra yang dulu muncul kembali.Keahliannya dalam memberikan kenikmatan kepada wanita, keahlian yang dulu ia kuasai dengan sempurna, kini entah bagaimana, kembali padanya.Tangan Rajendra bergerak dengan sendirinya, bibirnya tahu tempat yang tepat untuk dicium, bisikannya tahu kata-kata yang paling memabukkan. Ia tidak lagi menjadi boneka yang dibimbing; ia mengambil alih kendali, memimpin Kirana menuju puncak kenikmatan.Rajendra sendiri bingung. Bagaimana bisa? Ia ingat dirinya adalah seorang pemula, seorang yang tidak tahu apa-apa. Namun, tubuhnya bereaksi
Pertanyaan itu, bagai sambaran petir di siang bolong bagi Kirana, membuat wajahnya yang semula putih berseri langsung merah padam. Jantungnya berdetak tak keruan, seolah ingin melompat keluar dari dadanya."Tuanku mau melakukan itu? Apakah yakin?" tanya Kirana, suaranya tercekat, nyaris tak terdengar. Matanya membulat, menatap Rajendra dengan campuran rasa terkejut dan malu.Rajendra mengangguk, gerakan kepalanya pelan dan kaku, seolah mau tidak mau untuk melakukannya. Wajahnya juga tak kalah merah dari Kirana, seperti kepiting rebus."I-iya... a-aku mau," gumamnya, suaranya sedikit bergetar. Dia menelan ludah, kemudian menambahkan, "tapi, bisakah... bisakah kau membimbingku?"Mendengar itu, Kirana terhenyak. Sebuah tawa nyaris lolos dari bibirnya, tawa yang tertahan di tenggorokan karena rasa terkejut yang luar biasa. Cepat-cepat dia menutup mulutnya dengan telapak tangan, berusaha keras menahan gejolak geli yang melanda.Dalam ingatan Kirana, Rajendra adalah seorang ahli dalam hal "
Rajendra tersenyum lebar, menepuk pundak Tama dengan keras. "Dengar, Tama, kamu harus manfaatkan kesempatan emas ini! Jadikan dia istrimu! Lalu, kamu cepat-cepat punya anak laki-laki. Kita butuh banyak pasukan untuk membangun dan mempertahankan kerajaan ini di masa depan!"Mendengar apa yang dikatakan oleh Pangeran, wajah Tama semakin memerah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, pandangannya canggung."Yang Mulia," Tama berkata, suaranya pelan, "menikah itu tidak semudah itu. Belum tentu wanitanya mau, apalagi kalau saya belum punya apa-apa."Rajendra tertawa renyah, menepis keraguan Tama dengan lambaian tangan. "Jangan merendahkan dirimu, Tama. Kamu adalah pria yang tangguh dan setia. Wanita di sini banyak, dan mereka cantik-cantik lagi. Kamu tinggal pilih saja. Sepertinya mereka semua juga akan tertarik padamu, melihat bagaimana kamu bekerja keras untuk desa ini."Tama semakin malu, kepalanya menunduk dalam-dalam. Gumaman malu-malu terdengar dari mulutnya.Kemudian, Rajendra me
Asmaran menyadari jika Rajendra bukan orang biasa-biasa saja. Pasti ada sesuatu yang spesial dari dirinya, sesuatu yang melampaui pemahaman manusia biasa.Kemampuan pedang itu untuk menyala hanya di tangan Rajendra, dan aura keemasan yang terpancar, semua itu adalah tanda-tanda yang jelas.Rajendra menoleh ke arah Surapati, sebuah tatapan yang penuh makna.Surapati mengerti. Inilah saatnya kebenaran diungkap. Ia pun menjelaskan kepada Asmaran, suaranya tenang namun penuh otoritas."Asmaran, yang berdiri di hadapanmu ini bukanlah orang biasa. Dia adalah Pangeran Rajendra, pewaris takhta dari Kerajaan Bharaloka,” ungkap Surapati.Sontak saja Asmaran terkejut, seperti disambar petir di siang bolong. Mata yang tadinya terbelalak kini semakin lebar, hampir keluar dari rongganya."Apa? Pangeran?" Ia mengulang kata itu, seolah tak percaya telinganya sendiri.Sebuah gelar yang begitu agung, sebuah status yang tak terjangkau, kini berada di hadapannya."Pantas saja, sejak pertama kali saya mel