Benang kusut semakin ruwet. Semalaman aku mengalami insomnia, isi kepalaku terus berputar memikirkan “aku harus bagaimana?”
Keputusan apa yang harus aku pilih?
Mempermainkan ikatan suci hanya untuk menutupi aib?
Atau aku benar-benar menggugurkan janinku sendiri?
Namun, setiap kali berpikir menggugurkan janinku sendiri entah mengapa ucapan Ben, "aku bukanlah bagian dari pembunuh," selalu menghantui pikiranku. Sialnya hati kecilku membenarkan ucapan Ben, jika aku menggugurkan janin ini aku bagian dari pembunuh.
Tidak!
Aku bukan pembunuh!
Setelah semalaman suntuk aku berfikir, akhirnya aku memberanikan diri mengambil keputusan. Aku akan menerima tawaran Ben. Uang sepuluh juta barter dengan status perkawinan selama satu tahun. Aku masih punya tabungan sebelas juta.
Biar bagaimanapun kehadiran bakal manusia kecil ini aku yang mempersilahkan. Aku tak ingin menambah dosa dengan membunuh calon manusia kecil dalam rahimku ini.
Jika ada sosok yang harus aku hukum dalam hal ini, Arya-lah orangnya. Dia harus bertanggung jawab. Dia bukan hanya menelantarkan aku tapi juga darah dagingnya sendiri, dia juga menipuku.
Aku telah bersumpah suatu hari nanti jika aku bertemu dengan Arya, dengan tanganku sendiri aku akan menghajarnya!
Ke esok harinya tepat hari Minggu aku langsung menuju kamar Ben dan memberi tahu jika aku terima tawarannya.
Pria berambut gondrong itu tertawa girang, dan aku yang tetap dengan perasaan gelisah tidak menentu. Entah apa yang terjadi nanti aku tidak tahu dan tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dikemudian hari.
"Mulai sekarang kita sahabat Yollanda, dan kamu jangan terlalu kaku." Ben tersenyum padaku, sedikitpun aku tidak melihat wajah susah Ben. Seakan-akan masalah sudah kelar seratus persen.
“Kamu harus ingat kesepakatan kita! Dan selama pernikahan sedikitpun kamu tidak boleh menyentuhku! Atau…” Aku kehabisan kata-kata dan Ben justru menatap mataku.
“Atau apa?”
Aku buang muka. “Kubakar cafemu!” Kalimat itu mulus keluar dari bibirku saat badanku semakin menggigil ketika Ben terus menatapku seolah tidak takut dengan ancamanku.
“Potong jari kelingkingku jika aku ingkar janji!” Ben melangkah mendekat, masih dengan tatapan tajam sambil mengangkat jari kelingking tepat di hadapanku.
Tanpa menjawab aku langsung mengaitkan jari kelingkingku dengan jari Ben, sebagai bentuk awal mula perjanjian disetujui. Semoga saja Ben tidak ingar janji. Jika Ben juga berdusta mungkin itulah akhir dari hidupku.
*
Ke esok harinya uang yang diminta Ben telah aku transfer, beberapa kesepakatan telah dibuat. Salah satunya Ben akan menikahi aku secara sah negara dan mengakui secara legal jika anak yang kukandung adalah anaknya.
Ini gila!
Tapi aku sudah tersudut oleh keadaan.
Aku dan anakku hanya butuh pengakuan, urusan yang lain aku yakin bisa bereskan.
Untuk urusan finansial aku rasa bisa terkendali hingga lima tahun ke depan. Aku sebagai teller bank yang sudah digadang-gadang naik pangkat memiliki gaji lumayan besar. Cukup untuk menghidupi diri sendiri serta bakal calon bayiku.
Beban di pundakku berkurang sekitar tujuh puluh persen. Lumayan tidurku jauh lebih nyenyak, kerja pun terasa jauh lebih fokus.
Satu minggu kemudian Ben mengajakku bertemu dengan orang tuanya di Mojokerto. Satu setengah jam perjalanan dari Surabaya.
Awalnya aku menolak, aku tidak siap bertemu dengan orang tua Ben, tapi setelah Ben memaksa demi kelangsungan nikah, suka tidak suka aku akhirnya nurut apa kata Ben.
Ben sudah cerita gambaran keluarganya, dia menyakinkan aku jika ibunya bakal senang aku datang.
Karena dia anak tunggal, kesayangan orang tua, terutama ibunya. Ben juga sudah berjanji akan merahasiakan soal kehamilanku.
“Jika aku jujur kamu hamil, pasti mereka juga akan marah sama aku. Kondisimu sekarang biar jadi rahasia kita.” Itulah kata Ben.
Aku setuju dengan usulan Ben. Setidaknya aku tidak malu jika bertemu dengan orang tuanya dalam waktu dekat.
Benar saja kata Ben, ibunya; Mama Eva aku menyebutnya, sosok yang sangat ramah. Dia menyambutku dengan senyuman hangat untuk pertama kalinya.
“Ma, kenalkan ini Yollanda,” kata Ben sambil merangkul ibunya lalu mencium pipi kanan dan kiri ibunya. Sungguh aku terharu dengan pemandangan anak dan ibu yang sangat manis. Membuatku kangen dengan ibu dan bapak yang telah tenang di surga.
“Anak gadis mana ini? Cantik betul?”
Untuk kedua kalinya aku terharu, kalimat pertama yang keluar dari bibir Mama Eva padaku sebuah pujian. “Saya Yollanda Tante, saya asli Malang. Kerja di Surabaya.”
“Calon istri Ben,” kata Ben cengar cengir.
Aku menelan ludah, keget dengan ucapan Ben. Mudah sekali pria itu mengatakan hal semacam itu pada ibunya. Dari cara bicara dan perlakukan Ben pada ibunya aku bisa menebak mereka sangat dekat.
“Jangan bercanda hal yang serius.” Mama Eva mencubit lengan Ben dengan gemas.
Aku sendiri sudah sangat malu hanya bisa menundukan pandangan, sedikit pun tak berani berkata-kata.
“Sumpah Ma, dia calon istri Ben.” Ben memegang jemari ibunya sambil menjerit kesakitan.
Mama Eva melepas cubitanya, lalu memandangku dan Ben dalam-dalam, sungguh aku gugup luar biasa. Aku yakin orang tua ini sangat kaget dengan berita yang dibawa anak satu-satunya.
Semoga saja dia tidak menolakku, kalau tidak rencanaku dan Ben bubar.
baca di Good Novel tanpa koin? Alias gratis? Bisa banget! Dengan lihat iklan kalian bisa baca novel ini tanpa repot-repot beli koin. Selamat membaca.
“Ya sudah nanti kita bicara…ayo masuk dulu. Makan dulu. Pasti Nak Yollanda capek habis motoran jauh.” Mama Eva merangkul pundakku, membimbingku masuk. Syukurlah Mama Eva tidak bereaksi berlebihan yang membuatku semakin gugup. Aku duduk di ruang tamu sendirian, sedangkan Ben mengikuti ibunya entah ke mana aku tidak tahu. Di ruang tamu itu aku lihat pigura besar dengan gambar Ben di tengah diapit Mama Eva dan disebelahnya seorang pria aku yakin itu ayah Ben. Rumah Ben tampak besar, tidak ada apa-apanya dengan rumah Kakek atau orang tuaku dulu di Malang. Halaman plesteran terbuka luas tanpa pagar, dan di samping rumah tampak pohon mangga dan rambutan menjulang tinggi. Suasananya pun tenang khas hawa perdesaan. Ruang tamunya dua kali lebih luas dari kamar kostku. Terdapat sebuah kursi kayu jati dengan ukiran dan pahatan indah berbentuk bunga. Dan tepat di tengah aku duduk terdapat bantalan empuk berlapis kain beludru berwarna merah maron. Yang membuatku sedikit terkesima ialah aq
"Sejak mengenal Yollanda.” Ben terdiam sesaat dengan mata menatap wajahku. “Ben berkeinginan menikah,” jawaban Ben menggema di seluruh ruangan. Bahkan gema itu mampu menembus tulang rusukku, masuk kedalam hatiku. Jantungku berdendang keras mendengar betapa serius Ben menjiwai sandiwara ini. Sorot matanya tidak menggambarkan kebohongan. Dia seperti laki-laki dengan tekad kuat untuk menikah tanpa basa basi. Ayah Anjas tersenyum tipis sambil menatapku. “Apakah kamu juga memiliki keinginan yang sama dengan Ben?” Aku lancarkan sandiwara Ben dengan mengangguk kepala dua kali. “Iya Om.” Bedanya aku menjawab sambil menundukan pandanganku. Sejak suasana ruang makan itu hening, seisi ruangan sibuk menikmati makanan. Hanya aku yang tak bisa fokus dengan sepiring makanan di hadapanku. Pikiranku terus melayang entah kemana arahnya. Sampai akhirnya pria yang aku takuti itu kembali menatapku dengan tajam. "Yollanda, kerja di mana? Lulusan sekolah dimana?" Dadaku hangat, aku semakin ragu dan
Sebagai orang tua, pemimpin masyarakat dan terpelajar, Ayah Anjas tidak hanya menduga-duga. Kasus asusila di masyarakat sering dia jumpai, dari orang-orang yang berumur belia hingga lanjut usia. Dan yang sering terjadi ialah kasus wanita hamil diluar nikah. Dan perselingkuhan. Dari banyaknya pengalaman itu, hanya dengan melihat sorot mata dan gestur tubuh Yollanda, pria itu bisa meraba ada hal yang tidak beres. Ketakutan dan cemas. Terlebih lagi tingkah anaknya yang sering berulah, Ayah Anjas bisa membaca situasi yang sebenarnya terjadi di ruang meja makan. Ayah Anjas tahu dan cukup mengerti Ben adalah fotocopy dirinya. Sama-sama pembangkang dan keras kepala. Akan tetapi jika Ayah Anjas harus mendidik putranya seperti istrinya, dia angkat tangan. Tidak mampu. Bagaimana bisa seorang kepala keluarga lemah lembut? Yang paling dibenci Ayah Anjas ialah, keinginannya selalu bertolak belakang dengan anaknya. Sejak Ben kecil.Termasuk menolak dipanggil dengan sebutan “Eliezer” nama yang
Aku berharap Ben menolongku, sungguh bibirku tidak bisa bergerak. Dan dalam hitungan detik serangan migren menyerang, perutku mulai terasa kaku. Haruskan aku jujur jika aku tengah hamil? “Bukankah ini terlalu dini untuk ditanyakan Ayah?” tanya Mama Eva dengan suara sangat lembut, aku yakin wanita paruh baya itu sedang merayu suaminya. “Tidak, aku hanya ingin tahu yang sebenarnya.” Ayah Anjas terdiam sesaat lalu melanjutkan ucapannya. “Eliezer, masih masa merintis. Bahkan, kadang masih bergantung pada kita. Lalu dia ingin menikah dalam waktu dekat. Dia pikir berumah tangga itu gampang?” Ayah Anjas terdiam, lalu kembali bergumam, “Anak zaman sekarang kalo mau nikah cepet-cepet, pasti ada alasannya.” Ben mengangkat wajah, memandangku lalu ke arah ayahnya. “Iya Ayah, mohon maaf seribu maaf Yollanda tengah hamil anak Ben.” Petir menyambar tubuhku untuk kedua kalinya, kali ini bukan hanya sakit kepala tapi nyaris pingsan. Dalam hitungan detik warah Ayah Anjas berubah merah. Matanya nya
Aku menarik tanganku dengan kasar, akan tetapi cekaman pria itu terlalu kuat. “Ben!” Aku kembali teriak kencang.“Di sana hujan, lihat kamu basah! Siapa yang mau macam-macam sama kamu?” Ben melepas genggamannya. Dan aku kembali menjauh dari Ben. “Jika kamu macam-macam aku beneran potong jari kelingkingmu!” Gerahamku mengigit kuat-kuat, kedua tanganku bertumpuk di dada dengan tubuh gemetar. Kini aku tidak lagi merasakan kedinginan tapi juga ketakutan luar biasa. “Ya ampun, aku tidak macam-macam. Cuma kamu sini…disitu basah,” jawab Ben. Aku terdiam, dan Ben masih memandang diriku yang berdiri yang berjarak dua meter.Kilat menyambar kembali bersama dengan suara petir menggelegar. Aku semakin ketakutan. Ben kemudian mudur beberapa langkah. “Berteduhlah!” Aku kemudian berpindah tempat hingga air hujan tidak membasahi tubuhku. Aku melirik Ben sekilas, pria itu masih tampak memperhatikan aku. Lalu Ben melepas jaketnya dan dilempar tepat mengenai wajahku. Aku sedikit tersinggung, namun
Dua hari sebelum lamaran aku mengalami masalah. Aku terus muntah-muntah dan mengalami sakit kepala luar biasa. Padahal besok pagi aku harus berangkat ke Malang untuk mempersiapkan acara lamaran. Malam itu tepat pukul sembilan malam ketika aku masih jongkok di kamar mandi, suara ketukan pintu memaksaku untuk menerima tamu dengan kondisi kepayahan. “Kamu sakit?” tanya ketika pertama kali melihatku di balik pintu. “Tidak.”“Pucat sekali?” Ben terus memandangku. Mungkin dia heran dengan tampilan rambutku mirip singa jantan dengan kulit bibir kering. “Aku…” Rasa mual kembali menderaku. Aku tak tahan kemudian meninggalkan Ben yang berdiri di ambang pintu untuk segera masuk kamar mandi. Aku muntah untuk sekian kali. Saking habisnya seluruh isi perutku kini yang keluar hanya air dan lendir menjijikan. Ben masuk ke dalam kamar, menghampiri yang berada di dalam kamar mandi. “Kamu sakit?”Sungguh aku didera kejengkelan berlipat, padahal sudah peringatkan batas dia bertamu hanya di teras.“
Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Sandiwara yang diperankan sendiri dan Ben. Di rumah Kakek di gelar acara lamaran sederhana tanpa kehadiran Ayah Anjas. Yang datang hanyalah Mama Eva, Ben dan Paman Aryo; adik kandung Ayah Anjas dan beberapa anggota keluarga lainnya. Mama Eva bilang jika Ayah Anjas sedang rapat di luar kota, aku menduga hal itu hanya semata-mata untuk menghindari acara lamaran. Aku yakin dengan watak kerasnya dia tidak mungkin dengan mudah memaafkan aku dengan Ben. Tak heran acara sepenting ini Ayah Anjas memilih untuk tidak datang. Dari pihak keluargaku cukup memaklumi, terlebih lagi mengetahui profesi penting Ayah Anjas. Tidak terlalu mempermasalahkan kehadiran Ayah Anjas. Dan acara lamaran berjalan lancar. Bahkan ketika Paman Aryo mengatakan, “pernikahan akan jauh lebih baik dilaksanakan. Mereka sama-sama dewasa, Ben juga sudah memiliki sumber penghasilan jadi tidak perlu ada yang dikuatirkan.” Kakek langsung mengiyakan. * Dua minggu berlalu dengan
Acara makan malam usai sekitar jam sepuluh. Mama Eva sendiri yang mengantarku lebih dahulu ke kamar. “Ini kamar Ben. Sudah dibereskan. Nak Yolla mending tidur, kelihatannya capek sekali,” ujar Mama Eva sambil membuka pintu kamar. “Tidak terlalu kok Ma,” jawabku santai. Untung saja Ben waktu itu menyarankan aku untuk ke dokter, vitamin dan obat-obatan itu memperlancar jalannya pernikahan hari ini tanpa mual dan muntah; batinku.Mama Eva memandang ke arah meja. “Tidak ada air minum. Mama akan suruh Ben bawa minum kemari.”“Tidak usah repot-repot Ma, tadi kan Yollanda sudah minum.”"Tidak ada yang repot Nak Yolla." Wanita itu kemudian meninggalkan aku di dalam kamar seorang diri. Sikapnya masih sama seperti pertama kali bertemu. Ramah dan murah senyum, lama-lama aku jauh lebih bisa menyayangi Mama Eva daripada Ben. Aku terpesona dengan kamar ini. Tempat tidur luar dengan bedcover dan selimut warna pink. Di atas meja terdapat buku-buku tertata rapi. Beberapa judul terlihat seputar bu