Home / Romansa / Pernikahan Turun Ranjang / 3. Suami Bekas Mbak Laras

Share

3. Suami Bekas Mbak Laras

Author: Mami Mochi
last update Last Updated: 2024-12-01 22:13:00

"Saya terima nikah dan kawinnya Saras Zafnia Gutomo dengan mas kawin berupa uang tunai sepuluh juta rupiah dibayar tunai!"

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Sah!"

"Alhamdulillah."

"Hari ini, kalian sudah sah sebagai sepasang suami dan istri. Menjalani ibadah terlama sepanjang usia." Ucap bapak penghulu, kemudian memberikan dua buku nikah.

"Ini, buku berwarna merah untuk suami. Warna hijau untuk istri. Silahkan, bisa disimpan dengan baik."

Kedua buku itu disimpan oleh Mas Rehan. Saras menatap dalam diam. Acara pernikahan yang terpaksa Saras jalani, akan kah Saras sanggup? Rasanya mustahil.

"Saya berharap, buku ini akan kembali ke KUA sebagai syarat menjalankan ibadah di tanah suci. Jangan sampai ke Pengadilan Agama."

Mas Rehan tersenyum, "Insya Allah, kami minta doanya, Pak."

Setelah akad, diadakan sesi foto bersama keluarga inti. Bahkan, Saras tidak sempat mengundang teman kampusnya, SMA nya, atau teman Saras yang lain. Acara hanya berlangsung sebentar, sebelum jam dua belas siang para tamu sudah berpamitan pulang. Ruang tamu sudah di bereskan dari sisa acara.

Saras yang merebahkan tubuhnya diatas kasur merasa nyaman, "Akhirnya bisa tiduran, punggung ku terasa pegal."

Menatap plafon kamarnya, polos. Helaan napas panjang terdengar di sunyinya kamar. Saras teringat kejadian tadi pagi, disaat Mbak Ema akan membantu Saras untuk kabur dari acara akad. Saat akan keluar dari kamar lewat jendela, pikiran Saras berubah.

Entah apa yang terjadi pada tubuhnya, seolah kakinya sulit melangkah keluar. Saras gamang dengan keputusannya, padahal kemarin-kemarin Saras kekeh akan memberontak. Namun pada akhirnya, Saras mengalah dan membiarkan pernikahan ini terjadi.

"Kamu mandi dulu atau saya?"

Saras terkesiap mendengar suara bariton yang masuk ke kamar. Sontak, Saras langsung terduduk di tengah kasur. Menatap selidik pada sosok mas ipar yang kini sudah menjadi suaminya.

"Mas Rehan? Ngapain kesini?"

"Saya sudah sah menjadi suami kamu, tidak ada larangan suami tidak boleh masuk ke dalam kamar istrinya."

"Ya, kalo itu kan suami istri saling cinta. Lagian, aku masih gak bisa terima Mas Rehan jadi suami aku." Saras berkata dengan nada judes.

"Saya capek, saya mandi duluan."

Menghiraukan perkataan Saras, Rehan melangkah masuk ke kamar mandi. Tentu saja, tingkah Rehan membuat Saras geram. Saras masih belum terima jika ia menikah dengan mas iparnya sendiri. Perasaan kesal masih menyelimuti. Kesal hanyalah kesal, karena kini faktanya Saras sudah menjadi istri Rehan.

Tak berselang lama, pintu kamar mandi terbuka. Menampilkan Rehan yang kini sudah segar setelah membersihkan tubuhnya. Memakai kaos polos warna biru navy lengkap dengan celana training panjang. Dengan handuk kecil, Rehan mengusap rambutnya yang masih basah.

"Mas Rehan kenapa mau nikah sama aku?" Pertanyaan tersebut keluar dari bibir Saras.

Rehan menoleh sekilas, tak berniat menjawab. Hal tersebut membuat Saras bertambah kesal.

"Mas Rehan, aku tanya sama kamu loh."

Dirasa air sudah tak menetes dari rambut, Rehan berkata, "Pertanyaan kamu tidak ada gunanya sekarang. Untuk apa saya jawab."

"Ish, ya ada lah. Lagian karena Mas Rehan aku nikah muda."

"Saya tidak memaksa."

"Gak maksa aku buat nikah sama Mas Rehan sih, iya. Tapi maksa Papa." Kekeh Saras membuat suasana kamar tak enak.

"Saras, cukup."

Saras cukup terperanjat mendengar nada bicara Rehan. Sebelum ini, Saras terbiasa dengan nada lembut dan kalem pria itu sebelum semua ini terjadi. Atau lebih tepatnya sebelum kematian Mbak Laras.

"Cukup bertanya pertanyaan yang tidak penting seperti itu."

"Tidak penting?"

Saras tidak menyangka, Mas Rehan ini sekalinya bicara nadanya tidak enak di dengar. Kalimatnya nyelekit sekali, seperti tidak pernah sekolah. Tidak bisa menghargai lawan bicaranya.

"Menurut Mas Rehan tidak penting, tapi menurut ku penting, Mas."

Saras bangkit dari kasur, tak ia pedulikan kebaya putih bersihnya kotor. Masih dengan wajah penuh riasan, Saras menghampiri Rehan. Tatapan mata yang tidak bersahabat ia layangkan pada suaminya.

"Mas Rehan gak tau, seberapa hancur aku ketika Papa paksa aku buat nikah sama kamu! Papa bilang, kalo aku nikah sama Mas Rehan itu buat gantiin Mbak Laras!"

Kali ini, Saras benar-benar terpancing emosi.

"Aku bukan Mbak Laras! Saras ya Saras! Udah cukup aku selalu mengalah sama Mbak Laras sejak kecil. Bahkan, untuk sekedar barang pun aku harus berbagi dengan Mbak Laras."

"Aku punya cita-cita, aku juga punya keinginan yang pengen aku capai! Sampai kapan hidup aku harus di bawah bayang-bayang Mbak Laras meski Mbak Laras sudah meninggal?"

"Dunia ini rasanya gak adil buat aku!"

Saras tak dapat membendung air mata. Seketika semuanya tumpah ruah di hadapan Rehan. Tak peduli dengan make up nya yang berantakan, atau dirinya yang tampak menyedihkan.

Suasana kamar pengantin yang seharusnya romantis, malah di isi isak tangis. Rehan yang tak ingin tangisan Saras terdengar sampai diluar kamar mencoba menenangkan.

Di dekatinya Saras, namun perempuan itu malah semakin memaki. Mengatakan segala hal yang membuat Rehan semakin panas dada.

"Seolah aku gak dapet kebebasan. Aku selalu diajari mengalah, selalu berbagi, padahal aku juga punya privasi. Apa aku salah?!"

"Aku benci diriku yang harus hidup dengan bekas orang lain."

Rehan segera menghentikan sebelum racauan Saras terdengar sampai luar kamar.

"Cukup Saras. Apa yang kamu ucapkan sudah keterlaluan."

Saras semakin emosional, "Bahkan, untuk suami aja, aku di paksa menerima bekasnya."

Plak

Suara tamparan terdengar nyaring di dalam kamar. Kepalanya tertoleh. Seketika itu pula tangisan Saras terhenti. Suaranya tercekat di kerongkongan. Matanya berair menahan kesedihan yang selalu saja tumpah.

Tatapannya perlahan naik ke atas, sebelah tangannya menyentuh pipi sebelah kanan. Terasa kebas disana.

Saras terdiam menatap suaminya, sungguh dirinya tidak menyangka. Di hari pertama pernikahan, Saras mendapat hadiah tak mengenakkan. Kejadian ini tentu tak bisa Saras lupakan sampai kapan pun.

Sebuah tamparan dari Rehan.

Rehan tersadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. Ekspresi terkejut tampak dari wajahnya. Rehan sendiri tidak menyangka, jika dirinya berani melepas tangan pada seorang perempuan. Sungguh, Rehan hilang kendali.

"Saras..."

Saras mundur satu langkah.

"Saras, saya minta maaf. Saya tidak sengaja." Rehan mendekati Saras, memerika keadaan istrinya.

Akan tetapi Saras berteriak, "Stop! Jangan mendekat!"

Seketika itu pula, Rehan berhenti. Di tatapnya Saras dengan perasaan bersalah. Kemudian beralih menatap tangan yang baru saja menampar istrinya.

"Kali ini aku curiga, apa Mas Rehan juga memperlakukan Mbak Laras dengan kekerasan seperti ini?"

Rehan terkejut mendengar pertanyaan Saras.

"Saras, apa yang kamu ucapkan itu tidak benar. Kamu salah paham. Saya minta maaf. Saya hilang kendali." Rehan menjelaskan perlahan.

"Belum ada satu hari aku jadi istrimu, sudah mendapat kekerasan. Bagaimana jika satu tahun?"

Saras menatap Rehan dengan tatapan kosong, "Mungkin aku akan masuk rumah sakit setiap Minggu."

Selepas berkata demikian, Saras berpaling pergi. Saras butuh waktu sendiri. Dirinya tidak menyangka, Rehan, yang seharusnya melindungi malah menyakiti.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Turun Ranjang   12. Mas Rehan mencintai Saras

    Saras terisak di atas ranjangnya. Kepalanya ia tenggelamkan dalam bantal agar suaranya teredam. Meski Saras sudah setuju untuk bercerai dari Mas Rehan, namun mengapa hatinya terasa sakit. Seolah, Saras tidak ingin berpisah dari Mas Rehan. Padahal Saras baru tinggal bersama, Saras pun merasa belum begitu mengenal Mas Rehan. Tapi kenapa, rasanya sesakit ini? Saras mengangkat wajahnya yang berantakan. Matanya memerah berlinang air mata, nyaris bengkak. Ia menoleh pada ponsel yang bergetar di sampingnya. [Mama] Ternyata Mamanya yang menelepon, tentu Saras mengabaikan panggilan dari orang tuanya. Keadaannya setelah terlibat pertengkaran tadi belum membaik. Saras masih perlu waktu. Tok Tok Tok Suara ketukan terdengar, Saras menoleh sekilas. Tak berniat membukanya. "Saras." Suara itu, "Mas Rehan?" Gumam Saras dari tempat tidurnya. "Saras, buka pintunya. Kita harus bicara." Ucap Mas Rehan dari balik pintu. "Tolong Saras, ada hal yang harus kita selesaikan. Tanyaka

  • Pernikahan Turun Ranjang   11. Bercerai

    "Bi Minah pulang saja. Sudah sore, kasihan suami Bi Minah pasti menunggu dirumah." Ucap Saras setelah melihat jam dinding menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. Raut gelisah Bi Minah membuat Saras tidak tega jika harus menahan Bi Minah hingga malam. Apalagi, Mas Rehan belum ada tanda-tanda kedatangannya. Ingin menghubungi Mas Rehan, tapi Saras sadar jika ia tidak memiliki nomor suaminya. Menghela napas panjang, sebenarnya mereka menikah atau bagaimana sih? Sepasang suami istri tapi tidak memiliki nomor satu sama lain. "Jangan Bu Saras. Bi Minah menunggu Pak Rehan pulang saja. Tadi Bi Minah sudah janji sama Pak Rehan." Balas Bi Minah. Keduanya kini berada di dapur. Saras yang akan menyantap sop ayam buatan Bi Minah meletakkan kembali sendoknya ke dalam mangkok. Menatap Bi Minah yang menemaninya dengan gelisah. "Saras sudah lebih baik kok Bi. Jadi, Bi Minah tidak perlu khawatir. Nanti Saras akan bilang ke Mas Rehan kalau Saras yang suruh Bi Minah pulang." Ucap Sara

  • Pernikahan Turun Ranjang   10. Pernikahan yang Hambar

    "Jasmine adalah anak saya." Itu adalah kalimat Mas Rehan setelah beberapa saat terdiam. Menjawab dengan tatapan yang tidak bisa Saras artikan. Raut ekspresinya tenang, seolah tidak ada masalah dengan pertanyaan Saras. Padahal, pria itu sempat mematung mendengarnya. "Mas Rehan jangan bohong." Ucap Saras. "Sepertinya pingsan membuat isi kepalamu terbentur, hingga melupakan sebagian memori sebelum ini." Kata Mas Rehan menarik napas panjang. "Satu tahun lalu, saya menikah dengan kakak kamu. Kami memiliki anak, dan anak itu adalah Jasmine. Tambahan lagi, setelah kematian kakak mu, saya menikah dengan kamu. Otomatis sekarang kamu adalah istri saya." "Saras inget kok Mas, kalo Saras sudah menikah dengan Mas Rehan." "Baguslah, saya takut memori kamu tentang pernikahan kita hilang." Suara kursi berdecit, Mas Rehan bangkit dari duduknya. "Infusnya sudah mulai habis, saya panggilkan suster jaga." "Mas Rehan!" Belum sempat Mas Rehan melangkah keluar, Saras memanggilnya. Me

  • Pernikahan Turun Ranjang   9. Pertanyaan Saras

    "Bi Minah, apa Mas Rehan sudah pulang?" Tanya Saras pada Bi Minah yang sedang membereskan peralatan dapur. Saras baru tiba dirumah saat sore menjelang. Setelah Saras mendesak Mamanya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Saras masih tidak habis pikir dengan pemikiran Papanya yang sangat egois. "Belum Bu Saras. Mungkin sebentar lagi." Jawab Bu Minah. "Oh iya Bu Saras. Semua pekerjaan sudah selesai, saya pamit pulang." Kata Bi Minah lagi. Saras mengangguk, "Iya Bi, terima kasih ya." "Sama-sama Bu Saras." "Bi Minah!" Baru saja berbalik, Saras kembali memanggil Bi Minah. Bi Minah mengurungkan niatnya, "Iya Bu?" Dengan senyum manis, Saras berkata, "Hati-hati di jalan ya, Bi." Bi Minah tertawa kecil, "Saya pikir kenapa. Iya Bu Saras, siap." Selepas kepergian Bi Minah, Saras menuju kamar Jasmine. Mas Rehan memang melarang pintu kamar Baby Jasmine di tutup rapat. Hal itu memudahkan Saras mengintip dari luar. Ternyata Jasmine baru selesai mandi. "Halo J

  • Pernikahan Turun Ranjang   8. Ayah Kandung Jasmine

    "Mama!" "Mama dimana?!" "Mama!" Saras menerobos masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan Mama dan Papanya. Suasana dirumah sangat sepi, entah kemana Mamanya. Merasa Mamanya berada di kebun belakang, Saras bergegas menuju belakang rumah. Napasnya tersengal dengan tatapan berkeliaran mencari Mama. Melihat Mamanya tengah memindahkan bunga dari pot kecil ke tanah. Mengusap peluh yang turun dari pelipisnya. Tak kuasa Saras memanggil Mamanya. "Mama!" Teriak Saras membuat sang Mama menghentikan pekerjaannya. Mama terbelalak melihat keberadaan putrinya, "Saras? Kamu datang bersama siapa?" "Saras mau bicara sama Mama." Mendengar nada Saras yang tidak biasanya, Mama bergegas menyusul Saras yang masuk ke rumah. Ditinggalkannya peralatan berkebun begitu saja. "Saras, ada a--" "Jawab pertanyaan Saras dengan jujur." Saras memotong kalimat Mama. "Saras..." "Mama,..." Saras menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. "Mama cukup jawab iya atau tidak." Tambah S

  • Pernikahan Turun Ranjang   7. Jasmine Bukan Anak Pak Bagas?

    "Bu Saras," Suara Bi Minah memanggil Saras yang tengah asyik bersantai di halaman belakang bersama Jasmine. Bayi mungil itu nampak anteng dalam gendongan Saras, sesekali senyum manis terpatri di wajahnya. "Nyonya ada di ruang tamu, Bu." "Tante Erna disini?" tanya Saras pada dirinya sendiri. Bi Minah yang mendengar pertanyaan lirih itu menjawab, "Iya Bu Saras, nyariin Bu Saras." Saras mengangguk, memberikan Jasmine pada pengasuhnya. "Titip Jasmine ya, Sus." "Aman Bu Saras." Kemudian, Saras bersama Bi Minah berjalan menuju ruang tamu. Jantungnya berdebar kencang, dari yang Saras ketahui, Tante Erna menentang pernikahan turun ranjang ini. Bahkan, kemarin saat akad pun Tante Erna tidak datang. Pak Bagas hanya ditemani oleh Om Ardi saja. "Tolong bawakan camilan ya, Bi. Berikan jamuan terbaik untuk Mamanya Pak Bagas." kata Saras. "Baik Bu." Dengan langkah tegas, Saras berjalan sendirian menemui Tante Erna. Siluet perempuan paruh baya itu nampak dari kejauhan. Tengah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status