Mag-log in"Ugh! Sialan! Aku lagi nggak mau bertemu dengannya,” desis Erland. Dari spion, terlihat mobil Tuan Diandra baru saja masuk gerbang, tepat di belakang mobilnya.
“Ya?” Maureen menoleh, wajahnya bingung karena sedang asyik melamun. “Tadi kamu ngomong apa?”
Erland tidak menjawab. Wajahnya berubah kaku. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung membuka pintu dan keluar dari mobil, langkahnya cepat seperti orang yang sedang menghindari sesuatu.
Maureen mengernyitkan dahi. "Dasar aneh!" gumamnya heran, tapi dia ikut keluar dari mobil.
Belum sempat kakinya benar-benar menapak di tanah, suara keras menggelegar di udara.“BERHENTI DISITU!”
Tuan Diandra?! Maureen langsung membeku. Suaranya mertuanya terdengar sangat kencang sampai-sampai jantungnya terasa seperti berdentam. Kaki Maureen menapak dengan gerakan sangat lambat dan kepalanya menoleh ke asal suara.
“ERLAND! AKU BICARA PADAMU!” hardik Tuan Diandra sekali lagi.
Kalau sudah begini, Erland terpaksa terhenti. Dia menarik napas, berbalik, lalu bersuara dengan nada malas. "Ada apa lagi sih?”
Tuan Diandra menghampiri dengan langkah panjang dan cepat. Muram menggantung di wajahnya saat melihat masker dan topi yang menutupi sebagian wajah puteranya. “Berkelahi lagi, huh?”“
Nggak penting banget," dengus Erland.
“Kamu sadar kalau semalam itu malam pertama pernikahanmu?" Suara Tuan Diandra meninggi. "Seharusnya kamu menemani istrimu, bukan keluyuran dan bikin masalah lagi!”
"Jangan mulai lagi, Pa.” Erland melipat tangan di dada, menatap Papanya tanpa rasa bersalah. “Aku nggak minta dinikahkan. Ini semua kemauan Papa.”
Maureen berdiri di dekat mobil, menyaksikan perdebatan ayah dan anak dengan perasaan galau. Aura panas memancar kuat dari dua lelaki dewasa yang sedang adu mulut.
“Kamu pikir Papa suka maksa kamu nikah?” Tuan Diandra mendekat. “Papa cuma mau kamu menjadi lebih baik! Tapi kamu selalu—”
"Cukup! Aku capek dengar ceramah Papa. Ini hidupku. Bukan proyek Papa!" Erland memotong ucapan Papanya, lalu berbalik masuk ke dalam mobil. Pintu mobil tertutup dengan keras, dilanjutkan dengan raungan mobil terdengar keras.
Dari tempatnya berdiri, Maureen bisa melihat Tuan Diandra terdiam. Rahangnya mengeras, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar marah — ada kecewa dan sedih disana.
Di saat Maureen masih belum tahu harus berbuat apa, Tuan Diandra menoleh.
"Ehem..., Papa?" Maureen menghampiri sambil tersenyum, berusaha bersikap biasa."Semalam Erland merepotkan kamu?" Tuan Diandra bertanya sambil menengadah ke langit.
"Tidak apa - apa, Papa. Sudah kewajiban Maureen sebagai seorang istri," hibur Maureen karena tidak ingin menambah susah hati seorang ayah.
"Papa minta tolong supaya kamu bersabar menghadapi Erland," pinta Tuan Diandra setengah memohon.
"Erland sebenarnya sangat pintar. Saat kecil dia selalu mendapat nilai terbaik di kelas, bahkan ikut program percepatan pelajaran. Papa tidak menyangka kalau dia berbuat seperti itu untuk menarik perhatian Papa.""Kenapa Erland jadi seperti itu?" Maureen mulai penasaran.
"Papa terlalu sibuk. Istriku, ibu tiri Erland, kurang memperhatikan dia saat aku tidak ada di rumah. Lalu, ibu kandung Erland juga sibuk dengan karirnya." Ucapan Tuan Diandra terjeda, beliau mengerjapkan mata supaya tidak terlihat ingin menangis.
"Ooh... mungkin Erland hanya kesepian," batin Maureen.
"Papa ingin menebus kesepian Erland dengan menikahkan dia dengan kamu."
Kalimat itu membuat Maureen mengangkat kedua alisnya. Bagaimana mungkin menikahkan Erland dengan wanita yang dia benci bisa menebus kesalahan masa lalu Tuan Diandra? Sungguh tidak masuk akal.
Tuan Diandra tertawa hambar, lalu berkata, "Memang terdengar konyol bagimu. Tapi Maureen, percayalah naluri orang tua biasanya tidak pernah salah."
"Sayangnya, aku bukan orang yang disukai oleh Erland, Papa," balas Maureen pelan. Ekspresi sedih campur putus asa Maureen membuat Tuan Diandra tertawa.
"Jatuh cinta padamu itu hanya soal waktu. Papa yakin soal itu. Papa cuma ingin Erland bisa memimpin perusahaan. Kalau gagal, maka saat aku tidak ada nanti, dia akan didepak oleh adik dan ibu tirinya."
Maureen termangu. Dia memahami apa yang menjadi beban pikiran mertuanya.
Tapi, dia bisa apa?"Alih - alih mendapatkan malam pertama yang indah, aku malah kebagian jatah merawat orang sakit," gerutu Maureen dalam hati.
"Eh? Memangnya kamu mengharapkan malam pengantin yang hangat dan penuh kemesraan?" tuduh suara hati Maureen.
Tanpa sadar Maureen bergidik. Dia jadi ingat bagaimana liarnya Erland dengan gadis berambut merah.
"Tidak! Tidak! Erland hanya menganggap wanita seperti mainan," tolak Maureen mengingatkan dirinya sendiri.
*
Botol-botol minuman beralkohol berjajar rapi di depan Erland. Aroma tajam alkohol bercampur dengan wewangian parfum mahal yang menyengat di udara. Lampu strobo menari-nari di langit-langit, menyinari wajahnya yang murung dan acak-acakan.
Erland meneguk lagi gelasnya tanpa ekspresi.
Club malam ini ramai, penuh tawa dan sorakan. Tapi baginya, semuanya hampa. Yang dia cari bukan kesenangan, tapi pelarian."Hey, Tampan. Aku traktir kamu minuman," suara lembut itu memecah lamunannya.
Seorang wanita cantik berpakaian seksi berdiri di hadapannya. Bibir wanita itu merah menyala. Di tangannya, satu gelas berisi cairan beralkohol warna merah tua.
Erland mendongak malas. "Aku tidak butuh traktiran."
"O'ya? Tapi wajahmu mengatakan kalau kamu kesepian." Dia duduk di sebelah Erland tanpa permisi. "Senyum sedikit, dong. Dunia belum berakhir, kan?"
Erland terkekeh miring. “Sayangnya, duniaku memang sudah berakhir.”
Wanita itu menyodorkan gelasnya lagi. "Oke. Kita rayakan berakhirnya dunia ini."
Erland menatap gelas itu, lalu mengambilnya. Mereka bersulang. Cairan tajam itu membakar tenggorokan, tapi Erland menikmatinya.
"Aku Sienna," kata wanita itu sambil menyenderkan tubuhnya ke bahu Erland. "Dan kamu, hmm… kamu punya aura tampan yang seksi sekali."
Erland memejamkan mata. "Jangan main api, nanti terbakar."
"Aku suka yang panas." Sienna mengerlingkan mata.
Gelas kedua datang, dilanjutkan dengan ketiga dan keempat. Lalu, entah keberapa. Kepala Erland terasa makin ringan. Pandangannya mulai buram, tapi tubuhnya justru memanas.
Sienna semakin berani. Lengannya melingkar di leher Erland. Jari-jari lentiknya membelai dagu pria itu. Entah sejak kapan, tangan Erland sudah mulai menyentuh pinggang Sienna. Lalu, perlahan turun ke paha.
Sienna tersenyum penuh kemenangan. “VIP room?”
Erland mengangguk pelan. Dia tahu kalau dia sedang bermain dengan dosa, tapi tidak peduli.
Sienna menarik tangannya. “Ayo.”
Keduanya berjalan terseok ke salah satu ruangan VIP. Di dalam, musik masih terdengar namun teredam oleh dinding. Cahaya temaram merah menggantung dari lampu gantung bergaya retro.
Begitu pintu tertutup, Sienna langsung mendorong Erland ke sofa.
"Are you ready?" godanya sambil duduk di pangkuan Erland.
Napas Erland makin cepat, tangannya mencengkeram pinggang Sienna dan bibir mereka nyaris bersentuhan.
Sienna mulai melepaskan kancing kemejanya sendiri satu per satu, lambat dan menggoda.
-Mobil yang dikendarai Erland baru saja meninggalkan bandara. Setelah kasusnya dengan Clarisse terekspose, dan berakhir dengan dia menikahi Lourdes, kagum dan simpati terus mengalir kepadanya.Agensinya sengaja memanfaatkan moment itu untuk mengatur jadwal yang padat supaya momentum popularitasnya tidak turun.Mulai dari shooting iklan, promo album baru, mini konser, tampil sebagai tamu undangan dan rangkaian kegiatan lain yang susul menyusul tanpa jeda.Dan akhirnya setelah dua bulan, bertepatan dengan kabar kehamilan Lourdes, Erland bisa kembali ke rumahnya."Langsung pulang ke rumah," perintah Erland pada Jefta yang melajukan mobilnya. Dia tidak bisa mendefinisikan perasaannya pada kabar kehamilan Lourdes.Bahagia atau tidak? Erland benar-benar tidak tahu. Yang dia tahu, pulang ke rumah dimana Lourdes tinggal adalah hal yang benar dan harus dia lakukan."Baik, Tuan." Jefta menjawab sambil melirik sekilas pada majikannya. Dia tahu rumah yang dimaksud oleh Erland adalah tempat tingga
Lourdes tercengang.Meski sudah menduga sebelumnya, tetap saja dia terkejut."Bagaimana, Nyonya?" tanya Bibi Maretha. Menghempaskan Lourdes kembali kepada kenyataan.Lourdes menoleh pada Bibi Maretha yang berdiri di ambang pintu kamar mandi. Wajah wanita itu tampak harap-harap cemas.Perlahan Lourdes mengangkat batang testpack ditangannya dan berkata pelan, "Warnanya kurang jelas."Bibi Maretha yang sudah berusia diatas empat puluh tahun menyipitkan mata, lalu mendekat."Bagaimana, bagaimana?" tanyanya antusias."Dua garis, Bibi.""O'ya?" pekik Bibi Maretha."Dua garis, tapi warnanya kurang jelas. Artinya, aku hamil atau tidak?" tanya Lourdes yang tiba-tiba saja merasa bodoh sekali. Dia tahu Erland bertanggung jawab atas kejadian malam itu, tapi tidak ada pembicaraan soal anak."Bodoh sekali! Seharusnya aku minum pil pencegah kehamilan," sesal Lourdes dalam hati. Saat itu dia terlalu fokus pada pelaku kejahatan yang sudah menjebaknya.Bibi Maretha mengambil testpack dari tangan Lourde
"Tampaknya aku harus pergi malam ini, Lou. Masih ada beberapa jadwal yang harus aku selesaikan," kata Erland dengan raut wajah penuh sesal.Lourdes tersenyum manis. Dari awal dia sudah tahu pekerjaan Erland adalah seorang penyanyi yang sedang naik daun. Saat ini agency sedang gencar-gencarnya promo album terbarunya.Mengharapkan bersama Erland di malam pernikahan adalah hal yang konyol. Terlebih pernikahan mereka karena kecelakaan."Kamu harus maklum, Lou," ucap Lourdes dalam hati."Istirahatlah. Aku akan bersiap-siap." Ucapan Erland berikutnya membuyarkan lamunan Lourdes."Bagaimana kalau aku membantumu bersiap-siap?" tawar Lourdes, bersiap memulai tugas pertama sebagai seorang istri. Toh, mereka sudah terlanjur menikah.Erland tersenyum tipis. "Terima kasih."Selanjutnya, mereka berbenah. Lourdes mempersiapkan keperluan Erland dengan detail. Hal yang tidak pernah dilakukan oleh Maureen selama ini karena Erland terlalu mandiri."Kamu tahu kemana harus menghubungiku kalau butuh sesuat
Lourdes mengangkat wajah dan menatap wajah Erland. Lelaki itu tampak berbeda hari ini. Entah caranya memandang kepada Lourdes, atau karena sikap bertanggung jawabnya yang membuat Lourdes semakin jatuh cinta pada Erland.Sebelumnya dia sudah kagum pada Erland berkat penampilannya di layar televisi.Dan, sekarang?Kekaguman itu naik berlipat-lipat, ditambah dengan hati yang meleleh. Lelaki ini bersedia menanggung kesalahan orang lain, dalam hal ini Clarisse."Bagaimana, Lou?" tanya Erland, memecahkan keheningan yang tercipta beberapa saat."Erland, apa kamu serius?" tanya Lourdes untuk memastikan. Dia menatap mata Erland dalam-dalam.Erland membalas tatapan Lourdes."Tentu saja," jawabnya sungguh-sungguh. Seumur-umur, dia tidak pernah meminta seorang gadis menikah dengannya. Dengan Maureen sekali pun. Tapi kali ini, dia harus - yang anehnya, dia tidak merasa keberatan menikahi Lourdes.Lourdes menahan napas saat Erland memalingkan wajah, dan melanjutkan ucapannya."Tapi, Lou... aku tida
Mobil yang dikendarai Jefta meninggalkan kantor polisi. Masalah Clarisse, dia sudah memastikan gadis itu akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Setidaknya, Clarisse tidak akan gampang-gampang bisa kembali ke dunia hiburan.Tapi, Erland belum bisa bernapas lega. Masih ada satu beban pikiran yang belum terselesaikan, yaitu janjinya untuk menikahi Lourdes.Meski mulutnya berkata akan menikahi, tapi hatinya tidak yakin bisa membahagiakan Lourdes."Pergi ke Lourdes!" perintah Erland, seraya memasukkan alamat Lourdes ke layar yang terpasang di dashboard mobil."Baik, Tuan." Jefta melirik sekilas peta digital yang kini menampilkan titik tujuan.Tanpa bertanya lebih jauh, dia menginjak pedal gas dan mengikuti arah yang dipandu oleh suara sistem navigasi mobil.Rasa bersalah pada Lourdes membuat Erland memutuskan secara impulsif dengan mengatakan akan menikahi Lourdes. Sekarang dia baru meragukan keputusannya itu. Maureen dan dirinya harus patah hari, rasanya tidak adil.Sepanjang perjalanan,
Di kantor polisi kota sebelah... Erland, selepas sidang cerainya, kembali ke kota sebelah. Proses penyelidikan kasusnya sudah dimulai. Clarisse sempat kabur keluar negeri, tapi berhasil dicekal dan dibawa kembali untuk dimintai keterangan.Dia sengaja datang untuk mendengarkan pertanyaan penyidik dari balik kaca ruangan di kantor polisi. Di balik kaca, ada Clarisse sebagai tersangka dan Nollan yang sedang menginterogasi.Sedari tadi, gadis itu menjawab pertanyaan dengan seenaknya sendiri. Dia duduk dengan ekspresi masam, dan sering berteriak histeris kalau tidak mau menjawab tanpa pendampingan pengacara."Katakan kenapa anda memasukkan obat ke dalam minuman Tuan Erland?""Saya tidak tahu kalau Erland sakit dan harus minum obat," jawabnya, sengaja berkelit.Dia kini duduk sambil menyilangkan kaki, dan sedikit membungkukkan tubuh supaya belahan bajunya yang rendah sengaja bisa membuat penyidik salah fokus.Tapi, ternyata usahanya sia-sia. Nollan adalah seorang polisi dengan integritas







