Share

Chapter 3

“Selamat datang di rumah…” ujar David ketika pintu rumahnya terbuka. Dari balik pintu muncul seorang perempuan baruh baya, tersenyum riang melihat Raya.

            “Kenalin ini Mbok Siti,” ujar David. “Beliau yang mengurus rumah ini.”

            “Selamat sore Nyonya….”

            “Raya,” jawab Raya cepat seraya mengulurkan tangannya. “Nama saya Raya, Mbok.”

            “Nyonya Raya,” jawab Mbok Siti tersenyum. “Cantik sekali.”

            Raya tersenyum simpul.

            “Ayo masuk,” ujar David kemudian.

            Raya mengangguk mengikuti David masuk. Mbok Siti membantu Raya membawakan salah satu tas yang berisi pakaian dan keperluan Raya. Rumah berlantai dua bergaya minimalis yang sangat cantik. Dicat warna putih susu dengan dekorasi rumah yang senada dengan warna catnya. Dalam hati Raya suka gaya rumah ini, sesuai dengan rumah yang diimpikannya ketika berumah tangga nanti. Bukankah sekarang ia sudah mulai memasuki pintu rumah tangga? Ah, Raya jijik tiba-tiba mengingat perkataan Nyonya Kinasih beberapa jam yang lalu.

            “Kamar Tuan sudah Mbok bersihkan tadi pagi,” ujar Mbok Siti memecah pikiran Raya. “Saya bantu menaikkan barang ke atas ya, Nyonya.”

            Raya menahan tangan Mbok Siti. “Tidak usah, Mbok. Saya bisa tidur di kamar tamu…”

            “Tidak!” David memotong pembicaraan Raya. “Kita tidur di kamar yang sama, Raya.”

            Raya menatap ke arah Mbok Siti. Perempuan itu hanya tersenyum.

            “Benar Nyonya. Bagaimanapun sekarang Tuan David sudah menikah dengan Nyonya. Jika Tuan dan Nyonya tidur sekamar, Mbok yakin Nyonya akan segera mengenal Tuan David dengan baik.”

            Raya diam seraya menatap David yang mengangguk pelan padanya.

            “Baiklah,” jawab Raya. “Tapi biar saya saja yang bawa tas saya, Mbok.”

            Mbok Siti memandang David lalu yang mengiyakan permintaan Raya. “Biar saya saja yang bawa satu tasnya, Mbok,”Kata David.

            “Kalau begitu saya bikin minum dulu ya,” kata Mbok Siti menyerahkan tas yang dipegangnya pada David.

            Raya mengikuti David yang berjalan ke arah tangga. Rupanya kamarnya ada di lantai dua. Mata Raya melihat dengan foto-foto yang ditempelkan di tembok sepanjang anak tangga. Foto-foto David bersama teman-temannya, mungkin teman semasa kuliah karena wajah David berbeda dari sekarang. Jauh lebih muda.

            Tapi ada satu foto yang membuatnya penasaran. Sebuah foto David memeluk seorang wanita dari belakang dengan latar hamparan salju yang banyak. Foto itu diambil dari sebuah balkon. David mengenakan kaos warna putih, dan wanita itu memakai dress hitam tanpa lengan. Rambutnya panjang yang dibiarkan tergerai tak beraturan. Cantik.

            Raya heran. Siapakah wanita itu? Nyonya Kinasih bilang David seorang gay. Tapi kenapa ia malah berfoto mesra dengan wanita? Apakah wanita itu seorang transgender? Kenapa begitu sempurna? Ah, tapi bukankah zaman sekarang banyak transgender yang lebih cantik dari wanita normal.

            “Silakan masuk…” kata-kata David membuyarkan gejolak pikiran Raya. “Ini kamar kita, Raya.”

            Raya perlahan masuk. Sebuah kamar luas dengan satu tempat tidur berukuran besar di tengah ruangan. David menyibak gorden besar warna putih, dan membuat sebuah pemandangan yang sulit Raya lukiskan dengan kata-kata. Sunset. Gorden besar itu merupakan penutup sekat dinding dari kaca, yang tanpa Raya sadari ternyata menghadap ke barat.

            “Kalau kamu suntuk, coba lihat pemandangan matahari terbenam dari balkon,” kata David seraya menaruh tas Raya di dekat meja.

            Raya berjalan perlahan menuju balkon. Ia membiarkan angin menerpa wajahnya. Suasana syahdu yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. Campur aduk. Ia ingat almarhum ayah dan ibunya. Ingat perkataan Nyonya Kinasih yang menganggunya, juga teringat Pakde Suroso dan Bude Rani yang begitu kurang ajar mempermainkan nasibnya.

            “Cepat mandi dan berganti pakaian, Raya,” ujar David yang tiba-tiba telah berdiri di belakangnya. “Apa kau akan tidur dengan pakaian pernikahanmu itu?”

            Raya berbalik. Kaget. Ternyata David begitu dekat dengannya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Tiba-tiba tangan kokoh itu memegang pinggang Raya, menariknya dengan cepat mendekat ke tubuhnya. Raya bisa mencium bau kemeja David. Bau harum khas yang baru diciumnya. Apakah itu bau laki-laki? Seumur hidup baru kali ini Raya sedekat itu dengan laki-laki, kecuali ayahnya. Dan bau ayahnya tidak demikian.

            David mendekatkan wajahnya. Bibirnya perlahan menelusuri pipi Raya. Gadis itu merasakan sensasi berbeda di tubuhnya. Perasaan berdesir aneh yang baru kali ini ia rasakan. Ia ingin menikmati itu, ingin membiarkan David melakukan apa yang diinginkannya. Tapi tiba-tiba pikirannya kembali mengingat perkataan Nyonya Kinasih tadi siang.    

            Cepat-cepat didorongnya tubuh David menjauhi tubuhnya.

            “A… Aku ingin mandi dulu,” kata Raya melesat meninggalkan David yang menatapnya heran.

            Raya menutup pintu kamar mandi. Nafasnya tersengal-sengal seperti habis berlari. Hatinya sakit. Perkataan Nyonya Kinasih tentang jati diri David terus berputar di kepalanya. Ia tak tahu apa maksud David mendekatinya tadi. Ataukah itu hanya sandiwara agar ia tak ketahuan jika gay? Atau malah Raya adalah pelarian dari hubungannya yang abnormal itu?

            Ah, sudahlah…..

***

            Bude Rani memelototkan kedua bola matanya mendengar ucapan Raya. Ya, siang itu Raya menemui Bude di rumahnya. Kesal hatinya semalaman harus ia sampaikan pada Pakde dan Budenya. Betapa ia tersiksa menikah dengan laki-laki yang tidak menginginkan seorang wanita. Betapa semalaman ia harus jijik tidur bersebelahan dengan David, walaupun mereka sama sekali tidak bersentuhan. Jika Raya melihat David, perkataan Nyonya Kinasih terus bergema di kepalanya. Ia ingin menumpahkan segalanya, tapi hanya Bude Rani yang ada di rumah, Pakde Suroso belum pulang dari rumah Nyonya Kinasih.

            “Apa maksud kamu mengatakan kami tega mempermainkan hidupmu?!” sungut Bude dengan wajah masam. Sintia di sampingnya, memandang Raya dan ibunya bergantian.

            “Nyonya Kinasih mengatakan semuanya setelah acara itu, Bude!” pekikku menahan tangis. “Kenapa Pakde dan Bude tega membohongi saya!”

            “Raya, kami itu membuatmu hidup enak. Tinggal di rumah orang kaya. Punya suami tampan dan mapan. Tinggal di rumah megah. Tapi kamu malah menuduh kami membohongimu!”

            Wajah Bude Rani memerah. Raya menunduk menumpahkan air mata yang sedari tadi coba dibendungnya.

            “Sebenarnya ada apa, Ya?” tanya Sintia pelan. “Apa David menyakitimu?”

            “Saudaramu ini yang tak tahu diuntung…”

            “Ibumu menjualku untuk menikahi seorang gay!” jawab Raya memotong pembicaraan Bude Rani.

            Sintia melongo tak percaya. “Maksudmu?”

            Raya menceritakan seperti yang Nyonya Kinasih katakan. Sesekali dilihatnya wajah Bude Rani yang memerah, ada sebuah kecemasan menghiasi wajahnya.

            “Ibu!” pekik Sintia. “Kenapa kalian tega berbuat begitu!”

            “Kamu itu tidak tahu apa-apa!” balas Bude Rani pada Sintia. “Kamu pikir hutang ayahnya Raya selama ini siapa yang bayar? Ya, kami ini!”

            Raya menghela nafas panjang. Selalu hal itu yang dijadikan tameng.

            “Kita jadi gembel selama ini ya karena hutang-hutang Ahmad!” lanjut Bude Rani. “Ahmad itu dari remaja suka menyusahkan bapakmu itu, Sin! Sampai dia mati pun masih meninggalkan hutang!”

            Rani menutup telinga mendengar nama ayahnya disebut. Hatinya kacau. Kata-kata Bude Rani menusuk dalam relung hatinya. Sakit. Perih.

            Sintia menangis. “Walau apapun keadaannya, ibu dan bapak tidak boleh berbuat begitu hina demi uang!”

            Bude Rani mendengus kesal. Sintia berdiri, ia memandang Raya sebentar tanpa kata-kata kemudian beranjak meninggalkan ruang tamu itu menuju ke luar. Raya bisa mendengar deru suara sepedanya meninggalkan halaman rumah Bude Rani. Melaju dengan cepat.

            “Lihat itu!” teriak Bude Rani pada Raya. “Anak saya satu-satunya marah gara-gara omongan kamu yang tidak masuk akal itu!”

            Raya menatap Bude Rani lekat-lekat. “Bude dan pakde yang keterlaluan!”

            “Sudahlah!” hardik Bude Rani berdiri. “Suatu hari nanti kamu juga akan berterima kasih karena sudah pakdemu jodohkan dengan anak orang kaya itu!”

            Bude Rani menuju ke kamar. Membanting pintu kayu jati dengan suara keras. Raya mendesah. Tak ada gunanya ia datang ke rumah ini. Hanya akan menambah luka sukma saja. Ia beranjak, mencangklong tasnya seraya menghapus air mata yang tumpah di pipinya.

            Ia bergegas ingin segera pulang. Pulang? Kata terakhir itu menggantung di pikirannya. Adakah ia punya rumah untuk singgah?

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Magdalena marion
bayangin pak suros itu mirip alm.yadi timo itu lho di sinetron2 sinemart..hehehe. alfatihah buat pak yadi timo
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status