“Dua hari ini, kenapa kamu selalu muncul di depanku sambil menangis, hm?”
Mika menghapus air mata di pipinya sekalipun itu sia-sia karena ia masih terus menangis.
“Noval?” ucapnya dengan suara serak. Baru kemudian ia menoleh ke sekeliling, menyadari bahwa lokasinya saat ini tidak jauh dari bengkel milik Noval.
"Kenapa menangis di sini?" tanya pria itu kemudian.
Mika kembali terfokus pada alasannya menangis saat ini dan hal itu membuat tangisnya makin keras.
“Ck.” Noval berdecak, kemudian menarik napas panjang. Sepertinya kebiasaan Mika saat menangis memang demikian. Tapi bukan berarti ia akan memakluminya. "Nangis sih nangis. Tapi lihat sekitar. Kalau kamu menangis di pinggir jalan seperti ini bisa-bisa disangka gila."
Meski mendengar itu, Mika tidak mampu menghentikan tangisnya. Padahal jika di rumah, ia tidak pernah bertingkah begini.
Lalu kenapa selalu pria itu yang memergokinya dalam kondisi seperti ini?
“Astaga,” gumam Noval, terdengar kesal, tapi juga pasrah. Pria itu kemudian meraih tangan Mika dan menarik wanita itu agar berdiri. “Ayo, ikut.”
"Ke mana?" tanya Mika dengan suara serak.
Akhirnya wanita itu bicara juga.
"Sudah. Ikut saja daripada kamu dikira gila," balas Noval.
Keduanya menaiki motor keluaran tahun 2011 bersuara berisik dan meninggalkan lokasi itu dengan cepat.
Noval membawa Mika ke bengkelnya, mendudukkan wanita itu di ruangannya seperti sehari sebelumnya, dan mengambilkan perempuan itu minuman.
Namun, kali ini Noval tidak buru-buru pergi seperti kemarin. Pria itu justru duduk di hadapan Mika dan menunggu perempuan itu untuk meneguk minumannya.
“Jangan bilang kalau kamu menangis konyol seperti tadi karena adikmu dan mantanmu seperti kemarin,” ucap pria itu dengan nada datar. Karena Mika tidak kunjung bicara, ia mengambil kesimpulan. “Bodoh.”
Mika buru-buru menggeleng.
“Tidak bodoh? Atau apa?”
“Bukan itu alasannya.” Akhirnya Mika kembali berkata.
Noval mengerutkan kening. "Lalu?" tanyanya lagi.
Air asin kembali jatuh dari mata Mika. Namun, kali ini tidak ada suara tangis. Dia menatap lurus ke lantai.
Sejujurnya, ia bingung mulai dari mana.
Selama ini, ia selalu menjadi nomor dua, sekalipun ia adalah anak pertama. Saat biasanya anak nomor dua yang memakai baju milik sang kakak karena kakaknya sudah tidak muat, yang terjadi justru sebaliknya. Olip pulalah yang selalu mendapatkan mainan baru, sementara Mika baru bisa memainkannya ketika Olip sudah bosan ataupun saat mainan itu sudah tidak layak lagi.
Barang Olip semuanya baru, sementara Mika hanya mendapatkan sisaan dan bekas.
Saat mereka bersekolah pun, Mika kerap kali mendapatkan teguran dari guru karena ia sering terlambat membayar dana maupun iuran sekolah. Mika pun jarang bisa jajan. Sampai akhirnya saat sudah cukup besar, Mika memutuskan untuk bekerja paruh waktu.
Mengenai kuliah … Mika pun ingin. Ia termasuk salah satu siswa berprestasi di sekolahnya.
Namun, saat ia berniat mendaftar ke jenjang tersebut, orang tuanya mengatakan bahwa saat itu Olip sedang kelas tiga. Adiknya itu butuh biaya lebih untuk les dan lain sebagainya. Jadi dibanding kuliah, Mika dibilang akan lebih baik jika membantu ekonomi keluarga saja.
Mika mengalah. Akan tetapi, di tahun berikutnya pun, orang tuanya tidak merestui rencana kuliah Mika karena Olip ingin kuliah kebidanan dengan biaya besar.
Hingga akhirnya Mika memutuskan untuk membuka toko dengan biaya tabungan yang belum seberapa dan bantuan teman, agar ia bisa mengumpulkan uang untuk kuliah nantinya.
Semua ketidakadilan itu … Mika menyadarinya. Namun, sedikit banyak ia berpikir bahwa memang seorang kakak baiknya mengayomi adik dan mengalah, seperti yang sering kali dikatakan oleh orang tuanya.
Mika sama sekali tidak menyangka bahwa yang ia rasakan adalah karena ia tidak sedarah dengan mereka.
Wanita itu menarik napas dalam-dalam. “Aku bukan anak kandung ayah dan ibuku,” ucapnya pada akhirnya kemudian. “Mereka mendukung Olip yang merebut Ridwan dan tidur bersama. Mereka berusaha menyingkirkanku dengan menerima lamaranmu. Mereka meminta sokongan uang, tanpa memikirkan nasibku.” Ia tertawa kecil, sekalipun air matanya masih mengalir. “Ternyata semua ini karena alasan itu.”
Noval diam. Pria itu menatap lamat-lamat perempuan rapuh di hadapannya ketika Mika melanjutkan ceritanya yang berantakan mengenai saat Olip meminta Mika menyerahkan pacarnya, yang kemudian melompat ke bagian Mika harus merelakan mimpinya untuk kuliah karena Olip, yang berujung dengan Mika diremehkan orang-orang.
Pria itu tetap diam hingga kemudian Mika kehabisan tenaga untuk bicara.
Tanpa mengatakan apa pun, Noval mengambil gelas di tangan Mika dan mengisinya ulang, sebelum menyerahkannya kembali pada Mika.
“Dengar,” ucap Noval pada akhirnya. “Aku tidak mengalami semua yang sudah kamu alami. Jadi aku tidak bisa mengatakan kalau aku mengerti perasaanmu.”
“Tapi.” Pria itu melanjutkan. Ia menepuk puncak kepala Mika. “Aku bisa menyimpulkan kalau kamu perempuan kuat.”
Mika yang sebelumnya menunduk kini mendongakkan kepala menatap ke arah Noval. Ia menatap pria di hadapannya dengan satu titik air mata yang kembali jatuh.
"Kamu boleh ada di sini untuk sementara waktu, seperti kemarin.” Noval menghela napas melihat Mika yang masih saja menangis. Pria berjalan ke mejanya dan mengambil tisu, sebelum meletakkannya di pangkuan Mika. “Pergilah saat kamu sudah tenang."
Pria itu hendak pergi saat ia tiba-tiba merasakan tangannya ditahan oleh seseorang. Noval menoleh dan melihat Mika yang melakukannya.
“Kamu,” ucap Mika kemudian. “Kenapa tiba-tiba kamu mengirimkan lamaran kemarin?”
Dalam ruang tamu rumah Mika, kini duduk empat orang di sana. Noval, Mika, Pak Eko dan Olip. Ya. Olip. Perempuan itu datang untuk menemui Mika.Mika yang melihat penampilan Olip merasa terkejut. Dia meneliti penampilan adik tirinya itu dengan seksama. Tampak sangat berbeda dengan Olip yang dulu, yang modis dan penuh gaya.Olip saat ini terlihat sangat kucel. Bukan Olip yang ditemukan Pak Eko kemarin. Dia sudah membersihkan diri. Hanya saja, masih terlihat sangat berbeda dari biasanya."Kak Mika. Aku ke sini untyuk meminta maaf sama Kak Mika. Untuk semua yang aku lakukan. Semua kesalahan aku dan semua kesalahan Ibu," ujar Olip dengan kepala menunduk.Tentu saja dia tidak berani menatap Mika karena merasa tak pantas.Ada yang aneh dari kalimat Olip bagi Mika. Perempuan itu hanya mengatakan permintaan Maaf untuk dirinya dan ibunya.Tak ingin banyak tahu, Mika hanya mengangguk saja. "Iya. Aku harapo kamu tidak mengulanginya lagi."Olip segera menggeleng pelan. "Tidak akan, Kak. Tidak akan
Suara sirine polisi menggema di sebuah jembatan. Sebuah kasus baru saja terjadi di tempat itu di mana seorang istri membunuh suaminya sendiri. Penyelidikan pun masih berlanjut.Ya. Pemukulan yang dilakukan oleh Bu Tuti untuk melindungi putrinya Olip berakhir dengan Pak Purnomo ynag harus kehilangan nyawanya.Tempat itu pun kini tampak ramai oleh warga sekitar. Tak sedikit pula pengguna jalan yang berhenti hanya sekedar untuk melihat.Termasuk seorang pria paruh baya yang membonceng putrinya. Mereka baru saja dari pasar."Ada apa, Mas?" tanya Pak Eko pada salah satu pengendara yang berhenti."Ada pembunuhan, Pak. Katanya ada seorang istri yang membunuh suaminya. Dipukul pakai batu katanya," ujar pria itu."Astaga." Pak Eko menggeleng. Dia dan Miya mencoba mengintip dari sela-sela orang yang melihat juga.Dia bisa melihat sebuah kantung jenazah baru saja dikeluarkan oleh petugas. "Kira-kira apa masalahnya, ya? Kok sampai dibunuh begitu?" tanya Miya yang ikut penasaran juga."Kata warga
"Ayo! Ayo! Ayo cepat. Serang dia. Serang!" Pak Purnomo dan beberapa pria lainnya terus berteriak. Mereka kini sedang berdiri melingkari sebuah arena tarung ayam."Yeah!" Siraman itu menandakan kalau pertarungan sudah selesai. Sayangnya, usainya pertandingan itu berbarengan dengan wajah Kecewa yang terlihat pada Pak Purnomo."Akh. Nggak becus banget sih," Una pria itu. Dia pun harus menelan kesalahan dan harus kehilangan uangnya.Pak Purnomo mengambil ayamnya yang sudah kalah. Dia berjapan cepat sembari memegang kepala ayam yang sudah tampak lemas itu. "Dasar ayam si*l. Tanding gitu aja nggak bisa menang. Rugi aku kasih kamu makan," ujarnya sembari terus mencaci maki ayam itu. Belum lagi cara membawanya yang tidak manusiawi."Akh. Ayam tidak berguna!" teriaknya kesal sembari membanting ayam yang ada di tangannya. Tampak ayam itu yang kejang beberapa kali sampai akhirnya tidak bergerak sama sekali."Rasakan itu." Tak merasa bersalah sama sekali, pria itu langsung pergi meninggalkan ayam
Motor milik Pak Eko berhenti di depan kediaman Mika. Keduanya menatap rumah kecil yang dulu ditinggali Pak Purnomo, banyak orang yang bekerja di sana."Rumahnya diperbaiki, Pak," ujar Miya.Pak Eko pun mengangguk. "Iya.""Apa mungkin diperbaiki lagi karena Kak Olip akan tinggal di sini lagi?" tanya Miya kemudian. Namun, dalam hatinya dia meragukan praduganya sendiri."Mana bapak tahu. Lebih baik kita tanyakan Mika langsung saja," ujar Pak Eko kemudian."Ya sudah ayo." Keduanya pun berjalan ke arah kediaman Mika. Mereka baru menyadari ada dua pria yang berdiri di depan rumah Mika."Siapa mereka?" tanya Miya pada bapaknya.Pak Eko berdecak. "Mana bapak tahu, Miya. Kita, kan sampainya sama-sama."Mereka semakin mendekati. "Siapa kalian?" tanya Pak Eko. Dia menatap kedua pria di hadapannya dengan memicing."Seharusnya kami yang menanyakan hal itu," ujar salah satu pria.Pak Eko merasa tidak suka. "Kami mertuanya adik Mika. Kalian siapa? Kenapa kalian berdiri di depan rumah Mika?" tanya Pa
Beberapa bupan berlalu. Tampak Olip berjalan di pinggir trotoar dengan langkah lesu. Perempuan itu terlihat sangat jauh berbeda dengan kali terakhir melihatnya. Tampak lusuh dan kurus, hanya terlihat perutnya yang membesar karena usia kandungan yang bertambah.Rambutnya yang acak-acakan juga beberapa noda di wajah membuat Olip terlihat seperti seorang pengemis, gelandangan. Dia menguap keningnya yang dipenuhi keringat."Aku lapar," ujarnya kemudian. Perempuan itu mengelus perutnya dan mengedarkan pandangan.Samoa akhirnya dia melihat tong sampah tak jauh dari keberadaannya. Olip mempercepat langkah agar dia bisa sampai pada tong sampah itu. Setelah di dekatnya, dia mulai mengorek-orek tempat sampah itu untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan."Mana ya? Roti atau sisa nasi begitu untuk mengganjal perut." Olip terus mengorek tempat sampah di hadapannya.Jangan heran kalian melihat hal ini. Olip sudah melakukannya sejak lama. Semua ini karena Pak Purnomo, bapaknya tidak pernah memberikan
"Bapak ini apaan sih?" tanya Olip kesdal. Dia mencoba menarik tangannya yang sejak tadi ditarik oleh Pak Purnomo ketika dia menolak keluar dari rumah mertuanya.Olip mengentakkan kakinya kesal. "Ngapain coba narik aku tadi? Mereka udah ijinin aku tinggal di sana. Kok malah nggak boleh? Mereka yang punya rumah kok Bapak yang nggak ngebolehin?" Dia semakin kesal.Sedangkan Pak Purnomo sendiri juga ikut-ikutan kesal pada putrinya yang satu ini. "Heh! Itu bukan rumah kita," ujarnya dengan menunjuk ke arah rumah Pak Eko sebelumnya."Ya memang bukan rumah kalian. Setidaknya mereka itu mertua aku, mau merawat aku.""Kamu tega ninggalin kita?" tanya Pak Purnomo kemudian."Bapak sendiri tega lihat aku terlantar di jalanan. Aku ini sedang hamil loh," ujar Olip masih kekeh dengan pendapatnya."Heh! Kamu mau tinggal sama mertua kamu itu? Dia sudah pernah jahat sama kamu waktu dulu kamu tinggal di sana," ujar Bu Tuti mencoba mengingatkan bagaimana kelakuan Bu Lestari ketika Olip dulu tinggal di ru