ログイン**** Aku terbangun lebih pagi dari biasanya. Mataku langsung tertuju pada kalender kecil di atas meja. Tanggal itu dilingkari tinta merah. Tanganku bergetar saat menyentuhnya, seolah lingkaran kecil itu adalah peringatan yang tak bisa kuhindari. Hari ini. Hari ulang tahun Arka. Aku menoleh ke arah ranjang kecil di sampingku. Arka masih terlelap, memeluk bantal kesayangannya. Bibirnya tersenyum samar, entah mimpi apa yang sedang ia jalani. Dadaku terasa sesak. Anak sekecil ini masih percaya bahwa hari ulang tahun adalah hari paling membahagiakan di dunia. Aku bangkit pelan agar tak membangunkannya. Aku menyiapkan semuanya dengan hati-hati. Balon sederhana yang ku beli semalam ku pasang di sudut kamar. Sebuah kue kecil sangat kecil dengan satu lilin di atasnya kuletakkan di meja. Tidak ada dekorasi mewah. Tidak ada pesta. Hanya niat tulus seorang ibu yang ingin anaknya merasa dicintai. Saat Arka terbangun, matanya langsung berbinar. “Ibu!” serunya senang. “Hari ini ulang
“Aku tahu, cepat atau lambat semua pasti akan terbongkar,” kataku lirih setelah langkah Bela benar-benar menjauh dari depan kamarku. Suara pintu yang tertutup pelan itu justru terasa seperti dentuman keras di dadaku. Ada perasaan sesak yang tak bisa kujelaskan, bercampur antara lelah, takut, dan pasrah. Aku berdiri terpaku beberapa detik sebelum akhirnya menghembuskan napas panjang, mencoba menguatkan diri. Tatapanku kemudian jatuh pada Arka. Anak kecil itu berdiri mematung di sudut kamar dengan mata membesar. Tubuhnya sedikit gemetar, seolah masih menangkap aura tegang yang tertinggal setelah Bela pergi. Aku bisa melihat jelas ketakutan di wajah polosnya, ketakutan yang seharusnya tak pernah ia rasakan di usia semuda itu. “Arka sayang, jangan takut ya,” ucapku lembut sambil membuka kedua tanganku. Arka melangkah ragu, lalu berlari kecil ke arahku dan langsung memeluk erat pinggangku. Pelukannya begitu kuat, seolah aku adalah satu-satunya tempat aman di dunia ini. Tanganku men
Aku masih duduk di tepi ranjang ketika suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Langkah itu berat, datar, dan sangat kukenal. Tanpa perlu menoleh, aku tahu siapa pemiliknya. Pintu kamar terbuka tanpa ketukan. “Aisyah,” panggil Bara singkat. Aku mengangkat wajah. “Iya?” Bara berdiri di ambang pintu dengan kemeja rapi, wajah dingin tanpa ekspresi. Tatapannya menyapu tubuhku sejenak, lalu beralih ke ponsel yang masih kugenggam. “Kamu belum turun?” tanyanya. “Badanku kurang enak,” jawabku jujur. Bara menghela napas pendek. “Kamu selalu bilang begitu akhir-akhir ini.” Nada suaranya tidak keras, tapi menusuk. Aku berdiri perlahan dan menatapnya. “Aku tidak mengada-ada, mas. Aku memang tidak enak badan.” “Kalau sakit, bilang. Jangan diam saja,” katanya datar. Aku hampir tersenyum getir. Sejak kapan dia peduli dengan caraku diam? Sikap yang dulu kembali lagi kepada sisi Bara. “Aku sudah bilang sekarang,” ucapku pelan. Bara terdiam sejenak. “Bela menunggu di bawah
Pagi menyambut dengan cahaya matahari yang perlahan menyusup melalui celah tirai kamar. Namun, tubuhku terasa begitu berat, seolah semalam aku mengangkat beban yang tak kasatmata. Kepalaku sedikit pening, bahuku pegal, dan napasku terasa lebih pendek dari biasanya. Aku terdiam beberapa saat di atas ranjang, menatap langit-langit, mencoba mengumpulkan tenaga sebelum benar-benar memulai hari. Dengan sisa kekuatan yang ada, aku bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Air dingin yang membasuh wajahku tak sepenuhnya mengusir lelah, tapi cukup menyadarkanku bahwa hari ini tetap harus kujalani. Aku membersihkan diri dengan gerakan lambat, sesekali memejamkan mata, berharap rasa tidak nyaman di tubuhku segera mereda. Selesai mandi, aku mengenakan pakaian sederhana dan menyisir rambut seadanya. Saat sedang mengancingkan baju, ponselku yang tergeletak di atas meja bergetar. Getaran itu cukup membuatku terkejut. Aku melirik layar ponsel dan mendapati nama yang muncul membuat jantungku berde
**** Aku tersenyum puas saat melihat Bara dan Aisyah masih terjebak dalam perang dingin yang tak kunjung mencair. Pemandangan itu selalu memberiku kepuasan tersendiri. Bagiku, dinginnya hubungan mereka adalah bukti bahwa posisiku semakin kuat. Tak masalah jika Bara masih bersikap datar padaku aku tahu, perasaannya perlahan telah bergeser. Yang terpenting, ia sudah tak lagi menaruh kepedulian pada Aisyah seperti dulu. Aku berdiri di sudut balkon, membiarkan angin malam menyapu wajahku. Dari balik kaca, kulihat Bara akhirnya beranjak, meninggalkan balkon dan memilih kembali ke kamar untuk tidur. Senyum tipis terukir di bibirku. Setiap jarak yang tercipta di antara mereka adalah langkah maju bagiku. Begitu Bara masuk ke kamar, aku segera meraih ponselku. Ada satu nama yang selalu berhasil membuatku merasa aman seseorang yang selama ini menjadi bagian dari rencanaku, orang yang tahu betul bagaimana membantuku mengatur segalanya dari balik layar. Jariku bergerak cepat di atas layar
**** Aku melangkah masuk ke dalam kamarku,ku lihat Arka yang sudah tertidur dengan nyenyak. Tubuh kecil itu sudah terlelap, napasnya teratur, wajahnya polos tanpa tahu apa pun tentang kekacauan dunia orang dewasa yang mengelilinginya. Aku menutup pintu perlahan, takut suaranya mengusik tidur Arka atau mungkin, mengusik hatiku sendiri. Aku duduk di tepi ranjang, lalu meraih ponsel yang sejak tadi bergetar tanpa henti. Layar menyala, menampilkan puluhan pesan dari customer yang menanyakan pesanan, komplain, dan janji pengiriman. Aku menghela napas panjang. Namun, satu nama membuat dadaku mendadak sesak. Dokter Aldi. Tanganku gemetar saat membuka pesannya. Aisyah, saya akan berangkat ke luar negeri dalam waktu dekat. Sebelum itu, saya berharap bisa bertemu dengan kamu dan Arka. Ada sesuatu yang ingin saya berikan untuk Arka. Tolong beri kabar. Aku menatap layar itu lama. Terlalu lama. Kata-kata sederhana itu terasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Kepalaku lang







