PERJANJIAN DUA AKADPART 18đđđâAntara senang dan sedih sih, Mas.ââKenapa?âAluna terjaga di tengah malam. Seperti hampir setiap malam sebelumnya, ia tak mendapati Abian di sampingnya. Ia tahu Abian pasti sedang berada di kamar Haura. Abian memang tak meninggalkan Aluna dalam waktu yang lama, karena takut perempuan itu curiga. Namun, karena Aluna sudah mengetahui semuanya, jadi ia selalu menunggu saat Abian diam-diam keluar dari kamar. Atau Aluna sudah tertidur, tapi alam bawah sadarnya terus meminta untuk mencari tahu kapan Abian akan keluar, sebab itu ia selalu tidur dalam keadaan tidak nyenyak.Malam ini, Aluna kembali terjaga dan tak mendapati Abian di sampingnya. Ia turun dari ranjang dan membuka pintu. Sebelumnya Aluna telah memeriksa di kamar mandi, pintu itu tak terkunci, menandakan tak ada Abian di sana.Aluna keluar dari kamar. Karena malam yang sunyi, sayup-sayup ia bisa mendengar suara orang berbicara saat ia melangkah dari depan pintu kamarnya. Ia kembali meringis da
Perjanjian Dua Akad Bab 19.Aluna menyeka suduh matanya hingga kering. Kemudian ia semakin mendekat pada Abian dan Haura yang tercekat masih tanpa kata, saking terkejutnya jika malam ini mereka ketahuan oleh istri keduanya. Ah, istri kedua, Aluna begitu membenci statusnya.Ia menatap Abian dan Haura dengan senyum miringnya, yang dibalas tatapan nanar oleh Abian yang tak tahu apa yang akan direncanakan oleh istri keduanya kali ini. Aluna masih menatap keduanya, lalu tangan itu dengan cepat mengambil tissue dan segera ia ambil test pack milik Haura yang berada di dekat wastafel.Aluna tentu harus mengumpulkan banyak bukti untuk menjelaskan pada orangtua dan mertuanya, agar ia tak disalahkan atas dasar fitnah atau masih prasangka."Mama kamu pasti bahagia melihat ini. Dia menanti cucu dari keturunanmu!" Kembali Aluna tersenyum sinis seraya memfoto test pack yang memamerkan dua garis itu.Selama ini Diana, ibu Abian selalu bertanya pada Aluna tentang kehadiran seorang bayi, tanpa tahu b
PDA 20 . "Abian!" Aluna berteriak lagi memanggil nama itu. Tangisannya semakin terdengar menyedihkan. Memperlihatkan semua kelemahan yang saat ini ia hadapi. Haura masih terdiam, tapi sedikit melangkah ingin mendekat pada Aluna. Namun, langkahnya terhenti saat Aluna menatap tajam padanya dengan mata yang basah. Haura takut. Ia takut rasa kedekatannya semakin membuat Aluna terluka. Rasa tahu diri juga membuat langkahnya terhenti, ia tak ingin lebih membuat patah di hati Aluna. Sementara Abian masih menggenggam ponsel Aluna. Tak bisa dipungkiri ada hati yang merasa lega saat melihat bahwa ternyata Aluna tak mengirimkan bukti itu ke orangtuanya. Beberapa kali Abian memutar ulang video itu, yang terlihat hanya foto-foto Aluna dari kecil menggemaskan hingga momen ia wisuda, diedit menjadi sebuah video yang epik. Kemudian dikirimkan untuk ibu dna mertuanya. Gadis itu hanya mengancam dan menakuti. Namun, melihat Aluna menangis hati Abian pun merasa iba dan kini ia menatapnya dengan tat
PDA 21.Aluna terdiam mendengar penuturan Abian. Sejenak ia berpikir untuk kalimat yang baru saja ia dengar. Lalu, sebuah rencana jahat muncul di pikirannya. Abian dan Haura harus ikut merasakan kehancuran seperti dirinya, atau ketiganya harus hancur sekalian. Mungkin tak membuat hati Aluna sembuh, tapi setidaknya mereka harus mengerti apa itu rasa sakit."Lima puluh persen?" Aluna menyunggingkan senyum sinisnya. Ia bisa mendapatkan lebih dari itu dari orangtuanya.Abian mengangguk. Begitu syarat warisan ditandatangani oleh ayahnya, maka separuh dari kekayaannya akan menjadi milik Aluna. Tak ada pilihan lain, jika memang Aluna ingin berdamai dengan hartanya.Aluna menggeleng. Terlalu sedikit jumlah yang Abian sebutkan."Aku mau 90% dari keseluruhan," ucapnya.Abian terkejut mendengarnya. Bagaimana bisa Aluna yang dikenal memiliki harta warisan yang tak habis tujuh turunan itu menginginkan hampir sepenuhnya dari harta Abian.Ia meraup wajahnya dengan kasar. Cukup lama ia berpikir unt
PDA 22.Setahun yang lalu âŚ.Mobil bergerak melewati hamparan perkebunan teh yang hijau sejauh mata memandang. Abian membuka kaca mobil seraya menghirup udara segar di sekitarnya. Dari jalan yang ia lalui, terlihat banyak para pekerja yang memunggungi keranjang dan dengan cekatan memetik pucuk-pucuk daun teh hijau nan segar."Aku nggak mau, Pa. Bisnis di sini lagi naik-naiknya." Abian menolak saat papa menyuruhnya pergi ke salah satu daerah di Bandung untuk mengurusi kebun teh peninggalan sang kakek.Haris, papa Abian tak mau menjual perkebunan seluas seratus tujuh puluh hektar itu karena merupakan peninggalan orangtuanya. Bahkan banyak pemerintah daerah di sana yang meminta perkebunan teh itu untuk dialihkan menjadi resort yang akan dibeli dengan harga yang menggiurkan.Meskipun Harris terkesan egois di mata anaknya, tapi ia masih memikirkan nasib para pekerja di perkebunan dan pabrik teh yang menggantungkan mata pencaharian di sana."Lagian berapa sih untungnya, kecil kan, Pa?" tan
PDA 23.Udara pagi masih begitu dingin menusuk tulang, meskipun matahari bersinar begitu cerahnya. Setelah sarapan, Abian keluar dari villa dengan jalan kak. Tak lupa ia kenakan jaket dan kacamata hitam agar matanya tak berpapasan langsung dengan sinar matahari. Pagi ini ia ingin menuju ke rumah Pak Yatno yang sedang terbaring sakit. Sebab itu yang membuat Abian harus menggantikan Pak Yatno untuk mengurus kebun teh peninggalan kakek. Biasanya Pak Yatno yang mengurus semuanya, dan setiap bulan akan mengirimkan laporan keuangan.Abian ingin bertanya beberapa hal tentang perkebunan itu, mengingat selama ini ia tak pernah terjun langsung. Bahkan setelah kakek meninggal, ia tak pernah lagi ke sana. Terlalu sibuk dengan pendidikan dan disambung dengan pekerjaannya."Tuan ingin langsung pulang?" tanya anak Pak Yanto saat mengantar tuan mudanya ke depan gerbang.Sejenak Abian berpikir, kemudian ia memutuskan."Jika punya waktu luang, temani saya berkeliling kebun dan desa ini." Abian memint
PDA 24.Sudah hampir tiga bulan Abian tinggal di desa itu, ia sudah bisa berbaur dengan para pekerja dan mulai mengenali banyak orang dari mereka.Abian juga sering nongkrong di warung nasi uduk saat pagi hari. Terkadang ia malah meminta Mak Leni untuk tidak memasak sarapan untuknya, kemudian ia akan keluar dari villa dan menuju warung yang terletak di ujung desa bersebelahan dengan beberapa rumah warga dan tentu masih dikelilingi perkebunan teh.Abian memang menyukai nasi uduk yang dijual di sana, juga menikmati secangkir teh alami yang dihidangkan penjual dengan harga tentu. Padahal ia bisa mendapatkan itu semua di villanya, hanya tinggal memerintah dan makanan akan sampai di depannya.Namun, ada hal lain yang ingin ia lihat. Sejak saat itu ia sering mengamati Haura. Gadis itu berjalan dengan ayu menuju ke warung untuk menaruh kue lapis yang dijualnya. Lalu, dengan malu-malu ia keluar dari warung itu dengan kepala yang tertunduk, menghindari tatapan para pengunjung warung, meskipun
PDA 25.Malam telah beranjak begitu pekat. Gelap menyelimuti seluruh perkampungan yang masih minim penerangan jalan. Perkebunan teh juga tampak diselimuti malam, hanya pucuk kegelapan yang sedikit disinari cahaya rembulan.Haura telah tertidur di tempat nenek biasanya tidur. Ia memeluk guling yang biasa dipakai nenek agar tetap bisa merasakan kehadirannya. Bahkan pipi gadis itu masih basah karena habis menangis lagi mengingat takdirnya, lalu tanpa sadar ia tertidur saking lelahnya. Di malam yang begitu gelap dan sunyi, ia merasa begitu kesepian dan ketakutan.Menyakitkan.Sesekali masih terdengar isak kecilnya dalam mata yang terpejam itu.Nyanyian binatang malam bahkan tak bisa menyadarkan Haura dari tidurnya. Namun, tiba-tiba dalam kondisi setengah sadar itu ia mendengar suara ketukan pintu dari depan. Haura membuka mata, tubuhnya sedikit tersentak disertai detak jantung yang tak beraturan. Ia ketakutan.Berulangkali ia coba dengar kembali suara ketukan itu, terus bertubi-tubi tanp