Senin pagi. Langit kampus tertutup mendung tipis, tapi lorong-lorong gedung MIPA tetap ramai oleh mahasiswa yang lalu-lalang. Di ruang dosen, Arga duduk sendirian di balik meja barunya. Tumpukan berkas program kerja dan proposal magang berserakan di sekelilingnya. Tapi perhatiannya tak ada di situ.Tangannya menggenggam lembar hasil pembacaan resonansi dari alat buatan Raka. Nama Nadine Cahyani tertulis di bagian atas, disertai grafik naik-turun yang tak wajar.Di sudut grafik, satu catatan kecil tertulis dengan tinta merah:> "Sinkronisasi emosional terlalu presisi untuk manusia biasa."---Sementara itu, Naya duduk di salah satu bangku taman belakang. Laptop di pangkuannya terbuka, menampilkan jurnal baru yang sedang ia kerjakan: Studi Perilaku Mahasiswa dalam Situasi Tekanan Akademik. Tapi pikirannya melayang.Beberapa langkah darinya, Nadine dan dua temannya sedang tertawa keras. Nadine sengaja duduk menghadap ke arah Naya, seolah menantangnya. Tapi bukan itu yang membuat Naya tak
Suara pelantikan resmi menggema di aula utama kampus. Di bawah sorotan lampu panggung, Arga berdiri tegak dengan wajah tenang, menerima simbol jabatan baru sebagai Ketua Program Studi MIPA. Sorakan kecil terdengar dari barisan mahasiswa, sebagian karena bangga, sebagian lagi karena—jujur saja—Arga memang punya pesona akademik yang mematikan. Tampan, cerdas, dan sekarang punya jabatan strategis.Namun di sudut belakang ruangan, Naya berdiri tanpa banyak ekspresi. Ia tersenyum kecil, bangga dalam diam. Tapi saat tatapannya menyapu barisan kursi mahasiswa, ia bisa merasakan beberapa pasang mata yang menusuk. Bukan kagum. Tapi sinis. Dingin.Satu di antaranya milik Nadine—mahasiswi semester empat, aktif di organisasi, dan terkenal karena punya selera tinggi soal “cowok ideal”.“Kukira dosen killer itu akan tetap jadi legenda tanpa jabatan,” bisik Nadine ke temannya, cukup keras untuk didengar siapa pun yang berdiri dalam radius tiga meter. “Tapi ternyata... ada ‘faktor lain’ yang bantu di
Langit mulai berganti warna saat matahari perlahan tenggelam di balik gedung-gedung kampus. Cahaya jingga menembus jendela kaca ruang klinik, menggambarkan siluet tenang dari Arga yang masih duduk di sisi ranjang Naya. Ia belum beranjak sejak siang. Tangannya tetap menggenggam tangan Naya seolah jika ia melepaskannya, sesuatu yang gelap akan menyelinap masuk.Naya menggeliat pelan. “Jam berapa sekarang?” suaranya serak, tapi sadar.“Sore. Kamu sempat tidur sebentar,” jawab Arga, mengusap lembut rambutnya yang sedikit berantakan. “Raka sudah datang tadi, tapi kamu belum bangun. Dia lagi koordinasi sama Karina. Kita nggak akan tinggal diam, Na.”Naya menarik napas dalam. Pikirannya masih dipenuhi gema suara-suara asing—frekuensi yang tak bisa dijelaskan oleh sains biasa. Tapi di antara semua itu, ada satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak sendiri. Dan Arga adalah jangkar yang terus menahannya agar tidak tenggelam.“Aku nggak mau cuma jadi objek, Ga. Kalau ORION mau masuk lewat aku, aku j
Kampus Universitas Cendekia Raya kembali ramai setelah libur panjang. Pohon-pohon flamboyan bermekaran di sepanjang jalan masuk, memberikan semburat merah di tengah langit biru. Mahasiswa lalu-lalang dengan tas penuh buku dan wajah bersemangat. Namun di tengah keramaian itu, ada aura yang berbeda. Sesuatu yang tak terlihat, tapi terasa menekan, seperti hawa lembap sebelum hujan deras turun.Arga berjalan berdampingan dengan Naya di koridor fakultas. Hari pertama Naya sebagai mahasiswa S2 di kampus ini, dan entah kenapa, sorotan mata dari beberapa mahasiswa terasa terlalu tajam. Seolah kehadirannya membawa riak yang mengganggu permukaan air yang tenang."Apa aku terlalu mencolok?" bisik Naya, mengeratkan tas selempangnya. Matanya menyapu sekeliling, mencoba mencari tahu dari mana sumber rasa tidak nyaman itu."Bukan kamu. Mereka cuma penasaran," jawab Arga pelan. Tapi hatinya tidak sepenuhnya tenang. Sejak seminggu lalu, beberapa dosen mulai bertanya padanya, secara tersirat maupun lan
Tiga bulan berlalu bagai embusan napas panjang. Tiga bulan yang diisi dengan percakapan telepon panjang antara Arga dan Naya, bukan lagi tentang keraguan, melainkan tentang perencanaan masa depan. Naya telah mengurus kepindahannya dari universitas di luar negeri, sebuah proses yang rumit namun ia jalani dengan tekad baja. Setiap dokumen yang ia tanda tangani terasa seperti langkah maju, semakin mendekatkannya pada Arga, semakin menjauhkan dirinya dari bayangan yang sempat menghantuinya.Hari itu, bandara Soekarno-Hatta tampak lebih ramai dari biasanya. Naya melangkah keluar dari gerbang kedatangan internasional, jantungnya berdegup kencang. Udara Jakarta yang hangat membelai kulitnya, terasa akrab sekaligus asing setelah sekian lama. Ia mencari sosok Arga di antara kerumunan. Ada rasa gugup yang bercampur dengan kebahagiaan murni. Apakah setelah semua yang terjadi, mereka akan benar-benar baik-baik saja?Lalu ia melihatnya. Arga berdiri di sana, di balik barisan penjemput, memegang se
Hujan masih mengguyur kota, namun di apartemen Naya, badai yang lebih dahsyat berkecamuk di dalam benaknya. Bisikan-bisikan itu, yang semula hanya samar, kini semakin jelas, memutarbalikkan kenyataan. "Dia tidak pernah mencintaimu," desis sebuah suara. "Dia hanya berpura-pura. Kamu tahu dia menipumu. Pergi saja. Menjauh darinya."Naya mencengkeram kepalanya. Ini bukan pikirannya. Ia tahu itu. Kekacauan emosi yang ia rasakan terasa asing, seperti gaun yang terlalu besar dan tak nyaman di tubuhnya. Ia teringat kembali percakapannya dengan Arga, nada suara Arga yang terlalu yakin bahwa Naya "hanya merindukannya." Kebohongan yang terlalu jelas. Tapi kenapa Arga berbohong? Dan mengapa ia merasa begitu dicurigai, seolah ia adalah biang keladi dari semua masalah ini?Mata Naya tertuju pada foto lama di atas meja: Arga dan dirinya tertawa lepas di sebuah festival musik, dengan latar belakang langit senja yang memukau. Senyum mereka berdua tampak begitu murni, begitu nyata. Sebuah kilasan memo