(Tidak Menerima Penolakan)
"Aku sama sekali tidak mengerti dengan maksudmu tentang tanggung jawab itu." Kiai haji Solehudin kebingungan.
Jin itu pun tersenyum miring, lalu ia berjalan mengitari sang kiai yang sedang duduk bersila di atas sejadah berwarna hijau.
Mata pria yang sudah lanjut usia itu lalu mengikuti arah jin berjenis kelamin tersebut berjalan, dengan hati yang dipenuhi rasa penasaran.
Sang kiai ingin mengetahui tanggung jawab apa yang dimaksud oleh jin muslim itu, sehingga makhluk tersebut menemuinya.
"Baiklah, aku akan menjelaskannya agar kamu mengerti." Jin yang bernama Nyimas Dewi Sekar Asih itu kemudian berhenti berjalan dan menatap wajah Kiai haji Solehudin sambil menyeringai.
"Iya, jelaskan saja." Sang pemilik pondok mengangguk.
"Apa kamu tahu kalau salah satu santrimu sudah merusak istanaku?" tanya jin tersebut. "Dia menebang pohon randu yang merupakan tempat tinggalku bersama keluarga besarku. Sekarang kami semua tidak memiliki tempat tinggal gara-gara ulah santrimu itu!"
Kiai haji Solehudin seketika mengerutkan dahinya yang sudah berkeriput. Kemudian, ia seketika menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, tapi kalau memang benar santriku berbuat demikian, tolong maafkanlah dia. Mungkin dia tidak sengaja atau tidak tahu kalau itu adalah istanamu," ucap pria berjambang putih itu dengan suaranya yang sedikit serak karena faktor usia.
"Kata maafmu itu tidak akan bisa mengembalikan tempat tinggalku seperti sedia kala!" sergah Nyimas Dewi Sekar Asih yang tampak emosi. "Kamu harus bertanggung jawab!"
"Baiklah, apa yang harus aku lakukan?" tanya pria berpeci putih itu.
"Kamu harus menikahiku dan biarkan aku tinggal di rumahmu ini." Ucapan jin itu membuat sang kiai tersentak kaget.
"Maaf, aku tidak bisa kalau harus bertanggung jawab dengan cara seperti itu." Kiai haji Solehudin menyatukan kedua telapak tangannya.
Nyimas Dewi Sekar Asih pun seketika murka karena menerima penolakan. Ia lalu mendadak menyerang sang kiai yang usianya sudah tidak muda lagi itu.
Mereka berdua akhirnya bertarung dengan sengit hingga terdengar kegaduhan, karena barang yang ada di ruangan itu berjatuhan.
Anak sang kiai yang bernama Syifa kemudian terbangun dari tidurnya dan langsung keluar dari kamar untuk melihat keributan yang terjadi.
Perempuan tersebut lalu mengetuk pintu sang ayah. "Bah, ada apa. Abah baik-baik saja, 'kan?"
Suami dari perempuan berhijab bergo itu juga ikut terbangun dan menghampiri istrinya dengan raut wajah yang panik karena mendengar ada keributan.
"Ummi, ada apa ini? Kenapa di dalam kamar Abah terdengar ada kegaduhan?" tanya pria itu.
"Ummi tidak tahu, Bi, Abah tidak membuka pintunya," jawab Syifa yang tampak cemas.
"Ya udah, cepat minggir biar Abi dobrak saja pintunya!" titah pria yang memakai kain sarung berwarna hitam itu.
Kemudian, ia bersiap menubruk pintu kamar sang ayah mertua. Namun, ayah mertuanya malah mendadak membuka pintu kamar sehingga ia langsung tersungkur ke lantai.
"Astaghfirullah, Abi!" Syifa langsung berlari kecil menghampiri suaminya.
"Ada apa? Kenapa suamimu mendadak tengkurep seperti ikan asin di situ?" tanya sang kiai dengan santai.
"Harusnya Syifa yang nanya sama Abah. Ada apa, Bah? Kenapa tadi ada suara barang-barang yang jatuh di sini? Syifa takut ada orang jahat yang masuk ke sini," ucap perempuan itu.
"Apa kamu tahu siapa yang menebang pohon randu yang ada di samping toilet santri putra?" Kiai haji Solehudin malah bertanya balik.
(Bisikan dari Jin Kafir)“Lihat apa, Dek?” tanya satpam yang bekerja di rumah keluarga besar Fauzan itu dengan dahi yang mengkerut.“Tidak apa-apa kok, Pak, tadi mungkin saya cuma salah lihat saja.” Saryh tersenyum kecil.“Oh, saya kira ada apa.” Satpam itu menghela napas pendek.“Tidak ada, Pak, maaf.” Putri sang kiai menggaruk-garuk kepalanya sendiri yang tertutup hijab pasmina berwarna abu-abu itu. Ia merasa tidak enak kepada Pak satpam.“Enggak apa-apa, Dek, mari silahkan masuk, biar saya panggil dulu Bu Fani-nya, beliau mungkin sedang ada di belakang,” kata Pak satpam sambil membuka pintu rumah itu yang tidak terkunci. “Ayok, silahkan duduk dulu, Dek.”“Baik, Pak, terima kasih banyak.” Sarah tersenyum ramah.“Sama-sama, Dek, tunggu sebentar, yah.” Satpam tadi langsung bergegas mencari ibunya Fauzan---Fani.Sarah pun kemudian duduk di kursi yang ukiran dan modelnya sangat tradisional serta unik, mungkin bisa dibilang barang antik.Bukan hanya kursi, tetapi meja dan hampir semua ba
(Bangunan Tua)“Apa kamu akan pergi ke rumah orang tua Fauzan sendirian?” tanya Syifa kepada anak semata wayangnya---Sarah.Sang anak pun seketika mengangguk. “Iya, Ummi, aku akan ke sana sendiri, lagian tempat tinggal Fauzan itu kan tidak terlalu jauh dari sini.”“Iya, sih, tapi kamu harus hati-hati di jalannya, yah, jangan kebut-kebutan,” pesan sang ibu. “Terus kalau sudah selesai urusannya di sana, kamu langsung pulang yah, jangan main dulu.”“Siap, Bu, aku pasti akan langsung pulang. Kalau begitu aku pergi dulu sekarang,” pamit Sarah seraya mencium punggung tangan ibunya.Kemudian, gadis berdagu lancip tersebut memakai helm berwarna putih campur pink dan menaiki kendaraan beroda dua miliknya.Sarah lalu mulai melajukan motornya, tetapi ia malah tidak sengaja menubruk tong sampah yang ada di dekat gerbang pondok pimpinan sang kakek.“Astagfirullahaladzim ... baru aja dibilangin harus hati-hati malah nabrak tong sampah.” Syifa menepuk jidatnya sendiri.Setelah itu, ia bergegas membe
(Tawaran dari Ratu Jin)"Cara kedua yaitu menemui orang yang menjadi penghubung perjanjian antara kakeknya Fauzan dan bangsa jin, lalu mintalah orang itu untuk memutuskan perjanjian tersebut," ucap Kiai Haji Solehudin yang berbaring di tempat tidurnya karena terluka akibat berusaha mengalahkan jin nasab yang ada di tubuh Fauzan."Oh, begitu, tapi bagaimana kalau orang itu sudah tidak ada atau sudah meninggal, Bah?" tanya Sarah penasaran."Kamu coba saja dulu temui keluarganya Fauzan dan tanyakan kepada mereka, kalau memang orangnya sudah meninggal, kita harus memakai cara terakhir untuk menolong pemuda itu agar tidak terus diganggu oleh khodam warisan kakek buyutnya," balas sang kiai.Sarah seketika mengangguk. "Baiklah, Bah, nanti aku akan pergi ke rumah orang tua Fauzan.""Terima kasih, Nak, semoga kita berhasil menolong saudara kita sesama muslim, karena sesungguhnya kita semua adalah satu jiwa," tutur pria berjambang itu."Iya, Bah, aku mengerti maksud Abah." Sarah melengkungkan g
(Cara Kedua)Kiai haji Sobar hanya tersenyum kecil, saat ia mendengar ucapan dari jin yang sekarang menguasai tubuh santri putranya---Fauzan.“Terserah apa kata kalian, yang pasti aku akan tetap memutuskan perjanjian yang dibuat oleh kakek buyut pemuda itu dengan kalian di masa lalu!” tegas sang kiai.Fauzan yang sedang kerasukan oleh jin nasab pun seketika marah dan membanting kayu gaharu yang ada di depannya.Kemudian, pemuda tersebut mencoba mencekik pria yang sudah mulai renta itu, tetapi tangannya langsung ditepis dengan menggunakan tongkat.Fauzan bahkan jatuh terjungkal ke belakang. Setelah itu, ia berdiri dan mengepalkan kedua tangannya dengan mata yang menyorot tajam.“Kamu tidak bisa memutuskan perjanjian yang sudah dibuat oleh kakek dari pemuda ini sejak dulu dengan kami, kecuali kamu bisa menghancurkan kami.” Fauzan spontan tertawa lepas, setelah berkata demikian.Aldi yang berada di luar ruangan tersebut pun seketika memegang tangan istrinya, karena takut saat mendengar s
(Memancing Jin Agar Keluar)“Baik, Bah, tunggu sebentar, aku akan memanggil Fauzan dulu ke sini.” Sarah langsung bergegas pergi ke asrama santri putra.Kemudian, ia menyuruh santri putra bernama Fauzan itu untuk menghadap Kiai Haji Solehudin di ruangan khusus yang ada di rumahnya.Pemuda yang rambutnya sedikit ikal tersebut hanya menurut, meskipun hatinya mendadak merasa tidak enak dan takut.‘Ada apa ini? Kenapa Pak Kiai memanggilku ke rumahnya secara tiba-tiba begini? Apa aku akan dihukum atas perbuatanku semalam yang sudah berani menghajarnya? Tapi itu kan bukan disengaja.’ Fauzan berbicara dalam hati sembari berjalan menuju ke rumah guru ngajinya."Ayok, silahkan masuk!” titah Sarah kepada santri putra yang baru mondok dua hari lalu tersebut sambil menunjuk ke arah sebuah ruangan berukuran sedang.Fauzan seketika menganggukkan kepalanya dan perlahan mengayunkan kaki menuju ruangan yang ada di pojok dekat dengan ruang tengah.“Assalamualaikum, Pak Kiai.” Pemuda yang memakai kain sa
(Ritual Pelepasan Jin Nasab)Aldi dengan cepat mengambil gelas berisi air putih dari tangan Kiai haji Solehudin, yang sudah dibacakan doa oleh mertuanya tersebut.Kemudian, pria berpeci hitam itu berjalan menghampiri Fauzan yang sedang dipegangi oleh beberapa orang santri putra.Pemuda yang saat ini sedang dikuasai oleh jin-jin nasab atau khodam warisan dari kakek buyutnya tersebut meronta-ronta, karena ingin melepaskan diri sambil terus menggeram, hingga membuat bulu kuduk para santri mendadak berdiri tegak.Aldi lalu meminumkan air doa tadi sembari membaca kalimat basmallah, agar Fauzan bisa segera lepas dari pengaruh jin nasabnya.Fauzan sempat menolak untuk meminum air doa itu, tetapi Aldi terus memaksanya dengan dibantu oleh sang istri—Syifa.Air tersebut akhirnya berhasil dimasukkan ke dalam mulut pemuda itu, meskipun hanya sedikit, karena ia tidak berhenti meronta, sehingga sebagian airnya tumpah.Baju koko yang dipakai oleh santri putra itu pun menjadi basah. Kemudian, selang