Dua manusia yang sama-sama tak bahagia dan menderita setelah kata 'sah' digaungkan beberapa jam yang lalu, dua manusia yang dipaksa untuk bersama bahkan tidak peduli dengan hati berlumur benci yang menyelimuti mereka selama ini.
Acara sakral tapi palsu itu sudah terjadi tiga jam yang lalu, tanpa syukuran atau pun resepsi.
Seorang laki-laki tampan berwajah datar dan dingin memandang tajam wanita di sudut kamar, dia sudah muak dengan sikap manja dan
berlebihan gadis itu.
"Berhentilah menangis! seolah-olah kau adalah korban," bentaknya, pria dingin yang baru menyandang status sebagai seorang suami.
Wanita yang masih memakai gaun pengantin itu terus saja menutup wajahnya, suara isakan pilu belum juga hilang bahkan sudah satu jam lamanya, dia belum mau menerima kenyataan ini, kenyataan sudah menjadi istri pria yang sangat dibencinya.
laki-laki itu bernama Fajar, memukul meja di depannya. Kamar hotel ini bagaikan penjara dan neraka yang sangat menyiksanya, dia selalu tidak bahagia dan tidak bisa memilih.
"Kau gadis manja, aku tak mencintaimu, jangan kau kira aku menginginkan dirimu, aku bahkan belum siap untuk menikah, tapi ayahmu menyeretku dengan paksa dan mengancam kedua orang tuaku, aku membencimu," jerit Fajar.
Wanita yang menangis itu melepaskan tangan dari wajahnya, wajah kacau yang make up tebalnya sudah luntur karena air mata, matanya memancarkan kebencian yang amat besar.
"Pergi! pergi saja kau ke neraka!" Wanita itu melempar apa saja kepada pria itu. Dia benar-benar benci sebenci-bencinya, sampai rasa benci itu mengalir di dalam darahnya.
"Kau wanita gila," jawab Fajar kemudian membanting pintu kamar hotel. Pergi sesuai keinginan gadis tersebut.
Raya, wanita itu bernama Raya, anak pengusaha kaya yang tidak terhitung kekayaannya, gadis manja yang selalu dikawal kemana pergi. Dia sempurna sampai akhirnya menjadi tidak berharga, dia hamil, bukan anak Fajar, tapi anak orang lain yang memiliki status sebagai kekasihnya, yang begitu tega memperkosanya dan kemudian melarikan diri.
Fajar dulu satu kampus dengannya, satu kelas sampai mereka tamat, mereka saling bermusuhan dari dulu. Dia laki-laki kasar dan arogan, suka membully, termasuk membully Raya yang dianggap gadis angkuh dan sombong. Raya sendiri tidak tau kenapa Fajar dari dulu tidak menyukainya.
Pernikahan ini sudah terjadi, atas paksaan dan kekuasaan ayahnya yang menekan ayah Fajar yang memiliki banyak hutang. Pernikahan sementara sebagai penutup malu, ayahnya Raya tidak peduli apakah pernikahan ini sah atau tidak, yang dia pedulikan adalah nama baiknya, nama baik anak gadisnya, serta citra di masyarakat.
Fajar bahkan diseret ke depan pengulu yang tidak mengetahui bahwa mempelai wanita tengah hamil. Kebenaran itu ditutup rapat -rapat oleh ayahnya, Fajar diseret dalam keadaan babak belur karena dia dihajar setelah gagal melarikan diri.
Raya rasanya ingin mati saja, dia tidak menginginkan bayi ini, dia juga membenci kekasihnya yang kabur seenaknya setelah dia minta pertanggung jawaban atas kehamilannya.
Raya begitu mengutuk malam itu, malam dimana dia dijebak oleh kekasihnya melalui Fajar. Fajar biang semua itu, dia yang memaksa Raya meminum alkohol demi upah yang tak seberapa yang dijanjikan Marsel, laki-laki yang memperkosanya.
Raya mengutuk malam di mana jeritannya tidak dihiraukan, Marsel begitu tega memperkosanya, meninggalkam janin yang sangat dibencinya, dia membenci dua pria itu.
Raya membuka sanggulnya dengan paksa, membanting apa saja di depannya untuk melampiaskan kemarahannya selama ini. Dia ingin mati, sungguh dia ingin mati saja.
*****
Fajar menghisap rokoknya dalam, melepaskan asap yang mengandung nikotin itu ke udara. Begitu tak berharganya menjadi orang biasa, begitu lemahnya menjadi orang yang tak berguna. Itukah alasan ibunya dulu berselingkuh lari dengan pria kaya dan meninggalkan ayahnya yang sedang sekarat dan dia yang kelaparan?
Beberapa tahun kemudian ayahnya menikah lagi, dia memiliki ibu tiri yang kasar dan terbiasa memukulnya dengan tangkai sapu. Sekarang dia tidak bisa memilih untuk hidupnya sendiri, Raya Mahendra, bahkan sangat dibencinya. Sekarang dia dipungut bagaikan sampah dan dijadikan penutup malu untuk wanita itu.
"Heh, ngapain di sini? Pulang, gih! angetin istri."
"Lo bosan hidup?" jawab Fajar pada pria di sampingnya dengan pelototan. Sahabatnya yang bernama Erik tertawa terpingkal-pingkal.
"Lo udah nyoba belum?"
"Apaan?"
"Bini lo lah, apa lagi, masak Emak gue."
"Nggak tertarik," jawab Fajar datar.
"Body bahenol lo anggurin, payah lo," kata Erik, sekarang mereka berada di kossan Erik, tempat mangkal Fajar seperti biasa.
"Terserah lo, bodo amat."
"Lama-lama lo jadi gak fungsi sebagai laki-laki, dah setua ini masih perjaka." Erik masih tertawa. Wajah masam Fajar tidak dihiraukannya.
"Kapan lo pulang kerumah bini lo? Lama-lama di sini gue bisa bangkrut gara-gara elo."
"Ish! nggak iklas banget lo, nanti kalau gue kaya, gue ganti semuanya," jawab Fajar.
"Huuu! kapan ? Keburu kiamat nunggu Lo kaya," cibir Erik.
"Lo perhitungan benget sih."
"Iyalah, secara juga kita ini masih sarjana pengangguran."
"Ya udah, gue cabut dulu." Fajar mengambil helm-nya, menyalakan motor besarnya.
"Lo tersinggung? Gue cuma bercanda kali, semenjak nikah lo sensitif amat," kata Erik, namun tidak dihiraukan Fajar, dia membawa motornya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan ibu kota.
Dia tidak memiliki tujuan saat ini, dia tidak punya rumah, yang dia punya hanya lengan besar yang mampu mengangkat beban berat dan kenekatan tidur dimanapun dia suka.
Sudah seminggu dia meninggalkan Raya, tepat dimalam pengantin mereka. Fajar berhenti di sebuah taman kosong dan berniat merebahkan diri sejenak namun tiba tiba saja pukulan keras didapatkannya di wajahnya, Fajar meludahkan darah dari mulutnya, menatap benci bodyguard mertuanya.
"Seret dia! kurung dia di rumah dengan Raya!" perintah tua bangka itu, Fajar tidak memiliki kekuatan untuk melawan dua orang yang memiliki kekuatan melebihi banteng itu. Akhirnya, dia tertangkap juga.
Dua manusia yang sama-sama tak bahagia dan menderita setelah kata 'sah' digaungkan beberapa jam yang lalu, dua manusia yang dipaksa untuk bersama bahkan tidak peduli dengan hati berlumur benci yang menyelimuti mereka selama ini.
Acara sakral tapi palsu itu sudah terjadi tiga jam yang lalu, tanpa syukuran atau pun resepsi.
Seorang laki-laki tampan berwajah datar dan dingin memandang tajam wanita di sudut kamar, dia sudah muak dengan sikap manja dan
berlebihan gadis itu."Berhentilah menangis! seolah-olah kau adalah korban," bentaknya, pria dingin yang baru menyandang status sebagai seorang suami.
Wanita yang masih memakai gaun pengantin itu terus saja menutup wajahnya, suara isakan pilu belum juga hilang bahkan sudah satu jam lamanya, dia belum mau menerima kenyataan ini, kenyataan sudah menjadi istri pria yang sangat dibencinya.
laki-laki itu bernama Fajar, memukul meja di depannya. Kamar hotel ini bagaikan penjara dan neraka yang sangat menyiksanya, dia selalu tidak bahagia dan tidak bisa memilih.
"Kau gadis manja, aku tak mencintaimu, jangan kau kira aku menginginkan dirimu, aku bahkan belum siap untuk menikah, tapi ayahmu menyeretku dengan paksa dan mengancam kedua orang tuaku, aku membencimu," jerit Fajar.
Wanita yang menangis itu melepaskan tangan dari wajahnya, wajah kacau yang make-up tebalnya sudah luntur karena air mata, matanya memancarkan kebencian yang amat besar.
"Pergi! pergi saja kau ke neraka!" Wanita itu melempar apa saja kepada pria itu. Dia benar-benar benci sebenci-bencinya, sampai rasa benci itu mengalir di dalam darahnya.
"Kau wanita gila," jawab Fajar kemudian membanting pintu kamar hotel. Pergi sesuai keinginan gadis tersebut.
Raya, wanita itu bernama Raya, anak pengusaha kaya yang tidak terhitung kekayaannya, gadis manja yang selalu dikawal kemana pergi. Dia sempurna sampai akhirnya menjadi tidak berharga, dia hamil, bukan anak Fajar, tapi anak orang lain yang memiliki status sebagai kekasihnya, yang begitu tega memperkosanya dan kemudian melarikan diri.
Fajar dulu satu kampus dengannya, satu kelas sampai mereka tamat, mereka saling bermusuhan dari dulu. Dia laki-laki kasar dan arogan, suka membully, termasuk membully Raya yang dianggap gadis angkuh dan sombong. Raya sendiri tidak tau kenapa Fajar dari dulu tidak menyukainya.
Pernikahan ini sudah terjadi, atas paksaan dan kekuasaan ayahnya yang menekan ayah Fajar yang memiliki banyak hutang. Pernikahan sementara sebagai penutup malu, ayahnya Raya tidak peduli apakah pernikahan ini sah atau tidak, yang dia pedulikan adalah nama baiknya, nama baik anak gadisnya, serta citra di masyarakat.
Fajar bahkan diseret ke depan pengulu yang tidak mengetahui bahwa mempelai wanita tengah hamil. Kebenaran itu ditutup rapat -rapat oleh ayahnya, Fajar diseret dalam keadaan babak belur karena dia dihajar setelah gagal melarikan diri.
Raya rasanya ingin mati saja, dia tidak menginginkan bayi ini, dia juga membenci kekasihnya yang kabur seenaknya setelah dia minta pertanggung jawaban atas kehamilannya.
Raya begitu mengutuk malam itu, malam dimana dia dijebak oleh kekasihnya melalui Fajar. Fajar biang semua itu, dia yang memaksa Raya meminum alkohol demi upah yang tak seberapa yang dijanjikan Marsel, laki-laki yang memperkosanya.
Raya mengutuk malam dimana jeritannya tidak dihiraukan, Marsel begitu tega memperkosanya, meninggalkam janin yang sangat dibencinya, dia membenci dua pria itu.
Raya membuka sanggulnya dengan paksa, membanting apa saja di depannya untuk melampiaskan kemarahannya selama ini. Dia ingin mati, sungguh dia ingin mati saja.
*****
Fajar menghisap rokoknya dalam, melepaskan asap yang mengandung nikotin itu ke udara. Begitu tak berharganya menjadi orang biasa, begitu lemahnya menjadi orang yang tak berguna. Itukah alasan ibunya dulu berselingkuh lari dengan pria kaya dan meninggalkan ayahnya yang sedang sekarat dan dia yang kelaparan?
Beberapa tahun kemudian ayahnya menikah lagi, dia memiliki ibu tiri yang kasar dan terbiasa memukulnya dengan tangkai sapu. Sekarang dia tidak bisa memilih untuk hidupnya sendiri, Raya Mahendra, bahkan sangat dibencinya. Sekarang dia dipungut bagaikan sampah dan dijadikan penutup malu untuk wanita itu.
"Heh, ngapain di sini? Pulang, gih! angetin istri."
"Lo bosan hidup?" jawab Fajar pada pria di sampingnya dengan pelototan. Sahabatnya yang bernama Erik tertawa terpingkal-pingkal.
"Lo udah nyoba belum?"
"Apaan?"
"Bini lo lah, apa lagi, masak Emak gue."
"Nggak tertarik," jawab Fajar datar.
"Body bahenol lo anggurin, payah lo," kata Erik, sekarang mereka berada di kossan Erik, tempat mangkal Fajar seperti biasa.
"Terserah lo, bodo amat."
"Lama-lama lo jadi gak fungsi sebagai laki-laki, dah setua ini masih perjaka." Erik masih tertawa. Wajah masam Fajar tidak dihiraukannya.
"Kapan lo pulang kerumah bini lo? Lama-lama di sini gue bisa bangkrut gara-gara elo."
"Ish! nggak iklas banget lo, nanti kalau gue kaya, gue ganti semuanya," jawab Fajar.
"Huuu! kapan ? Keburu kiamat nunggu Lo kaya," cibir Erik.
"Lo perhitungan benget sih."
"Iyalah, secara juga kita ini masih sarjana pengangguran."
"Ya udah, gue cabut dulu." Fajar mengambil helm-nya, menyalakan motor besarnya.
"Lo tersinggung? Gue cuma bercanda kali, semenjak nikah lo sensitif amat," kata Erik, namun tidak dihiraukan Fajar, dia membawa motornya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan ibu kota.
Dia tidak memiliki tujuan saat ini, dia tidak punya rumah, yang dia punya hanya lengan besar yang mampu mengangkat beban berat dan kenekatan tidur dimanapun dia suka.
Sudah seminggu dia meninggalkan Raya, tepat dimalam pengantin mereka. Fajar berhenti di sebuah taman kosong dan berniat merebahkan diri sejenak namun tiba tiba saja pukulan keras didapatkannya di wajahnya, Fajar meludahkan darah dari mulutnya, menatap benci bodyguard mertuanya.
"Seret dia! kurung dia di rumah dengan Raya!" perintah tua bangka itu, Fajar tidak memiliki kekuatan untuk melawan dua orang yang memiliki kekuatan melebihi banteng itu. Akhirnya, dia tertangkap juga.
Beberapa jam yang lalu, mereka berkumpul di sebuah restoran sederhana. Fajar, ibunya dan ayahnya. Dua manusia yang pernah menjadi suami istri itu sempat berbincang sekilas. Mereka memutuskan untuk berdamai dan meluruskan kesalah pahaman kepada Fajar setelah berdebat dengan sengit Beberapa menit.Ayahnya sempat menangis memeluk putra semata wayangnya saat Fajar sampai di restoran beberapa jam yang lalu. Meminta maaf telah menelantarkan Fajar kecil yang menderita di tinggal sang ibu. Dia tak menyangka, Fajar tumbuh menjadi pria yang gagah dan tampan. Fajar hanya diam walaupun dalam hatinya dia juga merindukan ayahnya itu.Semuanya terungkap, walaupun sempat ada pertengkaran kecil, pada akhirnya dua orang itu mengalah dan berdamai.Ayahnya terlihat lebih tua dari seharusnya, rambutnya memutih dengan kerut yang tak bisa di hitung jumlahnya. Dia terlihat miskin dan sakit-sakitan, tubuhnya kurus dan kering, belum lagi baju kemeja lusuh yang sudah memudar warnanya.Ternyata pernikahan kedua
Raya termangu di depan kolam renangnya. Mata cantiknya mengamati kilauan air yang tertempa sinar matahari sore. Ini sudah pukul enam sore, warna matahari sudah berubah hingga keperakan, namun setelah berjam-jam menunggu, suaminya belum pulang dan belum memberinya kabar.Raya mencelupkan kakinya ke dalam kolam. Tanpa Fajar, semuanya menjadi membosankan. Dia tidak tertarik melakukan apa pun jika Fajar tak ada di sisinya Baru saja Raya mengangkat sebelah kakinya ke permukaan, bahunya di sentuh lembut. Gadis itu berbalik dan mata kosongnya langsung berbinar bahagia. Namun, buka Raya namanya kalau tidak menuhankan gengsi."Kapan kau pulang? Aku tak mendengar suara mobilmu."Fajar duduk di samping Raya. Mengamati rambut panjang yang terurai berantakan itu."Baru saja. Kenapa? Merindukanku?"Raya mencibir, menyembunyikan rona pipinya. Dia tak mau mengakuinya, tapi otak dan tubuh tak bekerja sama. Dia malah menghambur ke pelukan suaminya itu. Fajar terkekeh senang sambil mengecup puncak kepa
Fajar memandang tak percaya. Wanita itu masih cantik seperti dulu, walaupun banyak kerutan yang menandakan ia sudah menua. Ibunya, masih tipe wanita yang memperhatikan penampilan. Dia cantik dengan blouse putih yang dipadukan dengan rok kembang bermotif bunga. Jika boleh Fajar berkata jujur. Dia sangat merindukan wanita didepannya. Rasanya dekapan hangat itu masih terasa di kulitnya saat ini. Bagaimana saat sang ibu mendendangkan lagu Jawa saat menidurkannya dulu. Elusan kasih sayang dan suara merdunya masih diingat Fajar dengan jelas.Pada dasarnya ibunya adalah wanita yang baik dan penyayang. Dia wanita yang sempurna. Kecantikan masa muda itu di wariskan ya ke wajah tampan Fajar. Dalam hatinya, dia ingin mengadu dan bertanya sebanyak mungkin, kemana ibunya selama ini? Apa yang dilakukannya di rumah usang dan tinggal sendirian tanpa pasangan hidup? Banyak sekali. Tapi Fajar memilih mengunci mulutnya sambil menunggu wanita itu berbicara lebih dulu."Minumlah! Teh mu sudah mulai ding
Jika ada manusia yang paling jahat di bumi ini, maka Raya lah orangnya. Bagaimana bisa wanita itu menghentikan permainan sebelah pihak saat nasib Fajar sudah di ujung tanduk. Raya dengan santai merapikan dirinya, saat Fajar masih kesusahan menata nafasnya yang terputus putus. Dia masih bersandar tak berdaya, memejamkan matanya menikmati sisa-sisa kenekatan seorang Raya. Tapi apa yang dilakukan wanita itu sekarang? Dia menjulurkan lidah nakalnya dan tersenyum mengejek."Aku tidak mau dipergoki lagi. Bagaimana pun kita masih dalam kawasan yang tak boleh berbuat mesum.""Bunuh saja aku, Raya! Kau jahat." Fajar merasa kepalanya pening. Bayangkan saja, saat hasratmu di atas awang-awang, kau malah di hempaskan ke bumi secara kasar. Rasanya lebih sakit dari pada mati."Ck ck ck ... kau selalu tak pernah puas.""Ya tuhan Raya, laki-laki mana yang akan bertahan dengan wanita seseksi dirimu, terlebih lagi dia sudah menjadi milikmu secara utuh. Oh Tuhan, aku butuh air dingin." Fajar mengusap wa
Bukan restoran mewah yang terbiasa dikunjungi Raya. Hanya warung kecil yang diberi dinding dengan spanduk bekas untuk menghalangi cahaya matahari pagi yang mulai menerobos masuk ke warung sarapan pagi itu. Raya memilih duduk di bangku paling pojok, yang agak jauh dari sesaknya para pelanggan yang menyantap sarapan dengan lahap. Bangku di pojok ini sepertinya di sengaja untuk mereka yang ingin memilih ketenangan. Langsung menghadap ke kolam ikan yang berisi ikan nila dan ikan gurami."Kamu mau makan apa?""Apa saja, yang penting enak." Raya melirik sekilas jejeran menu sarapan pagi yang di tata sedemikian rupa di atas etalase kaca. Banyak sekali pilihan sehingga Raya menjadi bingung sendiri. Dia tidak menyadari Fajar bangkit memesan kepada pemilik warung. Tak butuh waktu lama, dua piring nasi yang dilengkapi dengan telor dadar dan toping tempe yang di goreng garing bersama ikan asin.Raya mengamati sambil menikmati aroma khas yang membuat perutnya meronta minta di isi."Ini namanya na
Pagi yang cerah, matahari mulai merangkak perlahan mengintip dari celah dedaunan pepohonan yang tumbuh persis di samping jendela kamar rumah itu. Raya membuka jendela kecil tersebut menyambut udara segar yang menerpa wajahnya.Mereka sebenarnya sudah bangun setelah shalat subuh tadi. Raya berberes sejenak sedangkan Fajar kembali ke tempat tidur dengan alasan mengantuk. Hari ini, tepat satu minggu Fajar menjalani hukuman mengumpulkan batu yang akan digunakan masyarakat sebagai pagar pembatas dari luapan sungai. Kebetulan pula, kemaren adalah masa hukuman Fajar berakhir. Hari ini adalah hari minggu, hari santai bagi Fajar. Sudah lama dia tidak merasakan nikmatnya tidur setelah subuh. Walaupun dia tahu, kebiasaaan ini tidak baik.Raya mengikat rambutnya yang masih basah, lalu berjalan perlahan mendekati ranjang sambil tersenyum. Dia, sang suami yang biasanya memiliki kulit cukup cerah sudah berubah menjadi gelap karena terbakar sinar matahari saat bekerja. Namun, Raya malah menyukai wa