Caroline langsung berdiri dengan senyuman ramah yang menyambut. "Tadi kebetulan ketemu Clara, jadi aku ajak dia sekalian makan bareng. Rendra, kamu nggak keberatan, 'kan?"
Rendra melirik Clara dengan ekspresi datar. "Selama kamu senang, terserah."
Dia kemudian duduk di sebelah Caroline. Caroline menuangkan teh untuknya sambil tersenyum. "Barusan aku ngobrol sama Clara. Dia bilang kalian berdua berencana cerai. Aku tadi sempat mikir, kalau kalian benar-benar pisah, aku harus kenalin Clara sama cowok baik. Sayang 'kan, beberapa tahun ini waktunya sudah terbuang."
Padahal secara resmi mereka masih suami istri, tetapi Rendra duduk di sebelah Caroline seolah-olah itu hal yang wajar. Tatapannya pun datar. Setiap kali melihat Clara, dia seperti sedang melewati rintangan yang ingin dihindari.
Clara malas mempermasalahkan itu. Lagi pula, dia memang tidak punya hak untuk mempermasalahkannya. Yang dia rasakan hanya satu, yaitu canggung.
Seharusnya tadi dia sudah sadar, kalau Caroline muncul di kantor, berarti pasti dia datang karena janjian dengan Rendra.
Pelayan menyerahkan menu kepada Rendra. Dia memesan beberapa hidangan, tetapi Caroline menimpali, "Rendra, jangan cuma pesan yang aku suka, pesankan juga makanan favorit Clara."
Rendra melirik Clara sebentar sambil tetap memegang menu. Dalam pikirannya, kehadiran Clara terasa begitu berlebihan. Clara pun berpikir sama. Dia merasa keberadaannya benar-benar tidak diperlukan.
Clara diam-diam mengambil ponsel. Namun, begitu Rendra menyerahkan menu kepadanya, ponselnya bergetar.
Clara segera mengangkatnya. Suara Miara terdengar di seberang. "Bu Clara, Pak Fauzi dari Perusahaan Maxim datang. Katanya alur proyek nomor dua belum selesai dan Pak Rendra belum tanda tangan, mereka jadi belum bisa mulai."
Clara menjawab, "Oke, aku segera ke kantor."
Selesai menutup telepon, Clara menatap Caroline dan berkata, "Kak Caroline, di kantor ada urusan mendadak. Aku harus balik dulu. Kalian lanjutkan saja makannya."
Dia mengambil tas dan ponsel, lalu berbalik dan pergi tanpa menunggu tanggapan mereka. Begitu keluar dari restoran, Clara merasa napasnya lebih lega. Langit bahkan terasa lebih cerah daripada biasanya.
....
Di dalam restoran, Caroline menoleh pada Rendra. "Kalian benar-benar mau cerai?"
Rendra tertawa meremehkan. "Kamu percaya omongannya?"
Baginya, Clara terlalu mementingkan status dan kekuasaan. Kalaupun benar-benar ingin bercerai, wanita itu pasti akan menghitung dengan sangat teliti soal pembagian harta.
Caroline berkata, "Tapi aku lihat Clara kelihatannya sungguh-sungguh. Atau jangan-jangan kamu yang sebenarnya nggak rela?"
Rendra tertawa geli. "Kamu kebanyakan mikir. Sudahlah, makan saja." Kemudian, dia mengalihkan pembicaraan. "Kondisimu sekarang gimana?"
Caroline tersenyum lembut. "Sangat baik. Tuhan pasti sayang sama aku."
....
Di kantor Grup Adresta, Clara baru saja selesai berbicara dengan rekan kerja dari perusahaan mitra. Saat mengantarnya keluar, dia masih sempat tersenyum sopan.
"Pak Fauzi, tenang saja. Aku akan segera minta tanda tangan dari Pak Rendra. Proyeknya nggak akan tertunda."
"Terima kasih, Bu Clara. Maaf merepotkan."
"Nggak masalah, semua demi pekerjaan."
"Pak Rendra benar-benar beruntung punya istri sekaligus wakil sepertimu."
Clara hanya tersenyum, lalu mengantarnya sampai ke luar.
Begitu kembali, Miara datang membawakan makan siang. "Bu Clara, tadi hasil pemeriksaan di rumah sakit gimana?"
Clara membuka kotak makan sambil tersenyum. "Semuanya normal, nggak ada masalah."
Miara mengingatkan, "Tetap harus jaga kesehatan ya, Bu. Walaupun masih muda, tubuh juga bisa sakit kalau terus diforsir kerja."
Clara mengangguk. "Aku tahu kok. Aku bakal jaga diri."
Meskipun begitu, selesai makan, dia kembali tenggelam dalam tumpukan berkas. Malam pun tiba dan dia masih di kantor. Bukan karena suka lembur, tetapi karena di rumah tidak ada yang menunggunya. Lebih baik sibuk daripada sendirian dalam keheningan.
Sementara itu, Rendra menghadiri jamuan makan bisnis. Saat pembicaraan masih berlangsung, ponselnya berdering. Nama yang muncul adalah Delisha.
Rendra keluar dari ruangan untuk menjawab. "Rendra, ini sudah jam berapa? Kenapa belum pulang juga? Bisa nggak sih kamu buat Ibu tenang sedikit? Jadi suami baik itu susah ya?"
Rendra mematikan sisa rokoknya di asbak, lalu menjawab dengan malas, "Ibu ke Awana Bay?"
"Ya. Ibu mau tinggal di sini beberapa hari. Cepat pulang. Oh ya, sekalian jemput Clara. Dia masih lembur."
Rendra membuang rokoknya ke tong sampah. Dia terdiam sesaat sebelum menjawab dengan nada datar, "Ya, aku sudah tahu."
Setelah menutup telepon, dia memijat pelipisnya. Kepalanya terasa berat. Dia mencoba mencari nomor Clara di ponselnya, tetapi setelah beberapa saat, dia sadar dia bahkan tidak pernah menyimpan nomor wanita itu.
Nomornya pun tidak dia hafal. Akhirnya, karena harus melalui kantor juga, Rendra memutuskan langsung menjemputnya tanpa menelepon dulu.
Di kantor Grup Adresta, jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Clara masih di sana, mengetik laporan dan menata dokumen untuk serah terima kerja.
Karena sudah mantap ingin bercerai, dia tahu posisinya sebagai wakil presdir pasti tidak bisa dipertahankan lagi. Jadi, dia berusaha menyelesaikan semuanya sebelum benar-benar pergi.
Kantor sudah sepi, hanya lampu dari beberapa ruangan yang masih menyala. Keheningan seperti ini sudah biasa baginya.
Saat sedang mengetik, pintu ruangannya diketuk. "Masuk," ucap Clara dengan suara lembut.
Begitu pintu terbuka, dia mendongak dan terkejut. Rendra berdiri di sana.
Clara sempat termangu, lalu menyapa, "Kamu belum pulang?"
Dia cepat-cepat berdiri, mengambil dokumen dari meja, dan berjalan menghampiri. "Proyek kerja sama dengan Perusahaan Maxim sudah siap mulai, tapi kontraknya belum kamu tandatangani. Aku tadi ke ruanganmu dua kali, tapi kamu nggak ada. Sekarang bisa ditandatangani?"
Rendra menatapnya sebentar sebelum mengambil dokumen dan membacanya sekilas. Kontrak itu tidak ada masalah, jadi dia langsung mengambil pulpen dan menandatangani beberapa lembar di posisi pihak pertama.
Clara menerima dan memeriksa sebentar, lalu berkata dengan tenang, "Sekarang aku cuma akan fokus di proyek ini. Setelah semua beres, aku akan ajukan surat pengunduran diri ke kamu dan dewan direksi."
Dia menambahkan, "Aku juga sudah buat perjanjian kerahasiaan. Setelah keluar nanti, aku nggak akan kerja di industri serupa dan semua data Grup Adresta akan tetap kurahasiakan. Coba kamu pikirkan, masih butuh syarat apa. Kalau ada, kita bisa persiapkan selama beberapa hari ini."
Clara bukan lulusan jurusan keuangan atau manajemen. Dia belajar teknik otomasi industri robotika, dengan mata kuliah pilihan sistem kendali cerdas.
Dulu saat berusia 16 tahun, dia diterima di Universitas Astram dengan nilai tertinggi seangkatan, yaitu 748 poin. Dia menjadi murid yang paling dibanggakan oleh para dosen.
Waktu masih SMP, Clara sudah bisa membuat model robot sendiri. Dia pernah ikut berbagai lomba, memenangkan banyak penghargaan, bahkan memiliki hak paten atas hasil karyanya.
Saat tahun terakhir kuliah, Universitas Astram dan dua universitas lain menawarinya jalur rekomendasi pascasarjana, sementara beberapa kampus ternama di luar negeri juga mengundangnya untuk melanjutkan studi.
Namun, demi Rendra, Clara menolak semuanya. Kini setelah akan bercerai, dia ingin kembali ke bidang aslinya dan melanjutkan pendidikan yang dulu dia tinggalkan.
Clara memang lebih suka berurusan dengan robot dan teknologi tinggi daripada rapat, laporan, dan senyuman basa-basi setiap hari.
Saat ini, ketika dia berbicara dengan Rendra soal urusan pekerjaan, rasanya dia bukan lagi istrinya, melainkan sekadar bawahannya.
Rendra menatap Clara dengan wajah datar, tiba-tiba merasa seperti sedang melihat orang lain. Clara sudah bukan Clara yang dulu. Tidak lagi hangat, tidak lagi bersinar, juga tidak lagi berusaha menyenangkan dirinya.
Rendra menatapnya lama. Entah sejak kapan, Clara yang berdiri di depannya sudah tidak sama seperti dulu. Dia tidak lagi berusaha menyenangkan dirinya.
Tanpa menanggapi ucapan Clara, Rendra berkata dengan dingin, "Ibu di Awana Bay. Kita pulang dulu, nanti baru bicara."
Clara masih ingin berbicara, tetapi akhirnya hanya mengangguk pelan. "Oke, aku bereskan dulu barang-barangku."
Setelah menutup laptop dan memasukkan berkas-berkas ke laci, Clara baru sadar kalau Rendra belum pergi duluan. Dia sedikit terkejut, tak menyangka kalau pria itu ternyata menunggunya.
Saat menatapnya, Clara melihat Rendra berbalik dan melangkah keluar lebih dulu. Baru setelah itu, Clara mengambil ponsel dan tasnya, mengikuti di belakang. Keduanya meninggalkan ruang kantor bersama-sama.
Di lift, Rendra menyelipkan tangan ke saku celana seperti biasa, sementara Clara berdiri diam di sampingnya. Bayangan mereka terpantul samar di pintu lift. Mereka terlihat lebih asing daripada orang asing.
Begitu tiba di lantai dasar, Maybach hitam Rendra sudah menunggu di depan. Clara membuka pintu belakang, sedangkan Rendra masuk ke kursi pengemudi.
Sebenarnya ada alasan Clara duduk di kursi belakang. Dulu tak lama setelah mereka menikah, nenek Rendra menyuruh Rendra membawanya ke rumah lama untuk makan malam. Saat itu, Clara sempat membuka pintu kursi penumpang di depan dan berniat naik. Namun, Rendra langsung mengunci pintunya.
Hari itu, suasananya canggung sepanjang jalan. Sejak kejadian itu, Clara tidak pernah lagi naik mobil Rendra. Malam ini benar-benar sebuah kebetulan.
Begitu mobil melaju, Clara menyilangkan tangan di dada. Tangan kanannya memegang ponsel. Dia menunduk membaca berita. Dia sama sekali tidak menatap Rendra, apalagi mengajaknya berbicara. Suasana di dalam mobil sunyi sekali.
Dulu, Clara selalu bersemangat berbagi hal-hal kecil dalam hidupnya dengan Rendra. Apa pun yang terjadi, orang pertama yang ingin dia beri tahu selalu dia. Namun, sejak tahu bahwa Rendra sengaja tidak mengangkat teleponnya, tidak membalas pesannya, bahkan sering berpura-pura tidak melihatnya, dia akhirnya belajar untuk diam.
Rendra juga tidak melontarkan sepatah kata pun kepadanya. Mereka hanya diam sepanjang perjalanan.
Hingga mobil masuk ke halaman dan mereka turun, Delisha langsung menyambut dengan senyuman hangat. "Clara, kamu sudah pulang. Ibu masak sup buat kamu. Ayo diminum dulu selagi hangat."
"Baik, Bu."
Delisha merangkul bahunya dan mengajaknya ke ruang makan, sama sekali tidak memedulikan Rendra. Rendra sendiri duduk begitu saja dan mulai makan tanpa bicara. Para pembantu pun mulai menyajikan makanan.
Delisha duduk di sebelah Clara. "Clara, Ibu rencananya mau tinggal beberapa hari di Awana Bay. Nggak apa-apa, 'kan?"
Clara segera menjawab, "Tentu nggak masalah. Ibu mau tinggal selama apa pun juga boleh."
Delisha langsung tersenyum lega karena mendapat persetujuan. Kemudian, dia menatap Rendra yang berwajah masam dan berkata, "Rendra, jangan lihat Ibu begitu. Kamu boleh keberatan, tapi percuma."
Dia menambahkan, "Mulai sekarang, setiap pulang kerja langsung ke rumah. Jangan terus-terusan keluyuran."
Faktanya, Delisha tinggal di sini untuk mengawasi Rendra. Dia sudah punya rencana sendiri. Dia berniat tinggal di Awana Bay sampai Clara hamil. Dia tidak percaya, masa dia kalah dari tipu daya Caroline?
Rendra mendongak dengan tidak acuh, lalu menjawab dengan malas, "Kalau aku nggak kerja, Ibu mau pakai uang dari mana?"
Delisha melotot. "Mana ada orang baik yang kerja lembur setiap malam? Pokoknya kamu harus pulang!"
Rendra memilih diam. Dia tahu percuma berdebat dengan Delisha yang begitu mendominasi. Lagi pula, begitu keluar dari rumah itu, siapa lagi yang bisa mengatur dirinya?
Clara pun mendongak melirik ke arah Rendra. Kalau pernikahan ini tidak segera berakhir, sepertinya hari-hari Rendra ke depan juga tidak akan tenang.
Setelah makan malam, pasangan muda itu duduk menemani Delisha sebentar di ruang tamu. Tak lama kemudian, Delisha menyuruh mereka naik untuk beristirahat. Setelah dia mengantar keduanya sampai ke kamar, barulah dia berbalik meninggalkan tempat itu.
Begitu pintu kamar tertutup, Rendra melepaskan jasnya dan melemparkannya secara asal ke sofa, lalu menggulung lengan kemejanya sampai ke siku. Kulitnya putih, dengan urat kebiruan yang tampak jelas di punggung tangannya.
Saat itu, ponselnya tiba-tiba berdering. Dia tidak langsung mengangkatnya. Rendra mengambil sebatang rokok dan pemantik api, menyalakannya, lalu baru berjalan ke arah jendela besar sambil menerima panggilan itu.
Asap rokok perlahan keluar dari bibirnya. Dia berkata, "Ibuku datang, malam ini aku nggak ke sana."
"Hmm, istirahatlah lebih awal."
"Oke."
"Ya."
Nada bicara Rendra terdengar sangat lembut dan penuh perhatian. Itu adalah sesuatu yang Clara belum pernah dengar darinya. Dia pun tidak merasa perlu menghindar, padahal Clara berdiri tak jauh di belakangnya.
Setelah menutup telepon, Rendra berjalan ke meja kopi, membungkuk santai, dan mematikan rokoknya di asbak. Aroma asap rokok menyebar di seluruh ruangan.
Clara merasa canggung untuk tetap berada di sana. Namun, jika pergi, dia takut Delisha akan tahu dan mulai bertanya-tanya. Delisha tidak bisa dikelabui seperti para pembantu.
Sementara itu, Rendra sama sekali tidak peduli. Dia tetap sibuk dengan urusan sendiri. Merokok, menelepon, lalu menyalakan laptop dan kembali bekerja, seolah-olah dunia di sekitarnya tidak ada siapa pun.
Terjebak dalam situasi yang serbasalah, Clara akhirnya menatap Rendra dan berkata, "Aku lihat di berita, sekarang katanya kalau mau cerai nggak perlu bawa kartu keluarga lagi. Gimana kalau kita urus dulu saja? Nanti baru kita beri tahu ayah dan ibumu."
Peraturan itu baru saja diberlakukan beberapa hari yang lalu. Begitu melihat beritanya, Clara merasa sangat lega.
Itu berarti, selama dia dan Rendra sepakat, mereka tidak perlu menunggu restu siapa pun untuk mengurus perceraian.
Mendengar itu, Rendra mendongak dan menatap Clara cukup lama. Dengan senyuman dingin, dia bertanya, "Kamu begitu nggak sabar mau cerai, apa kamu sudah punya orang lain di luar sana?"