Christa menapaki jalanan di lorong gelap yang ada di hadapannya. Panjang sekali, ketika setelah menikah tadi dan dia diantarkan ke sini sepertinya tidak sepanjang ini. Bagaimana bisa sekarang sangat panjang seperti ini?
"Hafens ... Kau dimana?" Christa bertanya sambil merapatkan pakaian yang dipakainya.Dia hanya memakai dress dengan cardingan, pakaian yang dipakai memang masih menggunakan miliknya yang dia bawa dari luar negeri ketika dia diculik oleh anak buah Hafens. Dia harus meninggalkan semua pendidikan yang dia lakukan karena sekarang dia sedang terjebak di sini."Ggggrrrr ...""Suara apa itu?" gumamnya sambil memeluk tubuhnya sendiri.Langkah Christa pun tertahan ketika dia mendengar suara yang berasal dari ujung lorong. Suara yang seperti auman dari hewan liar yang terdengar menakutkan, membuat Christa tak bisa melanjutkan langkah kakinya."Apa itu tadi? Kenapa suaranya sudah hilang? Ya Tuhan, sebenarnya ada dimana aku?" batinnya seraya menatap kiri kanan.Wajahnya ketakutan, dia bahkan berkeringat padahal dia baru saja mandi. Aura yang ada di dalam lorong ini benar-benar berbeda, dia tak tahu harus berjalan kemana tapi tetap memutuskan untuk melangkahkan kakinya yang terasa berat.Dia mengingat tentang ancaman yang diberikan oleh pria itu tadi, dia tidak bisa terus menerus berhenti disini atau dia akan mendapatkan siksaan. Walaupun dia tahu kalau waktu sepuluh menit itu sudah lewat dan dia sudah terlambat."Apa yang harus kulakukan? Kenapa jalannya bercabang tiga?" Christa meremas jarinya dengan tatapan khawatir. "Kemana harus kutuju? Dimana dia berada?"Christa menelan ludahnya dan berpikir. Sementara itu seorang pria di sebuah ruangan sedang tersenyum dengan para anak buahnya yang sedang meeting dengannya. Mereka memang sedang melakukan meeting di salah satu ruangan rahasia. Hafens meminta wanita itu kemari dengan sengaja, sambil memberikan banyak suara-suara menakutkan agar membuat mental dari wanita itu jatuh.Melihat wajah Christa yang tersiksa dan ketakutan di persimpangan tiga antara lorong kanan, kiri dan lurus saja sudah membuatnya begitu puas. Christa harus tahu kalau dia tidak akan mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan disini, Hafens tidak sebaik itu untuk membiarkan anak pembunuh orang tuanya baik-baik saja di sekitarnya."Kalau kanan biasanya bagi para mafia adalah sebuah lorong yang menuju kebebasan, kalau kiri menuju kesengsaraan. Aku tahu kalau semua teknik itu biasanya dipakai oleh mafia, aku tahu hal ini dari Ayah. Semoga aku tidak salah, karena ini berbeda tempat dari rumah kami." Christa menggenggam tangannya erat.Dia memastikan langkahnya dengan tatapan penuh keyakinan. Dia memilih jalur kiri dan berlari kencang karena suara-suara aneh itu masih terdengar seolah mengejarnya. Dia mengabaikan rasa sakit di antara pahanya karena Hafens yang melakukan hubungan itu tadi malam dengannya. Karena yang terpenting sekarang adalah, dia harus mendapatkan tempat dimana Hafens berada.Kurang lebih sepuluh meter dia berlari, dia menemukan banyak ruangan-ruangan dengan pintu besi yang tertutup rapat. Beberapa anak buah berbadan besar dan berwajah sangar juga ada di sana dan itu membuatnya memberanikan diri mendekati mereka."Apakah ada Hafens di ruangan ini?" tanya Christa dengan napasnya terengah-engah karena baru berlari.Namun bukannya menjawab mereka hanya diam seolah menjadi patung. Christa mengerutkan dahinya, lalu melambaikan tangannya di depan wajah pria itu dan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka benar-benar seperti patung yang tidak bergerak bahkan kalau gedung ini runtuh."Astaga, apakah kalian tidak bisa bicara?" tanya Christa tak paham. "Tetapi wajah Kalian sehat dan tidak menunjukkan kalau kalian tidak bisa bicara. Katakan padaku sekarang apakah ada Hafens di sini?" tekannya dalam.Hafens yang ada di sebuah ruangan mendengar semua itu dan dia bisa melihat bagaimana Christa yang berusaha untuk menekan anak buahnya untuk memberitahu di mana dia berada. Tetapi yang tidak disadari oleh wanita itu adalah, dia bukan di markas ayahnya sehingga anak buahnya tidak akan menuruti kata-katanya dan bahkan tidak akan mendengarkan ucapannya.Dia disana hanya akan membuang waktu, membuatnya semakin terlambat untuk datang dan bisa membuat Hafens menambah hukuman dan siksaan yang menjadi lebih berat, mungkin."Astaga, kalian benar-benar bisu! Di mana dia berada? Aku harus segera mencari tahu," gumam Christa dengan telapak tangannya yang sudah berkeringat.Dia sadar sudah menghabiskan banyak waktu yang tersia-sia di sini. Tetapi dia masih harus mencari di Hafens, caranya adalah, ya, dia tahu! Langkahnya dengan cepat bergerak dan membuka pintu besi itu sekuat tenaga.Beratnya membuat tangan Christa sakit, tapi dia tidak menyerah dan terus melakukannya. Dia menatap pintu itu dan benar-benar terbuka sehingga dia bisa melihat ke dalamnya dan tak menemukan keberadaan siapapun."Bukan disini! Mungkin di pintu yang ada di sana."Walaupun tangannya sakit, Christa tetap bergerak dan membuka pintu selanjutnya untuk bisa melihat isinya. Dua pintu yang dia buka sama-sama zonk dan dia tidak menemukan keberadaan Hafens. Sementara keringatnya sudah bercucuran dan sia-sia saja dia menggunakan riasan wajah karena sepertinya sudah luntur semuanya."Hanya ada sisa dua pintu. Ya Tuhan, berilah petunjuk di mana sebenarnya pria itu berada. Mau sampai kapan dia mempermainkan aku seperti ini?" Christa terengah-engah, lalu menatap dua pintu dihadapannya.Dia menatap salah satu pintu berwarna hitam, sehingga entah keyakinan dari mana dia langsung berjalan ke sana dan membukanya sekuat tenaga. Ketika terbuka dia benar-benar melihat cahaya dan ada seseorang yang duduk dengan para pria disana.Christa akhirnya menemukan keberadaan Hafens, dia tampak menatap datar dan dingin wajah Christa yang tersengal kelelahan. Tetapi selain wajahnya, wajah para anak buah pria itu juga sama-sama menatapnya dingin, benar-benar memusuhi Christa padahal kalau ingin membela diri dia juga tidak tahu apa-apa soal pembunuhan itu."Hafens-""Kau terlambat lima belas menit, aku hanya memberimu waktu sepuluh menit tapi kau malah menambah waktunya sesuka hatimu." Hafens berkata datar membuat Christa terdiam kaku."Aku tidak bisa menemukanmu dengan cepat karena aku juga harus mandi. Waktu yang kau berikan juga tidak masuk akal, Hafens ..." Christa merapatkan bibirnya ketika dia sadar sudah bicara dengan pria ini.Padahal belum tentu juga Hafens suka ketika dia bicara dan dibantah."Haha, apakah hidupku harus dipenuhi dengan kemakluman atas kesalahan yang sudah kalian lakukan?" tanyanya dingin membuat Christa merasa seperti dicekik.Tatapan pria itu tajam dan membuatnya seperti tak bisa berjalan, tubuhnya terpaku ke lantai yang ada dihadapannya dan dia benar-benar tidak mampu untuk membela dirinya karena dia tahu kalau Hafens sudah mengungkit tentang kesalahan ayahnya."Maafkan aku ..." Christa berkata sambil menunduk pada akhirnya, ketika dia merasakan aura yang ada di sana bukannya malah membaik tapi semakin memburuk."Cih!" Hafens mengangkat sebelah kakinya dan duduk dengan tatapan penuh kuasa. "Tunjukkan padanya bagaimana nasib yang akan dia alami selanjutnya kalau dia terus melakukan kesalahan!" titahnya membuat anak buahnya bergerak patuh dan membuka sebuah peti di hadapan mereka.Christa melangkahkan kakinya yang terasa berat ketika Hafens menggerakkan tangannya dan memintanya untuk mendekat. Dia bukan baru kali ini berada di lingkup keluarga atau kekuasaan seorang mafia, tapi baru kali ini dia benar-benar berada di dalam sebuah kekejaman Hafens jika selama ini dia selalu diminta untuk menjadi putri yang baik dan tidak ikut-ikutan dalam dunia gelap mafia ayahnya."Kau lihat itu-""Ahhh!" Christa termundur dengan kaget melihat siapa yang ada di dalam peti.Jantungnya seolah berhenti berdetak bersamaan dengan napasnya yang hampir berhenti. Dia menatap pria yang wajahnya sudah pucat di dalam peti itu, lalu menatap wajah Hafens diam dengan angkuh seolah-olah tidak ada yang terjadi."Kau ... Kau membunuhnya?" tanya Christa dengan suara bergetar membuat Hafens tersenyum kecil."Tentu saja," jawabnya ringan. "Aku bisa membunuh siapapun yang mengusik kehidupanku. Karena kedua orang tuamu tidak kutemukan makanya tidak kubunuh. Jadi ..." Hafens menjeda kata-katanya dan bangkit sambil berjalan mendekati Christa. "Bersyukurlah karena kau tidak kubunuh, karena kau kuminta untuk melahirkan dua anakku tanpa harus melakukan apapun untuk menggoda dan menggoyahkan hatiku. Kau paham?!" tanyanya dengan mencengkeram lengan Christa.Wanita itu mengangguk takut, keringat yang kembali jatuh membasahi leher dan dahinya sehingga lehernya berkilat dengan aroma feminim yang terasa di tubuhnya. Aroma yang berhasil menaikkan hasrat Hafens hingga tangan pria itu bergerak meminta anak buah dan semua orang yang ada di dalam ruangan itu keluar, menyisakan mereka berdua."Bersiaplah menerima hukuman dariku."Christa mencengkram tangannya sendiri di sebelah paha, sementara untuk mundur dia tidak bisa karena Hafens sudah memegang lengannya. Dia berharap tidak disiksa begitu kasar atau disakiti dengan senjata tajam, dia sungguhan tidak bisa membayangkan kalau semua itu terjadi."Layani aku di ruangan ini, lepas semua pakaianmu!" ujar Hafens, sebelum memagut kasar bibir Christa secara tiba-tiba."Emmhh ..."Setelah pulang dari menjenguk Albene dan Alex, Christa merasa kehidupannya sudah sangat lengkap dan tidak ada lagi yang harus dia khawatirkan. Ayah angkatnya yang selama ini dia pikirkan dalam diam nyatanya hidup dengan baik walau harus menjadi petani anggur dan bisa dikatakan juga menjadi anak buah dari Hafens."Mau makan apa malam ini? Aku akan buatkan."Hafens menatap wajah Christa yang sedang bertanya padanya sambil membantu melepaskan jas yang dia pakai. Hari ini pelayan semua cuti dan memang sedang memasuki sebuah hari perayaan, dalam satu tahun memang biasanya Hafens akan memberikan para pelayan untuk libur, jadi sekarang yang akan memasak adalah Christa sampai dua hari lagi pelayan akan kembali ke rumah mereka untuk bekerja."Aku sudah meminta anak buah untuk membawa beberapa bahan makanan. Hari ini kita bakar-bakar daging dan beberapa makanan di luar nanti, ini malam pergantian tahun jadi akan sangat bagus kalau berbaquean, Sayang," ucap Hafens membuat Christa tersenyum."Bai
Hafens berhenti melangkah dan menunjuk arah sebuah tempat di mana mereka bisa melihat dua orang pria sedang asyik berkebun. Keduanya terlihat seperti ayah dan anak yang begitu akrab, di bawah pohon anggur keduanya sedang memetik hasil panen dan tertawa satu sama lain seperti membicarakan sesuatu hal yang lucu."Itu mereka? Ayah dan Alex?" tanya Christa tak percaya membuat Hafens bergumam sebagai jawaban.Christa masih tercengang tak percaya Karena ayahnya dan Alex benar-benar mendapatkan perlakuan yang baik dan bahkan menjadi petani anggur di sebuah lahan yang besar. Ada sebuah rumah tadinya yang sepertinya adalah tempat tinggal ayahnya dan Alex, lalu kini dia malah melihat ayahnya dan Alex yang sedang memetik anggur dan bercanda satu sama lain.Dia sempat mengira kalau Ayahnya mungkin berada di sebuah kurungan yang merupakan pembalasan dari Hafens. Tetapi nyatanya ayahnya hidup dengan begitu baik dan bahkan jauh lebih baik dibanding yang dia kira, karena malah menjadi petani anggur wa
Mendengar Hafens mengatakan semua itu, Christa merasa sangat senang. Dia langsung memeluk tubuh suaminya dan mencium rahang tegas Hafens dengan lembut."Terima kasih, aku senang sekali kau mau menuruti permintaan ini dan mau membawaku ke sana. Setidaknya walaupun hanya sekali kau mengizinkannya aku sangat berharap bisa melihat keadaannya. Dia adalah musuh dan kau membencinya, tapi dia tetap orang yang memiliki jasa padaku karena telah membesarkanku. Jadi sedikit banyak aku tidak bisa melupakan tentang hutang budi ini dan aku merasa harus terus mengingatnya karena dia menyayangiku selama bertahun-tahun seperti anakmu sendiri." Christa berkata seraya menatap Hafens dengan tatapan berkaca-kaca karena terharu.Hafens tersenyum pelan dan mengecup bibir Christa dengan lembut sebelum melumatnya penuh perasaan tanpa ada tuntutan sama sekali. Setelahnya dia kembali memeluk tubuh wanita itu dan mengejamkan matanya karena sebenarnya dia mengantuk, tapi dia tidak mungkin meninggalkan Christa dan
"Sudah semuanya?"Christa mengangguk, meringis melihat banyaknya paper bag yang bersusun di depan dan sedang diangkat oleh pelayan toko pakaian, anak buah dan juga security mall."Sepertinya belanja hari ini terlalu banyak dan aku sedikit kalap karena sudah lama tidak belanja. Beberapa hari ini aku melihat pakaian Cherry sedikit banyak sudah mulai sempit karena dia semakin bertumbuh besar. Dia tidak pernah menuntutku untuk membelikannya pakaian baru karena dia selalu berkata kalau masih bisa digunakan maka dia akan selalu menggunakannya. Apakah aku sudah membuat anak-anak terlalu sederhana, Hafens?" tanya Christa membuat Hafens tersenyum dan mengecup pipinya lagi."Itu sangat penting untuk mereka. Mereka harus tetap menggunakan kesederhanaan walau mereka adalah anak-anak kita yang ke depannya sulit kemungkinan mereka akan hidup susah karena aku sudah membuat deposito yang begitu panjang dan bahkan bisa mempunyai hidup mereka sampai mereka tua. Itu untuk mengontrol sikap dan emosi supa
"Tuan Besar Barack, selamat datang."Langsung pemilik universitasnya yang menyangkut kedatangan Hafens, Christa dan Hansen. Cherry sudah masuk sekolah setelah libur dua minggu lebih jadi dia tidak bisa ikut datang melihat universitas kakaknya. Hafens hanya mengangguk dan menatap putranya. Hansen sudah tersenyum dan mencium tangan ibu dan ayahnya, sengaja melakukan semua itu untuk meminta restu belajar. Beberapa mahasiswi memperhatikannya seraya berbisik-bisik, mereka tak pernah bertemu dengan Hansen secara umum karena pria ini jarang keluar dan hanya di rumah saja setiap hari setelah pulang sekolah, makanya sekarang dia yang muncul di hadapan mereka semua membuat para mahasiswi memperhatikannya dengan kagum.Walau tidak semua orang kenal dengan Hansen karena pria itu selalu menyembunyikan dirinya, tapi dari mulut ke mulut mereka bisa menemukan fakta dan juga beberapa ciri-ciri tentang yang merupakan anak mafia dan juga penguasa terbesar di Klan ini. Bukan sebuah rahasia, karena bagaim
Hari kelulusan tiba dan Hasan berhasil mendapatkan nilai yang baik. Dia libur selama beberapa hari sebelum akhirnya masuk ke dalam universitas, tak ada lagi yang bisa mengganggu seperti dia berada di sekolah menengah ke atas, karena Claudia juga sudah semakin diam dan tidak banyak mengganggu sejak dia terakhir kali mengancamnya. "Kalau nanti sudah di universitas, kau akan sangat sibuk. Tetap yakin mau pulang pergi dan tidak menginap di asrama?" tanya Christa seraya menemani putranya itu memakan potongan buah."Ya, Bu. Aku akan tetap pulang pergi. Ayah sudah memberikan aku satu mobil jadi aku akan menggunakan itu dan tidak mau menginap di asrama. Menginap di asrama terlalu jauh dan juga lama, aku tetap mau pulang melihat Ayah, Ibu dan adik. Bagaimana tidak begitu jauh jaraknya dari rumah kita dan aku akan tetap bisa pulang setiap selesai pembelajaran." Handphone berkata sambil menggeser tabletnya dan belajar kecil-kecil.Christa tersenyum pelan mendengarnya. "Kalau kau punya teman dan