Perempuan itu memberanikan diri untuk membawa sebelah telapak tangannya menangkup pipi Reiner, lalu mengecup bibirnya mesra, yang membuat Reiner gugup seketika.
"Turunkan aku sekarang, oke?"
Entah apa yang Jasmine berikan lewat bibirnya barusan, hingga Reiner akhirnya mengangguk patuh. Kemudian menurunkan Jasmine dengan hati-hati.
Jasmine tersenyum, kakinya melangkah turun ke lantai bawah. Dengan Reiner di belakangnya yang berjalan tanpa membuka suara.
Ya, Reiner yakin, Jasmine telah memberinya racun sampai-sampai Reiner tidak bisa membantah.
Seperti biasa, Reiner membukakan pintu untuk Jasmine, lalu memasangkan seatbelt-nya. Setelah memutari bagian depan mobil, Reiner tak langsung masuk. Pemandangan restoran Italia di sebrangnya membuat Reiner tiba-tiba merasa kesal.
"Sialan. Apa aku harus membeli restoran itu?" gumam Reiner geram. Dia mengepalkan kedua belah telapak tangannya dengan erat.
Membeli restoran tersebut bukanlah sesuatu y
Wajah Jasmine mendadak berubah menegang mendengar pertanyaan Reiner. "Dia teman dekatku sejak sekolah, Reiner.""Hanya itu?"Jasmine mengangguk. "Rumah kami juga bersebrangan. Bisa dibilang, dia satu-satunya teman baikku. Karena saat sekolah, temanku tidak banyak. Rata-rata mereka malu berteman dengan anak sepertiku."Reiner menghujani puncak kepala Jasmine dengan kecupan-kecupan kecil. Tangannya mengelus bahu perempuan itu."Apa kamu sempat menyukai dia?"Jasmine tekejut bukan main. Tetapi pada akhirnya dia mengangguk jujur. "Tapi itu cuma masa lalu, Reiner. Kami tidak pernah punya hubungan apa-apa.""Tapi kamu menyukai dia. Itu artinya Leo pernah ada di hati kamu." Reiner mengusap wajahnya dengan kasar. Mendadak Reiner jadi kesal sendiri, dan ingin marah-marah. "Apa sekarang karnu masih mengharapkan Leo?"Jasmine menggeleng cepat. "Tidak, Reiner. Aku sama sekali tidak punya perasaan apa pun untuk dia sekarang.""Iya, tapi dul
Perempuan itu memberanikan diri untuk membawa sebelah telapak tangannya menangkup pipi Reiner, lalu mengecup bibirnya mesra, yang membuat Reiner gugup seketika."Turunkan aku sekarang, oke?"Entah apa yang Jasmine berikan lewat bibirnya barusan, hingga Reiner akhirnya mengangguk patuh. Kemudian menurunkan Jasmine dengan hati-hati.Jasmine tersenyum, kakinya melangkah turun ke lantai bawah. Dengan Reiner di belakangnya yang berjalan tanpa membuka suara.Ya, Reiner yakin, Jasmine telah memberinya racun sampai-sampai Reiner tidak bisa membantah.Seperti biasa, Reiner membukakan pintu untuk Jasmine, lalu memasangkan seatbelt-nya. Setelah memutari bagian depan mobil, Reiner tak langsung masuk. Pemandangan restoran Italia di sebrangnya membuat Reiner tiba-tiba merasa kesal."Sialan. Apa aku harus membeli restoran itu?" gumam Reiner geram. Dia mengepalkan kedua belah telapak tangannya dengan erat.Membeli restoran tersebut bukanlah sesuatu y
Jasmine tersenyum canggung usai mendengar pengakuan Leo. Rasanya kurang nyaman saat Leo terus membahas hal-hal yang menyerempet perasaan Leo terhadapnya.Dulu mungkin Jasmine akan senang mendengarnya. Tetapi sekarang dia tidak pantas merasa berbunga-bunga."Oh ya, aku ke sini sebenarnya mau memberimu ini." Leo meletakkan sebuah undangan tepat di hadapan Jasmine."Undangan makan malam?" Jasmine menggumamkan judul pada undangan tersebut."Iya. Malam minggu nanti ada acara di restoranku. Aku mengundang beberapa orang khusus untuk tamu VIP," ujar Leo, "kuharap kamu bisa datang. Tapi makan malamnya tetap private. Kamu boleh bawa siapa saja, dan makan malamnya tidak akan terganggu oleh siapa pun."Jasmine berpikir sejenak. Reiner pasti tidak mengizinkannya pergi apalagi ini berkaitan dengan Leo. Tapi, Jasmine juga tidak enak hati menolak undangan dari pria berkemeja kotak-kotak di hadapannya ini."Kalau aku membawa suamiku, apa tidak masalah?"
"Jangan mentang-mentang dekat ya, nanti malah setiap hari kamu datang ke sini.” Jasmine membuka penutup kotak makan milik Reiner Lalu mengeluarkan bekal miliknya yang berisi makanan serupa dengan suaminya."Ide yang bagus. Di sini juga aku bisa makan siang plus plus." Bibir Reiner mengulum senyum dengan mata mengerling menatap Jasmine."Maaf ya." Jasmine mencebikkan bibirnya. "Tidak ada plus-plus di sini, cuma makan siang saja.""Kita lihat saja nanti." Reiner mengedikkan bahunya kemudian mulai melahap makanannya. "Apa yang tadi sedang kamu bicarakan dengan mama dan papa?""Ooh itu. Papa cuma tanya gimana hubungan kita, apa selama ini baik-baik saja atau tidak?" jawab Jasmine jujur.Matanya mengamati Reiner yang tampak lahap menyantap makanannya. Bibir Jasmine mengulas senyum tipis saat makanan yang dia buatkan selalu diterima baik oleh Reiner."Terus? Kamu jawab apa?""Ya ... kujawab baik-baik saja.""Kenapa kamu tidak j
Barulah saat itu Jasmine mencampakkan ponsel Reiner, lalu menoleh pada lelaki di sampingnya yang berada begitu dekat."Aku ... aku belum bisa memutuskannya sekarang. Bisa beri aku waktu untuk berpikir?" Jasmine meragu.Reiner mengangguk, tersenyum. "Oke. Tidak apa-apa. Kamu bisa pikir-pikir lebih dulu. Atau mau cari Psikiater lain juga boleh, nanti aku carikan untuk kamu," ujar Reiner pelan. Dia tidak ingin memaksa Jasmine."Bukan masalah siapa Psikiaternya, Reiner," jawab Jasmine lengkap dengan ketenangannya seperti biasa. "Tapi kesiapan dari diriku sendiri. Aku butuh waktu."Reiner kembali mengangguk. Dia baru akan berbicara, saat suara ketukan high heels menyapa indera pendengaran mereka dari arah belakang."Reiner ... aku sudah selesai. Pulang yuk!" Nadira menyembunyikan kekesalannya begitu melihat posisi Reiner dan Jasmine yang terlihat mesra. Seharusnya, dia yang ada di posisi Jasmine saat ini.Jasmine yang lebih dulu melepaskan diri d
"Foto ini akan jadi milikku." Reiner mengambil selembar kertas foto yang dipenuhi dengan gambar kemesraan mereka."Curang. Aku juga mau, Reiner." Jasmine berusaha mengambil foto tersebut, tetapi Reiner tidak mengizinkannya."Kalau begitu kita bisa memilikinya berdua.""Tidak bisa. Kita harus punya masing-masing. Jadi kalau kita berjauhan, kita bisa memegang sendiri-sendiri," protes Jasmine.Reiner yang sudah menyalakan mesin mobil pun seketika menoleh pada Jasmine. Raut wajahnya berubah menjadi serius. "Memangnya kenapa kita harus saling berjauhan, hm?""Ya ... kan bisa jadi suatu saat kamu ada perjalanan bisnis ke luar kota atau ke luar negeri. Kamu bawa foto itu, dan aku juga memegang di rumah."Jasmine tidak tahu kenapa dia harus membahas hal-hal kekanakkan seperti ini. Mulutnya tiba-tiba lancar melontarkan kalimat tersebut.Reiner tersenyum. Kemudian dia menyerahkan foto di tangannya pada Jasmine. "Kalau begitu bagi dua saja. Biar