Fajar mendengar penjabaran pak Sultan, seorang kepala adat yang sangat dihormati dan disegani di desa ini. Orangnya sangat bijak dan arif, dialah orang yang pertama kali dijumpai oleh Fajar untuk melaporkan jika dia mulai menjadi warga di desa ini.
Tujuan Fajar menemui pak Sultan, adalah sebagai tempat bertukar cerita berkaitan dengan kelanjutan hidupnya kedepan. Di sini ijazahnya tidak laku, semua warga secara umum berladang kopi dan berkebun, mereka hidup sederhana tanpa kemajuan yang berarti.
Adat istiadat masih dipegang teguh di sini. Segala permasalahan akan dirembukkan oleh beberapa tokoh masayarakat dan diputuskan oleh kepala adat yaitu pak Sultan sendiri.
"Anak muda, kau terlalu tampan untuk menjadi warga di sini, apa kau yakin akan menjadi pekerja kasar sementara kau punya peluang menjadi lebih baik diluar sana?"
Fajar mengangguk sejenak. "Saya sudah yakin pak, bekerja apapun asalkan mendapatkan uang."
Dia butuh makan dan beras tidak dibeli dengan daun."Sebenarnya ada pekerjaan yang lebih cepat mendapatkan uang, namun saya yakin nak Fajar tidak akan mampu melakukannya."
"Apa itu pak? Saya tidak keberatan asal menjanjikan." Fajar bersemangat.
"Desa kita ini berada di sepanjang aliran sungai besar, sumber daya alam cukup banyak, batu alam, pasir dan tanaman rempah, dari kota banyak para pemilik toko bahan bangunan yang mencari pasir disini untuk dijual. Penambang di sini masih sedikit karena jumlah warga laki-laki dewasa tidak seberapa, anak muda-muda lebih memilih untuk merantau."
"Saya mau pak, jika menambang pasir lebih cepat mendapatkan uang."
Fajar begitu bersemangat. Pak Sultan mengangguk maklum, sambil berfikir apa yang membuat pemuda kota ini lebih memilih menetap di sini dan hidup susah padahal orang di sini lebih banyak merantau ke kota.*****
Fajar membuka pintu rumah. Dia amat lelah, setelah perbincangan dengan pak Sultan dia langsung ke lokasi penambangan dan berkenalan dengan beberapa orang penambang lainnya, yang rata-rata adalah pria yang sudah berumur dan penduduk asli setempat.Hari ini dia mendapatkan seratus ribu setelah mengumpulkan pasir setengah truk. Fajar mengelus telapak tangannya yang lecet, beberapa buku -buku jarinya terluka karena memaksakan tenaga di awal bekerja.
Fajar mengusap keringat yang membasahi wajahnya, membuka jendela lebar-lebar. Dia membiarkan angin sore masuk membelai wajahnya. Dari awal dia memahami bahwa hidup sangat keras, tidak bekerja ya tidak makan.
Pintu kamar Raya berderit berisik, Fajar mendecih melihat wajah kusut Raya yang baru bangkit dari tidurnya. Apakah tidak ada lagi pekerjaan yang dilakukannya selain tidur dan malas malasan. Setidaknya Raya membantu memasak air untuk minum.
"Dari mana saja?" Tanyanya dingin
"Apa pedulimu?" ketus Fajar. Raya memutar matanya, duduk disofa lusuh disebelah Fajar, laki-laki itu memang dingin dan tak pernah tersenyum.
"Aku istrimu." Raya menghela nafas, sengaja memancing emosi Fajar.
"Aku tidak pernah menganggapmu istriku."
"Terserah padamu!" Raya menyandarkan kepalanya dan ikut menikmati angin sore yang sejuk.
"Aku mulai bekerja, kita bisa mati kelaparan disini." Fajar berkata tenang, matanya memandang matahari yang mulai meredup dan akan tenggelam.
"Pekerjaan apa?"
"Menambang pasir, tapi sebelumnya kita harus buat kesepakatan."
Raya menautkan alisnya. " Kesepakatan seperti apa?"
"Kita jalani peran seperti pasangan istri sebenarnya," jawab Fajar. Raya langsung menjauh dan menyilangkan tangannya di depan dada.
Fajar mengejeknya. "Kau pikir aku tertarik denganmu? aku menyukai barang original."
Wajah Raya berubah merah antara tersinggung, sedih dan malu.
"Maksudku bukan begitu, mulai sekarang aku akan bertugas mencari nafkah seratus persen, dan kau kerjakan apa yang biasa dilakukan seorang istri, memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengangkat air untuk diminum."
"Kenapa tugasku banyak sekali? Tugasmu hanya satu."
Fajar berubah kesal. "Atau, aku kerjakan semuanya, dan kau yang mencari uang."
Raya mendelik dengan saran Fajar, " Aku tidak mungkin menambang pasir. "
"Lalu apa pilihanmu? aku bukan ayahmu, bukan pembantumu, jika kau tak mau itu terserahmu, aku tidak akan membagi uangku secara gratis."
"Aku tidak bisa memasak," jawab Raya.
"Kau kan bisa belajar, di sini tidak ada pembantu yang akan melayanimu."
"Mencuci kesungai terlalu jauh," katanya lagi.
"Kalau begitu angkat air sendiri supaya kau bisa mencuci di rumah."
"Tidak mungkin aku melakukannya."
Cicit Raya.Fajar berubah kesal, dia menarik tangan Raya mendekat, menusuk mata bening Raya dengan tatapan peringatan.
"Lalu apa yang bisa kau lakukan, ha? selain berzina dan hamil?"
Plak! sekali lagi tamparan melayang di wajah Fajar, Raya menatapnya nyalang, air mata kembali mengalir deras, Raya menangis tanpa suara.
"Cukup semua penghinaanmu! kau tak punya hati, laki-laki egois, kenapa kau sebenci ini padaku?"
"Tanyakan pada ayahmu! apa yang dilakukannya dimasa lalu padaku." Suara Fajar semakin naik dan meninggi.
"Aku tidak paham dengan apa yang kau katakan."
"Belum saatnya kau mengetahuinya, jangan berharap aku menyukaimu, secepatnya kita akan berpisah, se-ce -pat-nya." Fajar mengeja setiap suku kata didepan wajah Raya yang menegang.
"Itu urusanmu." Raya menjawab.
Fajar mengelus dadanya menahan marah.
"Aku lelah, lapar, dan tak memiliki energi untuk bertengkar saat ini, bahkan kau tidak memasak sedikit air untuk diminum, kau bisa menilai sendiri apa kau memang berguna atau tidak."
Fajar memakai kembali bajunya, berniat keluar rumah mencari sesuatu yang bisa dimakan. Setelah tikungan yang tidak jauh dari rumahnya, ada sebuah kedai kecil yang menjual kebutuhan pokok, dia akan memasak sendiri dan takkan mengharapkan gadis manja itu melakukannya.
"Kau mau kemana?"
"Beli beras."
"Aku ikut." Raya tidak menunggu persetujuan Fajar, dia berjalan mengikuti Fajar, dia bosan seharian di rumah, setidaknya dia bisa mengirup udara segar.
"Hei tunggu aku! " teriak Raya saat melihat Fajar berjalan semakin cepat.
"Kau berjalan seperti siput."
Raya tidak menghiraukan ejekan Fajar, dia menikmati kebun kopi yang berada di kiri dan kanan jalan. Melirik Fajar sekilas, rambutnya berantakan ditiup angin. Wanita mana yang akan menyukai laki-laki sedingin itu yang tak terlihat tertarik pada perempuan.
Fajar merasa lelah lahir batin, lelah terus melarikan diri dari kenyataan hidup yang belum pernah memberinya rasa bahagia. Lelah dengan takdir yang bermain seenaknya. Dia bagaikan wayang yang tak berdaya yang selalu mengikuti kemana sang tuan menggerakkannya, tak bahagia, hampa dan kosong.Dia tak berharap banyak dengan hidupnya, cukup memiliki hidup seperti orang orang yang berada diluar sana, punya orang tua yang penyayang, rumah sederhana tempatnya pulang dan seorang istri yang mampu membuatnya jatuh cinta.Satupun tak ada yang menjadi miliknya, sang ayah yang dimiliki satu- satunya lebih memilih ikut pemikiran ibu tirinya. Dia yang malang terus saja berlari bagaikan gelandangan.Sekarang dia terkurung di sebuah rumah yang terletak di perbatasan daerah. Kampung yang masih tradisional dan belum begitu tersentuh teknologi. Dia bahkan tidak punya keberanian untuk menolak semua ancaman yang berasal dari nona manja yang mengaku sebagai istrinya. Jika keluar
Satu jam berdebat tanpa ada pemenang di antara mereka. Raya tidak mau tidur di kamar, Fajar pun tidak mau mengalah dengan memberikan sofanya pada Raya. Sungguh, rumah ini tidak memiliki apa-apa yang bisa diandalkan. Kondisi rumah yang sudah tua, jangan berharap akan ada selimut hangat untuk dipakai saat tidur, atau malah kasur empuk yang membuat mata langsung terpejam karena nyaman.Jam satu malam, malam yang kian larut, tapi dua manusia itu masih belum terpejam, Fajar menjadikan jaket coklatnya sebagai selimut untuk dirinya sendiri. Dia terpaksa mengalah pada Raya saat wanita itu memaksa ingin tidur di atas sofa. Fajar akhirnya merelakan sofa itu walaupun tidak ikhlas.Fajar tidur di lantai yang berjarak sekitar dua meter dari sofa, Raya meringkuk menghangatkan dirinya sendiri, kakinya terasa gemetar menahan dingin. Tak ada kain yang layak untuk mereka gunakan sebagai selimut. Raya melirik Fajar yang bulu matanya masih bergerak menandakan laki-laki itu belum tidur, bu
Fajar membuka matanya berlahan saat dia merasakan sensasi dingin menyentuh kakinya yang terjuntai kelantai, sofa itu begitu kecil untuknya, ditambah lagi harus berbagi dengan Raya.Fajar bangkit hati-hati supaya Raya tidak terbangun, matanya terbelalak melihat air setinggi setengah meter sudah menggenang di lantai rumah. Ternyata hujan yang tidak berhenti dari magrib itu membawa dampak banjir secepat ini.Fajar melirik jam tangannya, pukul empat pagi, dia menyentuh bahu Raya yang tertidur nyenyak menghadap kesandaran sofa."Raya.""Engghh.""Raya, bangun!""Engghh," jawabnya. Fajar tak punya pilihan selain mengangkat tubuh dengan mata terpejam milik Raya."Banjir, Raya! kita harus pergi menyelamatkan diri, airnya semakin naik." Fajar bersuara agak keras. Raya masih berusaha mengumpulkan nyawanya."Bajuku kenapa basah?" Raya mengusap punggungnya."Ya elah, banjir! banjir! gimana sih? Kamu biar sadar atau gak s
Fajar mendorong bahu Raya menjauh, apa yang terjadi barusan sangat disesalinya. Mata bulat gadis itu terlihat sendu dan kecewa. Rambut basah yang berantakan milik Raya menutup sebelah matanya."Jangan menggodaku! aku ini adalah laki-laki, " ketus Fajar, mata itu kembali menatap Raya dingin seperti semula.Ucapan itu membuat Raya tersinggung dan terhina, apakah dia yang menggoda laki-laki itu? dia hanya menengadahkan wajah dan Fajar yang lebih dulu memulainya.Raya mengumpulkan rambutnya, menyampirkan di sisi kanan bahu, air mata bercampur dengan hujan menetes di pipinya. Sungguh ... sangat menyedihkan rasanya saat tertolak. Jika waktu bisa diputar, dia juga tak ingin itu terjadi."Aku akan mengantarmu kembali ke rumahmu, aku tak bisa terus-terusan menjagamu," ucap Fajar datar.Raya diam mengatupkan bibirnya, matanya lebih memilih melihat air banjir yang menggenang di bawah sana dibanding melihat wajah Fajar."Aku tidak mau," jawabnya.
Hujan semakin lebat dan yang membuat sungai semakin meluap dan membawa batu- batu besar yang menghantam apa saja yang menghalanginya. Bunyi petir melengkapi suasana pagi yang mencekam.Fajar memejamkan matanya lelah. Membenamkan kepalanya di sisi bahu Raya. Tubuh sedingin mayat itu mulai berangsur hangat setelah proses perpindahan suhu yang dilakukan Fajar.Tak sedikitpun Fajar membiarkan fikirannya berbelok terhadap kesempurnaan ragawi yang indah milik Raya. Dia takkan mengambil kesempatan apa pun dalam hal ini. Dia memang murni menolong, tak ada yang akan membantah kecantikan wanita itu. Termasuk dirinya. Tapi dia adalah laki-laki terhormat yang takkan melakukan sentuhan berlebihan terhadap wanita yang bukan benar-benar istrinya.Fajar merasa matanya memberat, tubuh lelah itu butuh ustirahat setelah berjuang mempertahankan lebih dari satu nyawa yang ada saat ini. Fajar memasrahkan dirinya, tertidur pulas sambil mengungkung Raya.Tanpa sepengetahuan Faja
Di sini mereka sekarang, di sebuah tenda pengungsian bersama para korban lainnya. Tenda dibangun cukup banyak, berdiri disebuah bukit yang memiliki dataran cukup luas dan aman dari kemungkinanan banjir susulan.Dari tadi Fajar asik bercerita dengan warga lainnya, meninggalkan Raya yang lebih memilih bergelung dengan selimut di dalam tenda. Dia merasa tidak enak badan, berjam-jam diguyur hujan dan terserang hyportermia membuat tubuhnya belum pulih.Fajar begitu antusias dengan beberapa orang laki-laki dewasa di sekelilingnya. Entah berapa lama, Raya tidak begitu peduli.Mata Raya terbuka saat indra penciumannya menangkap aroma sedap yang membuat perutnya berontak minta diisi. Fajar, masuk ke dalam tenda membawa mangkok yang berisi mie instan yang masih mengepulkan asap.Dia menyodorkan mie itu kepada Raya, kemudian asik dengan mangkoknya sendiri."Kau asik sekali dengan obrolanmu," tegur Raya, setelah berhasil di evakuasi tadi, belum sepatah k
Pagi menjelang siang, siang menuju sore dan sore merangkak malam. Malam ini tidak turun hujan lebat, namun, gerimis cukup membuat semua pengungsi lebih memilih masuk selimut di dalam tenda.Di tenda Fajar sendiri, dihuni oleh beberapa orang. Sekitar dua kepala keluarga. Ibu-ibu yang tidak tau siapa namanya, asik mengayunkan bayinya yang rewel. Sementara dua anaknya yang lain sudah tertidur lelap. Satu lagi ibu muda yang sedang hamil tua yang masih bercengkrama dengan suaminya. Memakai bahasa daerah yang tidak dimengerti oleh Raya.Raya berada agak jauh dari dua wanita yang asik dengan anggota keluarga masing-masing. Pada hari ini, para pengungsi mendapatkan baju bekas dan selimut. Raya mendapatkan dua baju bekas, kedua duanya daster batik tak berlengan sepanjang lutut.Raya sudah berusaha memejamkan matanya. Namun, tangis bayi itu sangat berisik dan membuatnya tidak bisa tidur. Raya menjadi cemas, apakah memiliki anak begitu merepotkan, dia tidak punya pen
Raya memandang nanar punggung Fajar yang begitu betah membelakanginya. Ada rasa nyeri di dadanya saat laki-laki itu tak sedikit pun memberinya ruang untuk mendekatinya. Raya tidak bisa menampik lagi, hatinya tanpa sadar sudah tertawan dengan pria dingin itu. Entah sejak kapan, yang pasti ada letupan kecil di dadanya setiap mereka bertemu pandang.Raya duduk beringsut mendekati Fajar. Menyandarkan kepalanya kebahu pria itu. Gerimis tengah malam yang menyapu atap tenda menjadi irama tersendiri bagi hatinya yang sendu.Raya yakin, Fajar belum tidur. Namun laki-laki itu lebih memilih diam dari pada berbicara dengan Raya. Dia begitu tak terjamah, terlalu sulit untuk ditaklukkan.Raya berdehem membersihkan sumbatan di kerongkongannya. Mencoba meresapi kedekatan ini tanpa ada penolakan dari Fajar. Dengan penuh tekad Raya menelusupkan tangannya melingkar ke perut laki-laki itu. Aroma pinus menguar begitu kuat, membuat jantungnya semakin meletup kuat."Ini tidak b