Share

Bab 8 Rangkaian Bunga siapa ini?

Safia melotot kearah Manan. "Kalau aku tidak menghabiskannya apa yang bisa kau lakukan padaku?" tanya Safia.

"Kau melawanku, baiklah jangan kau habiskan dan saat ini pula kau kumakan, pilih yang mana tergantung kecerdasanmu!" tekan Manan.

Safia terdiam berdebat pun percuma karena tidak akan pernah menang dan dimenangkan apalah dirinya bagi Manan. 'Sungguh pria ini sangat menyebalkan,' pikirnya.

Safia berusaha menghabiskan makanannya ia takut hal yang tadi terulang kembali. Perutnya sudah terasa sangat penuh dan di piring masih tinggal sedikit ia berusaha bernegosiasi dengan Manan. "Aku sudah sangat kenyang boleh ini kubuang, aku jamin Amar tidak akan kelaparan," jawab Safia.

"Habiskan atau kau lebih suka ...." Manan menatap tajam pada Safia.

"Iya aku habiskan!" teriak Safia lalu menyuapkan makanan dengan cepat setelah itu berlari ke kamarnya dan menutup rapat serta menguncinya ia tidak peduli kalau Manan akan marah pada dirinya. Rasa mual di perutnya sudah tidak bisa di tahan.

Safia segera berlari ke toilet dan memuntakan sebagian isi perutnya. Ia merasa sedikit lega karena rasa mual mulai menghilang Ia membersihkan toiletnya dari muntahannya dan membasuh mulutnya dengan air terasa sakit terkena air. Ia pun mendesis menahan sakit dari bibir yang terluka karena di gigit suaminya itu.

"Kau memuntahkannya?" Suara bariton mengejutkannya dan ia menoleh kebelakang.

"Kau, bagaimana mana Kau bisa masuk?" tanyanya spontan

"Tentu saja dari pintu yang terbuka bukan dari lubang kunci. Aku bukan makhluk astral yang bisa di lubang kunci," jawabnya datar.

"Aku lupa jika aku di sini tidak punya privasi sendiri bahkan untuk mengunci kamarku sendiri," ucap safia sengit.

"Kau hanya berhak menempatinya, semua ruangan ini milikku yang berhubungan denganku secara tidak sengaja maupun sengaja menjadi milikku termasuk dirimu. Jadi aku berhak melakukan apa pun padamu suka atau tidak! Karena kau sudah memuntakan separuh makananmu maka persiapkan separuh tubuhmu untuk kusantap nanti malam!" perintahnya datar dan dingin lalu ia berjalan keluar meninggalkan Safia yang tiba-tiba saja tubuhnya menggigil, karena dia sudah bisa membayangkan apa yang akan dialaminya nanti malam

Wanita itu menghembuskan napas kasarnya sambil berteriak, "Welcome to Hell, Safia."

Ia berjalan pelan keluar dari kamar mandi, ia bahkan tidak tahu apa pilihannya saat itu betul apa salah, kini dirinya hidup dalam ketakutan, Kakak Ipar yang dulunya terlihat lembut sekarang berubah menjadi seorang monster.

"Kakak apa yang harus ku lakukan kenapa kau harus pergi meninggalkan suamimu andai kau masih hidup aku tidak perlu berada di sini untuk menjalani pernikahan yang menyakitiku." gumamnya lirih

' Apa harus semuanya aku berikan, demi putramu? ASI, sekarang tubuhku yang hanya menjadi penggantimu untuk memuaskan hasratnya,' batinnya nelangsa.

ia menatap kosong ruangan, ingatan kembali ke masa lalu, Kebahagiaan bersama Akran walaupun hanya sebentar. Tiba-tiba saja ia teringat akan putrinya telah meninggal ia ingin sekali mengunjungi makamnya.

Ia bangun dari duduknya dan berjalan keluar mencari pria menyebalkan itu. ia mengitari rumah itu mencari Manan tetapi tidak menemukannya.

"Apa yang kau cari?" Suara bariton mengejutkannya.

"Kau!" jawab Safia menoleh pada sumber suara itu.

"Kau ingin kumakan sekarang? Bin@l sekali kau sampai tidak mau menunggu malam tiba," ucapnya kasar yang langsung menikam hulu hatinya.

Safia menelan rasa sakitnya. "Aku ingin pergi ke makam putriku."

"Pergilah jangan terlalu lama, aku tidak ingin Amar menangis mencarimu!" ucapnya dingin lalu pergi begitu saja.

Safia menghela nafasnya ia berjalan keluar rumah, dengan hati tak menentu ingin sekali ia menghilang dari muka bumi agar tidak terasa sakit.

"Nyonya mau kemana? Akan saya antar," sapa sopir Manan yang membuatnya kembali terlonjak.

"Mau ke makam putriku," ucapnya sambil membuka pintu tengah dan langsung duduk. Rasanya ia ingin meluapkan kekesalannya pada sopir Manan juga pasalnya karena sopir itu menghilang tadi malam membuatnya harus menikah dengan Manan pagi tadi.

Sopir itu masuk dan duduk di belakang kemudi lalu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju ke pemakaman umum.

Sementara itu seorang pria berdiri di pusara bernama Wulan binti Arkan. Lelaki itu mengusap matanya yang basah dan terdengar dari bibir yang Tertutup masker permintaan maafnya.

"Maaf, Wulan." Hanya itu saja yang sanggup ia ucapkan lalu meletakkan rangkaian bungah mawar merah dan kembalikan tubuhnya melangkah pergi.

Di saat itu pula mobil berhenti di dekat mobil hitam, Safia keluar dari mobil Manan dan berjalan dengan hati sedih di tangannya menjinjing keranjang berisi berbagai kelopak bunga, ia pun berpapasan seorang pria yang mengenakan masker perawakannya mirip dengan almarhum suaminya tetapi ia tidak peduli karena hidup sudah mati tidak tersisa sedikitpun.

Pria itu menatap Safia dengan tatapan lekat, lalu membuang tatapannya setelah agak jauh lelaki itu membalikan tubuhnya dan memandang punggung wanita itu hingga hilang, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan berjalan kembali menuju mobilnya. Pria itu masuk lalu menjalankan mobilnya meninggalkan pemakaman umum itu.

Safia yang sudah tiba di makam sang kakak juga anaknya itu terkejut melihat rangkaian bunga mawar segar di pusara putrinya.

'Bungah siapa ini?" gumamnya sambil menoleh ke kiri dan ke kanan lalu kebelakang kemudian menyapukan pandangannya ke seluruh makam mencari seseorang yang mungkin baru datang dari makam ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status