Fajar merasa lelah lahir batin, lelah terus melarikan diri dari kenyataan hidup yang belum pernah memberinya rasa bahagia. Lelah dengan takdir yang bermain seenaknya. Dia bagaikan wayang yang tak berdaya yang selalu mengikuti kemana sang tuan menggerakkannya, tak bahagia, hampa dan kosong.
Dia tak berharap banyak dengan hidupnya, cukup memiliki hidup seperti orang orang yang berada diluar sana, punya orang tua yang penyayang, rumah sederhana tempatnya pulang dan seorang istri yang mampu membuatnya jatuh cinta.
Satupun tak ada yang menjadi miliknya, sang ayah yang dimiliki satu- satunya lebih memilih ikut pemikiran ibu tirinya. Dia yang malang terus saja berlari bagaikan gelandangan.
Sekarang dia terkurung di sebuah rumah yang terletak di perbatasan daerah. Kampung yang masih tradisional dan belum begitu tersentuh teknologi. Dia bahkan tidak punya keberanian untuk menolak semua ancaman yang berasal dari nona manja yang mengaku sebagai istrinya. Jika keluar
Satu jam berdebat tanpa ada pemenang di antara mereka. Raya tidak mau tidur di kamar, Fajar pun tidak mau mengalah dengan memberikan sofanya pada Raya. Sungguh, rumah ini tidak memiliki apa-apa yang bisa diandalkan. Kondisi rumah yang sudah tua, jangan berharap akan ada selimut hangat untuk dipakai saat tidur, atau malah kasur empuk yang membuat mata langsung terpejam karena nyaman.Jam satu malam, malam yang kian larut, tapi dua manusia itu masih belum terpejam, Fajar menjadikan jaket coklatnya sebagai selimut untuk dirinya sendiri. Dia terpaksa mengalah pada Raya saat wanita itu memaksa ingin tidur di atas sofa. Fajar akhirnya merelakan sofa itu walaupun tidak ikhlas.Fajar tidur di lantai yang berjarak sekitar dua meter dari sofa, Raya meringkuk menghangatkan dirinya sendiri, kakinya terasa gemetar menahan dingin. Tak ada kain yang layak untuk mereka gunakan sebagai selimut. Raya melirik Fajar yang bulu matanya masih bergerak menandakan laki-laki itu belum tidur, bu
Fajar membuka matanya berlahan saat dia merasakan sensasi dingin menyentuh kakinya yang terjuntai kelantai, sofa itu begitu kecil untuknya, ditambah lagi harus berbagi dengan Raya.Fajar bangkit hati-hati supaya Raya tidak terbangun, matanya terbelalak melihat air setinggi setengah meter sudah menggenang di lantai rumah. Ternyata hujan yang tidak berhenti dari magrib itu membawa dampak banjir secepat ini.Fajar melirik jam tangannya, pukul empat pagi, dia menyentuh bahu Raya yang tertidur nyenyak menghadap kesandaran sofa."Raya.""Engghh.""Raya, bangun!""Engghh," jawabnya. Fajar tak punya pilihan selain mengangkat tubuh dengan mata terpejam milik Raya."Banjir, Raya! kita harus pergi menyelamatkan diri, airnya semakin naik." Fajar bersuara agak keras. Raya masih berusaha mengumpulkan nyawanya."Bajuku kenapa basah?" Raya mengusap punggungnya."Ya elah, banjir! banjir! gimana sih? Kamu biar sadar atau gak s
Fajar mendorong bahu Raya menjauh, apa yang terjadi barusan sangat disesalinya. Mata bulat gadis itu terlihat sendu dan kecewa. Rambut basah yang berantakan milik Raya menutup sebelah matanya."Jangan menggodaku! aku ini adalah laki-laki, " ketus Fajar, mata itu kembali menatap Raya dingin seperti semula.Ucapan itu membuat Raya tersinggung dan terhina, apakah dia yang menggoda laki-laki itu? dia hanya menengadahkan wajah dan Fajar yang lebih dulu memulainya.Raya mengumpulkan rambutnya, menyampirkan di sisi kanan bahu, air mata bercampur dengan hujan menetes di pipinya. Sungguh ... sangat menyedihkan rasanya saat tertolak. Jika waktu bisa diputar, dia juga tak ingin itu terjadi."Aku akan mengantarmu kembali ke rumahmu, aku tak bisa terus-terusan menjagamu," ucap Fajar datar.Raya diam mengatupkan bibirnya, matanya lebih memilih melihat air banjir yang menggenang di bawah sana dibanding melihat wajah Fajar."Aku tidak mau," jawabnya.
Hujan semakin lebat dan yang membuat sungai semakin meluap dan membawa batu- batu besar yang menghantam apa saja yang menghalanginya. Bunyi petir melengkapi suasana pagi yang mencekam.Fajar memejamkan matanya lelah. Membenamkan kepalanya di sisi bahu Raya. Tubuh sedingin mayat itu mulai berangsur hangat setelah proses perpindahan suhu yang dilakukan Fajar.Tak sedikitpun Fajar membiarkan fikirannya berbelok terhadap kesempurnaan ragawi yang indah milik Raya. Dia takkan mengambil kesempatan apa pun dalam hal ini. Dia memang murni menolong, tak ada yang akan membantah kecantikan wanita itu. Termasuk dirinya. Tapi dia adalah laki-laki terhormat yang takkan melakukan sentuhan berlebihan terhadap wanita yang bukan benar-benar istrinya.Fajar merasa matanya memberat, tubuh lelah itu butuh ustirahat setelah berjuang mempertahankan lebih dari satu nyawa yang ada saat ini. Fajar memasrahkan dirinya, tertidur pulas sambil mengungkung Raya.Tanpa sepengetahuan Faja
Di sini mereka sekarang, di sebuah tenda pengungsian bersama para korban lainnya. Tenda dibangun cukup banyak, berdiri disebuah bukit yang memiliki dataran cukup luas dan aman dari kemungkinanan banjir susulan.Dari tadi Fajar asik bercerita dengan warga lainnya, meninggalkan Raya yang lebih memilih bergelung dengan selimut di dalam tenda. Dia merasa tidak enak badan, berjam-jam diguyur hujan dan terserang hyportermia membuat tubuhnya belum pulih.Fajar begitu antusias dengan beberapa orang laki-laki dewasa di sekelilingnya. Entah berapa lama, Raya tidak begitu peduli.Mata Raya terbuka saat indra penciumannya menangkap aroma sedap yang membuat perutnya berontak minta diisi. Fajar, masuk ke dalam tenda membawa mangkok yang berisi mie instan yang masih mengepulkan asap.Dia menyodorkan mie itu kepada Raya, kemudian asik dengan mangkoknya sendiri."Kau asik sekali dengan obrolanmu," tegur Raya, setelah berhasil di evakuasi tadi, belum sepatah k
Pagi menjelang siang, siang menuju sore dan sore merangkak malam. Malam ini tidak turun hujan lebat, namun, gerimis cukup membuat semua pengungsi lebih memilih masuk selimut di dalam tenda.Di tenda Fajar sendiri, dihuni oleh beberapa orang. Sekitar dua kepala keluarga. Ibu-ibu yang tidak tau siapa namanya, asik mengayunkan bayinya yang rewel. Sementara dua anaknya yang lain sudah tertidur lelap. Satu lagi ibu muda yang sedang hamil tua yang masih bercengkrama dengan suaminya. Memakai bahasa daerah yang tidak dimengerti oleh Raya.Raya berada agak jauh dari dua wanita yang asik dengan anggota keluarga masing-masing. Pada hari ini, para pengungsi mendapatkan baju bekas dan selimut. Raya mendapatkan dua baju bekas, kedua duanya daster batik tak berlengan sepanjang lutut.Raya sudah berusaha memejamkan matanya. Namun, tangis bayi itu sangat berisik dan membuatnya tidak bisa tidur. Raya menjadi cemas, apakah memiliki anak begitu merepotkan, dia tidak punya pen
Raya memandang nanar punggung Fajar yang begitu betah membelakanginya. Ada rasa nyeri di dadanya saat laki-laki itu tak sedikit pun memberinya ruang untuk mendekatinya. Raya tidak bisa menampik lagi, hatinya tanpa sadar sudah tertawan dengan pria dingin itu. Entah sejak kapan, yang pasti ada letupan kecil di dadanya setiap mereka bertemu pandang.Raya duduk beringsut mendekati Fajar. Menyandarkan kepalanya kebahu pria itu. Gerimis tengah malam yang menyapu atap tenda menjadi irama tersendiri bagi hatinya yang sendu.Raya yakin, Fajar belum tidur. Namun laki-laki itu lebih memilih diam dari pada berbicara dengan Raya. Dia begitu tak terjamah, terlalu sulit untuk ditaklukkan.Raya berdehem membersihkan sumbatan di kerongkongannya. Mencoba meresapi kedekatan ini tanpa ada penolakan dari Fajar. Dengan penuh tekad Raya menelusupkan tangannya melingkar ke perut laki-laki itu. Aroma pinus menguar begitu kuat, membuat jantungnya semakin meletup kuat."Ini tidak b
Fajar menata nafasnya, jalur pertama sudah dilewatinya, namun dia tidak menemukan Raya. Akhirnya Fajar mendaki kembali menuju jalur kedua, krasak krusuknya menganggu salah seorang laki-laki yang tengah menghangatkan tubuh di api unggun. Laki-laki berusia pertengahan tiga puluh itu mendekati Fajar."Ada apa, Dik?""Istri saya kabur, bang. Jalan yang ini sudah saya telusuri, tapi saya belum menemukannya," seru Fajar panik."Tunggu di sini! Saya akan kerahkan orang untuk membantu," kata laki -laki itu. Dia mematikan api rokoknya dan membuang ketanah, memanggil beberapa laki-laki dewasa lainnya yang sedang main kartu di dalam tenda.Tidak menunggu lama, beberapa laki -laki dewasa lainnya datang dengan lampu senter. Berembuk sebentar lalu Mereka langsung bergerak ke jalan yang belum ditempuh Fajar.Fajar cukup senang dengan pertolongan itu. Jika bergerak bersama, maka menemukan Raya akan semakin mudah. Dia pun tak perlu kawatir akan tersesat.Jal