Elena Maheswari Atmaja baru saja kembali dari perjalanan bisnis yang melelahkan di Singapura, membawa serta harapan baru untuk Atmaja Televisi, perusahaan media yang telah dibangun oleh keluarganya dengan susah payah.
Sebagai putri tunggal Nathaniel Atmaja dan Devina Adeline Pramesti, Elena memikul beban besar di pundaknya.
Posisi CEO Atmaja Televisi telah membentuknya menjadi seorang wanita yang dingin, tegas, dan berpendirian teguh, kualitas yang sangat dibutuhkan mengingat kondisi finansial perusahaan yang sedang merosot tajam dan hampir di ambang kebangkrutan.
Namun, alih-alih sambutan hangat dan istirahat yang layak, Elena dikejutkan oleh kedatangan beberapa pria berbadan tegap yang langsung membawanya ke mobil tanpa banyak penjelasan. Perasaan tidak enak mulai menghantuinya sepanjang perjalanan, menggerogoti ketenangannya. Pikirannya dipenuhi pertanyaan, firasat buruk merayap di benaknya. Apa yang sedang terjadi? Apakah ada masalah di kantor yang begitu genting hingga ia harus dijemput seperti ini?
Setibanya di sebuah gedung, Elena keluar dari mobil dengan wajah bingung dan kesal. Namun, begitu melangkah masuk, ia dikejutkan oleh pemandangan yang jauh dari bayangannya.
Aula utama yang luas telah didekorasi dengan bunga-bunga, beberapa orang sibuk berlalu-lalang, dan senyum cemas terpancar dari wajah kedua orang tuanya yang menyambutnya. Tanpa basa-basi, Nathaniel dan Devina langsung membawa Elena ke salah satu ruangan. Di tengah ruangan itu, sebuah gaun pengantin putih menggantung dengan anggun.
"Ma? Pa? Ini ada acara apa?" tanya Elena, matanya menelusuri ruangan dengan curiga, mencoba mencerna pemandangan aneh di hadapannya.
Devina, buru-buru menghampirinya, wajahnya dipenuhi kelegaan bercampur kecemasan. "Elena, kami lega akhirnya kamu sampai. Cepat kamu siap-siap!"
"Siap-siap? Untuk apa?" Elena menatap ibunya dengan kening berkerut, merasa semakin bingung dan tak sabar.
Nathaniel berjalan mendekat dengan wajah serius yang jarang ia tunjukkan. "Ini hari pernikahanmu, Elena.”
Dunia Elena seolah berhenti berputar. "Apa? Papa gak salah ngomong? Katakan sekali lagi, siapa yang menikah?" suaranya bergetar, mencoba memastikan bahwa pendengarannya tidak salah.
"Kamu," ujar Nathaniel tegas, tanpa keraguan. "Dengan Gerald Aiden Mahatma."
Elena tertawa hambar, berharap ini hanyalah lelucon buruk setelah perjalanan panjang dan melelahkan dari Singapura. "Papa bercanda, 'kan?" Namun, ekspresi Nathaniel tetap serius, membuyarkan segala harapannya akan sebuah lelucon.
"Papa gak bercanda, El. Pernikahan ini harus terjadi," tegas Nathaniel.
"Harus?! Sejak kapan aku setuju menikah?! Kenapa tiba-tiba? Kenapa Papa sama Mama gak ngomong dulu sama aku?!" Elena mulai menaikkan suaranya, matanya memandang ibunya, menuntut penjelasan.
Devina menghela napas panjang. "Sayang, Atmaja Televisi mengalami masalah keuangan yang serius. Kami butuh bantuan, dan satu-satunya cara agar perusahaan tetap bertahan adalah menerima akuisisi dari Mahatma Entertainment. Salah satu syaratnya adalah pernikahan ini.”
Elena merasa seolah-olah dihantam oleh kenyataan yang tak masuk akal, seolah kini dikorbankan layaknya aset. "Jadi ini… transaksi bisnis?! Aku dikorbankan demi menyelamatkan perusahaan?!" suaranya dipenuhi kemarahan yang tertahan.
"Ini juga demi masa depanmu, Elena," Nathaniel mencoba meyakinkannya. "Gerald bukan pria sembarangan. Dia pewaris Mahatma Entertainment, CEO Maha Pictures, dan menikah dengannya akan menjamin stabilitas hidupmu.”
"Papa pikir aku tidak bisa menjamin hidupku sendiri?! Aku baru aja pulang dari perjalanan bisnis, berhasil menutup kesepakatan besar, aku udah berusaha ngelakuin segalanya untuk membantu perusahaan, dan sekarang Papa maksa aku harus menikah demi stabilitas?!" Elena meradang, rasa sakit dan pengkhianatan membanjiri dirinya.
"Ini lebih dari sekadar bisnis, Elena," suara Nathaniel mengeras. "Ini tentang keluarga. Tentang kehormatan Atmaja yang harus dipertahankan.”
Elena mendengus, hatinya bergejolak. "Jadi, harga diriku harus dikorbankan demi kehormatan keluarga? Apa yang membuat kalian berpikir aku setuju?!"
"Karena kamu gak punya pilihan!" suara Nathaniel meledak, memenuhi ruangan dan membuat semua orang terdiam. "Yang kamu lakukan itu masih belum cukup. Atmaja Televisi akan bangkrut kalau kamu tidak menikah. Ribuan karyawan akan kehilangan pekerjaan mereka. Semua yang sudah Papa bangun seumur hidup akan hancur begitu saja! Kamu pikir Papa ingin melakukan ini?"
Elena menatap ayahnya, berusaha meredam emosinya yang meluap. Ia melihat kelelahan dan keputusasaan di mata pria yang selalu ia hormati itu. "Pa... aku tahu gimana Papa susah payah membangun perusahaan ini dari nol. Aku paham bahwa kondisi sekarang sulit. Tapi kenapa harus pakai cara ini? Apa gak ada cara lain?"
Nathaniel mengusap wajahnya, tampak sangat lelah. "Karena ini satu-satunya jalan yang tersisa. Papa dan Mama sudah coba segala cara, Elena. Papa berusaha mencari investor lain, mencoba mempertahankan kepemilikan, tetapi tidak ada satupun yang bersedia membantu tanpa imbalan besar. Mahatma Entertainment adalah satu-satunya yang bersedia, dan syarat mereka adalah pernikahan ini.”
Elena menggeleng. Rasa tidak percaya masih menyelimutinya. "Jadi aku harus menikahi pria yang bahkan tidak aku kenal? Melepaskan impian, kebebasan, hanya demi menyelamatkan perusahaan? Apa Papa gak pernah mikirin perasaanku?"
Devina mendekati putrinya, menggenggam tangannya dengan penuh harap. "Sayang, Mama tahu ini berat. Tapi Gerald orang yang baik, dan—"
"Aku bahkan gak kenal dia, Ma! Gimana bisa kalian memaksaku menikah dengan seseorang yang bahkan belum pernah ku kenal sebelumnya?" sela Elena, suaranya tercekat.
Sebelum ada yang sempat menjawab, suara langkah kaki yang mantap terdengar mendekat. Seorang pria dengan setelan jas hitam memasuki ruangan dengan ekspresi datar. Tatapan tajamnya menusuk, seolah melihat langsung ke dalam jiwa Elena.
Dia adalah Gerald Aiden Mahatma, putra tunggal Darius Mahatma dan Isabella Victoria, pemilik Mahatma Entertainment. Bohong jika Elena tidak mengenal Gerald.
Nama Gerald Aiden Mahatma begitu dikenal oleh orang-orang yang menaungi media dan hiburan seperti dirinya. Kesuksesan Maha Pictures dalam pembuatan film, meraih box office dan mendapatkan penghargaan dari dalam serta luar negeri tidak lepas dari peran Gerald yang begitu besar.
Gerald merupakan CEO Maha Pictures, otak keberhasilan perusahaan production house itu dalam membuat film-film terkemuka di Indonesia.
Sekali lagi, ia menoleh ke arah ayahnya, berharap ini hanyalah mimpi buruk. "Pa… Aku tetap tidak mau menikah! Ini gila!" ujarnya menggunakan kesempatan terakhir untuk protes, di depan Gerald langsung. Barangkali pria itu akan melakukan pemberontakan yang sama dengannya.
Nathaniel menghela napas panjang. "Elena, ini satu-satunya cara agar Atmaja Televisi bisa bertahan. Papa mohon…”
Elena mengepalkan tangannya, menahan emosi yang siap meledak. Ia menatap Gerald dengan penuh kebencian, seolah pria itu adalah sumber dari segala kekacauan ini. "Dan kamu? Apa kamu juga menganggap ini pernikahan atau hanya transaksi?"
Gerald menghela napas pelan, lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celana jasnya. "Elena, aku tidak akan membohongimu. Ini memang transaksi bisnis. Keluargamu membutuhkan bantuan, dan keluargaku menginginkan sesuatu sebagai gantinya.”
Elena terkesiap. "Jadi kamu setuju begitu saja? Tanpa keberatan sedikit pun?"
Gerald menatapnya dengan tatapan tenang, namun penuh perhitungan. "Aku tidak pernah mengizinkan perasaanku mengganggu urusan bisnis. Aku tahu pernikahan ini bukan sesuatu yang kamu inginkan, bahkan akupun juga tidak menginginkan pernikahan ini, tapi sekarang semuanya bukan hanya tentang kita. Ini tentang perusahaan, keluarga, dan masa depan banyak orang.”
Elena mendengus marah. "Kamu bicara seolah-olah aku ini hanya bagian dari kesepakatan bisnis yang telah kalian tentukan tanpa persetujuanku didalamnya! Aku ini manusia, Gerald, bukan aset yang bisa dipindahtangankan!"
Gerald tetap tenang, tapi kali ini nada suaranya sedikit lebih tajam. "Aku tidak mengatakan kamu bukan manusia, Elena. Tapi aku juga bukan pria yang punya pilihan dalam hal ini. Papaku menginginkan pernikahan ini sama seperti Papamu. Aku hanya menjalankan peranku.”
"Jadi kamu tidak peduli sama sekali?" Elena menatapnya dengan tajam, mencari celah, secuil emosi di mata pria itu.
Gerald diam sejenak, lalu menjawab dengan nada lebih rendah namun tegas. "Aku tidak terbiasa mencampurkan perasaan dengan kewajiban. Ini adalah keputusan terbaik dalam situasi yang kita hadapi. Kamu bisa membenciku sepuasnya, tapi itu tidak akan mengubah fakta bahwa pernikahan ini akan tetap terjadi, dengan atau tanpa persetujuanmu.”
Elena mengepalkan tangannya lebih erat, rahangnya mengeras menahan gejolak emosi yang memenuhi dadanya. "Aku tidak akan menyerah semudah itu.”
Gerald menatapnya, ekspresinya tetap datar, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang sulit diartikan. "Aku tidak meminta kamu untuk menyerah, Elena. Tapi aku meminta kamu untuk segera bersiap dan menghadapi kenyataan.”
Gerald menghela napas, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah, namun tetap penuh tekanan. "Kita bukan orang sembarangan. Keluargamu dan keluargaku berada di bawah sorotan publik. Kamu tahu berapa banyak rekan bisnis yang datang hari ini? Berapa banyak media yang sudah bersiap meliput? Pernikahan ini bukan sekadar acara keluarga, ini adalah pernyataan besar kepada dunia bisnis bahwa Atmaja Televisi dan Mahatma Entertainment telah menjadi satu kesatuan.”
Langkah Gerald sedikit mendekat, ekspresinya masih tetap tenang, tetapi sorot matanya semakin tajam. "Apa kamu siap menghadapi dampaknya jika kamu memilih memberontak di hadapan mereka semua? Jika kamu pergi dari sini, kamu bukan hanya mempermalukan keluargamu, tapi juga menjatuhkan nama Atmaja yang sudah keluargamu pertahankan dengan susah payah.”
Gerald terdiam sejenak, seolah membiarkan kata-katanya meresap dalam pikiran Elena sebelum ia kembali melanjutkan. "Aku tidak butuh pernikahan ini, Elena. Aku bisa saja menolak dan tetap menjalani hidupku tanpa peduli pada kesepakatan keluarga kita. Tapi kamu tahu bagaimana orang tua kita bekerja. Jika aku menolak, mereka hanya akan mencari cara lain untuk memaksakan kehendak mereka. Dan kamu… pada akhirnya tetap tidak akan punya pilihan.”
Nada suaranya sedikit melembut, tetapi tetap dingin. "Jadi, percayalah, aku tidak lebih menyukai situasi ini daripada kamu. Tapi aku cukup realistis untuk tahu bahwa semakin cepat kita menerima keadaan, semakin kecil kerusakan yang ditimbulkan.”
Gerald semakin menatap Elena lebih dalam, nada suaranya sedikit lebih tajam. "Jangan pikir aku tidak tahu apa yang coba kamu lakukan. Kamu berharap aku akan berubah pikiran dan membatalkan semuanya? Itu tidak akan terjadi. Keluargaku tidak pernah membiarkan kesepakatan berantakan, dan begitu juga keluargamu. Jika kamu membuat masalah sekarang, kamu hanya akan memperburuk keadaan.”
Gerald mendekat sedikit lagi, suaranya nyaris seperti bisikan, tetapi penuh dengan tekanan. "Jadi, pilihannya ada di tanganmu, Elena. Kamu bisa berdiri tegak dan menunjukkan bahwa kamu tetap seorang Atmaja yang berkelas, atau kamu bisa membuat skandal besar yang akan menghancurkan reputasi keluargamu dalam hitungan detik. Tapi ingat, tidak ada jalan keluar dari ini.”
Elena menatapnya dengan napas tersengal, dadanya naik turun akibat emosi yang meluap. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa ia masih punya pilihan, tapi dalam hati, ia tahu Gerald tidak salah. Gerald menegakkan bahunya dan melirik arlojinya. "Kita tidak punya banyak waktu lagi. Gaun pengantinmu sudah disiapkan, dan tamu-tamu mulai berdatangan. Sekarang, putuskan—kamu akan berjalan ke altar dengan kepala tegak atau menyeret keluargamu ke dalam kehancuran?"
Pilihan itu, atau lebih tepatnya, ketiadaan pilihan, mengunci Elena dalam takdir yang tak ia inginkan. Ia harus menikah, demi keluarganya, demi Atmaja Televisi. Sebuah pernikahan yang terjadi tanpa peringatan, tanpa persetujuan. Sebuah ikatan yang akan mengubah segalanya.
Suasana set semakin ramai menjelang siang. Kru bekerja tanpa henti, suara sutradara memandu lewat pengeras suara, kamera besar berputar di atas dolly, dan aktor-aktor menunggu giliran mereka di kursi panjang. Udara dalam ruangan yang dipenuhi lampu sorot terasa panas dan pengap, membuat keringat mudah menempel di dahi.Elena berdiri di samping Gerald, memperhatikan jalannya syuting dengan mata penuh konsentrasi. Ia mencoba memahami dinamika di balik layar—bagaimana setiap kru bekerja, bagaimana timing diatur dengan cermat, dan bagaimana satu adegan bisa memakan waktu begitu lama untuk diambil sempurna.Namun, Gerald yang berdiri sedikit lebih dekat dari seharusnya tidak hanya memperhatikan jalannya syuting. Ia lebih sering melirik Elena. Dari cara istrinya sesekali mengibaskan tangan ke leher, hingga gerakan kecilnya mengelap keringat dengan tisu. Ia tahu Elena tidak terbiasa berada di ruangan panas penuh lampu seperti ini.Gerald mendekat, suaranya rendah. “Kamu kepanasan?”Elena men
Pagi itu, setelah sarapan sederhana dan Elena menyerahkan agendanya kepada Rani, mereka berdua melangkah keluar apartemen. Mobil hitam dengan sopir pribadi sudah menunggu di depan. Gerald membuka pintu, mempersilakan Elena masuk lebih dulu sebelum ia menyusul.Di dalam mobil, suasana cukup tenang. Jakarta sudah mulai padat, suara klakson dan riuh lalu lintas terdengar dari balik kaca mobil yang tertutup rapat. Elena menatap keluar jendela, memperhatikan deretan gedung tinggi yang berjejer, sementara Gerald sesekali melirik istrinya dengan senyum kecil.“Apa kamu gugup?” tanya Gerald tiba-tiba.Elena menoleh. “Gugup? Untuk apa?”“Untuk datang ke lokasi syuting. Kamu tahu, ini bukan hanya sekadar menonton. Sebagai Co-Producer, semua orang akan melihatmu sebagai bagian penting dari proyek ini. Mereka akan memperhatikan.”Elena menarik napas, lalu menghela pelan. “Aku tidak terbiasa dengan sorotan semacam itu. Aku lebih nyaman mengurus televisi, rapat di ruang meeting, bukan berdiri di te
Kamar apartemen itu terasa tenang. Lampu kamar dipasang dalam mode redup, memberikan cahaya lembut kekuningan yang membuat suasana terasa damai. Tirai sudah tertutup rapat, menyingkirkan keramaian kota Jakarta di luar. Di atas meja nakas, segelas air putih dan buku yang terbuka separuh halaman tergeletak, seakan menunggu untuk dibaca kembali.Gerald duduk di tepi ranjang, masih mengenakan kemeja rumah abu-abu muda yang tadi ia kenakan setelah mandi. Rambutnya sudah kering, meski sedikit acak karena ia mengusapnya dengan handuk seadanya. Namun, matanya tak lepas dari pintu kamar mandi yang tertutup. Ia mendengar suara air berhenti, lalu bunyi pintu berderit pelan.Elena keluar, tubuhnya dibalut piyama satin berwarna biru muda. Rambut panjangnya masih basah, menjuntai di bahu dan punggung, meneteskan air ke kain tipis yang ia kenakan. Wajahnya bersih tanpa riasan, terlihat segar dan alami. Sebenarnya, ia tampak lebih cantik dalam kesederhanaan itu.Elena berjalan menuju meja rias, menga
Gerald keluar dari kamar dengan kemeja rumah berwarna abu-abu muda dan celana panjang santai. Rambutnya masih agak basah, sebagian meneteskan air, membuat wajahnya tampak lebih segar. Ia mengusap lehernya dengan handuk kecil sambil melangkah ke ruang makan.Elena sudah menata meja. Sup ayam bening mengepul di mangkuk besar, ikan bakar tersaji dengan sambal kecap dan irisan cabai merah, serta sayur jagung manis yang tampak segar. Nasi hangat di dalam penanak masih mengeluarkan aroma gurih. Di sisi meja, ia menaruh dua gelas air putih dan segelas teh manis hangat untuk Gerald.Saat Gerald muncul, Elena menoleh. Sekilas matanya menangkap perubahan sosok pria itu—lebih santai, lebih hangat, tidak lagi penuh bayangan kerja seperti biasanya. “Sudah segar?” tanyanya, mencoba terdengar biasa.Gerald mendekat, senyumnya tulus. “Segar sekali. Tapi lebih segar lagi karena tahu kamu sudah menyiapkan ini semua.” Ia menarik kursi, tapi sebelum duduk, ia menatap Elena sebentar, lalu—dengan spontan—m
Pintu apartemen itu terbuka dengan suara klik yang pelan. Dari luar, lorong sudah lengang, hanya cahaya lampu kuning pucat yang menemani kepulangan Gerald malam itu. Begitu melangkah masuk, ia langsung disambut aroma harum masakan yang memenuhi ruang tamu. Bukan wangi parfum, bukan juga wangi minuman mahal, melainkan aroma sederhana—bawang putih yang ditumis, daging yang dipanggang, dan sayuran rebus yang menebarkan rasa nyaman.Gerald berdiri sejenak di ambang pintu, menghirup dalam-dalam aroma itu, seakan ingin menyerap semuanya ke dalam dada. Rumah… ini rumahku, batinnya. Bukan sekadar apartemen mewah dengan perabotan mahal, tapi ruang yang kini dipenuhi jejak seorang perempuan bernama Elena—istrinya, rumahnya.“Sayang…” Suara Gerald pelan, nyaris berbisik, seakan takut mengganggu harmoni yang sudah tercipta di dalam.Dari arah dapur, terdengar suara sendok beradu dengan panci, lalu langkah kaki yang ringan. Elena muncul dengan celemek bunga terikat di pinggang, rambutnya dikuncir
Hari itu, cahaya matahari menembus kaca tinggi gedung Mahatma Entertainment, menyoroti ruangan megah di lantai atas yang selama ini menjadi pusat kendali salah satu raksasa perfilman terbesar di negeri itu. Dinding kaca setinggi langit-langit memberikan panorama kota Jakarta yang sibuk; deretan gedung pencakar langit berkilau diterpa matahari pagi.Ruangan Gerald, CEO Maha Pictures—anak perusahaan paling prestisius Mahatma Entertainment—tampak lebih hangat dari biasanya. Sofa kulit cokelat yang baru dipindahkan ke sisi ruangan menambah kesan nyaman, sementara meja kayu mahoni besar di tengah ruangan tampak berkilau setelah dipoles ulang. Tetapi ada satu benda baru yang menjadi pusat perhatian: sebuah bingkai foto pernikahan, berukuran sedang, berdiri tegak di meja kerja.Foto itu menampilkan Gerald dalam balutan jas hitam klasik, berdampingan dengan Elena dalam gaun putih sederhana namun anggun. Tidak ada senyum lebar di sana, hanya senyum tipis. Tapi sorot mata keduanya jelas menunju