Pernikahan turun ranjang, orang menyebutnya begitu. Pernikahan yang terjadi ketika suami atau istri menikah dengan adik atau kakak iparnya sendiri karena suami atau istrinya sudah meninggal. Bagi orang awam, istilah pernikahan turun ranjang adalah hal yang jarang terjadi.
Biasanya karena polemik masalah internal keluarga, pernikahan turun ranjang dapat terjadi. Banyak hal dan alasan di balik terjadinya pernikahan turun ranjang. Bahkan, alasan tersebut terdengar tidak masuk akal. Namun, inilah fakta yang terjadi. Saras mengalaminya sendiri. Hari ini, tepat satu bulan setelah perdebatan yang tiada jalan keluar untuk Saras. Perempuan itu terpaksa menikah dengan mas iparnya sendiri. Tanpa cinta, tanpa resepsi, tanpa sahabatnya, bahkan tanpa impian pernikahan yang selama ini Saras inginkan. Malam setelah acara tahlilan empat puluh hari meninggalnya mendiang Mbak Saras, besok paginya acara akad digelar. Pernikahan yang sama sekali tidak pernah Saras inginkan. Rasanya Saras sangat frustasi dan depresi. "Mbak Saras kok cemberut sih, padahal sebentar lagi mau nikah loh. Harusnya senyum, biar makin cantik." "Supaya aura pengantinnya itu keluar, pasti Mas Rehan kesemsem sama Mbak Saras." Dengan suara ramahnya, Mbak Ema sebagai rias pengantin berusaha membuat suasana di kamar Saras menjadi hidup. Semenjak subuh, Mbak Ema hanya mendapati wajah muram Saras. Tanpa ekspresi tanpa senyum. "Kalau Mbak Ema ada di posisi Saras, Mbak Ema gimana?" Satu pertanyaan yang keluar dari bibir Saras membuat Mbak Ema terdiam. Kabar pernikahan turun ranjang yang sudah tersebar menjadi bahan perbincangan hangat oleh ibu-ibu komplek. Banyak yang tidak menyangka, lalu menjelekkan keluarga Saras. Menganggap kedua orang tua Saras keterlaluan dengan menikahkan putri kedua mereka dengan mantan menantunya. Namun, ada juga yang memaklumi. Karena memang, kematian Laras saat proses melahirkan membuat bayi tanpa dosa harus kehilangan sosok ibu. Berat mengurus bayi tanpa ibu, menjadi orang tua tunggal. Apalagi Rehan dan Laras baru menikah belum lama. "Mbak Saras, saya--" "Berat Mbak, rasanya. Kenapa harus Saras? Apa salah Saras?" Mbak Ema terdiam sejenak, "Mbak, saya doakan apapun yang Mbak Saras lalui hari ini pasti akan ada keindahan yang menanti. Percaya sama rencana Allah, Mbak." Dengan perlahan, Mbak Ema menghapus air mata yang mulai mengalir agar tidak merusak riasan. "Kita, sebagai manusia pasti memiliki banyak rencana. Tapi, Allah sebagai penentu rencana kita, Mbak. Allah akan menjaga kita agar kita tidak kecewa dikemudian harinya." Mbak Ema tersenyum, kemudian berkata, "Saya tidak bisa bantu apa-apa, tapi jika Mbak Saras keberatan dengan pernikahan ini Mbak Saras bisa gagalkan. Saya akan bantu Mbak Saras untuk pergi, meninggalkan acara hari ini. Masih ada waktu." Seolah waktu terhenti, Saras menatap Mbak Ema dari balik pantulan kaca. "Saya tidak mau mengulang kesalahan untuk yang kedua kalinya." Tambah Mbak Ema. "Maksud Mbak Ema apa?" Terlihat Saras menatap penuh keheranan, dengan helaan napas panjang, Mbak Ema berusaha menggali ingatan masa lalu. Dimana saat dirinya di pilih sebagai MUA untuk pernikahan Laras dan Rehan. "Melihat Mbak Saras menangis seperti ini, membuat saya teringat mendiang Mbak Laras." "Mbak Laras? Kenapa sama Mbak Laras?" "Rasanya, saya seperti dejavu." Kemudian Mbak Ema bercerita, "Dulu, saat saya mendandani mendiang Mbak Laras. Mbak Laras juga menangis, tatapannya kosong. Seperti tidak memiliki kehidupan. Saya melihat tatapan putus asa di balik riasan yang saya poles. Waktu itu, saya diam saja. Namun, lama-lama saya juga risih," "Saya berusaha mengajak Mbak Laras ngobrol, tapi Mbak Laras tetap diam saja. Sesekali air mata menetes dari matanya. Dan disaat itu pula, Mbak Laras tidak bisa membendung air matanya." "Mbak Laras menangis?" Tebak Saras. Mbak Ema mengangguk, "Mbak Laras menangis dalam diam, saya berusaha menenangkan. Tapi tidak bisa, jadi saya biarkan Mbak Laras meluapkan emosinya. Bahkan, saat pintu diketuk, saya menahan agar tidak ada orang yang masuk. Saya minta waktu lebih lama untuk meriasnya lagi." "Kenapa Mbak Laras menangis?" Tanya Saras. Seingat Saras, saat acara pernikahan Mbak Laras semuanya baik-baik saja. Bahkan, Mbak Laras tampak bahagia sekali. Senyum ceria selalu terpancar di wajahnya. Mbak Ema menggeleng, "Mbak Laras hanya berkata, jika Mbak Laras ingin pergi sejauh mungkin. Katanya pernikahannya salah, semuanya terpaksa." Saras semakin bingung mendengar cerita dari Mbak Ema, "Gak mungkin, Saras tau sendiri. Gimana bahagianya Mbak Laras waktu nikah sama Mas Rehan." Mbak Ema berusaha membantah, "Saya yang bersama Mbak Laras sebelum acara dimulai. Bahkan, Mbak Laras pernah ingin melarikan diri. Padahal acara akan dimulai, tentu saya panik. Saya cegah, saya bujuk, saya berusaha membuat Mbak Laras tenang. Hingga akhirnya, Mbak Laras bisa diajak bekerja sama. Dan saya mengantar Mbak Laras menuju pelaminan untuk memulai acara akad." Saras terdiam sejenak, rasanya tidak mungkin Saras percaya dengan cerita Mbak Ema. "Kalau Mbak Saras tidak percaya dengan apa yang saya ceritakan, ya tidak apa-apa. Saya mengerti." Kata Mbak Ema. Kemudian Mbak Ema melanjutkan, "Untuk Mbak Saras, jika Mbak Saras tidak mau menikah dengan Mas Rehan, tidak masalah. Saya bisa bantu untuk melarikan diri." Mbak Ema melihat arloji di tangannya, "Acara akad dimulai jam delapan, masih ada sepuluh menit. Sepertinya bapak penghulu juga belum datang." "Untuk kali ini, saya tidak akan mencegah Mbak Saras jika Mbak Saras merasa berat untuk menikah dengan Mas Rehan. Saya akan bantu sebisa saya. Jujur Mbak, saya merasa bersalah. Apalagi sempat saya dengar Mbak Laras mengalami masalah rumah tangga bersama Mas Rehan." "Masalah rumah tangga? Mbak Ema tau dari siapa?" Mbak Ema mendelik, "Mbak Saras tidak tau? Keluarga Mas Rehan kan tidak suka dengan Mbak Laras. Bahkan, ibunya Mas Rehan tidak mau mengakui cucunya sendiri." "Apa?" Sungguh, Saras terkejut mendengarnya. "Rumor ini sering dibicarakan ibu-ibu di tukang sayur Mbak, makanya saya denger. Jadi, kalau memang Mbak Saras tidak mau menikah dengan Mas Rehan, saya akan bantu." "Lalu, apa kata Mas Rehan?" Kali ini Saras benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. "Kurang tau saya Mbak, rumor itu ada ketika kabar Mbak Laras hamil setelah menikah. Dan saat itu, saya sibuk ikut seminar kecantikan untuk nambah keahlian. Bahkan, saya baru kembali sekitar tiga Minggu lalu." "Mbak Saras, mumpung masih ada waktu sebelum akad nikah." Pikiran Saras berkecamuk, ia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Cantik sekali. Lengkap dengan riasan pengantin dan ronce bunga melati, tak lupa kebaya warna putih membuat tubuhnya semakin memukau anggun. Berbeda dengan tatapannya yang entah tak bisa ia artikan sendiri. Setelah mendengar cerita dari Mbak Ema, Saras menjadi penasaran. Sebenarnya apa yang terjadi? Sibuk dengan pikirannya. Suara pintu terdengar, Mbak Ema memegang kedua tangan Saras. "Ayo Mbak, saya bantu untuk keluar dari sini diam-diam." ***Saras terisak di atas ranjangnya. Kepalanya ia tenggelamkan dalam bantal agar suaranya teredam. Meski Saras sudah setuju untuk bercerai dari Mas Rehan, namun mengapa hatinya terasa sakit. Seolah, Saras tidak ingin berpisah dari Mas Rehan. Padahal Saras baru tinggal bersama, Saras pun merasa belum begitu mengenal Mas Rehan. Tapi kenapa, rasanya sesakit ini? Saras mengangkat wajahnya yang berantakan. Matanya memerah berlinang air mata, nyaris bengkak. Ia menoleh pada ponsel yang bergetar di sampingnya. [Mama] Ternyata Mamanya yang menelepon, tentu Saras mengabaikan panggilan dari orang tuanya. Keadaannya setelah terlibat pertengkaran tadi belum membaik. Saras masih perlu waktu. Tok Tok Tok Suara ketukan terdengar, Saras menoleh sekilas. Tak berniat membukanya. "Saras." Suara itu, "Mas Rehan?" Gumam Saras dari tempat tidurnya. "Saras, buka pintunya. Kita harus bicara." Ucap Mas Rehan dari balik pintu. "Tolong Saras, ada hal yang harus kita selesaikan. Tanyaka
"Bi Minah pulang saja. Sudah sore, kasihan suami Bi Minah pasti menunggu dirumah." Ucap Saras setelah melihat jam dinding menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. Raut gelisah Bi Minah membuat Saras tidak tega jika harus menahan Bi Minah hingga malam. Apalagi, Mas Rehan belum ada tanda-tanda kedatangannya. Ingin menghubungi Mas Rehan, tapi Saras sadar jika ia tidak memiliki nomor suaminya. Menghela napas panjang, sebenarnya mereka menikah atau bagaimana sih? Sepasang suami istri tapi tidak memiliki nomor satu sama lain. "Jangan Bu Saras. Bi Minah menunggu Pak Rehan pulang saja. Tadi Bi Minah sudah janji sama Pak Rehan." Balas Bi Minah. Keduanya kini berada di dapur. Saras yang akan menyantap sop ayam buatan Bi Minah meletakkan kembali sendoknya ke dalam mangkok. Menatap Bi Minah yang menemaninya dengan gelisah. "Saras sudah lebih baik kok Bi. Jadi, Bi Minah tidak perlu khawatir. Nanti Saras akan bilang ke Mas Rehan kalau Saras yang suruh Bi Minah pulang." Ucap Sara
"Jasmine adalah anak saya." Itu adalah kalimat Mas Rehan setelah beberapa saat terdiam. Menjawab dengan tatapan yang tidak bisa Saras artikan. Raut ekspresinya tenang, seolah tidak ada masalah dengan pertanyaan Saras. Padahal, pria itu sempat mematung mendengarnya. "Mas Rehan jangan bohong." Ucap Saras. "Sepertinya pingsan membuat isi kepalamu terbentur, hingga melupakan sebagian memori sebelum ini." Kata Mas Rehan menarik napas panjang. "Satu tahun lalu, saya menikah dengan kakak kamu. Kami memiliki anak, dan anak itu adalah Jasmine. Tambahan lagi, setelah kematian kakak mu, saya menikah dengan kamu. Otomatis sekarang kamu adalah istri saya." "Saras inget kok Mas, kalo Saras sudah menikah dengan Mas Rehan." "Baguslah, saya takut memori kamu tentang pernikahan kita hilang." Suara kursi berdecit, Mas Rehan bangkit dari duduknya. "Infusnya sudah mulai habis, saya panggilkan suster jaga." "Mas Rehan!" Belum sempat Mas Rehan melangkah keluar, Saras memanggilnya. Me
"Bi Minah, apa Mas Rehan sudah pulang?" Tanya Saras pada Bi Minah yang sedang membereskan peralatan dapur. Saras baru tiba dirumah saat sore menjelang. Setelah Saras mendesak Mamanya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Saras masih tidak habis pikir dengan pemikiran Papanya yang sangat egois. "Belum Bu Saras. Mungkin sebentar lagi." Jawab Bu Minah. "Oh iya Bu Saras. Semua pekerjaan sudah selesai, saya pamit pulang." Kata Bi Minah lagi. Saras mengangguk, "Iya Bi, terima kasih ya." "Sama-sama Bu Saras." "Bi Minah!" Baru saja berbalik, Saras kembali memanggil Bi Minah. Bi Minah mengurungkan niatnya, "Iya Bu?" Dengan senyum manis, Saras berkata, "Hati-hati di jalan ya, Bi." Bi Minah tertawa kecil, "Saya pikir kenapa. Iya Bu Saras, siap." Selepas kepergian Bi Minah, Saras menuju kamar Jasmine. Mas Rehan memang melarang pintu kamar Baby Jasmine di tutup rapat. Hal itu memudahkan Saras mengintip dari luar. Ternyata Jasmine baru selesai mandi. "Halo J
"Mama!" "Mama dimana?!" "Mama!" Saras menerobos masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan Mama dan Papanya. Suasana dirumah sangat sepi, entah kemana Mamanya. Merasa Mamanya berada di kebun belakang, Saras bergegas menuju belakang rumah. Napasnya tersengal dengan tatapan berkeliaran mencari Mama. Melihat Mamanya tengah memindahkan bunga dari pot kecil ke tanah. Mengusap peluh yang turun dari pelipisnya. Tak kuasa Saras memanggil Mamanya. "Mama!" Teriak Saras membuat sang Mama menghentikan pekerjaannya. Mama terbelalak melihat keberadaan putrinya, "Saras? Kamu datang bersama siapa?" "Saras mau bicara sama Mama." Mendengar nada Saras yang tidak biasanya, Mama bergegas menyusul Saras yang masuk ke rumah. Ditinggalkannya peralatan berkebun begitu saja. "Saras, ada a--" "Jawab pertanyaan Saras dengan jujur." Saras memotong kalimat Mama. "Saras..." "Mama,..." Saras menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. "Mama cukup jawab iya atau tidak." Tambah S
"Bu Saras," Suara Bi Minah memanggil Saras yang tengah asyik bersantai di halaman belakang bersama Jasmine. Bayi mungil itu nampak anteng dalam gendongan Saras, sesekali senyum manis terpatri di wajahnya. "Nyonya ada di ruang tamu, Bu." "Tante Erna disini?" tanya Saras pada dirinya sendiri. Bi Minah yang mendengar pertanyaan lirih itu menjawab, "Iya Bu Saras, nyariin Bu Saras." Saras mengangguk, memberikan Jasmine pada pengasuhnya. "Titip Jasmine ya, Sus." "Aman Bu Saras." Kemudian, Saras bersama Bi Minah berjalan menuju ruang tamu. Jantungnya berdebar kencang, dari yang Saras ketahui, Tante Erna menentang pernikahan turun ranjang ini. Bahkan, kemarin saat akad pun Tante Erna tidak datang. Pak Bagas hanya ditemani oleh Om Ardi saja. "Tolong bawakan camilan ya, Bi. Berikan jamuan terbaik untuk Mamanya Pak Bagas." kata Saras. "Baik Bu." Dengan langkah tegas, Saras berjalan sendirian menemui Tante Erna. Siluet perempuan paruh baya itu nampak dari kejauhan. Tengah