Masuk“Kenapa tiba-tiba kamu mengirimkan lamaran kemarin?” tanya Mika tiba-tiba. “Salah sasaran? Atau memang sengaja?”
Wajah Noval tidak tampak terkejut, sekalipun topik itu cukup jauh dari curahan hati wanita itu beberapa saat yang lalu. Namun, sepertinya Noval maklum karena cepat atau lambat, Mika pasti akan bertanya. Namun, bukan berarti Noval ingin membicarakannya saat ini. Tidak saat Mika masih kelihatan ingin menangis. "Tenangkan dirimu dulu, Mika. In–" Mika menggeleng cepat. "Tidak. Jawab pertanyaanku tadi,” ucapnya tegas. Sekalipun wajahnya masih sembab dan air mata masih mengancam turun, ada sorot yang tak bisa dibantah di matanya. “Apa pun rencanamu, itu melibatkanku.” Tatapan dan ucapan Mika yang tidak bisa dibantah membuat Noval menghela napas berat. Pria itu akhirnya memutuskan untuk duduk kembali. “Paling tidak, hapus dulu ingusmu.” Noval berucap dengan nada tak acuh seperti biasanya. Kali ini, Mika menurut. Ia mengambil beberapa lembar tisu yang tadi diberikan oleh Noval, mengabaikan pemikiran sepintas tentang keberadaan kotak tisu tersebut. Padahal kemarin saat ia menangis di sini, Noval tidak punya sesuatu yang bisa ia gunakan untuk mengusap air matanya. Tapi itu adalah pemikiran tidak penting. “Oke, sudah.” Mika menatap Noval yang duduk di depannya. “Sekarang, jawab pertanyaanku.” Noval yang sejak tadi hanya diam menatap ke arah Mika, akhirnya berujar, “Kalau kukatakan bahwa aku ingin balas dendam, bagaimana?” Kedua alis Mika menyatu, mengernyit menatap pria di hadapan. “Pada Olip?” tanyanya. “Olip. Ridwan. Anggap saja begitu.” Noval kembali menjawab dengan tak acuh. “Apakah itu sudah menjawab rasa penasaranmu?” Mika tampak berpikir, sebelum kemudian menggeleng perlahan. Ia merasa aneh. Sehari sebelumnya, Noval tampak tidak terpengaruh sama sekali meskipun Mika sudah mengatakan bahwa Olip selingkuh dengan Ridwan. Tapi kenapa sekarang pria kekar di depannya ini mengatakan bahwa ia ingin membalas dendam pada mereka? Lalu, kenapa juga Noval menggunakannya? “Kamu belum menjelaskan semuanya.” Akhirnya Mika berkata. “Memangnya, bagaimana kamu akan membalas dendam? Melalui aku? Dengan cara apa? Bagi mereka, aku sama sekali tidak pantas dihargai. Jelaskan rencanamu padaku.” Salah satu sudut bibir Noval terangkat sedikit. Pria itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. “Untuk apa? Memangnya kamu mau membalas dendam juga?” balasnya. Mika terdiam. Balas dendam? Itu adalah agenda yang berat. Sekalipun ia ingin bahwa … orang-orang yang menyakitinya mendapatkan balasan, Mika menyadari bahwa ia tidak punya kuasa yang bisa digunakan untuk membalas mereka. Pun Noval. Bukankah posisi pria itu sama sepertinya? Jika tidak, tidak mungkin Olip mencampakkan pria itu kemarin. Benar, kan? Namun, sepertinya Noval punya rencana lain. “Tapi kamu akan menggunakanku, bukan?” ucap Mika. “Bukankah aku berhak tahu, tidak peduli apakah aku mau membalas mereka atau tidak?” “Kalau begitu, aku ganti jawabanku,” ucap Noval. “Jika aku mengatakan bahwa aku menyukaimu dan ingin membuatmu bahagia, apakah kamu akan menerima lamaranku?” Sontak, Mika berdiri. “Noval!” serunya dengan suaranya yang masih serak. Ia merasa seperti dipermainkan. “Aku tidak main-main!” Noval menghela napas. Pria itu menarik lengan Mika agar kembali duduk. “Mika, dengarkan aku,” ucap pria itu. “Apa pun alasanku, dan rencanaku nanti. Itu adalah urusanku. Jika memang kamu tidak suka kumanfaatkan, dibanding marah-marah begitu, bukankah lebih baik jika kamu balik memanfaatkanku?” Wanita di hadapan mengernyit. “Maksudmu?” “Tanyakan pada dirimu sendiri, apa yang saat ini paling kamu inginkan,” ujar Noval. Tatapannya yang tajam terarah pada Mika, memandang wanita itu dalam-dalam. “Katakanlah, kamu tidak mau membalas adik dan mantan kekasihmu yang berengsek itu. Lalu, apa maumu? Hidup bahagia tanpa makan hati sehari-hari?” Mika berkedip. Terkejut, sekaligus merasakan perasaan asing saat Noval mengatakan hal tersebut. Biasanya, jujur, Mika sedikit takut dengan pria di depannya tersebut. Tatapan Noval selalu tajam dan mengintimidasi. Ia juga kerap kali mendengar bahwa pria itu kasar dan garang–didukung oleh penampilannya yang tinggi, besar, dan berpakaian selayaknya montir. Namun, saat ini, Mika sama sekali tidak merasakan hal tersebut. “Bahagia ya,” gumam wanita itu kemudian, berpikir. "Dalam keadaan seperti ini, kusarankan kamu menerima tawaranku,” ucap Noval lagi. Tatapannya entah kenapa menjadi dingin kembali. ”Kecuali kamu memang betah mendapatkan ketidakadilan dari keluarga yang selama ini selalu membuatmu susah." Ah, keluarga itu. Benar, Mika setelah ini harus kembali ke keluarganya, keluarga yang ternyata tidak berhubungan darah dengan dirinya dan kerap kali menindasnya. Akhirnya, Mika tahu apa yang ia mau. “Baik, aku akan menerima lamaranmu,” kata Mika pada akhirnya. “Tapi, nantinya aku butuh bantuanmu. Hanya kalau kamu menyanggupinya, aku bersedia menikah denganmu.” Noval tersenyum miring. “Katakan.” *** "Kak! Ada Noval dan Pak Heru tuh datang mau ketemu," ujar Olip dengan senyum miring meremehkan. Wanita itu berdiri di ambang pintu kamar Mika. "Pasti mau membicarakan rencana pernikahan kalian. Ingat permintaanku soal uang–" Tanpa menanggapi ucapan adiknya, Mika langsung keluar kamar dan menuju ruang tamu. “Selamat sore, Pak,” sapa Mika sembari menyalami tangan Pak Heru. Di sana, selain ada Noval dan Pak Heru, ada juga Bu Tuti sebagai tuan rumah karena suaminya tidak ada. Pak Heru tersenyum. "Sore, Nak Mika. Maaf kami mengganggu waktu kamu,” ucap pria paruh baya itu. “Kami datang untuk berdiskusi soal pertunangan kalian. Bapak dengar, kamu sudah benar-benar menerima lamaran Noval.” Mika mengangguk, sementara Bu Tuti dan Olip terlihat sangat bahagia mendengar hal itu. Di saat yang sama, Pak Purnomo datang. Beliau tampak terkejut saat melihat Pak Heru dan Noval, tapi langsung menyalami keduanya. “Maaf, Pak Pur, kalau kedatangan kami mendadak,” ucap Pak Heru lagi. “Tampaknya, Noval dan Nak Mika sudah sempat bicara soal lamaran mendadak tempo hari dan meluruskan beberapa hal. Jadi dari Noval sendiri saat ini sudah ingin berdiskusi mengenai acara mereka nantinya.” “Pasti soal modal.” Mika mendengar Olip bergumam lirih di belakangnya. “Acaranya nanti juga kecil dan sederhana saja palingan.” “Mika.” Panggilan dari Noval membuat Mika mengalihkan perhatiannya pada pria yang tiba-tiba saja sudah menatapnya dengan ekspresi serius itu. “Kamu mau pernikahan yang seperti apa?” Mika berkedip. Hal ini tidak mereka diskusikan sebelumnya. Apakah ini masuk ke rencana balas dendam Noval? Bagaimana ia harus bersikap? Tiba-tiba, sebelum Mika menjawab, sebuah mobil berhenti di depan rumah dan menekan klakson. Detik berikutnya, beberapa orang tampak turun dan melongok ke dalam lewat pintu yang memang sengaja dibiarkan terbuka. “Selamat sore.” Orang-orang asing dengan pakaian formal itu menyapa. “Ah. Atau jika kamu bingung, bisa diskusi dulu dengan mereka. Orang-orang ini adalah dari WO yang aku sewa,” ucap Noval kemudian, membuat keluarga Mika mengernyit sangsi. “Kamu bebas meminta konsep acara seperti apa pun. Dan–” Noval meraih dompet dari saku celana dan mengeluarkan sebuah kartu warna hitam, sebelum kemudian menyerahkan kartu tersebut ke tangan Mika. “Untukmu," ujar Noval kemudian. “Gunakan kartu ini untuk membeli apa pun yang kamu inginkan.” Kali itu, tindakan Noval membuat semua orang yang ada di sana melotot seketika. "Kartu hitam ABC Prioritas!?" Mika mendengar adiknya berseru tertahan saat melihat itu. Dan Mika paham keterkejutan mereka. Itu bukan kartu yang sembarangan dimiliki oleh orang!Dalam ruang tamu rumah Mika, kini duduk empat orang di sana. Noval, Mika, Pak Eko dan Olip. Ya. Olip. Perempuan itu datang untuk menemui Mika.Mika yang melihat penampilan Olip merasa terkejut. Dia meneliti penampilan adik tirinya itu dengan seksama. Tampak sangat berbeda dengan Olip yang dulu, yang modis dan penuh gaya.Olip saat ini terlihat sangat kucel. Bukan Olip yang ditemukan Pak Eko kemarin. Dia sudah membersihkan diri. Hanya saja, masih terlihat sangat berbeda dari biasanya."Kak Mika. Aku ke sini untyuk meminta maaf sama Kak Mika. Untuk semua yang aku lakukan. Semua kesalahan aku dan semua kesalahan Ibu," ujar Olip dengan kepala menunduk.Tentu saja dia tidak berani menatap Mika karena merasa tak pantas.Ada yang aneh dari kalimat Olip bagi Mika. Perempuan itu hanya mengatakan permintaan Maaf untuk dirinya dan ibunya.Tak ingin banyak tahu, Mika hanya mengangguk saja. "Iya. Aku harapo kamu tidak mengulanginya lagi."Olip segera menggeleng pelan. "Tidak akan, Kak. Tidak akan
Suara sirine polisi menggema di sebuah jembatan. Sebuah kasus baru saja terjadi di tempat itu di mana seorang istri membunuh suaminya sendiri. Penyelidikan pun masih berlanjut.Ya. Pemukulan yang dilakukan oleh Bu Tuti untuk melindungi putrinya Olip berakhir dengan Pak Purnomo ynag harus kehilangan nyawanya.Tempat itu pun kini tampak ramai oleh warga sekitar. Tak sedikit pula pengguna jalan yang berhenti hanya sekedar untuk melihat.Termasuk seorang pria paruh baya yang membonceng putrinya. Mereka baru saja dari pasar."Ada apa, Mas?" tanya Pak Eko pada salah satu pengendara yang berhenti."Ada pembunuhan, Pak. Katanya ada seorang istri yang membunuh suaminya. Dipukul pakai batu katanya," ujar pria itu."Astaga." Pak Eko menggeleng. Dia dan Miya mencoba mengintip dari sela-sela orang yang melihat juga.Dia bisa melihat sebuah kantung jenazah baru saja dikeluarkan oleh petugas. "Kira-kira apa masalahnya, ya? Kok sampai dibunuh begitu?" tanya Miya yang ikut penasaran juga."Kata warga
"Ayo! Ayo! Ayo cepat. Serang dia. Serang!" Pak Purnomo dan beberapa pria lainnya terus berteriak. Mereka kini sedang berdiri melingkari sebuah arena tarung ayam."Yeah!" Siraman itu menandakan kalau pertarungan sudah selesai. Sayangnya, usainya pertandingan itu berbarengan dengan wajah Kecewa yang terlihat pada Pak Purnomo."Akh. Nggak becus banget sih," Una pria itu. Dia pun harus menelan kesalahan dan harus kehilangan uangnya.Pak Purnomo mengambil ayamnya yang sudah kalah. Dia berjapan cepat sembari memegang kepala ayam yang sudah tampak lemas itu. "Dasar ayam si*l. Tanding gitu aja nggak bisa menang. Rugi aku kasih kamu makan," ujarnya sembari terus mencaci maki ayam itu. Belum lagi cara membawanya yang tidak manusiawi."Akh. Ayam tidak berguna!" teriaknya kesal sembari membanting ayam yang ada di tangannya. Tampak ayam itu yang kejang beberapa kali sampai akhirnya tidak bergerak sama sekali."Rasakan itu." Tak merasa bersalah sama sekali, pria itu langsung pergi meninggalkan ayam
Motor milik Pak Eko berhenti di depan kediaman Mika. Keduanya menatap rumah kecil yang dulu ditinggali Pak Purnomo, banyak orang yang bekerja di sana."Rumahnya diperbaiki, Pak," ujar Miya.Pak Eko pun mengangguk. "Iya.""Apa mungkin diperbaiki lagi karena Kak Olip akan tinggal di sini lagi?" tanya Miya kemudian. Namun, dalam hatinya dia meragukan praduganya sendiri."Mana bapak tahu. Lebih baik kita tanyakan Mika langsung saja," ujar Pak Eko kemudian."Ya sudah ayo." Keduanya pun berjalan ke arah kediaman Mika. Mereka baru menyadari ada dua pria yang berdiri di depan rumah Mika."Siapa mereka?" tanya Miya pada bapaknya.Pak Eko berdecak. "Mana bapak tahu, Miya. Kita, kan sampainya sama-sama."Mereka semakin mendekati. "Siapa kalian?" tanya Pak Eko. Dia menatap kedua pria di hadapannya dengan memicing."Seharusnya kami yang menanyakan hal itu," ujar salah satu pria.Pak Eko merasa tidak suka. "Kami mertuanya adik Mika. Kalian siapa? Kenapa kalian berdiri di depan rumah Mika?" tanya Pa
Beberapa bupan berlalu. Tampak Olip berjalan di pinggir trotoar dengan langkah lesu. Perempuan itu terlihat sangat jauh berbeda dengan kali terakhir melihatnya. Tampak lusuh dan kurus, hanya terlihat perutnya yang membesar karena usia kandungan yang bertambah.Rambutnya yang acak-acakan juga beberapa noda di wajah membuat Olip terlihat seperti seorang pengemis, gelandangan. Dia menguap keningnya yang dipenuhi keringat."Aku lapar," ujarnya kemudian. Perempuan itu mengelus perutnya dan mengedarkan pandangan.Samoa akhirnya dia melihat tong sampah tak jauh dari keberadaannya. Olip mempercepat langkah agar dia bisa sampai pada tong sampah itu. Setelah di dekatnya, dia mulai mengorek-orek tempat sampah itu untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan."Mana ya? Roti atau sisa nasi begitu untuk mengganjal perut." Olip terus mengorek tempat sampah di hadapannya.Jangan heran kalian melihat hal ini. Olip sudah melakukannya sejak lama. Semua ini karena Pak Purnomo, bapaknya tidak pernah memberikan
"Bapak ini apaan sih?" tanya Olip kesdal. Dia mencoba menarik tangannya yang sejak tadi ditarik oleh Pak Purnomo ketika dia menolak keluar dari rumah mertuanya.Olip mengentakkan kakinya kesal. "Ngapain coba narik aku tadi? Mereka udah ijinin aku tinggal di sana. Kok malah nggak boleh? Mereka yang punya rumah kok Bapak yang nggak ngebolehin?" Dia semakin kesal.Sedangkan Pak Purnomo sendiri juga ikut-ikutan kesal pada putrinya yang satu ini. "Heh! Itu bukan rumah kita," ujarnya dengan menunjuk ke arah rumah Pak Eko sebelumnya."Ya memang bukan rumah kalian. Setidaknya mereka itu mertua aku, mau merawat aku.""Kamu tega ninggalin kita?" tanya Pak Purnomo kemudian."Bapak sendiri tega lihat aku terlantar di jalanan. Aku ini sedang hamil loh," ujar Olip masih kekeh dengan pendapatnya."Heh! Kamu mau tinggal sama mertua kamu itu? Dia sudah pernah jahat sama kamu waktu dulu kamu tinggal di sana," ujar Bu Tuti mencoba mengingatkan bagaimana kelakuan Bu Lestari ketika Olip dulu tinggal di ru







