Share

Bab 7. Bakal Calon Mertua

Benang kusut semakin ruwet. Semalaman aku mengalami insomnia, isi kepalaku terus berputar memikirkan “aku harus bagaimana?”

Keputusan apa yang harus aku pilih? 

Mempermainkan ikatan suci hanya untuk menutupi aib? 

Atau aku benar-benar menggugurkan janinku sendiri?

Namun, setiap kali berpikir menggugurkan janinku sendiri entah mengapa ucapan Ben, "aku bukanlah bagian dari pembunuh," selalu menghantui pikiranku. Sialnya hati kecilku membenarkan ucapan Ben, jika aku menggugurkan janin ini aku bagian dari pembunuh.

Tidak!

  

Aku bukan pembunuh!

Setelah semalaman suntuk aku berfikir, akhirnya aku memberanikan diri mengambil keputusan. Aku akan menerima tawaran Ben. Uang sepuluh juta barter dengan status perkawinan selama satu tahun. Aku masih punya tabungan sebelas juta.

Biar bagaimanapun kehadiran bakal manusia kecil ini aku yang mempersilahkan. Aku tak ingin menambah dosa dengan membunuh calon manusia kecil dalam rahimku ini.

Jika ada sosok yang harus aku hukum dalam hal ini, Arya-lah orangnya. Dia harus bertanggung jawab. Dia bukan hanya menelantarkan aku tapi juga darah dagingnya sendiri, dia juga menipuku. 

Aku telah bersumpah suatu hari nanti jika aku bertemu dengan Arya, dengan tanganku sendiri aku akan menghajarnya!

Ke esok harinya tepat hari Minggu aku langsung menuju kamar Ben dan memberi tahu jika aku terima tawarannya. 

Pria berambut gondrong itu tertawa girang, dan aku yang tetap dengan perasaan gelisah tidak menentu. Entah apa yang terjadi nanti aku tidak tahu dan tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dikemudian hari. 

"Mulai sekarang kita sahabat Yollanda, dan kamu jangan terlalu kaku." Ben tersenyum padaku, sedikitpun aku tidak melihat wajah susah Ben. Seakan-akan masalah sudah kelar seratus persen.

“Kamu harus ingat kesepakatan kita! Dan selama pernikahan sedikitpun kamu tidak boleh menyentuhku! Atau…” Aku kehabisan kata-kata dan Ben justru menatap mataku.

“Atau apa?”

Aku buang muka. “Kubakar cafemu!” Kalimat itu mulus keluar dari bibirku saat badanku semakin menggigil ketika Ben terus menatapku seolah tidak takut dengan ancamanku.

“Potong jari kelingkingku jika aku ingkar janji!” Ben melangkah mendekat, masih dengan tatapan tajam sambil mengangkat jari kelingking tepat di hadapanku. 

Tanpa menjawab aku langsung mengaitkan jari kelingkingku dengan jari Ben, sebagai bentuk awal mula perjanjian disetujui. Semoga saja Ben tidak ingar janji. Jika Ben juga berdusta mungkin itulah akhir dari hidupku. 

*

Ke esok harinya uang yang diminta Ben telah aku transfer, beberapa kesepakatan telah dibuat. Salah satunya Ben akan menikahi aku secara sah negara dan mengakui secara legal jika anak yang kukandung adalah anaknya.

Ini gila!

Tapi aku sudah tersudut oleh keadaan. 

Aku dan anakku hanya butuh pengakuan, urusan yang lain aku yakin bisa bereskan. 

Untuk urusan finansial aku rasa bisa terkendali hingga lima tahun ke depan. Aku sebagai teller bank yang sudah digadang-gadang naik pangkat memiliki gaji lumayan besar. Cukup untuk menghidupi diri sendiri serta bakal calon bayiku.  

Beban di pundakku berkurang sekitar tujuh puluh persen. Lumayan tidurku jauh lebih nyenyak, kerja pun terasa jauh lebih fokus.  

Satu minggu kemudian Ben mengajakku bertemu dengan orang tuanya di Mojokerto. Satu setengah jam perjalanan dari Surabaya. 

Awalnya aku menolak, aku tidak siap bertemu dengan orang tua Ben, tapi setelah Ben memaksa demi kelangsungan nikah, suka tidak suka aku akhirnya nurut apa kata Ben. 

Ben sudah cerita gambaran keluarganya, dia menyakinkan aku jika ibunya bakal senang aku datang. 

Karena dia anak tunggal, kesayangan orang tua, terutama ibunya. Ben juga sudah berjanji akan merahasiakan soal kehamilanku. 

“Jika aku jujur kamu hamil, pasti mereka juga akan marah sama aku. Kondisimu sekarang biar jadi rahasia kita.” Itulah kata Ben.

Aku setuju dengan usulan Ben. Setidaknya aku tidak malu jika bertemu dengan orang tuanya dalam waktu dekat. 

Benar saja kata Ben, ibunya; Mama Eva aku menyebutnya, sosok yang sangat ramah. Dia menyambutku dengan senyuman hangat untuk pertama kalinya.

“Ma, kenalkan ini Yollanda,” kata Ben sambil merangkul ibunya lalu mencium pipi kanan dan kiri ibunya. Sungguh aku terharu dengan pemandangan anak dan ibu yang sangat manis. Membuatku kangen dengan ibu dan bapak yang telah tenang di surga.

“Anak gadis mana ini? Cantik betul?”

Untuk kedua kalinya aku terharu, kalimat pertama yang keluar dari bibir Mama Eva padaku sebuah pujian. “Saya Yollanda Tante, saya asli Malang. Kerja di Surabaya.”

“Calon istri Ben,” kata Ben cengar cengir.

Aku menelan ludah, keget dengan ucapan Ben. Mudah sekali pria itu mengatakan hal semacam itu pada ibunya. Dari cara bicara dan perlakukan Ben pada ibunya aku bisa menebak mereka sangat dekat.

“Jangan bercanda hal yang serius.” Mama Eva mencubit lengan Ben dengan gemas.

Aku sendiri sudah sangat malu hanya bisa menundukan pandangan, sedikit pun tak berani berkata-kata.

“Sumpah Ma, dia calon istri Ben.” Ben memegang jemari ibunya sambil menjerit kesakitan. 

Mama Eva melepas cubitanya, lalu memandangku dan Ben dalam-dalam, sungguh aku gugup luar biasa. Aku yakin orang tua ini sangat kaget dengan berita yang dibawa anak satu-satunya. 

Semoga saja dia tidak menolakku, kalau tidak rencanaku dan Ben bubar.

Zedanzee

baca di Good Novel tanpa koin? Alias gratis? Bisa banget! Dengan lihat iklan kalian bisa baca novel ini tanpa repot-repot beli koin. Selamat membaca.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status