Share

37 Peringatan

Author: Lusiana
last update Last Updated: 2025-12-01 13:40:56

Aku menoleh spontan ketika mendengar langkah seseorang memasuki ruang keluarga. Jantungku langsung berdegup sedikit lebih cepat saat melihat siapa yang berdiri di sana. Bu Indah. Ibu mertuaku. Wajahnya terlihat tenang seperti biasa, tapi ada aura tertentu yang membuatku langsung menegakkan punggung.

“Aisyah, kita perlu bicara,” ucapnya dengan nada pelan tapi tegas.

Aku menelan ludah. Kalimat itu saja sudah cukup untuk membuatku merasa tidak nyaman. Jika Bu Indah berkata “perlu bicara”, biasanya bukan hal-hal yang menyenangkan. Ia berjalan menuju ruang keluarga dan duduk dengan sikap anggun khasnya. Tatapannya terarah lurus, seolah memikirkan sesuatu yang sudah ia susun sejak semalam.

Aku menoleh sekilas ke arah kamar Bara. Masih tertutup. Entah apakah ia masih tidur, atau pura-pura tidur seperti beberapa kali sebelumnya ketika tidak ingin berurusan denganku. Aku mendesah dalam hati. Apakah ini tentang Bela? Tentang perempuan itu tinggal di rumah ini? Atau ada hal lain yang lebih bu
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pernikahan Penuh Luka   84 Suasana Tegang

    **** Setelah cukup lama aku menghabiskan waktu di kamar mandi, membiarkan air hangat mengalir di tubuhku seolah mampu meluruhkan lelah dan kegelisahan yang tak kunamai, aku akhirnya keluar dari kamar. Rambutku masih setengah basah, handuk melingkar di bahu. Pandanganku langsung tertuju pada ranjang. Kosong. Bara tidak ada di sana. Hanya Arka yang masih tertidur pulas, tubuh kecilnya meringkuk dengan wajah damai, seolah dunia tidak pernah menyakitinya. Aku menatapnya sejenak, menarik napas panjang. Tak berpikir macam-macam, aku menganggap Bara mungkin sudah bangun lebih dulu. Aku melangkah keluar kamar dan menuju dapur. Rumah itu terasa sunyi, terlalu sunyi untuk pagi yang seharusnya hangat. Tidak ada suara langkah, tidak ada aroma kopi, tidak ada suara Bara yang biasanya menyapaku dengan nada santai. Aku mulai menyiapkan sarapan. Tanganku bergerak otomatis, meski pikiranku melayang ke mana-mana. Ada perasaan aneh yang mengganjal, tetapi aku memilih mengabaikannya. Wajan dip

  • Pernikahan Penuh Luka   83.Ke Dua Kalinya

    **** Aku menatap wajah Aisyah dalam diam. Ada jarak yang lama terbentang di antara kami, bukan jarak fisik, melainkan jurang perasaan yang tercipta oleh kesalahanku sendiri. Malam itu, entah mengapa dadaku terasa penuh. Ada rindu yang tertahan, ada penyesalan yang selama ini kupendam rapat-rapat. Aku mendekat, perlahan, seakan takut satu gerakan kecil bisa membuatnya menjauh lagi. Bibirku menyentuh bibirnya awal yang ragu, lalu semakin dalam, semakin jujur. Ciuman itu bukan sekadar hasrat, melainkan luapan emosi yang terlalu lama terkunci. Aku bisa merasakan keterkejutannya, namun ia tidak menolak. “Aku menginginkanmu malam ini,” ucapku lirih, suara itu keluar sebelum sempat kupikirkan matang-matang. Kalimat itu bukan hanya tentang keinginan jasmani. Itu pengakuan. Tentang betapa aku masih menginginkannya sebagai istriku, sebagai perempuan yang dulu kupilih untuk menemani hidupku. Sudah lama aku tidak menyentuh Aisyah. Terakhir kali, bahkan aku membencinya mengingat kejadian

  • Pernikahan Penuh Luka   82.Maaf

    **** Jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Detiknya berdetak pelan, seolah ikut menemani kegelisahanku. Arka telah tertidur sejak satu jam lalu, tubuh kecilnya meringkuk nyaman di tempat tidur. Setelah memastikan ia benar-benar lelap, aku kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa, menunggu Bara pulang. Rumah terasa terlalu sunyi malam ini. Lampu-lampu menyala redup, dan suara kipas angin menjadi satu-satunya teman. Berkali-kali aku melirik ke arah pintu, berharap suara mobilnya segera terdengar. Tak lama kemudian, suara kendaraan memasuki halaman memecah keheningan. Jantungku berdegup lebih cepat. Pintu terbuka, dan Bara masuk bersama Bela. “Mas,” sapaku lirih. Bara menoleh ke arahku, tatapan kami bertemu sesaat. Namun ia tak mengatakan apa pun. Ia melangkah masuk bersama Bela, berjalan menuju kamar mereka. Aku berdiri, tanpa sadar mengikuti langkah mereka dengan pandangan mata. Ada perasaan perih yang menjalar di dada saat melihat mereka berjalan berdam

  • Pernikahan Penuh Luka   81 Badai Rumah Tangga

    **** Sore mulai merambat pelan. Cahaya matahari menembus jendela ruang tengah, jatuh tepat di wajah Arka yang kini mulai lelah bermain. Suaranya tak lagi seceria tadi. Ia merebahkan tubuh kecilnya di pangkuanku, masih menggenggam mainan kesayangannya. Aku mengelus rambutnya dengan lembut, mencoba menenangkan. Di sela-sela itu, ponselku kembali bergetar. Aku mengira pesan dari pelanggan, namun detik berikutnya jantungku berdegup tak wajar. Nama Bara tertera di layar. Namun belum sempat kubuka, notifikasi lain menyusul. Bukan pesan. Sebuah foto. Tanganku gemetar saat membukanya. Di foto itu, Bara terlihat berdiri di sebuah lobi gedung. Wajahnya serius. Di sampingnya… seorang perempuan berdiri sangat dekat. Terlalu dekat untuk disebut rekan kerja. Perempuan itu tersenyum tipis, tangannya hampir menyentuh lengan Bara. Aku mengenalnya. Bela. Istri kedua Bara. Dadaku terasa sesak. Napasku tercekat. Mataku kembali ke arah Arka yang sudah terlelap di pangkuanku, wajahnya b

  • Pernikahan Penuh Luka   80 Penghianat

    **** Setelah kepergian Bara, rumah kembali terasa sunyi. Suara pintu yang tertutup tadi masih terngiang di telingaku, meninggalkan ruang kosong yang entah bagaimana terasa lebih besar dari biasanya. Aku menarik napas pelan, lalu kembali memusatkan perhatianku pada Arka. Anakku itu masih duduk di lantai ruang tengah, dikelilingi mainan-mainan kecilnya. Bibirnya bergerak pelan, berbicara sendiri seolah-olah ada seseorang yang duduk tepat di hadapannya. Sesekali dia tertawa kecil, matanya berbinar, seakan benar-benar sedang bercakap dengan teman yang hanya bisa dia lihat. Aku menatapnya lama, perasaanku campur aduk antara haru dan perih. Arka memang jarang keluar rumah. Selain pergi ke posyandu, hampir seluruh waktunya dihabiskan di rumah. Dunia kecilnya hanya sebatas dinding-dinding ini, aku, dan mungkin teman imajiner yang selalu setia menemaninya. “Arka, kamu nggak capek, Nak?” tanyaku lembut, berusaha tersenyum meski hatiku terasa berat. Arka menoleh sekilas, lalu tersenyum

  • Pernikahan Penuh Luka   79 Terjadi Masalah

    Di tengah perbincangan kami yang mulai terasa hangat, tiba-tiba ponsel Bara berbunyi. Suara deringnya memecah suasana ruang keluarga yang sebelumnya diisi tawa kecil Arka dan obrolan ringan kami. Bara melirik layar ponselnya sekilas, lalu mengangkatnya tanpa beranjak dari tempat duduk. “Iya, halo. Apa?” ucapnya singkat. Nada suaranya terdengar biasa saja di awal, namun beberapa detik kemudian ekspresi wajahnya berubah. Alisnya mengernyit, rahangnya mengeras. Ia tampak syok, bahkan matanya sedikit membelalak, seolah mendengar sesuatu yang tidak ia duga. Aku memperhatikannya diam-diam, jantungku mulai berdebar tidak karuan. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas percakapan di seberang sana, hanya potongan-potongan kata yang keluar dari mulut Bara dengan suara rendah dan tergesa. Tangannya mencengkeram ponsel lebih erat dari biasanya. Ada kegelisahan yang jelas terpancar dari raut wajahnya. Setelah menutup panggilan, Bara menghela napas panjang. Ia menoleh ke arahku, tatapannya terlih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status