Compartir

Bab 3

Autor: Emily Hadid
Tiga tahun menikah, Rendra jarang sekali pulang. Jadi, ketika Clara melihatnya kali ini, dia benar-benar terkejut.

Segera setelah itu, dia bertanya dengan nada heran, "Kenapa kamu pulang?"

Dia buru-buru menjelaskan, "Aku bukan bilang kamu nggak boleh pulang. Ini rumahmu, tentu saja kamu boleh pulang."

Kemudian, dia menambahkan, "Kamar mandi sudah lama nggak kupakai, ranjang juga sudah lama nggak kutiduri. Para pembantu setiap hari bersih-bersih, jadi sudah disterilkan."

Sambil berbicara begitu, tiba-tiba Clara teringat satu hal. Pernah suatu kali, Rendra memakai setelan jas hitam. Saat itu, Clara menarik ujung jasnya sedikit. Setelahnya, Rendra langsung membuang jas itu.

Sejak hari itu, kecuali benar-benar terpaksa, Clara tidak pernah menyentuh Rendra lagi, juga tidak menyentuh barang-barangnya.

Alasannya menjelaskan sekarang karena takut Rendra berencana menginap di rumah malam ini. Dia pasti merasa jijik kalau tahu Clara pernah tidur di kamar utama itu. Padahal, sejak beberapa waktu setelah menikah, dia memang sudah pindah ke kamar tamu di sebelah.

Rendra mendengar penjelasan itu tanpa ekspresi. Dia menanggalkan jasnya, lalu melemparkannya dengan santai ke sofa. Clara buru-buru menyingkir sedikit ke samping agar tidak menghalangi jalannya.

Rendra tidak menanggapinya. Saat Clara hendak pergi dengan memeluk produk perawatan wajahnya, tiba-tiba Rendra bertanya dengan nada datar, "Sudah ambil kartu keluarga?"

Clara menatapnya, lalu mengangguk. "Hmm, kakekku sudah kasih aku. Dari pihak keluargamu juga sepertinya nggak akan terlalu sulit."

Dulu Clara tidak pernah berbicara seperti itu, membedakan "keluargamu" dan "keluargaku". Namun, karena Rendra selalu membedakan begitu, lama-lama Clara pun ikut terbiasa.

Dia juga pernah mendengar, katanya Rendra sangat mencintai Caroline. Kalau dipikir baik-baik, mungkin memang benar karena semua wanita yang dirumorkan dengan Rendra selalu mirip Caroline. Kalau dia masih bertahan dan berjuang, bukankah itu justru terlihat tidak tahu diri dan tidak sopan?

Rendra meliriknya sekilas, lalu menarik sedikit kerah kemejanya. Tulang selangkanya terlihat jelas, lehernya jenjang. Sikap malasnya semakin menonjol.

Clara berkata, "Kalau begitu, aku ke kamar sebelah dulu."

Namun, begitu membuka pintu, pembantu bernama Kinara ternyata sedang menempelkan telinga di sana sambil menguping.

Clara sungguh kehabisan kata-kata.

"Nyonya," sapa Kinara dengan senyuman canggung, lalu berucap dengan lirih, "Barusan Nyonya Delisha telepon, suruh Nyonya memanfaatkan kesempatan bagus ini. Sekarang sudah malam. Aku nggak akan ganggu Tuan dan Nyonya istirahat lagi."

Selesai berbicara, Kinara menutupkan pintu untuk mereka berdua dengan sopan.

Clara yang berdiri di depan pintu pun menjadi serbasalah. Setelah berpikir lama, dia menoleh pada Rendra. "Aku nanti saja ke kamar sebelah."

Rendra tetap tidak menjawab, hanya bertelanjang dada sambil mengobrak-abrik lemari pakaian.

Tidak menanggapi, tidak mengangkat telepon, tidak membalas pesan. Clara sudah terbiasa dengan sikap dingin Rendra seperti itu. Tiga tahun menikah, tiga tahun juga dia diabaikan. Awalnya dia masih merasa sedih dan malu, tetapi lama-lama dia menjadi mati rasa.

Menebak kalau Rendra sedang mencari piyama, Clara meletakkan produk perawatan di sofa, lalu masuk ke ruang pakaian. Dia membuka salah satu pintu lemari dan berkata, "Piamamu ada di sisi ini."

Clara tidak berani mengambilkannya, juga tidak menyentuh barang-barangnya.

Rendra berbalik tanpa memandangnya. Dia mengambil piama itu, lalu masuk ke kamar mandi.

Begitu melihat Rendra pergi, Clara tak kuasa menghela napas panjang. Rasanya begitu sesak. Rasanya seperti dia berutang besar kepada Rendra.

Beberapa saat kemudian, Rendra keluar dari kamar mandi dengan piama abu-abu gelap, sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Saat itu, Clara duduk bersila di sofa dengan laptop di pangkuannya dan sibuk bekerja.

Rendra menatapnya dengan dingin, tidak menyangka Clara benar-benar sudah mendapat kartu keluarga. Namun, kalau dia sepekerja keras dan seambisius ini, dengan posisinya sebagai wakil presdir, apa dia benar-benar rela bercerai?

Clara sama sekali tak sadar Rendra sudah keluar, bahkan sudah lupa Rendra ada di mana. Sampai terdengar suara langkah kaki yang tanpa henti, barulah dia menoleh dan mendapati Rendra berdiri di sana.

Sambil memeluk laptop, Clara berdiri. "Bi Kinara dan yang lain mungkin sudah tidur. Aku juga nggak mau ganggu kamu istirahat."

Baru maju dua langkah, kakinya tiba-tiba lemas dan dia duduk lagi. Dia menunduk, memijat betisnya.

Clara hanya mengenakan piama longgar, jadi ketika dia membungkuk, bagian dadanya tampak jelas. Kulitnya putih, lembut, dan mulus. Sungguh menggoda.

Tatapan Rendra lantas berubah gelap. Cerai? Wanita ini pasti hanya ingin membuatnya menurunkan kewaspadaannya dan naik ke ranjangnya, 'kan?

Saat itu, Clara mendongak meliriknya dan berkata dengan canggung, "Kakiku kesemutan."

Sambil menatapnya dengan dingin, Rendra tiba-tiba melemparkan handuk yang dipakai untuk mengeringkan rambut, tepat ke wajah Clara. Kemudian, dia bertanya dengan nada dingin, "Clara, trik apa yang kamu mainkan?"

Handuk itu menghantam pipinya cukup keras, sampai terasa nyeri. Clara menunduk lama, baru perlahan menyingkirkan handuk itu. Kemudian, dia berdiri dengan kaki terpincang-pincang dan berkata dengan nada datar, "Rendra, tenang saja. Aku nggak main apa-apa. Aku akan tetap cerai."

Dulu saat baru menikah, Clara mencintainya setengah mati. Waktu itu dia baru berumur 20 tahun. Dia menggoda Rendra, membuatkan sup, belajar menyeduh kopi untuknya, dan selalu menaruh Rendra di urutan pertama dalam hidupnya. Rendra adalah seluruh dunianya.

Namun sekarang ... dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk itu. Dengan langkah terpincang, dia berjalan melewati Rendra yang menatapnya penuh rasa jijik. Wajah Clara menjadi masam.

Setelah kembali ke kamar tamu di sebelah, Clara menyandarkan punggung di pintu, berdiri lama sekali di sana. Akhirnya, dia tersenyum getir.

Rasa sedih itu membuat perutnya kembali sakit. Dia mengernyit, menekan perutnya dengan telapak tangan, menghangatkan diri sampai rasa sakitnya sedikit berkurang, baru kemudian duduk di tepi ranjang. Sakit perut dan mual seperti ini sudah terjadi cukup lama.

Besoknya, dia pergi ke rumah sakit untuk memeriksa. Setelah beberapa tes, dokter bilang tidak ada masalah, jadi dia tidak terlalu memikirkannya. Dia pun mengemudi kembali ke kantor.

"Clara!" Begitu keluar dari lift, suara yang familier memanggil dari depan.

Clara menoleh, melihat Caroline berjalan ke arahnya dengan terusan merah dan senyuman yang memesona.

"Kak Caroline," sapa Clara.

Caroline mendekat, menatapnya dari atas sampai bawah sambil tersenyum. "Sudah lama nggak ketemu, kamu sekarang sudah jadi wanita dewasa ya. Makin cantik saja."

Clara juga tersenyum. "Kak Caroline juga makin cantik."

Caroline dan Rendra seumuran, tiga tahun lebih tua dari Clara. Clara bukan benar-benar tumbuh bersama mereka karena latar belakang keluarganya berbeda jauh. Dulu dia hanya sebatas berada di lingkaran pertemanan mereka. Dulu Rendra masih mau mengajaknya ikut bermain, tetapi sekarang satu-satunya yang masih dekat dengannya hanyalah dengan Renata.

Caroline tersenyum lagi. "Clara, kamu belum makan siang, 'kan? Yuk, makan bareng."

"Ah, nggak usah, Kak Caroline. Nanti aku ...."

Belum sempat Clara menolak, Caroline langsung menyela, "Clara, kamu jangan sungkan. Aku ketemu sekretarismu tadi, katanya kamu baru dari rumah sakit karena sakit perut. Kamu nggak makan yang benar, gimana mau kerja dengan baik? Ayo, temani aku makan."

Dengan antusias, Caroline menggandeng tangannya, membuat Clara sulit menolak. Lagi pula, siapa yang tega menolak orang yang tersenyum begitu ramah?

Di restoran, Caroline menuangkan teh untuknya. "Rendra itu temperamennya jelek. Tiga tahun ini pasti berat buat kamu."

Clara tersenyum, "Nggak juga. Kami hampir nggak pernah ketemu, jadi nggak bisa dibilang berat."

Caroline jelas sedang mencoba menggali informasi, tetapi Clara tidak berniat memperpanjang atau memperkeruh suasana. Mereka berdua memang sepasang. Dia tidak ingin membuat dirinya terlihat menyedihkan.

Selesai menuang teh, Caroline meletakkan teko dan berkata, "Begitu juga bukan solusi, Clara. Jadi kamu mau gimana ke depannya?"

Clara menyesap sedikit teh yang baru dituangkan, lalu menjawab dengan tenang, "Aku dan Rendra berencana bercerai. Kakekku sudah kasih kartu keluarga. Dari pihak keluarganya sepertinya juga nggak akan jadi masalah."

Rendra tidak ingin meneruskan hubungan ini dan sekarang Clara juga tidak menginginkannya lagi.

Caroline menghela napas. "Ya ampun, soal ini aku juga salah. Kalau waktu itu aku nggak menyembunyikan semuanya, kamu juga nggak bakal sia-sia menikah. Tapi untungnya kalian belum punya anak. Masih muda, jadi nggak usah khawatir."

Clara tersenyum. "Ya, benar."

Ketika mereka masih berbicara, Caroline tiba-tiba melambaikan tangan ke seseorang di belakang Clara. "Rendra, sini!"

Clara menoleh dan melihat Rendra datang dengan setelan biru tua. Sosoknya tegap dan penuh wibawa. Dia seperti memancarkan cahaya. Begitu muncul, seluruh suasana di sekitar seolah-olah meredup.

Namun, saat melihat Clara, wajah Rendra langsung menjadi suram. Sementara Clara, hanya bisa menatapnya dengan ekspresi canggung.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 50

    Clara menatapnya beberapa saat, lalu berkata dengan nada geli, "Aku nggak tahu batas? Aku kelewatan? Aku cuma makan dua kali sama Alain dan bicara sedikit soal pekerjaan, kamu sudah merasa nggak dihargai, merasa nggak nyaman begitu?"Belum sempat Rendra membuka mulut, Clara sudah melanjutkan, "Rendra, selama tiga tahun ini, kamu tahu apa itu batasan? Pernahkah kamu berada di dalam batasan itu? Setiap kali aku harus membereskan urusan perempuanmu di luar sana, pernahkah kamu memikirkan bagaimana perasaanku? Pernahkah kamu memikirkan apakah aku juga nggak nyaman?""Kamu membawa Caroline keluar masuk sesukamu, kamu memperlakukan Caroline seperti istrimu sendiri, tapi pernahkah kamu memikirkan bagaimana perasaanku?"Clara menatap Rendra tanpa berkedip. Saat semua kata itu keluar dari mulutnya, wajah pucatnya memerah karena emosi yang akhirnya tak tertahankan lagi.Dia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada dingin, "Batasan memang hal yang baik, tapi Rendra, kamu nggak punya itu. Ja

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 49

    Pukul 22.30 malam, Rendra seharusnya masih belum pulang. Namun begitu Clara membuka pintu kamar dengan kartu akses, pandangannya langsung tertuju pada sosok Rendra yang baru keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk putih di pinggangnya.Bagian atas tubuhnya telanjang. Kulitnya masih basah, otot dadanya terlihat jelas, tampak begitu maskulin dan memikat. Clara sontak terpaku di tempat. Pipinya pun memanas seketika.Saat sadar bahwa Rendra juga sedang menatapnya, Clara buru-buru mengalihkan pandangan, berusaha bersikap tenang sambil bertanya, "Kenapa kamu pulang lebih awal hari ini?"Rendra mengeringkan rambutnya dengan handuk, lalu berkata dengan tenang, "Aku memang pulang lebih cepat. Kamu sendiri, habis dari mana bersenang-senang?"Clara meletakkan tasnya, lalu melirik lagi ke arah Rendra. Begitu matanya tanpa sengaja jatuh ke dada bidang itu, dia segera memalingkan wajah dan berkata dengan gugup, "Kamu ... pakai baju dulu, deh."Rendra tertawa pelan. Setelah itu, dia melepas

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 48

    Tak jauh dari meja utama, Caroline sudah lama memperhatikan Clara dan Alain. Melihat keduanya tampak begitu akrab, duduk berduaan di meja besar yang hanya diisi mereka berdua, Caroline pun menepuk lengan Rendra dan menunjuk ke arah mereka."Rendra, itu Clara, 'kan?" katanya. "Yang makan bersamanya itu Alain dari StarTech, ya? Dia juga ikut konferensi ini? Sejak kapan Clara kenal dengannya?"Pertanyaan Caroline datang bertubi-tubi. Mengikuti arah jarinya dan menatap ke sana, Rendra melihat Clara yang terlihat serius mendengarkan penjelasan Alain, matanya bahkan berkilat penuh antusiasme.Melihat pemandangan itu, wajah Rendra langsung menggelap. Dia sama sekali tidak menyangka Clara mengenal Alain, apalagi bisa berbincang sedekat itu dengannya.Dengan tatapan dingin dan datar, Rendra menatap keduanya selama beberapa detik, lalu menarik kembali pandangannya dan melanjutkan percakapan dengan Levin seolah tidak terjadi apa-apa.Sementara itu di sisi lain, Alain dan Clara masih berbincang de

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 47

    Clara tidak mengenalinya. Pria itu tersenyum hangat dan memperkenalkan diri, "Alain."Begitu mendengar namanya, Clara langsung tersadar. Dia buru-buru mengulurkan tangan dan menyapanya sopan, "Halo, Pak Alain." Lalu dengan sedikit canggung, dia menambahkan, "Maaf ya, Pak. Aku belum sempat benar-benar datang wawancara ke perusahaan Bapak, jadi tadi aku nggak mengenali Bapak."Waktu masih kuliah dulu, Clara sudah sering mendengar nama Alain. Namun, Alain hanya membimbing mahasiswa doktoral dan pascasarjana, fokus pada penelitian dan proyeknya sendiri. Dia memang pernah mengadakan dua kelas umum, tapi ketika Clara tahu dan ingin ikut, bahkan di depan pintu saja sudah penuh sesak oleh orang-orang. Jadi, dia memang belum pernah punya kesempatan untuk bertemu langsung dengan Alain.Alain membalas jabat tangannya dengan tenang dan tersenyum, "Nggak apa-apa."Setelah melepaskan tangan, Alain melirik sekeliling dan bertanya, "Sendirian?"Clara mengangguk sambil tersenyum, "Asistenku sedang ada

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 46

    Begitu sampai di ruang rapat, Clara melihat namanya tertera di kursi yang ditempatkan tepat di sebelah Rendra. Tanpa berpikir panjang, dia langsung mengambil papan nama itu dan memilih duduk di sudut ruangan yang sepi.Seandainya bukan karena Rendra yang menunda pengurusan dokumennya, Clara bahkan tidak perlu datang ke acara pertukaran bisnis ini. Namun, selama semuanya belum selesai, dia tetap harus memainkan perannya dengan baik.Tak lama kemudian, peserta rapat mulai berdatangan. Selain Rendra dan Jonas yang masih muda, para pengusaha senior juga hadir."Rendra, kamu juga datang.""Rendra, soal proyek kedua, nanti setelah rapat kita bicarakan baik-baik.""Baik, Paman.""Ini anak dari Keluarga Winandy, ya? Sudah pulang ke dalam negeri?""Benar, Paman. Mohon bimbingannya ke depannya."Rendra menanggapi dengan sopan sambil tersenyum, sementara Caroline berdiri di sampingnya dengan wajah penuh pesona, seolah-olah dialah istri resmi Rendra.Hanya saja, para pengusaha senior tidak begitu

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 45

    Antusiasme Caroline membuat Clara tersenyum lembut dan memanggil, "Kak Caroline." Caroline menyapanya dengan ramah, barulah orang-orang di sekitar sadar kalau Clara juga datang.Meskipun melihat Clara, mereka tidak menyapanya, melainkan hanya saling berbisik pelan. Sebenarnya, beberapa dari mereka sudah melihat Clara sejak tadi. Hanya saja karena Rendra tidak memedulikannya dan sedang berbicara dengan Caroline, mereka pun ikut mengabaikannya.Bagaimanapun juga, Rendra tidak pernah mengakui Clara dan tidak pernah mengakui pernikahan mereka, bahkan pesta pernikahan pun tidak pernah diadakan. Sikap Rendra terhadap Clara juga menjadi sikap orang-orang terhadapnya.Caroline menggenggam tangan Clara dengan ramah sambil tersenyum, "Clara, kami baru mau sarapan, ikut saja sama kami."Clara tersenyum dan menolak halus, "Kak Caroline, kalian duluan saja. Aku sudah minta Miara ambilkan dokumen, jadi aku harus nunggu dia."Wajah Caroline tampak kecewa. "Begitu ya? Baiklah, kami masuk dulu. Kamu na

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status