Bab 5

Dalam seminggu berikutnya, Leon masih belum pulang.

Namun, aku tahu persis apa yang dia lakukan. Itu berkat Nafa yang senang sekali perbarui cerita di sosial media.

Mereka pergi ke pemandian air panas bersama, jalan-jalan ke pantai, dan berfoto saat matahari terbit.

Lewat postingan-postingan itu, aku seperti melihat sisi Leon yang berbeda.

Ternyata, dia juga bisa bersikap seperti pria yang sedang jatuh cinta, seperti orang biasa.

Beberapa hari ini aku juga tidak diam saja. Barang-barang di rumah terlalu banyak dan butuh beberapa hari bagiku untuk membersihkan semuanya sampai tuntas.

Aku juga menyempatkan diri pulang ke rumah, memberi tahu orang tuaku bahwa aku akan ke institut riset medis di Mian dan mungkin tak akan bisa sering berkomunikasi.

Ayahku tampak kaget. "Bukannya kamu dan Leon akan segera menikah? Kalau begitu, kalian akan LDR dong?"

Ibu pun terlihat khawatir. Dia menggenggam tanganku dan menasihatiku. "Elea, coba pikirkan lagi. Kalian sudah sampai sejauh ini, Ibu takut kalau kamu kejar riset medis itu, Leon bisa saja nggak setuju dan malah membatalkan pernikahan, lalu putus denganmu."

Aku mengerti kenapa mereka khawatir.

Mereka tahu betul bagaimana aku selama ini begitu keras kepala soal Leon dan mereka pun sadar bagaimana sikap Leon terhadapku.

Dulu, mereka pernah menasihatiku secara halus, bilang kalau posisiku di hati Leon mungkin tidak begitu penting. Mereka menyuruhku untuk berpikir ulang. Namun, saat itu aku sangat yakin, merasa bisa mengubahnya, membuatnya benar-benar menerimaku sepenuhnya.

Akhirnya, mereka pun memilih untuk tidak memaksaku lagi.

Namun, sekarang, justru akulah yang memutuskan untuk membatalkan pernikahan.

Saat kuberitahu keputusan ini pada orangtuaku, mereka terdiam, tak berkata apa-apa.

Aku tidak memberi tahu mereka bahwa Leon telah menghamili Nafa. Aku takut mereka tak sanggup menerima kenyataan seberat itu. Aku hanya bilang bahwa aku ingin melanjutkan karierku di dunia medis dan berkontribusi untuk ilmu kedokteran.

Ayahku akhirnya hanya menghela napas, menepuk pundakku, dan berkata, "Asal kamu nggak menyesalinya sendiri, itu yang paling penting."

Setelah pulang ke rumah, aku memanggil sahabatku, Lina, untuk membantuku membersihkan barang-barang yang sudah aku kemasi. Kotak-kotak kardus memenuhi ruang tamu dan membuat ruangan terasa sempit.

Kami mondar-mandir beberapa kali membawa semua kardus itu ke tempat sampah. Begitu selesai, rumah langsung terasa kosong.

Lina memandang sekeliling dengan perasaan campur aduk.

Dia masih ingat betul saat dua bulan lalu aku melamar Leon dan berhasil. Malam itu aku mengajaknya minum semalaman, kegirangan karena pikiranku saat itu adalah akhirnya aku bisa bersama dengan orang yang kucintai.

Siapa sangka, hanya dua bulan berlalu, aku memutuskan untuk membatalkan pernikahan.

"Kamu benaran? Kukira waktu kamu bilang mau batalkan pernikahan, itu cuma candaan," katanya dengan ekspresi tak percaya.

"Aku lihat sendiri bagaimana kamu mengejar Leon selama bertahun-tahun. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tiba-tiba kamu menyerah?"

Entah kenapa, mungkin karena aku akan segera pergi, aku mendadak ingin menceritakan semuanya.

Aku ceritakan seluruh kejadian selama sebulan terakhir. Tentang hubungan Leon dan Nafa dan juga soal anak itu.

Lina mendengarkan ceritaku sampai akhir, lalu spontan memaki dengan kesal, "Gila! Kamu sudah sebaik itu sama dia, tapi dia malah menghamili perempuan lain sebelum nikah dan berharap kamu bisa terima? Dia mikir apa sih?"

Aku menunduk, menahan pahit di dalam hati.

"Entahlah. Katanya, Nafa itu penyelamat hidupnya, jadi dia ingin memenuhi keinginannya."

Wajah Lina merah karena marah. "Kamu 'kan juga penyelamat hidup dia! Tapi, kenapa kamu diperlakukan seperti ini?"

Aku tidak menjawab lagi.